Pacaran (?)

Manusia punya lubang-lubang dalam dirinya, yang tidak mungkin diisi oleh benda/orang terdekat sekalipun. Hanya satu yang bisa memenuhi lubang itu—Tuhan Yesus Kristus.

Secara alamiah, manusia punya lubang dalam hidupnya yang sulit diisi oleh sesuatu atau seseorang. Sudah begitu, orang tua di rumah bertengkar tiada henti, mengancam ingin pisah setiap saat, dan saling memaki terus. Anak-anak makin merasa hampa. Lubang yang sudah menganga lebar tambah dipenuhi luka. Sekarang, fenomena baru merebak—remaja lebih mudah jatuh cinta di usia muda demi menutup kekosongan itu. Demi mendapatkan figur lelaki karena ayah mereka tidak sungguhan “hadir”.

Para ayah memang sangat diharapkan punya waktu berkualitas dengan anak-anak. Seminggu sekali, setiap anak harusnya punya jatah keluar berdua dengan ayahnya. Hanya berdua, bukan sekeluarga. Hal ini adalah upaya para ayah untuk memenangi kembali hati setiap anak. Karena hubungan yang buruk dengan sosok ayah dikaitkan dengan fenomena anak-anak zaman now yang lebih mudah jatuh cinta. Mereka bilang, sudah “pacaran” di usia lima belas tahun. Pacaran?

Ibu Charlotte Priatna, dalam seminar parenting SMA pada 22–24 Januari 2020, memaparkan soal hal ini. Beliau beragumen bahwa pacaran adalah langkah menuju pernikahan. Kalau begitu, mengapa harus berpacaran di usia 15 tahun kalau baru akan menikah umur 30 tahunan?

Kan, mau kenal lebih dekat.

Fase saling mengenal satu sama lain ada di lingkaran pertemanan, bukan pacaran. Inilah tugas orang tua untuk memberikan pengertian kepada anak mereka perihal definisi pacaran yang sebenarnya. Orang tua harus bisa memosisikan diri sebagai sahabat bagi anak sehingga mereka mau cerita kepada papa dan mama. Kalau tidak, mereka bisa jadi lebih nyaman bercerita dengan temannya. Jika bukan pada teman yang tepat, pandangan yang diajukan anak remaja seusianya bisa jadi keliru. Dalam hal ini, orang tua diharapkan bisa sungguhan hadir dan menjadi “sahabat” bagi anak. Ketika anak mulai buka suara bahwa mereka “naksir” si A, orang tua bisa masuk dengan menanamkan batasan-batasan. Ingatkan kepada anak, di usia remaja, mereka boleh menaksir seseorang, tetapi minta mereka juga membuka hati dan pergaulan selebar-lebarnya.

Berpacaran layaknya dimulai saat anak sudah bisa menentukan hidupnya sendiri. Dalam berpacaran, ada beberapa fase yang akan dilewati. Pertama, cinta harus diuji dan itu perlu waktu. Tanamkan pada anak bahwa naksir dengan lawan jenis harus melalui proses pengujian. Setelah yakin, kedua belah pihak harus mendoakannya sungguh-sungguh untuk mendapat peneguhan bahwa memang si dia adalah jodoh dari Tuhan. Pacaran adalah proses melihat karakter-karakter baik maupun jelek dalam diri pasangannya. Untuk kelebihan-kelebihannya, kita bisa terima. Lalu, bagaimana dengan kekurangannya? Orang tua perlu menempatkan diri sebagai outsider. Saat anak mengenalkan si dia kepada orang tuanya, kita berperan sebagai outsider yang objektif karena seseorang yang sedang jatuh cinta bisa melihat apa pun yang buruk sebagai hal mengesankan! (SO)

*Tulisan ini disarikan dari materi Seminar Parenting SMA 22–24 Januari 2020.

Mengajarkan Anak Mengucapkan Kalimat Bijak

Oleh: Florensia Nasution, Orang tua siswa

Salah satu lagu anak TK A tentang ketaatan terus terngiang di telinga saya. Bahkan, saya sering menyanyikannya jika sedang berusaha membujuk anak saya melakukan sesuatu yang dia tidak suka.

