Titik Temu Antargenerasi – Terhubung dan Terlibat

Elia Okki (staf Bagian SDM)

Melakukan panggilan Tuhan untuk membawa anak-anak menjadi murid-Nya tidak hanya tugas orang tua, tetapi juga tugas orang dewasa di sekitarnya. Begitu pula di lingkungan Sekolah Athalia. Para pengajar dan staf mengemban peran yang sama, yaitu mendampingi setiap murid berproses dalam pertumbuhan karakter mereka. Namun, stigma yang dimiliki setiap generasi dapat menjadi penghalang untuk melayani lintas generasi.

Antargenerasi akan menghadapi kesenjangan karena setiap zaman memiliki ciri khas ketika mereka tumbuh besar. Oleh karena itu, kita perlu mencoba meminimalisasi kesenjangan antargenerasi dengan cara melihat peristiwa dan kondisi yang membentuk suatu generasi tiap zaman.

Setiap generasi lahir dengan sejarah yang berbeda. Kita ambil contoh generasi Milenial dan Gen-Z. Stillman (2018)1 menyebutkan bahwa generasi Milenial menghabiskan masa kecilnya dengan bermain dan kebanyakan lahir dari orang tua generasi Boomers yang memfokuskan diri untuk menumbuhkan harga diri anak dengan cara “lihat dan dengar anak”. Perspektif kerja Boomers ialah untuk kepuasan batin yang melahirkan pencarian makna bagi generasi Milenial dalam bekerja. Generasi Milenial akrab dengan istilah “komunikatif, kolaboratif, optimis, idealis, yang terbaik, work-life balance, menjadi teman”. Juga slogan “Susah-senang, mari rayakan hidup!” membuat Milenial fokus menikmati hidup di masa kini. Itulah ciri khas generasi Milenial.

Bagaimana dengan Gen-Z? Gen-Z menghadapi isu persoalan ekonomi dunia yang membentuk cara mereka menyikapi hidup. Orang tua yang kebanyakan berasal dari Generasi X, dengan sepenuh hati menyiapkan anak-anak Gen-Z dalam menghadapi dunia nyata secara mandiri. Peristiwa politik, COVID-19, resesi berat, masa depan, terorisme modern, isu lingkungan, disrupsi teknologi, dan sebagainya berdampak dalam hidup mereka. Mereka berjuang menata hidup masa depan agar memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari orang tua mereka. Sebab itulah, pemikiran mereka terfokus pada “Apakah kehadiranku menghasilkan perbedaan atau tidak?

Menjalani Iman di Tengah Perbedaan Generasi

Jadi, bagaimana kita bisa berjalan bersama generasi muda yang Tuhan titipkan di tengah kekacauan zaman? Perbedaan menjalani hidup antargenerasi tak seharusnya menjadi penghalang untuk jalan bersama dan menjadi murid-Nya, terutama di dalam kelompok kecil KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) yang dilayani oleh penulis.

Benner (2012)2 menekankan agar perjalanan bersama anggota kelompok kecil haruslah berfokus kepada Allah. Ia menyebutkan bahwa keramahan, kehadiran, dan dialog rohani perlu dibangun jika kita ingin menjalin persahabatan yang dasarnya adalah Kristus. Oleh karena itu, relasi harus dibangun dengan memprioritaskan perenungan mendalam daripada sekadar pertanyaan benar dan salah, menjadi komunitas doa, membagikan pengalaman rohani, penerimaan, dan saling mendukung. Zaman dan generasi bisa saja berbeda, tetapi Allah yang berdaulat dalam dunia dan kehidupan akan selalu menjumpai umat-Nya melampaui cara dan pikiran manusia. Anak-anak yang sedang berjalan bersama kita menghadapi pergumulannya, begitu pun kita. Kondisi ini membuat kita, generasi yang berbeda dengan mereka, perlu kepekaan dari Roh Kudus agar bisa berjalan bersama mereka. Hanya di dalam keterhubungan dan keterlibatan Allah saja ada pengharapan hidup. Kiranya Tuhan menolong kita.

  1. Stillman, D. & Jonah Stillman. 2018. Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ↩︎
  2. Benner, D. 2012. Sacred Companions (Sahabat Kudus). Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur. ↩︎

Rahasia 30 Tahun Perjalanan Karakter

Bella Kumalasari-Plt. Kasie. Karakter

Perjalanan 30 tahun Athalia diwarnai dengan berbagai musim. Begitu pun ketika kita berbicara mengenai karakter. Pendidikan karakter bak sebuah perjalanan panjang. Ada berbagai hal yang dilewati, jatuh-bangun yang dihadapi, sehingga semuanya merupakan proses yang perlu dijalani. Dunia yang penuh dengan ketergesa-gesaan dan serba instan membuat kita tidak sabar akan proses yang panjang dan tidak mudah. Maka dari itu, kita sebagai pendidik dan orang tua perlu terus mengingatkan diri sendiri akan hal ini ketika mendampingi anak-anak kita, sehingga terus memberikan ruang untuk bertumbuh.

Sekolah Athalia percaya bahwa setiap murid berproses dalam perjalanan panjang karakternya. Meski mungkin tahun lalu tampak ada kemajuan tapi tahun ini tidak, terkadang tampak jelas terkadang samar, Sekolah Athalia percaya bahwa setiap murid tetap berproses dalam perjalanannya masing-masing. Oleh sebab itu, di setiap akhir tahun ajaran Sekolah Athalia mengadakan “Perayaan Karakter” sebagai momen untuk mengapresiasi pertumbuhan sekecil apa pun.

