Titik Temu Antargenerasi – Saling Memahami

Elia Okki (staf Bagian SDM)

pendidik dan siswa antargenerasi

Memahami Perbedaan Antargenerasi

Melakukan panggilan Tuhan untuk membawa anak-anak menjadi murid-Nya tidak hanya tugas orang tua, tetapi juga tugas orang dewasa di sekitarnya. Begitu pula di lingkungan Sekolah Athalia. Para pengajar dan staf mengemban peran yang sama, yaitu mendampingi setiap murid berproses dalam pertumbuhan karakter mereka. Namun, stigma yang dimiliki setiap generasi dapat menjadi penghalang untuk melayani lintas generasi.

Antargenerasi akan menghadapi kesenjangan karena setiap zaman memiliki ciri khas ketika mereka tumbuh besar. Oleh karena itu, kita perlu mencoba meminimalisasi kesenjangan antargenerasi dengan cara melihat peristiwa dan kondisi yang membentuk suatu generasi tiap zaman.

Setiap generasi lahir dengan sejarah yang berbeda. Kita ambil contoh generasi Milenial dan Gen-Z. Stillman (2018)1 menyebutkan bahwa generasi Milenial menghabiskan masa kecilnya dengan bermain dan kebanyakan lahir dari orang tua generasi Boomers yang memfokuskan diri untuk menumbuhkan harga diri anak dengan cara “lihat dan dengar anak”. Perspektif kerja Boomers ialah untuk kepuasan batin yang melahirkan pencarian makna bagi generasi Milenial dalam bekerja. Generasi Milenial akrab dengan istilah “komunikatif, kolaboratif, optimis, idealis, yang terbaik, work-life balance, menjadi teman”. Juga slogan “Susah-senang, mari rayakan hidup!” membuat Milenial fokus menikmati hidup di masa kini. Itulah ciri khas generasi Milenial.

Bagaimana dengan Gen-Z? Gen-Z menghadapi isu persoalan ekonomi dunia yang membentuk cara mereka menyikapi hidup. Orang tua yang kebanyakan berasal dari Generasi X, dengan sepenuh hati menyiapkan anak-anak Gen-Z dalam menghadapi dunia nyata secara mandiri. Peristiwa politik, COVID-19, resesi berat, masa depan, terorisme modern, isu lingkungan, disrupsi teknologi, dan sebagainya berdampak dalam hidup mereka. Mereka berjuang menata hidup masa depan agar memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari orang tua mereka. Sebab itulah, pemikiran mereka terfokus pada “Apakah kehadiranku menghasilkan perbedaan atau tidak?

Baca juga: Kunci Berkomunikasi dengan Anak: Buat Lebih Bermakna! dan My Story is God’s Story

Menjalani Iman di Tengah Perbedaan Generasi

Jadi, bagaimana kita bisa berjalan bersama generasi muda yang Tuhan titipkan di tengah kekacauan zaman? Perbedaan menjalani hidup antargenerasi tak seharusnya menjadi penghalang untuk jalan bersama dan menjadi murid-Nya, terutama di dalam kelompok kecil KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) yang dilayani oleh penulis.

Benner (2012)2 menekankan agar perjalanan bersama anggota kelompok kecil haruslah berfokus kepada Allah. Ia menyebutkan bahwa keramahan, kehadiran, dan dialog rohani perlu dibangun jika kita ingin menjalin persahabatan yang dasarnya adalah Kristus. Oleh karena itu, relasi harus dibangun dengan memprioritaskan perenungan mendalam daripada sekadar pertanyaan benar dan salah, menjadi komunitas doa, membagikan pengalaman rohani, penerimaan, dan saling mendukung. Zaman dan generasi bisa saja berbeda, tetapi Allah yang berdaulat dalam dunia dan kehidupan akan selalu menjumpai umat-Nya melampaui cara dan pikiran manusia. Anak-anak yang sedang berjalan bersama kita menghadapi pergumulannya, begitu pun kita. Kondisi ini membuat kita, generasi yang berbeda dengan mereka, perlu kepekaan dari Roh Kudus agar bisa berjalan bersama mereka. Hanya di dalam keterhubungan dan keterlibatan Allah saja ada pengharapan hidup. Kiranya Tuhan menolong kita.