Ketika sedang mendidik anak untuk taat, saya membaca buku Say Goodbye to Whining, Complaining, Bad Attitudes in You and Your Kids versi bahasa Inggris. Wah, ternyata, sebagai orang tua, saya harus terlebih dahulu mengubah diri sebelum menuntut anak. Memang benar yang dikatakan Bu Charlotte saat seminar parenting SD semester lalu, “Menghargai anak bukan dari apa yang dia capai, tapi dari karakter, value, dan sikap anak sehari-hari.” Mari kita kupas buku ini bersama-sama.

Ketaatan adalah melakukan langsung apa yang diminta seseorang, tanpa harus diingatkan.” Tuhan tahu jelas apa yang Dia kehendaki dalam memberikan dua perintah dalam Efesus 6:1-4: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. Ketika anak membangun ketaatan, mereka berusaha melakukan sesuatu tanpa diingatkan. Mereka belajar untuk memilih apa saja yang mereka perlu kerjakan, mengikuti aturan, dan menyelesaikan pekerjaan tanpa diawasi. Mereka akan belajar bertanggung jawab, kerelaan untuk melayani, dan setia dalam melakukan hal baik.

Menghormati ternyata termasuk keterampilan tersembunyi dalam ketaatan. Ternyata, ketika anak bisa mempunyai perilaku baik, melakukan sesuatu lebih dari yang diharapkan, kepekaan melihat apa saja yang dibutuhkan, melakukan sesuatu tanpa instruksi, mendukung seseorang dan memberikan kontribusi, mereka telah berhasil menumbuhkan rasa hormat kepada orang lain. Alangkah bangga bisa mempunyai anak yang mempunyai sifat-sifat tersebut.

Jika anak-anakmu hendak terbang lurus, ajar mereka tentang ketaatan. Jika anak-anakmu hendak terbang tinggi, ajar mereka untuk menghormati. Ketaatan dan rasa hormat memegang peranan penting. Tantangan biasanya terjadi ketika anak tidak mau taat dalam melakukan rutinitas sehari-hari. Biasanya, mereka akan merengek dan mengeluh. Buku ini mengajarkan cara komunikasi untuk meminta izin, membuat permintaan, dan mendapatkan izin dengan terhormat. Orang tua bisa melatih anak berkomunikasi sejak usia batita untuk menggunakan kalimat bijak berikut untuk bernegosiasi.

Saya mengerti papa/mama mau saya melakukan ini … untuk …

Saya punya masalah dengan perintah ini karena …

Bisakah saya … ?

Biarkan anak mengisi titik-titik tersebut. Anak berusia muda biasanya tidak tahu alasan di balik instruksi dari orang tuanya. Mereka pun tak punya pilihan selain tunduk dan mengikutinya. Nah, cara di atas merupakan bagian dari kunci bijak untuk mendorong anak bertanya jika mereka tidak mengerti tentang hal yang harus mereka lakukan.

Buku ini memberikan banyak contoh kasus nyata. Misalnya, ketika Ibu Joanne mengajari anaknya, Timothy, usia 4 tahun, tentang kalimat bijak ini. Timothy sedang bermain di halaman belakang rumah dan Ibu Joanne memanggilnya masuk ke rumah. Timothy menghampiri ibunya dan berkata, “Aku mengerti Ibu memintaku masuk ke dalam rumah, tapi aku masih mau bermain di luar. Bisakah aku bermain sebentar lagi?” Timothy mengerti ide dari kalimat bijak ini. Dia menyampaikan masalahnya daripada mengeluh atau berteriak.

Kalimat bijak ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi bisa menjadi cara berkomunikasi yang efektif untuk mereka di masa depan. Anak jadi tidak merasa komunikasi dengan orang tua merupakan sebuah tantangan. Cara ini juga membantu mereka untuk lebih menghormati orang tua. Ada kalanya anak bertanya sebelum mereka menaati sesuatu, saatnya orang tua memberi batasan, “Taat terlebih dahulu, nanti kita bicarakan mengapa harus melakukan ini semua.”

Hal menarik dari kehidupan keluarga adalah orang tua harus berubah dahulu sebelum membantu anak untuk berubah. Jika kita sebagai orang tua ingin membantu anak berhenti merengek/mengeluh, sebagai orang tua juga kita perlu menyesuaikan diri dan merespons dengan tepat ketika anak merengek/mengeluh.

Investasi terbesar yang bisa disiapkan orang tua bukan hanya melalui uang, tetapi rasa hormat. Pastinya dibutuhkan ketekunan, kegigihan, dan kreativitas agar anak bisa belajar tentang hal ini.