Di dalam perayaan karakter, murid-murid diajak untuk mengingat kembali proses pembelajaran karakter yang telah mereka alami selama satu tahun terakhir. Mereka merefleksikan dan mengevaluasi dirinya dalam proyek-proyek yang sudah dilakukan, serta diajak untuk melihat karya dan penyertaan Tuhan dalam diri mereka dan teman-teman. Guru memberikan apresiasi bagi setiap murid dan memberikan dukungan untuk terus berproses di level berikutnya. Selain guru, orang tua dan sesama murid pun diajak untuk memberikan apresiasi bagi anak-anak dan teman-temannya.

Baca juga : Komunitas Athalia yang Bertumbuh

Mengapresiasi Setiap Perjalanan Karakter

Guru TK mendoakan satu per satu muridnya dengan rasa haru akan pertumbuhan yang Tuhan berikan dalam diri setiap murid secara unik. Guru dan orang tua siswa SD memberikan apresiasi secara personal kepada setiap anak. Anak-anak terharu membaca surat yang ditulis oleh orang tuanya. Murid-murid SMP juga merasa senang karena dapat bersama teman-teman saling mengenal dan memperhatikan selama satu tahun terakhir. Beberapa murid SMA menangis terharu ketika membaca kartu apresiasi dari teman sekelasnya karena tidak menyangka bahwa teman-temannya memperhatikan dirinya sedemikian rupa. Mereka merasa senang diapresiasi atas usaha yang mereka lakukan sekaligus diterima dalam kelemahan mereka.

Mari kita terus dukung pertumbuhan karakter anak-anak kita untuk makin serupa Kristus. Tahun ajaran yang baru, lembaran yang baru, dengan Tuhan yang sama, dengan kesetiaan dalam perjalanan yang sama. Meskipun mungkin kita merasa lelah karena merasa “Kok begitu lagi, begitu lagi, dibilangin berkali-kali seperti tidak ada bedanya”, kita percaya ketika anak berproses bersama Tuhan, mereka berproses makin dalam dan makin dalam. Meski terkadang tampak sama, ada hal yang Tuhan sedang kerjakan di dalam diri mereka. Mari terus ingat, yang terpenting bukan kecepatannya, tetapi arah yang benar menuju keserupaan dengan Kristus.

Inilah Pesona Matematika yang Tak Banyak Orang Sadari!

Octovianus L. Riwu-Guru Matematika SMA

Matematika merupakan sebuah cabang ilmu yang sering menjadi “momok” dan dipandang hanya sebagai ilmu angka. Hal tersebut membuat matematika menjadi pelajaran yang cukup membosankan dan menakutkan bagi anak-anak. Padahal, entitas matematika adalah sebuah pemberian Allah (God’s gift) bagi manusia.

Galileo Galilei, seorang fisikawan dan astronom dari Italia, pernah menyatakan dalam bukunya The Assayer, “Mathematics is the language in which God has written the universe. The laws of nature are written by the Hand of God in the language of mathematics”. Begitu juga dalam esainya yang berjudul “Letter to the Grand Duchess Christina” (1615), “God is known by nature in His works, and by doctrine in His revealed Word”. Artinya, Allah menciptakan alam semesta dengan sebuah tatanan dasar matematika. Saat manusia mengamati ciptaan-Nya, mereka akan menemukan unsur matematika di dalamnya.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Johannes Kepler yang mengatakan bahwa keteraturan hanya bisa ditemukan oleh manusia di dalam alam ciptaan-Nya yang Ia ungkapkan melalui bahasa matematika. Oleh karena itu, esensi dari ilmu matematika harusnya semakin menyadarkan manusia dan kagum akan Allah saat melihat ciptaan-Nya. Hal ini senada dengan Van Brummelen dalam bukunya yang berjudul Walking With God In the Classroom.

Ilmu matematika membawa kekaguman terhadap rencana dan susunan ciptaan Allah yang menyatakan kesetiaan, keberadaan, dan kebesaran Allah.”

Sebagai bahasa yang digunakan Allah untuk menciptakan dunia, matematika perlu diajarkan kepada anak-anak sejak dini guna memahami dunia ciptaan-Nya. Orang tua sebagai prime educator harus menyadari tujuan sejati dalam pembelajaran matematika. Bukan hanya soal angka, tapi juga mengenalkan anak pada Sang Pencipta.


Tip dan Trik

Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mengajarkan matematika sekaligus pengajaran tentang dunia ciptaan Allah kepada anaknya. Poin 1-3 untuk anak TK dan SD, sedangkan poin 4 untuk SMP dan SMA.

1. Belajar melalui bermain

Anak-anak sangat senang bermain. Kegiatan bermain merupakan tools yang baik dalam meningkatkan minat belajar anak terhadap matematika. Orang tua dapat menggunakan media daun dan tanaman di sekitar rumah untuk mengajari anak tentang angka dan tumbuh-tumbuhan ciptaan Allah. Misalnya, menggunakan daun untuk menjelaskan tentang struktur daun dan pentingnya daun bagi kehidupan manusia. Setelah itu, orang tua dapat mengajak anak berkreasi membuat bentuk angka dengan menggunakan daun-daun kering.

2. Mengenalkan matematika melalui dongeng atau bercerita

Bercerita merupakan pembelajaran yang efektif untuk membantu anak-anak meningkatkan konsentrasi serta daya ingat. Seperti yang dikatakan Virginia Walter, proses mendongeng atau bercerita bagi anak dapat mengembangkan keterampilan berlogika dan melatih kemampuan anak dalam memprediksi peristiwa.

3. Belajar matematika melalui praktik langsung

Pembelajaran matematika akan sangat berkesan dan meaningful bagi anak jika dilakukan secara praktik langsung. Hal ini dikarenakan kegiatan hands-on dapat merangsang otak anak dalam memahami informasi dan menyimpannya pada long term memory sebanyak 60%-70%. Seirama dengan Novita Tandry yang mengatakan bahwa memori anak sebanyak 60%-70% berasal dari tindakan, sehingga kegiatan memperkenalkan matematika dapat dilakukan dengan mengajak anak terjun langsung mempraktikkan hal-hal yang berhubungan dengan matematika melalui aktivitas sehari-hari.