  1. Stillman, D. & Jonah Stillman. 2018. Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ↩︎
  2. Benner, D. 2012. Sacred Companions (Sahabat Kudus). Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur. ↩︎

Rahasia 30 Tahun Perjalanan Karakter

Bella Kumalasari-Plt. Kasie. Karakter

Perjalanan 30 tahun Athalia diwarnai dengan berbagai musim. Begitu pun ketika kita berbicara mengenai karakter. Pendidikan karakter bak sebuah perjalanan panjang. Ada berbagai hal yang dilewati, jatuh-bangun yang dihadapi, sehingga semuanya merupakan proses yang perlu dijalani. Dunia yang penuh dengan ketergesa-gesaan dan serba instan membuat kita tidak sabar akan proses yang panjang dan tidak mudah. Maka dari itu, kita sebagai pendidik dan orang tua perlu terus mengingatkan diri sendiri akan hal ini ketika mendampingi anak-anak kita, sehingga terus memberikan ruang untuk bertumbuh.

Sekolah Athalia percaya bahwa setiap murid berproses dalam perjalanan panjang karakternya. Meski mungkin tahun lalu tampak ada kemajuan tapi tahun ini tidak, terkadang tampak jelas terkadang samar, Sekolah Athalia percaya bahwa setiap murid tetap berproses dalam perjalanannya masing-masing. Oleh sebab itu, di setiap akhir tahun ajaran Sekolah Athalia mengadakan “Perayaan Karakter” sebagai momen untuk mengapresiasi pertumbuhan sekecil apa pun.

Di dalam perayaan karakter, murid-murid diajak untuk mengingat kembali proses pembelajaran karakter yang telah mereka alami selama satu tahun terakhir. Mereka merefleksikan dan mengevaluasi dirinya dalam proyek-proyek yang sudah dilakukan, serta diajak untuk melihat karya dan penyertaan Tuhan dalam diri mereka dan teman-teman. Guru memberikan apresiasi bagi setiap murid dan memberikan dukungan untuk terus berproses di level berikutnya. Selain guru, orang tua dan sesama murid pun diajak untuk memberikan apresiasi bagi anak-anak dan teman-temannya.

Baca juga : Komunitas Athalia yang Bertumbuh

Mengapresiasi Setiap Perjalanan Karakter

Guru TK mendoakan satu per satu muridnya dengan rasa haru akan pertumbuhan yang Tuhan berikan dalam diri setiap murid secara unik. Guru dan orang tua siswa SD memberikan apresiasi secara personal kepada setiap anak. Anak-anak terharu membaca surat yang ditulis oleh orang tuanya. Murid-murid SMP juga merasa senang karena dapat bersama teman-teman saling mengenal dan memperhatikan selama satu tahun terakhir. Beberapa murid SMA menangis terharu ketika membaca kartu apresiasi dari teman sekelasnya karena tidak menyangka bahwa teman-temannya memperhatikan dirinya sedemikian rupa. Mereka merasa senang diapresiasi atas usaha yang mereka lakukan sekaligus diterima dalam kelemahan mereka.

Mari kita terus dukung pertumbuhan karakter anak-anak kita untuk makin serupa Kristus. Tahun ajaran yang baru, lembaran yang baru, dengan Tuhan yang sama, dengan kesetiaan dalam perjalanan yang sama. Meskipun mungkin kita merasa lelah karena merasa “Kok begitu lagi, begitu lagi, dibilangin berkali-kali seperti tidak ada bedanya”, kita percaya ketika anak berproses bersama Tuhan, mereka berproses makin dalam dan makin dalam. Meski terkadang tampak sama, ada hal yang Tuhan sedang kerjakan di dalam diri mereka. Mari terus ingat, yang terpenting bukan kecepatannya, tetapi arah yang benar menuju keserupaan dengan Kristus.