Pengalaman Berkesan selama Live In

Oleh: Adelyn Alvincia, XII MIPA 3

Live in kelas 12 SMA tahun ini kembali dilaksanakan di Kopeng, Jawa Tengah, selama enam hari. Kami berangkat pada Minggu malam menggunakan kereta api dan baru sampai di Kopeng pagi keesokan harinya.

Kedatangan kami disambut dengan sangat hangat oleh warga setempat. Kami langsung dibagi ke dalam rumah-rumah penduduk dengan orang tua asuh masing-masing. Ada pekerjaannya sebagai petani, peternak sapi, usaha warung, dan lain sebagainya. Saya sendiri mendapat orang tua asuh yang bekerja sebagai petani. Mereka menanam jipang (labu). Mereka juga beternak sapi, ada tiga ekor sapi. Di Kopeng, sudah menjadi hal yang biasa tinggal bersama hewan peliharaan di dalam rumah. Di tempat tinggal saya, kandang sapi bahkan terhubung dengan dapur. Setiap hari, kami pergi beraktivitas sesuai pekerjaan orang tua asuh kami, membantu di ladang, menjaga warung, dan berjualan susu.

Selain mengikuti aktivitas penduduk setempat, kami juga membawa tugas community service. Sejak awal semester 1, kami sudah dibagi ke dalam kelompok-kelompok untuk melakukan kegiatan sosial di Kopeng. Ada kelompok karang taruna, perpustakaan, memasak, bimbel pelajaran dan seni, PAUD, panti asuhan dan jompo, serta parenting. Saya masuk ke dalam kelompok parenting yang bertugas untuk membuat acara seminar keluarga bagi pasangan suami-istri. Dalam setiap acara yang kami adakan, partisipan dari penduduk setempat berjumlah cukup banyak. Mereka juga memberi respons yang sangat positif. Pada malam terakhir kami di Kopeng, ada acara malam perpisahan yang diisi oleh berbagai penampilan dari anak-anak di Kopeng, persembahan tarian dari murid Athalia, kuis, dan pembagian doorprize.

Kopeng merupakan tempat yang menjunjung tinggi toleransi. Mereka terbiasa hidup berdampingan antaragama. Letak gereja dan masjid pun sangat dekat, saling berpunggungan. Para warga Muslim tidak sungkan jika perlu masuk ke gedung gereja. Tidak pernah ada bentrok antara pemeluk agama.

Di hari terakhir kami sebelum kembali ke Tangerang, beberapa dari kami dan orang tua asuh menangis karena akan berpisah. Kami dibawakan begitu banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang sehingga kami harus menenteng banyak dus berisi sayuran. Sebelumnya, kami juga sempat mampir membeli oleh-oleh di Semarang dan singgah ke Lawang Sewu. Kami baru sampai kembali di sekolah sekitar pukul 11 malam.

Pengalaman live in di Kopeng menjadi pengalaman yang menyenangkan dan berkesan untuk kami. Hingga setelah live in pun, beberapa dari kami masih membangun komunikasi dengan orang tua asuh di Kopeng. Kegiatan ini membuat kami bisa keluar dari zona nyaman dan mengenal cara hidup di tempat yang baru, serta belajar dari nilai-nilai baik yang dimiliki penduduk setempat.

Cas Camp Kelas 8: Belajar Peduli dan Berbagi

Oleh: Beryl Sadewa, guru SMP

Pada 17–18 Januari, Sekolah Athalia mengadakan Caring and Sharing Camp yang diikuti siswa-siswi kelas 8. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran siswa-siswi kelas 8 untuk mengasihi sesama (caring), menerima mereka dan rela berkorban (sharing) bagi mereka, seperti Allah juga sudah mengasihi mereka dengan mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal menggantikan mereka sehingga mereka tidak binasa dan beroleh hidup kekal.

Melalui kegiatan ini mereka diharapkan dapat mengaplikasikan Caring and Sharing kepada teman-teman mereka, lingkungan sekolah, dan orang tua. Untuk itu, ada beberapa kegiatan yang dilakukan, meliputi permainan, seminar, group sharing, dan kerja bakti di lingkungan sekolah.

Kegiatan permainan di hari pertama dirancang untuk menarik minat siswa, sekaligus sebagai sarana mereka belajar, bahwa tiap orang memiliki peran masing-masing, yang harus dijalankan dengan baik. Permainan ini dilakukan dalam kelompok, dan tiap kelompok terdapat beberapa orang dengan peran yang berbeda-beda. Tiap kelompok kemudian harus menyelesaikan misi yang diberikan kepada mereka di tiap pos yang mereka kunjungi.