Kegiatan praktik langsung yang dapat dilakukan oleh orang tua antara lain memperkenalkan operasi matematika, hubungan spasial, dan juga bentuk geometri melalui bentuk-bentuk yang ada di alam ciptaan Allah atau yang melekat pada diri anak itu sendiri. Lewat kegiatan-kegiatan tersebut, anak tidak hanya memahami tentang konsep matematika, tetapi juga semakin mengagumi Allah sebagai pencipta dunia ini.

4. Belajar matematika melalui proses diskusi

Proses diskusi adalah suatu cara merangsang dan menggali informasi anak guna mengetahui pemahaman dan cara berpikirnya. Kegiatan diskusi dilakukan dengan tujuan untuk saling berbagi informasi (knowledge sharing). Kegiatan diskusi yang dilakukan secara intensional oleh orang tua secara khusus tentang berbagai hal yang terjadi melalui berita maupun informasi terkini dapat mengajarkan anak tentang konsep epistemologi, relasi sebab akibat, serta kemampuan membaca situasi, dan peluang yang ada. Proses ini juga akan mengingatkan anak-anak tentang tugas manusia sebagai penatalayanan (stewardship) di dalam dunia ciptaan Tuhan.

Sumber :

Galilei, G. (1615). Letter to the Grand Duchess Christina of Tuscany. Stanford University. https://web.stanford.edu/~jsabol/certainty/readings/Galileo-LetterDuchessChristina.pdf

Palmerino, C. R. (2016). The ontological and epistemological underpinnings of mathematical realism. In K. Chemla & R. K. Smith (Eds.), The language of nature: Reassessing the mathematization of natural philosophy in the seventeenth century (pp. 29–50). Minnesota Studies in the Philosophy of Science. https://doi.org/10.5749/j.ctt1d390rg.4

Mendampingi Remaja Saat Menghadapi Masalah

Oleh: Mattias Malanthon-Kepala PKBM Pinus

Sejumlah kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh anak-anak usia remaja. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan yang membuat mereka merasa terpojok, kesepian, tertekan, bahkan sampai kehilangan identitas. Di sinilah peran orang tua sebagai orang yang terdekat dibutuhkan untuk menghadapi fenomena ini.


Menurut pendapat penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam menghadapi permasalahan anaknya, di antaranya adalah:

  1. Mendengarkan versus mendengar
    Mendengarkan tidaklah sama artinya dengan mendengar. Menurut KBBI, mendengar artinya adalah menangkap suara (bunyi) dengan telinga, sedangkan mendengarkan memiliki arti mendengar akan sesuatu dengan sungguh-sungguh, memperhatikan. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara mendengar dengan mendengarkan. Sebagai orang tua, seringkali seorang ayah atau ibu “terpaksa” mendengar anaknya bercerita. Kondisi ini biasa terjadi saat orang tua membutuhkan waktu untuk beristirahat, sang anak justru meminta waktu untuk didengarkan masalahnya.
    Contohnya, anak mengalami perundungan dari teman-temannya karena menolak menyontek. Dari sudut pandang orang tua, akar permasalahannya sepele yaitu “masalah menyontek” sehingga orang tua “hanya” menasehati dengan berkata bahwa tindakan yang dilakukan anak sudah benar. Padahal kuncinya ada pada perundungan yang membuat anak merasa tidak nyaman. Sikap orang tua yang cenderung menyepelekan cerita anak membuat mereka merasa terpojok, kesepian, dan tidak dimengerti.
  2. Memberi penguatan versus melakukan penghakiman
    Selain mendengarkan, orang tua juga perlu memberikan respons yang tepat. Memberi penguatan berarti memberi respons positif yang dapat mendorong munculnya rasa percaya diri dan penerimaan diri anak sehingga dapat keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Akan tetapi, penghakiman dapat diartikan sebagai respons berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman masa kecil, ajaran agama, etika, norma sosial, dan sebagainya.
    Sebagai contoh, seorang anak merasa kesal karena hasil ujian yang dia dapatkan tidak sesuai harapan, padahal dia merasa sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Orang tua bisa memberi penguatan, berusaha berempati dengan memosisikan diri di “sepatu” anak dan lebih fokus mencari tahu perasaan anak serta memberikan dukungan positif.
  3. Mengurangi tekanan versus menambah tekanan
    Anak membutuhkan pendampingan dari orang tuanya saat menghadapi permasalahan yang kompleks. Seseorang yang dapat diajak bicara untuk mengurangi tekanan yang sangat menguras energi dan emosinya.
    Sebagai contoh, seorang anak perempuan diajak teman-teman gank-nya untuk mem-bully seorang teman, dengan ancaman jika tidak mau melakukan maka aibnya akan disebarkan ke media sosial. Tentunya anak ini akan mengalami konflik batin dan butuh seseorang yang bisa dipercaya untuk bercerita, juga membantunya keluar dari masalah itu. Orang tua bisa memulai dengan mengajak anak untuk menceritakan “aib” yang dimaksud oleh teman-temannya. Saat anak sudah mau bercerita, ajak dia agar bisa berdamai dengan hal tersebut. Dengan demikian anak dapat merasakan tekanan akibat masalah yang dihadapinya berkurang.
  4. Optimis versus pesimis
    Ketika anak dapat melihat bahwa masalahnya sudah mulai terurai satu persatu, ada satu hal lagi yang harus dilakukan oleh orang tua, yaitu membangkitkan optimisme pada anak bahwa masalahnya akan dapat terselesaikan.
    Sebagai contoh, seorang anak mengalami perundungan karena tubuhnya yang pendek. Orang tua perlu menghadirkan energi positif agar anak dapat melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda, yaitu mengajarkan tentang gambar diri yang baik, bagaimana dia harusnya menyikapi ejekan “pendek” itu sehingga dia percaya dengan penampilan fisiknya. Kata-kata penyemangat, keseriusan dalam mendengarkan cerita anak, dan mau menerima kekurangan anak akan sangat membantunya untuk optimis.