Inilah Pesona Matematika yang Tak Banyak Orang Sadari!

Octovianus L. Riwu-6uru Matematika SMA

Matematika merupakan sebuah cabang ilmu yang sering menjadi “momok” dan dipandang hanya sebagai ilmu angka. Hal tersebut membuat matematika menjadi pelajaran yang cukup membosankan dan menakutkan bagi anak-anak. Padahal, entitas matematika adalah sebuah pemberian Allah (God’s gift) bagi manusia.

Galileo Galilei, seorang fisikawan dan astronom dari Italia, pernah menyatakan dalam bukunya The Assayer, “Mathematics is the language in which God has written the universe. The laws of nature are written by the Hand of God in the language of mathematics”. Begitu juga dalam esainya yang berjudul “Letter to the Grand Duchess Christina” (1615), “God is known by nature in His works, and by doctrine in His revealed Word”. Artinya, Allah menciptakan alam semesta dengan sebuah tatanan dasar matematika. Saat manusia mengamati ciptaan-Nya, mereka akan menemukan unsur matematika di dalamnya.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Johannes Kepler yang mengatakan bahwa keteraturan hanya bisa ditemukan oleh manusia di dalam alam ciptaan-Nya yang Ia ungkapkan melalui bahasa matematika. Oleh karena itu, esensi dari ilmu matematika harusnya semakin menyadarkan manusia dan kagum akan Allah saat melihat ciptaan-Nya. Hal ini senada dengan Van Brummelen dalam bukunya yang berjudul Walking With God In the Classroom.

Ilmu matematika membawa kekaguman terhadap rencana dan susunan ciptaan Allah yang menyatakan kesetiaan, keberadaan, dan kebesaran Allah.”

Sebagai bahasa yang digunakan Allah untuk menciptakan dunia, matematika perlu diajarkan kepada anak-anak sejak dini guna memahami dunia ciptaan-Nya. Orang tua sebagai prime educator harus menyadari tujuan sejati dalam pembelajaran matematika. Bukan hanya soal angka, tapi juga mengenalkan anak pada Sang Pencipta.


Tip dan Trik

Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mengajarkan matematika sekaligus pengajaran tentang dunia ciptaan Allah kepada anaknya. Poin 1-3 untuk anak TK dan SD, sedangkan poin 4 untuk SMP dan SMA.

1. Belajar melalui bermain

Anak-anak sangat senang bermain. Kegiatan bermain merupakan tools yang baik dalam meningkatkan minat belajar anak terhadap matematika. Orang tua dapat menggunakan media daun dan tanaman di sekitar rumah untuk mengajari anak tentang angka dan tumbuh-tumbuhan ciptaan Allah. Misalnya, menggunakan daun untuk menjelaskan tentang struktur daun dan pentingnya daun bagi kehidupan manusia. Setelah itu, orang tua dapat mengajak anak berkreasi membuat bentuk angka dengan menggunakan daun-daun kering.

2. Mengenalkan matematika melalui dongeng atau bercerita

Bercerita merupakan pembelajaran yang efektif untuk membantu anak-anak meningkatkan konsentrasi serta daya ingat. Seperti yang dikatakan Virginia Walter, proses mendongeng atau bercerita bagi anak dapat mengembangkan keterampilan berlogika dan melatih kemampuan anak dalam memprediksi peristiwa.

3. Belajar matematika melalui praktik langsung

Pembelajaran akan sangat berkesan dan meaningful bagi anak jika dilakukan secara praktik langsung. Hal ini dikarenakan kegiatan hands-on dapat merangsang otak anak dalam memahami informasi dan menyimpannya pada long term memory sebanyak 60%-70%. Seirama dengan Novita Tandry yang mengatakan bahwa memori anak sebanyak 60%-70% berasal dari tindakan, sehingga kegiatan memperkenalkan matematika dapat dilakukan dengan mengajak anak terjun langsung mempraktikkan hal-hal yang berhubungan dengan matematika melalui aktivitas sehari-hari.