Melalui seminar dan group sharing, mereka belajar untuk memahami diri sendiri dan teman-teman mereka sehingga mereka mulai belajar untuk memperhatikan kebutuhan teman-temannya, dan berusaha membantu mereka memenuhi kebutuhan tersebut. Sementara kegiatan kerja bakti di lingkungan sekolah mengajarkan mereka untuk peduli terhadap lingkungan.

Pada sesi group sharing, siswa membagikan pengalaman mereka selama mengikuti kegiatan di hari pertama. Mereka terlihat menikmati kegiatan ini, terutama saat permainan. Beberapa dari mereka terlihat terkejut ketika mereka melihat teman-teman mereka yang sehari-hari terlihat tidak terlalu menonjol dalam pergaulan, ternyata juga bisa menjalankan peran dalam kelompok dengan baik. Beberapa di antara mereka juga bahkan terkejut ketika mereka ternyata juga mampu mengerjakan tanggung jawab yang dipercayakan kepada mereka dengan baik. Mereka terlihat lebih percaya diri setelah menyadari hal tersebut.

Mereka juga membagikan pengalaman mereka, bahwa saat kegiatan, terutama saat permainan, mereka melihat banyak tindakan teman-teman mereka (terutama yang sekelompok) yang menunjukkan kepedulian kepada sesama anggota kelompok. Saat group sharing mereka juga belajar lebih memahami teman-teman mereka, kelebihan dan kekurangan mereka. Mereka juga membuat komitmen untuk lebih peduli kepada teman-temannya, terutama yang membutuhkan bantuan.

Memaknai arti keluarga
Pada hari Sabtu, anak-anak mendapatkan pengarahan mengenai makna keluarga bagi mereka. Dalam sesi seminar bersama Riggruben, mereka diajak untuk menggali alasan kenapa selama ini terjadi miskomunikasi antara mereka dan orang tua. Dengan mengetahui posisi orang tua dan berusaha memahami pola pikir orang tua, diharapkan anak-anak bisa memahami bahwa orang tua mereka pun masih terus belajar dan kasih orang tua untuk mereka tak akan pernah surut.

Di tempat lain, di saat yang bersamaan, para orang tua siswa kelas 8 dikumpulkan di Aula F untuk mendapatkan insight dari Ibu Charlotte.Orang tua diajak untuk merenungi: berapa harga anakku? Bagaimana aku memandang keberhargaan mereka?

Harga seorang anak bukan dari pencapaiannya, tetapi karena kasih Tuhan kepada mereka. Dalam sesi ini, orang tua juga diajak untuk memahami satu konsep penting, yaitu Tuhan menciptakan setiap manusia dengan tujuan tertentu—dan bersifat spesifik. Jadi, mengasihi anak perlu dilakukan secara penuh, tanpa melihat kepintaran, kemolekan wajah, dan lain sebagainya.

Di akhir sesi, anak dan orang tua dipertemukan. Mereka diharapkan melakukan rekonsiliasi, saling menyampaikan isi hati. Sesi pemberian hadiah oleh orang tua bisa dimaknai sebagai simbol kasih orang tua kepada anak—walau tidak melulu kasih dilambangkan dengan hadiah.

Harapannya, kegiatan kali ini mampu memberikan kesan mendalam untuk anak maupun orang tua, khususnya dalam hal memelihara relasi di antara mereka.

Keluarga yang Berdoa

Oleh: Ngatmiati, S.Th

Pada Senin–Selasa, 6 dan 7 Januari 2020, di Sekolah Athalia dilaksanakan retret bagi guru dan staf dengan tema “Tetaplah Berdoa” dengan dasar Firman Tuhan dari 1 Tesalonika 5:17. Tema ini dilatarbelakangi adanya kesadaran bahwa dunia pendidikan menghadapi banyak tantangan yang akan berdampak pada proses pembelajaran. Kadangkala, beratnya tantangan bisa melemahkan semangat. Oleh karena itu, dibutuhkan doa sebagai penopang dalam kehidupan pribadi dan pelayanan. Butuh kuasa Tuhan untuk terlibat karena banyak hal yang berada di luar batas kemampuan manusia. Melalui retret, guru dan staf Athalia merasa terberkati dan menikmati pengalaman baru dalam berdoa. Komitmen baru untuk lebih tekun dalam doa pun kembali diperbaharui.