Pendampingan orang tua bagi anak usia remaja sangat dibutuhkan. Mari menjadi orang tua yang siap mendampingi anak, agar pada saat anak menghadapi permasalahan dia tahu harus bercerita kepada siapa untuk bisa keluar dari permasalahannya sebagai pemenang.

Bahasa Ibu dan Identitas Bangsa

Oleh: Diah Lucky Natalia – Volunter Chaplain

Berdasarkan data Ethnologue, Indonesia merupakan negara kedua dengan bahasa terbanyak setelah Papua Nugini. Hingga 2018, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian pendidikan dan Kebudayaan telah memetakan dan memverifikasi sebanyak 652 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk dialek dan subdialek.

Selain bahasa daerah, sekitar 1.700-an suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional yang mempermudah kita berkomunikasi dengan suku bangsa lainnya.

Bahasa daerah maupun bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari di rumah inilah yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa ini diperkenalkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak dini dan akan berkembang menjadi bahasa pertama.

Mereka yang sudah lama tinggal di kota besar mungkin lebih nyaman menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi anak-anak mereka. Sementara itu, beberapa di antaranya masih mempergunakan bahasa daerah sambil mengajarkan bahasa Indonesia untuk kebutuhan pendidikan.

Memilih bahasa ibu bagi anak ini mungkin tidak pernah benar-benar didasarkan pada pengetahuan, tetapi hanya karena kebiasaan atau “agar tidak ketinggalan zaman”. Oleh karena itu, di tengah globalisasi, muncullah bahasa ibu ketiga, yaitu bahasa Inggris.

Banyak anak diperkenalkan dengan bahasa Inggris sejak dini dan tumbuh menjadi anak yang lebih fasih berbahasa asing ketimbang bahasa nasional dan bahasa daerahnya. Kondisi ini berangkat dari kekhawatiran orang tua bahwa anaknya akan tertinggal dalam pendidikan dan karier jika tidak menguasai bahasa asing.

Yang terjadi adalah anak memang memiliki kemampuan bahasa asing di atas rata-rata. Namun, di sisi lain, dia juga tumbuh dengan budaya Barat, mulai dari selera makan, musik, dan pola pikir. Globalisasi tidak hanya memajukan negara kita, tetapi juga mengubah karakter anak kita.

Bahasa dan identitas diri

Tidak banyak yang tahu bahwa bahasa merepresentasikan identitas seseorang. Di dalam sebuah bahasa tersemat ideologi dan nilai luhur sebuah bangsa. Dari bahasa muncullah corak peradaban suatu masyarakat. Terdapat perbedaan budaya antara suku Jawa, Batak, Manado, Toraja, dan Aceh karena bahasa yang digunakan berbeda. Begitu juga dari bahasa Indonesia terbentuklah sebuah identitas, yaitu budaya kebangsaan Indonesia.

Melalui bahasa Indonesia, kita dapat mempelajari budaya melalui karya-karya sastranya. Dongeng-dongeng kedaerahan yang kita baca waktu kecil membentuk identitas kita sebagai orang Indonesia, mulai dari cara bertutur, berperilaku kepada orang yang lebih tua, dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan kita dengan bangsa lainnya di dunia ini.

Jika sejak kecil anak dibiasakan menggunakan bahasa asing, dia akan terpapar dengan budaya asing melalui tontonan dan bacaan yang dikonsumsi setiap hari. Tentu dalam bahasa Inggris tidak ada kisah tentang Timun Mas, Roro Jonggrang, dan Malin Kundang. Mari tengok kembali konten-konten yang ada di YouTube dan Netflix, itulah yang akan diinternalisasi oleh anak kita menjadi identitas dan karakternya.

Bahasa Ibu bahasa Indonesia

Pilihan sekolah begitu beragam. Yang menawarkan bilingual bahkan trilingual pun makin banyak. Sebagai orang tua, kita perlu celik memilih apakah anak-anak kita perlu berada di sekolah trilingual? Kembali kepada tujuan menyekolahkan anak: membentuk anak yang berkarakter dan berintegritas atau anak-anak yang menguasai banyak bahasa?

Penyampaian ilmu, ideologi, dan pengajaran agama akan lebih kontekstual jika disampaikan dalam bahasa ibu–dalam konteks ini adalah bahasa Indonesia. Jadi, anak-anak tidak hanya memahami konsep secara verbal, melainkan dapat menyerap substansinya melalui cerita, penerapan dalam kehidupan sehari-hari, dan interaksinya dengan keluarga dan teman.

Selain sebagai upaya pelestarian, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa pengantar di sekolah membangkitkan kepekaan perasaan. Anak jadi terhubung dengan akar budayanya, memahami tradisi, dan menghargai nilai yang dianut oleh bangsa ini.

Jadi, memilih bahasa sebagai bahasa ibu anak bukan berdasarkan rasa takut ketinggalan zaman. Namun, lebih kepada identitas apa yang ingin kita berikan kepada anak? Sungguh baik jika kita masih menguasai bahasa daerah asal dan mengajarkannya kepada anak. Dengan begitu, anak akan tumbuh memiliki identitas kuat kedaerahannya. Ke mana pun dia pergi dan merantau, dia akan tetap memegang teguh identitasnya dan tidak akan terbawa dampak negatif pergaulan modern saat ini.

Setiap 21 Februari, dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Sedunia. Hari yang digagas oleh UNESCO ini bertujuan untuk menggiatkan kembali penggunaan bahasa ibu di seluruh dunia agar terhindar dari kepunahan. Dari sudut pandang lain, peringatan ini dapat kita jadikan bahan refleksi: sampai mana saya sudah mengajarkan nilai luhur dan budaya bangsa ini kepada anak?