Kegiatan praktik langsung yang dapat dilakukan oleh orang tua antara lain memperkenalkan operasi matematika, hubungan spasial, dan juga bentuk geometri melalui bentuk-bentuk yang ada di alam ciptaan Allah atau yang melekat pada diri anak itu sendiri. Lewat kegiatan-kegiatan tersebut, anak tidak hanya memahami tentang konsep matematika, tetapi juga semakin mengagumi Allah sebagai pencipta dunia ini.

4. Belajar matematika melalui proses diskusi

Proses diskusi adalah suatu cara merangsang dan menggali informasi anak guna mengetahui pemahaman dan cara berpikirnya. Kegiatan diskusi dilakukan dengan tujuan untuk saling berbagi informasi (knowledge sharing). Kegiatan diskusi yang dilakukan secara intensional oleh orang tua secara khusus tentang berbagai hal yang terjadi melalui berita maupun informasi terkini dapat mengajarkan anak tentang konsep epistemologi, relasi sebab akibat, serta kemampuan membaca situasi, dan peluang yang ada. Proses ini juga akan mengingatkan anak-anak tentang tugas manusia sebagai penatalayanan (stewardship) di dalam dunia ciptaan Tuhan.

Sumber :

Galilei, G. (1615). Letter to the Grand Duchess Christina of Tuscany. Stanford University. https://web.stanford.edu/~jsabol/certainty/readings/Galileo-LetterDuchessChristina.pdf

Palmerino, C. R. (2016). The ontological and epistemological underpinnings of mathematical realism. In K. Chemla & R. K. Smith (Eds.), The language of nature: Reassessing the mathematization of natural philosophy in the seventeenth century (pp. 29–50). Minnesota Studies in the Philosophy of Science. https://doi.org/10.5749/j.ctt1d390rg.4

Kiat-Kiat Mendampingi Anak Saat Menghadapi Masalah

Oleh: Mattias Malanthon-Kepala PKBM Pinus

Sejumlah kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh anak-anak usia remaja. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan yang membuat mereka merasa terpojok, kesepian, tertekan, bahkan sampai kehilangan identitas. Di sinilah peran orang tua sebagai sosok terdekat dibutuhkan untuk mendampingi anak melewati masa sulit.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam menghadapi permasalahan anaknya, di antaranya adalah:

1. Mendengarkan versus Mendengar

Mendengarkan tidaklah sama dengan mendengar. Menurut KBBI, mendengar berarti menangkap suara dengan telinga, sedangkan mendengarkan berarti memberi perhatian secara sungguh-sungguh. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara mendengar dengan mendengarkan. Sebagai orang tua, seringkali seorang ayah atau ibu “terpaksa” mendengar anaknya bercerita. Kondisi ini biasa terjadi saat orang tua membutuhkan waktu untuk beristirahat, tapi sang anak justru meminta waktu untuk didengarkan masalahnya.

Contohnya, anak mengalami perundungan dari teman-temannya karena menolak menyontek. Dari sudut pandang orang tua, akar permasalahan tampak sederhana: “masalah menyontek.” Mereka mungkin hanya memberikan nasihat bahwa tindakan anak sudah benar. Padahal, yang menjadi inti permasalahan adalah perundungan yang dialami. Jika orang tua menyepelekan cerita anak, mereka dapat merasa terpojok, kesepian, dan tidak dimengerti.

2. Memberi Penguatan Versus Melakukan Penghakiman

Selain mendengarkan, orang tua juga perlu memberikan respons yang tepat. Memberi penguatan berarti memberi respons positif yang dapat mendorong munculnya rasa percaya diri dan penerimaan diri anak, sehingga dapat keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Sebaliknya, penghakiman dapat diartikan sebagai respons berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman masa kecil, ajaran agama, etika, norma sosial, dan sebagainya.