Tantangan bukan hanya dihadapi oleh para guru dan staf di sekolah. Keluarga juga pasti menghadapi tantangan-tantangan yang tidak mudah. Misalnya, berkembangnya budaya yang tidak sesuai kebenaran Firman Tuhan yang bisa berdampak pada bergesernya nilai-nilai moral keluarga; kegiatan tiap anggota keluarga yang padat seperti sekolah atau bekerja sehingga waktu, perhatian, kebersamaan untuk keluarga menjadi berkurang; teknologi (sosial media, game, dan lain sebagainya) mengalihkan perhatian dari keluarga. Belum lagi masalah ekonomi, komunikasi, dan relasi antaranggota keluarga, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut jika tidak disikapi dengan tepat bisa berakibat buruk bagi relasi antaranggota keluarga. Banyak relasi dalam keluarga yang akhirnya retak karena berbagai persoalan yang mendera mereka.

Ada beberapa keluarga yang mungkin sudah mengerahkan segala daya upaya untuk mengatasi setiap tantangan, tetapi hasilnya belum sesuai harapan. Dalam kondisi demikian, bisa saja keluarga menjadi apatis atau kehilangan pengharapan. Keluarga butuh penopang yang kokoh supaya dimampukan bertahan ketika diterpa badai kehidupan dan lebih lagi menjadi keluarga yang memuliakan nama Tuhan. Keluarga perlu bersatu hati untuk memiliki waktu doa bersama untuk saling menopang satu dengan yang lain. Dengan berdoa, keluarga menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan dan datang kepada Allah yang Mahakuasa untuk berserah.

1 Samuel 1:1-3 menceritakan tentang keluarga Hana yang dari tahun ke tahun ke Silo untuk sujud menyembah dan mempersembahkan korban kepada Tuhan semesta alam. Keluarga ini begitu setia dalam beribadah kepada Tuhan. Ketika menghadapi pergumulan, Hana membawanya dalam doa. Saat itu, Hana sedang terluka hatinya oleh Penina, yang mengejek Hana yang tidak kunjung punya anak. Hana berdoa kepada Tuhan semesta alam. Hana mengakui kuasa dan otoritas yang dimiliki Tuhan. Tuhan menyatakan kuasanya dengan membuat seorang perempuan mandul bisa punya anak, tidak hanya satu orang, tetapi enam orang anak termasuk Samuel (1 Sam. 2:21).

Keluarga perlu memiliki waktu-waktu khusus untuk berdoa bersama karena melalui doa bersama keluarga, ada beberapa manfaat yang didapatkan. 1

  • Doa bersama keluarga bisa melepaskan luka-luka emosi dan saling mengampuni dengan pertolongan Tuhan dan pada akhirnya berdampak pada penyembuhan.
  • Doa bersama keluarga dapat memperkuat komunikasi dan relasi antaranggota keluarga jika dilakukan dengan tulus dan terbuka, bukan sekadar formalitas.
  • Doa bisa memberikan perlindungan terhadap anggota keluarga dari keputusan-keputusan yang salah maupun serangan-serangan si jahat yang membawa kepada dosa.
  • Doa baik untuk kesehatan anggota keluarga karena doa bisa menurunkan stres, mendorong tiap anggota keluarga menjadi pribadi yang lebih baik sehingga keluarga akan menjadi lebih sehat.
  • Doa bersama keluarga mengajarkan anak-anak sejak dini untuk mencari Tuhan terlebih dahulu.
  • Doa membantu anggota keluarga mengembangkan sudut pandang Allah jika doa dilandasi dengan kebenaran firman Tuhan. Anggota keluarga melihat bagaimana Tuhan bekerja menolong umat-Nya seperti yang tertulis di Alkitab.
  • Doa bersama keluarga akan menjadi warisan yang berharga yaitu pengalaman iman bagi anak-anak. Kelak anak-anak akan mengingat keluarganya adalah keluarga pendoa sehingga ketika dia mengalami pergumulan dia akan berdoa.

Selamat berdoa bersama keluarga.

1 Disarikan dari https://www.beliefnet.com/love-family/galleries/6-benefits-of-praying-together-as-a-family.aspx; https://www.crosswalk.com/family/parenting/kids/10-benefits-of-family-prayer-time.html