Tak perlu khawatir anak akan tertinggal hanya karena “masih” menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Dengan modernitas yang ada saat ini, anak dapat menjangkau ilmu pengetahuan tanpa batas, kapan pun dan di mana pun.

Hal lain yang juga penting, yaitu serahkan anak kita kepada Sang Empunya. Dialah yang merancangkan jalan hidup anak-anak kita sehingga biarlah Tuhan yang bekerja atas hidup mereka. Sebagai orang tua, tugas kita, yaitu membentuk anak ini memiliki identitas yang kuat, menginternalisasi karakter Kristus di dalam dirinya, dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sandaran hidup.

HIDDEN CURRICULUM dan NULL CURRICULUM

Oleh: Dra. Corrina Anggasurjana, MA – Staf Research & Development
SMA Athalia

Menurut KBBI kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan; cakupan kurikulum berisi uraian bidang studi yang terdiri atas beberapa macam mata pelajaran yang disajikan secara kait-berkait. Jadi, kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan atau semua kegiatan yang diberikan kepada peserta didik sebagai tanggung jawab sekolah.

Kenyataannya pem-belajaran yang berlangsung di sekolah tidak hanya tentang kurikulum formal yang diikuti peserta didik berupa pengetahuan dan keterampilan yang sengaja diajarkan pendidik kepada peserta didik. Ada yang disebut hidden curriculum, yaitu mengacu pada pelajaran, nilai, dan perspektif yang tidak tertulis, tidak resmi, dan seringkali tidak disengaja yang dipelajari peserta didik di sekolah. Contohnya bagaimana mereka seharusnya berinteraksi dengan teman, guru, dan orang-orang lainnya; bagaimana mereka seharusnya memandang perbedaan – ras, kelompok, atau bahkan kelas lain – atau ide dan perilaku apa yang dianggap dapat diterima atau tidak dapat diterima. Jadi, hidden curriculum menyiratkan seperangkat moral dan perilaku yang diserap siswa dari lingkungan sekolah.

Ada juga yang disebut null curriculum, yaitu kurikulum yang tidak diajarkan, topik yang dihilangkan, pengalaman yang tidak diberikan, dan pilihan yang tidak diberikan kepada peserta didik. Null curriculum bisa jadi sama pentingnya dengan kurikulum formal, karena dapat membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik secara signifikan. Namun, terkadang guru mengabaikan beberapa konten atau keterampilan, karena dianggap tidak penting atau karena kebijakan pemerintah. Contoh null curriculum di Inggris, pelajaran agama tidak dimasukkan dalam program pelajaran atau tidak ada kebijakan mengenai pendidikan seks di Iran. Ada dampak yang akan dirasakan peserta didik ketika menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan topik-topik tersebut di masyarakat.

Kehidupan dalam keluarga pun ada semacam kurikulum yang secara sadar disusun orang tua bagi anak-anaknya tapi ada juga bentuk hidden curriculum dan null curriculum yang mungkin secara tidak sadar dijalankan. Contohnya ada yang disebut imitasi, yaitu proses ketika seorang anak melihat orang tuanya sebagai figur utama yang layak ditiru. Tentunya orang tua ingin anak-anaknya meniru hal-hal baik yang dilakukannya, tetapi seringkali secara tidak sadar justru melakukan hal-hal yang tidak ingin anak tiru, tetapi teramati dan terekam oleh anak-anak. Pernah terjadi, orang tua mengajukan beasiswa kepada pihak sekolah dengan alasan kesulitan ekonomi, tetapi ketika kunjungan ke rumahnya terlihat barang-barang branded dan berharga tinggi yang digunakan oleh keluarga tersebut. Nilai apa yang akan anak-anak miliki melihat kenyataan tersebut?

Ada kalanya orang tua tidak membicarakan atau membahas secara sengaja nilai-nilai yang perlu anak miliki, misalnya kesetiaan. Ketika anak disuruh rajin datang ke gereja, apakah anak tahu bahwa tujuannya adalah membangun nilai kesetiaan pada kepercayaan/imannya? Ketika anak diminta ikut dalam acara-acara keluarga, ingatkan mereka tentang kesetiaan pada keluarganya misalnya orang tuanya dan saudara-saudaranya. Adakah hal-hal yang dihindari atau dianggap tidak penting sehingga orang tua tidak memberikan pengajaran dan pendidikan pada anak padahal mungkin mereka akan menghadapi hal-hal tersebut di masyarakat sehingga mereka tidak tahu bagaimana menyikapi dan mengatasinya?

Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.
(2 Timotius 2:2)

Diatur Waktu atau Mengatur Waktu?

Oleh: Eliada Christara – Alumni SMA Athalia Angkatan IV

Hai semua pembaca setia ALC News Sekolah Athalia! Perkenalkan saya Eliada Christara, alumni SMA Athalia angkatan IV. Sebuah kesempatan yang baik untuk berbagi secuplik kisah tentang perjuangan mengatur waktu.

Belakangan kaum “Gen Z” memberi sebuah istilah yang berkaitan dengan pemalas dengan frasa kaum rebahan, yaitu mereka yang memilih untuk memakai semaksimal mungkin waktu untuk bermalas-malasan bahkan mungkin menambah waktu bermalas-malasan karena menganggap “ah masih ada besok” atau “ah masih pagi, nanti siang aja”. Di dunia anak-anak pun terasa familier dengan inkonsistensi waktu bermain – dari 10 menit karena masih kalah, akhirnya extend menjadi 20 menit, 30 menit, 40 menit, dan seterusnya sampai menang. Di sisi ekstrem yang lain, ada yang terlalu strict dengan jadwalnya sampai tidak ada sebuah kelonggaran bagi hal-hal di luar kontrol yang mungkin tanpa disadari sama pentingnya. Namun, ada juga yang berprinsip, “pokoknya kalah menang, jam sekian aku sudah harus mengerjakan yang harus saya kerjakan”. Ada di antara kita yang menyusun jadwalnya sedemikian rupa agar kegiatannya hari itu terarah dan ada sebuah target pencapaian. Ia tidak akan menolak atau langsung menerima tawaran di luar jadwalnya tetapi akan mempertimbangkan dengan seksama. Pertanyaannya, kita termasuk yang mana? Yang diatur waktu atau mengatur waktu?