Sebagai contoh, seorang anak merasa kesal karena hasil ujian yang dia dapatkan tidak sesuai harapan, meskipun dia merasa sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Dalam situasi ini, orang tua bisa dapat mendampingi anak dengan memberi penguatan, berempati dengan memosisikan diri di “sepatu” anak, lebih fokus mencari tahu perasaan anak, serta memberikan dukungan positif.

Baca juga : Waspada! Ini 10 Kesalahan yang Sering Dilakukan Orang Tua

3. Mengurangi Tekanan Versus Menambah Tekanan

Anak khususnya remaja sering menghadapi tekanan yang besar dari lingkungan sekolah maupun pergaulan. Maka dari itu, mereka membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita dan mencari solusi. Di sinilah peran orang tua sebagai pendamping sangat krusial.

Sebagai contoh, seorang anak perempuan diajak teman-teman geng-nya untuk mem-bully seorang teman, dengan ancaman akan menyebarkan rahasia pribadinya jika anak tersebut tidak mau melakukannya. Dalam situasi ini, anak mungkin merasa terjebak dan butuh seseorang yang bisa dipercaya sebagai tempat untuk bercerita, juga membantunya keluar dari masalah itu. Orang tua bisa memulai dengan mengajak anak untuk menceritakan “rahasia” yang dimaksud oleh teman-temannya. Saat anak sudah mau bercerita, ajak mereka agar bisa berdamai dengan hal tersebut. Dengan demikian anak dapat merasakan tekanan akibat masalah yang dihadapinya berkurang.

4. Optimis Versus Pesimis

Optimisme adalah kunci bagi remaja untuk menghadapi tantangan hidup. Ketika anak dapat melihat bahwa masalahnya sudah mulai terurai satu persatu, optimisme dan rasa percaya diri mereka akan tumbuh. Orang tua memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir ini.

Sebagai contoh, seorang anak mengalami perundungan karena tubuhnya yang pendek. Jika orang tua hanya merespons dengan kata-kata seperti “tidak apa-apa” tanpa penjelasan lebih lanjut, anak mungkin tetap merasa rendah diri. Namun, jika orang tua mendengarkan dengan serius, membantu anak melihat gambar diri yang baik, dan mengajarkan cara menyikapi ejekan “pendek” tersebut dengan bijak, anak akan belajar menerima dirinya dengan lebih baik dan optimis.

Mendampingi anak remaja bukan sekedar tugas, tetapi sebuah tanggung jawab moral yang harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Anak-anak yang tahu bahwa mereka memiliki orang tua yang mendukung akan lebih kuat dalam menghadapi tantangan hidup.

Saat ini, coba tanyakan kepada diri sendiri: “Sudahkan saya benar-benar mendengarkan anak saya? Apakah saya lebih banyak memberi penghakiman daripada penguatan? Apakah saya menciptakan lingkungan yang aman bagi anak untuk bercerita?”

Mari menjadi orang tua yang siap mendampingi anak agar pada saat anak menghadapi permasalahan, mereka tahu harus bercerita kepada siapa untuk bisa keluar dari permasalahannya sebagai pemenang.

Baca juga: Perjuangan Memenangi Hati Anak dan Menjadi Teman Perjalanan Anak Bertumbuh

Peran Bahasa Ibu dalam Menjaga Identitas Bangsa

Oleh: Diah Lucky Natalia – Volunter Chaplain

Berdasarkan data Ethnologue, Indonesia merupakan negara dengan jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini. Hingga 2018, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian pendidikan dan Kebudayaan telah memetakan dan memverifikasi sebanyak 652 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk dialek dan subdialek.

Selain bahasa daerah, sekitar 1.700-an suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional yang mempermudah kita berkomunikasi dengan suku bangsa lainnya.