Saya rasa masalah mengatur waktu adalah pergumulan yang terjadi di setiap kalangan, baik yang masih bersekolah, kuliah, kerja, bahkan yang berumah tangga. Semakin besar tanggung jawab dan variabel kehidupan maka semakin butuh tenaga ekstra untuk bisa membagi waktu baik untuk diri sendiri, tanggung jawab tugas ataupun pekerjaan, pasangan, keluarga dan hal-hal lain. Banyak orang merasa bisa mengatur waktunya dengan baik, namun kenyataannya tidak sedikit dari kita pada akhirnya diatur oleh waktu. Kesulitan yang sama yang saya jumpai pada masa perkuliahan di STT SAAT sekaligus merupakan anugerah luar biasa dari Tuhan untuk banyak belajar, salah satunya mengenai waktu.

Seperti anak kuliah pada umumnya, saya juga mengalami culture shock dalam membagi waktu. Meskipun berada di lingkup asrama yang mostly keseluruhan hidupnya diatur dan terjadwal, nyatanya saya pun cukup struggle. Hal umum ketika dalam perkuliahan kita berhadapan dengan waktu pengumpulan tugas yang beruntun, jadwal kuliah yang padat, kegiatan lain di luar kuliah yang juga menyita waktu, tugas kelompok, bahkan kebutuhan pribadi untuk menikmati waktu bersama dengan Tuhan. Belum lagi jika berhadapan dengan kondisi tiba-tiba yang harus berjalan di luar jadwal. Sungguh rasanya berbeda dengan masa sekolah yang masih bisa longgar dan menunda-nunda. Saya cukup kelimpungan sehingga membuat saya terkena thypuss untuk pertama kalinya (penyakit anak kuliah pada umumnya selain penyakit lambung). Selanjutnya pengalaman saya semasa kuliah mulai dari tingkat 1-4, saya pernah merasakan 2 hal ekstrem – tidak mengatur waktu sama sekali (go with the flow) atau betul-betul mengatur hingga tidak mengizinkan hal lain mengintervensi waktu saya sepenting apapun itu. Namun, nampaknya keduanya kurang tepat.

Berbekal pendidikan karakter yang diberikan semasa sekolah, menolong saya untuk dimampukan mengatur waktu meskipun masih ‘jungkir-balik’. Saya baru mengerti tentang tanggung jawab dan pengendalian diri adalah satu kesatuan yang saling bergantung. Di dalamnya diajarkan memisahkan mana yang penting dan tidak terlalu penting, mana yang prioritas dan mana yang bisa dikerjakan setelahnya, mana yang menjadi tanggung jawab utama dan mana yang masih bisa ditoleransi. Jelas, bermain dan belajar untuk ujian harus lebih memprioritaskan belajar. Kegiatan kampus yang masih bisa kita kurangi mungkin akan jauh lebih baik daripada memaksa aktif, tetapi tanggung jawab utama kita untuk belajar akhirnya terbengkalai. Ketika ada teman yang mengajak keluar sejenak, mungkin kita bisa melihat seberapa jauh urgensinya dibandingkan dengan kebutuhan dan tanggung jawab kita yang lain.

Jika tidak pandai mengatur waktu, maka kita sedang membiarkan waktu yang mengatur kita dan akan menyulitkan kita dalam berbagai hal sehingga butuh perjuangan lebih, dalam mengaturnya. Namun, semua akan tampak sia-sia tanpa meminta pertolongan Tuhan. Kita lemah, mudah tergoda untuk malas dan menunda, mudah terlena untuk mengerjakan yang bukan prioritas, bahkan kita lupa meluangkan waktu untuk Tuhan dalam mendengarkan firman-Nya setiap hari. Memohon pertolongan Tuhan untuk dimampukan konsisten dan mengalahkan kemalasan adalah hal yang penting. Meminta pertolongan-Nya membuat kita terus tersadar bahwa kita dapat melakukan hal sederhana pun adalah pertolongan Tuhan.

PARADIGMA KURIKULUM MERDEKA

Oleh: Elisabeth Lili Herlianah – Research & Development Unit SMP

Tahun Ajaran 2023-2024, SMP Athalia mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. Penerapan ini dilaksanakan secara bertahap, tahun ini diawali di kelas VII. Tentunya sebelum menerapkan kurikulum ini, semua pihak harus menyiapkan banyak hal, baik pihak sekolah, murid, dan orang tua murid. Pihak sekolah telah memberikan pembekalan kepada pendidik dan tenaga kependidikan berupa pelatihan maupun workshop mengenai Kurikulum Merdeka. Hal yang terpenting untuk dapat memahami dan melaksanakan Kurikulum Merdeka, semua pihak harus menyadari akan perubahan paradigma dari paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma Kurikulum Merdeka menekankan pada pengembangan kemampuan adaptasi dan pembelajaran sepanjang hayat. Berikut adalah beberapa poin penting dalam paradigma ini:

1. Pembelajaran berpusat pada siswa

Kurikulum Merdeka menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada murid. Setiap murid aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Murid diberi kesempatan untuk menggali minat dan bakat mereka sendiri, mengembangkan kekuatan mereka, dan mengatasi kelemahan mereka.

2. Peningkatan keterampilan abad ke-21

Kurikulum Merdeka fokus pada pengembangan keterampilan abad ke-21, seperti keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, komunikasi, pemecahan masalah, dan literasi digital. Murid diajarkan bagaimana menerapkan keterampilan ini dalam berbagai konteks baik dalam pembelajaran maupun kehidupan sehari-hari.

3. Integrasi teknologi

Paradigma ini mengakui pentingnya teknologi dalam kehidupan siswa saat ini. Oleh karena itu, teknologi digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi pembelajaran yang aktif, kolaboratif dan kreatif. Murid diajarkan tentang penggunaan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.

4. Pembelajaran lintas disiplin

Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran lintas disiplin, setiap murid dapat mempelajari berbagai bidang pengetahuan dan mengintegrasikan konsep-konsep yang diajarkan bukan untuk satu disiplin ilmu saja melainkan dapat dihubungkan lebih holistik.

5. Pengembangan karakter dan etika

Selain pengetahuan akademik, Kurikulum Merdeka juga menekankan pada pengembangan karakter dan etika murid. Murid diajarkan nilai-nilai seperti integritas, empati, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Paradigma ini berusaha menciptakan individu yang tidak hanya pintar secara akademik tetapi juga berkepribadian baik.

6. Keterlibatan komunitas

Paradigma Kurikulum Merdeka mendorong keterlibatan komunitas dalam pembelajaran. Murid diajak untuk terlibat dalam proyek-proyek yang relevan dengan komunitas mereka sehingga mereka dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam konteks yang nyata.

Kurikulum Merdeka bertujuan untuk mempersiapkan murid menjadi individu yang siap menghadapi dunia yang terus berubah. Paradigma ini memberikan siswa kebebasan untuk mengembangkan potensi mereka sendiri dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran. Namun, di usia remaja ini mereka masih sangat membutuhkan dukungan terutama dari pihak orang tua. Dukungan dari orang tua bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan secara langsung misalnya orang tua dapat mendampingi saat putra-putrinya sedang belajar di rumah ataupun saat membuat proyek yang sedang mereka kerjakan. Dukungan secara tidak langsung misalnya orang tua memberikan kesempatan kepada putra-putrinya untuk mencari informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugasnya dengan memberikan fasilitas yang diperlukan dalam pencarian informasi. Dukungan yang tidak kalah pentingnya adalah orang tua terus mendoakan dan memberikan semangat untuk putra-putrinya agar menjadi pribadi yang berkarakter dan mandiri. Demikianlah sekilas informasi mengenai paradigma Kurikulum Merdeka. Tetap semangat untuk pendidik, tenaga kependidikan, murid, dan orangtua dalam menerapkan Kurikulum Merdeka. Kerja sama yang harmonis dari semua pihak sangat diperlukan, terutama orangtua dan pihak sekolah demi generasi muda menyongsong masa depan yang lebih gemilang.

Catatan:
Poin-poin tentang paradigma Kurikulum Merdeka diambil dari sumber di bawah ini dengan beberapa perubahan redaksi kalimat.
https://dikbudbanggai.id/read/183/paradigma-baru-kurikulum-merdeka-menghadapi-abad-21

Seni Berkomunikasi dengan Anak

Oleh: Marcelina Denise Lahenda – Staf Konselor SD

Bulan Bahasa diperingati setiap bulan Oktober di Sekolah Athalia. Kegiatan ini bertujuan sebagai pengingat akan fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi antar individu dan juga alat berinteraksi dengan sesama manusia. Misalnya, anak bertumbuh dan belajar banyak melalui percakapan secara khusus dengan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Hal ini bukan hanya membantu mereka mengembangkan keterampilan berbahasa. Namun, membangun hubungan yang kuat dengan keterampilan sosial yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, komunikasi yang efektif dengan anak merupakan fondasi penting dalam membentuk hubungan yang sehat dan keterikatan emosi antara orangtua dan anak.
Komunikasi yang efektif akan menolong anak untuk merasa dipahami, dimengerti perasaannya, dan dipahami kebutuhannya. Hal ini juga akan menolong anak mengembangkan rasa percaya, perasaan aman dan nyaman sehingga secara tidak langsung juga menolong perkembangan sosial emosinya. Komunikasi yang baik dengan anak bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang mendengarkan, memahami, dan merespons dengan tepat. Komunikasi antara orangtua dengan anak sebenarnya bukan hal yang sulit. Namun, membutuhkan keterampilan, memberikan diri, dan juga waktu.

Tips berkomunikasi dengan anak:

  1. Active listening
    Mendengarkan secara aktif membantu anak-anak merasa didengar dan dipahami. Kita perlu mengalihkan perhatian dari ponsel atau pekerjaan lainnya saat berbicara dengan anak. Mereka perlu merasa dirinya penting dan didengarkan. Mendengarkan bukan saja dengan telinga, tetapi dengan hati sehingga kita dapat menangkap bukan hanya tentang apa yang dikatakannya, melainkan perasaan dibalik kata-katanya tersebut.
  2. Reflective listening
    Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita memperhatikan dan menangkap apa yang mereka katakan adalah dengan mengulangi apa yang mereka katakan dengan menggunakan frase yang berbeda. Misalnya, jika anak berkata, “Saya tidak mau bermain dengan Tono lagi.” Kita dapat merespons dengan, “Kamu sedang tidak mau main ya. Kelihatannya kamu sedang kesal.” Ini akan membuat anak merasa dimengerti dan tidak dihakimi, sehingga anak dapat mengekspresikan emosi mereka tanpa penilaian.
  3. Speaking clearly
    Gunakan bahasa yang dapat dimengerti untuk anak dan sesuai dengan usia mereka. Pemilihan kata harus jelas, spesifik, dan tidak menggunakan kata-kata yang kasar atau menghina. Menggunakan bahasa yang baik akan membantu memberikan contoh positif bagi anak-anak. Kita harus ingat bahwa percakapan harus membuat anak merasa dihargai dan dicintai.
  4. Explaining feelings
    Untuk membantu anak mengembangkan kecerdasan emosional, penting bagi mereka untuk belajar bagaimana memberi nama perasaan mereka. Ketika anak mengekspresikan perasaan mereka secara verbal, dengarkan apa yang mereka katakan dengan empati dan tanpa penilaian. Jika anak mengekspresikan perasaan mereka dengan cara nonverbal – misalnya melalui amarah atau tertawa dan bersenang-senang melakukan aktivitas yang mereka sukai, kita perlu membahasakan bagaimana perasaan mereka, seperti bahagia, sedih, santai, terluka, takut, lapar, bangga, mengantuk, marah, tidak berdaya, jengkel, malu atau gembira, dll.