Peran Bahasa Ibu dalam Menjaga Identitas Bangsa

Peran Bahasa Ibu dalam Kehidupan Sehari-hari

Bahasa yang pertama kali diperkenalkan kepada anak, baik bahasa daerah maupun bahasa Indonesia, disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa ini diperkenalkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak dini dan akan berkembang menjadi bahasa pertama.

Di beberapa daerah, bahasa daerah masih digunakan secara aktif di lingkungan keluarga. Namun, di perkotaan, banyak orang tua lebih nyaman menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi anak-anak mereka.

Memilih bahasa ibu bagi anak mungkin tidak pernah benar-benar didasarkan pada pengetahuan, tetapi hanya karena kebiasaan atau “agar tidak ketinggalan zaman”. Oleh karena itu, di tengah globalisasi, muncullah bahasa ibu ketiga, yaitu bahasa Inggris.

Seiring perkembangan zaman, muncul fenomena penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sebagai bahasa utama di beberapa keluarga. Hal ini berangkat dari kekhawatiran orang tua bahwa anaknya akan tertinggal dalam pendidikan dan karier jika tidak menguasai bahasa asing.

Meskipun menguasai bahasa asing memiliki manfaat global, penggunaan yang berlebihan dapat berakibat pada berkurangnya keterikatan anak dengan budaya lokal. Anak-anak yang lebih akrab dengan bahasa asing cenderung mengadopsi pola pikir, gaya hidup, dan nilai-nilai budaya dari negara asal bahasa tersebut.

Bahasa dan Identitas Diri

Tidak banyak yang tahu bahwa bahasa merepresentasikan identitas seseorang. Di dalam sebuah bahasa tersemat ideologi dan nilai luhur sebuah bangsa. Dari bahasa muncullah corak peradaban suatu masyarakat. Terdapat perbedaan budaya antara suku Jawa, Batak, Manado, Toraja, dan Aceh karena bahasa yang digunakan berbeda. Begitu juga dari bahasa Indonesia terbentuklah sebuah identitas, yaitu budaya kebangsaan Indonesia.

Melalui bahasa Indonesia, kita dapat mempelajari budaya melalui karya-karya sastranya. Dongeng-dongeng kedaerahan yang kita baca waktu kecil membentuk identitas kita sebagai orang Indonesia, mulai dari cara bertutur, berperilaku kepada orang yang lebih tua, dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan kita dengan bangsa lainnya di dunia ini.

Jika sejak kecil anak dibiasakan menggunakan bahasa asing, dia akan terpapar dengan budaya asing melalui tontonan dan bacaan yang dikonsumsi setiap hari. Tentu dalam bahasa Inggris tidak ada kisah tentang Timun Mas, Roro Jonggrang, dan Malin Kundang. Mari tengok kembali konten-konten yang ada di YouTube dan Netflix, itulah yang akan diinternalisasi oleh anak kita menjadi identitas dan karakternya.

Baca juga : 20 Strategi untuk Mengembangkan Karakter Baik pada Anak

Bahasa Ibu, Bahasa Indonesia

Pilihan sekolah begitu beragam. Sekolah yang menawarkan bilingual bahkan trilingual pun makin banyak. Sebagai orang tua, kita perlu celik memilih apakah anak-anak kita perlu berada di sekolah trilingual? Kembali kepada tujuan menyekolahkan anak: membentuk anak yang berkarakter dan berintegritas atau anak-anak yang menguasai banyak bahasa?

Penyampaian ilmu, ideologi, dan pengajaran agama akan lebih kontekstual jika disampaikan dalam bahasa ibu–dalam konteks ini adalah bahasa Indonesia. Jadi, anak-anak tidak hanya memahami konsep secara verbal, melainkan dapat menyerap substansinya melalui cerita, penerapan dalam kehidupan sehari-hari, dan interaksinya dengan keluarga dan teman.

Selain sebagai upaya pelestarian, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa pengantar di sekolah membangkitkan kepekaan perasaan. Anak jadi terhubung dengan akar budayanya, memahami tradisi, dan menghargai nilai yang dianut oleh bangsa ini.