Komunikasi yang baik dengan anak bukanlah hal yang instan, tetapi merupakan proses yang perlu dengan sengaja diciptakan dan dibangun karena sangat mempengaruhi hubungan orangtua dengan anak. Dengan memberikan waktu, perhatian, dan mendengarkan dengan baik, kita dapat membantu anak tumbuh dan berkembang secara positif. Semua ini membantu mereka merasa dicintai dan diperhatikan sebagai dasar yang kuat untuk setiap tahap perkembangan di masa depan.

Sumber: https://www.unicef.org/parenting/child-care/9-tips-for-better-communication

SOFT SKILL atau HARD SKILL?

Oleh: Elisa Sri Indahati – Research & Development Unit SD

Kita mungkin pernah mendengar dan melihat seseorang yang kita kenal yang dahulu biasa saja nilai akademiknya tetapi memiliki karier yang baik bahkan bisa dikatakan sukses. Mungkin saja karena mereka memiliki hal lain selain nilai akademis. Nilai atau kemampuan akademik seseorang atau yang disebut dengan hard skill (keahlian yang bisa diukur dan bisa dinilai) tidak bisa begitu saja membuat seseorang berhasil atau sukses, diperlukan juga kemampuan yang disebut dengan soft skill. Apa itu soft skill? Soft skill adalah kemampuan yang tidak terlihat seperti berpikir kritis, mampu beradaptasi, percaya diri, pantang menyerah, daya juang tinggi, dan sikap baik lainnya. Lalu, apakah soft skill lebih unggul daripada hard skill atau justru sebaliknya? Tentu saja tidak, keduanya seharusnya memiliki porsi yang sama dalam diri seseorang. Hard skill dan soft skill sama-sama penting. Menurut Rhenald Kasali, sudah saatnya orang tua sadar untuk memperhatikan karakter anak sedari dini. Pendidikan bukan hanya sekadar kompetensi kognitif, anak juga memerlukan kemampuan lain seperti survival skills di lingkungan.

Dalam profesi apa pun saat ini dan di masa depan, hard skill sangat dibutuhkan tetapi soft skill juga menjadi pertimbangan yang sama pentingnya dalam menunjang karier atau keberhasilan seseorang. Jika berbicara tentang soft skill ini kita teringat pada pentingnya pendidikan karakter pada diri setiap orang termasuk anak-anak kita sedari mereka kecil. Sebagai orang tua kita bukan hanya dituntut untuk membimbing anak-anak kita untuk mengejar ilmu dan mendampingi mereka untuk mendapat nilai yang baik. Namun, sebagai orang tua kita juga perlu menolong mereka untuk mengembangkan soft skill dan karakter mereka sejak dini. Mengharapkan nilai rapor yang baik memang penting, tetapi menolong anak-anak kita untuk tetap memiliki daya juang dan tidak putus asa dalam mengerjakan semua tugas sekolah adalah tugas mulia kita sebagai orang tua.

Sekolah Athalia terus berusaha untuk mengajarkan ilmu tetapi juga tetap konsisten untuk membimbing anak-anak untuk memiliki karakter yang akan menolong mereka hidup di tengah masyarakat. Pendidikan karakter tidak saja diberikan dalam bentuk pemahaman tetapi juga dalam bentuk proyek nyata dalam setiap kegiatan seperti kamp karakter dan kelas shepherding. Ketika proyek karakter dalam kelas shepherding diberikan guru kepada siswa untuk dilakukan di rumah, salah satunya belajar mencuci piring sendiri setelah makan, tidak sedikit anak-anak menyampaikan kalau mereka dilarang mencuci piring. Atau saat anak diajak belajar merapikan tempat tidur sendiri, ternyata sudah ada asisten rumah tangga yang siap merapikan. Kemarin ketika Kamp Karakter siswa SD menginap di sekolah, ada aktivitas mencuci gelas dan sendok setelah makan malam, tiba-tiba ada anak yang menggerutu,”enakan tidur di rumah daripada tidur di sekolah. Kalau di rumah apa-apa sudah disiapin, diambilin, di sini semua disuruh lakuin sendiri, ambil sendiri, nyuci sendiri.”

Akhirnya orang tua yang ingin anak-anaknya berhasil sejak dini bisa mengambil peran dalam mendukung anak-anaknya melakukan proyek karakter di rumah sembari terus mengasah kemampuan soft skill mereka. Berikan dorongan agar anak-anak percaya diri dan berikan mereka kepercayaan bahwa mereka mampu melakukan setiap proyek karakter yang diberikan. Dorong anak-anak agar dapat bekerja sama dengan orang lain dan siapkan mereka memasuki dunia luar. Ini cukup mewadahi anak-anak untuk berlatih kemampuan soft skill dan mengembangkan karakter mereka. Berikan anak-anak kepercayaan untuk melakukan sesuatu khususnya tugas atau proyek yang diberikan sekolah. Jangan takut bila anak gagal, bersabar bila anak belajar mandiri dan menjadikan semua berantakan, tidak mengapa bila anak melakukan atau memakai sesuatu tetapi tidak bisa, dan bantu anak siap menerima konsekuensi bila melakukan kesalahan. Orang tua dapat terus mendampingi anak dan membiarkan mereka mengerjakan bagian mereka.