Jadi, memilih bahasa sebagai bahasa ibu bagi anak bukan berdasarkan rasa takut ketinggalan zaman. Namun, lebih kepada identitas apa yang ingin kita berikan kepada anak? Sungguh baik jika kita masih menguasai bahasa daerah asal dan mengajarkannya kepada anak. Dengan begitu, anak akan tumbuh memiliki identitas kuat kedaerahannya. Ke mana pun dia pergi dan merantau, dia akan tetap memegang teguh identitasnya dan tidak akan terbawa dampak negatif pergaulan modern saat ini.

Hari Bahasa Ibu Sedunia: Momentum untuk Refleksi

Setiap 21 Februari, dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Sedunia. Hari yang digagas oleh UNESCO ini bertujuan untuk menggiatkan kembali penggunaan bahasa ibu di seluruh dunia agar terhindar dari kepunahan. Dari sudut pandang lain, peringatan ini dapat kita jadikan bahan refleksi: sampai mana saya sudah mengajarkan nilai luhur dan budaya bangsa ini kepada anak?

Tak perlu khawatir anak akan tertinggal hanya karena “masih” menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Dengan modernitas yang ada saat ini, anak dapat menjangkau ilmu pengetahuan tanpa batas, kapan pun dan di mana pun.

Hal lain yang juga penting, yaitu serahkan anak kita kepada Sang Empunya. Dialah yang merancangkan jalan hidup anak-anak kita sehingga biarlah Tuhan yang bekerja atas hidup mereka. Sebagai orang tua, tugas kita, yaitu membentuk anak ini memiliki identitas yang kuat, menginternalisasi karakter Kristus di dalam dirinya, dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sandaran hidup.

HIDDEN CURRICULUM dan NULL CURRICULUM

Oleh: Dra. Corrina Anggasurjana, MA – Staf Research & Development
SMA Athalia

Menurut KBBI kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan; cakupan kurikulum berisi uraian bidang studi yang terdiri atas beberapa macam mata pelajaran yang disajikan secara kait-berkait. Jadi, kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan atau semua kegiatan yang diberikan kepada peserta didik sebagai tanggung jawab sekolah.

Kenyataannya pem-belajaran yang berlangsung di sekolah tidak hanya tentang kurikulum formal yang diikuti peserta didik berupa pengetahuan dan keterampilan yang sengaja diajarkan pendidik kepada peserta didik. Ada yang disebut hidden curriculum, yaitu mengacu pada pelajaran, nilai, dan perspektif yang tidak tertulis, tidak resmi, dan seringkali tidak disengaja yang dipelajari peserta didik di sekolah. Contohnya bagaimana mereka seharusnya berinteraksi dengan teman, guru, dan orang-orang lainnya; bagaimana mereka seharusnya memandang perbedaan – ras, kelompok, atau bahkan kelas lain – atau ide dan perilaku apa yang dianggap dapat diterima atau tidak dapat diterima. Jadi, hidden curriculum menyiratkan seperangkat moral dan perilaku yang diserap siswa dari lingkungan sekolah.

Ada juga yang disebut null curriculum, yaitu kurikulum yang tidak diajarkan, topik yang dihilangkan, pengalaman yang tidak diberikan, dan pilihan yang tidak diberikan kepada peserta didik. Null curriculum bisa jadi sama pentingnya dengan kurikulum formal, karena dapat membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik secara signifikan. Namun, terkadang guru mengabaikan beberapa konten atau keterampilan, karena dianggap tidak penting atau karena kebijakan pemerintah. Contoh null curriculum di Inggris, pelajaran agama tidak dimasukkan dalam program pelajaran atau tidak ada kebijakan mengenai pendidikan seks di Iran. Ada dampak yang akan dirasakan peserta didik ketika menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan topik-topik tersebut di masyarakat.

Kehidupan dalam keluarga pun ada semacam kurikulum yang secara sadar disusun orang tua bagi anak-anaknya tapi ada juga bentuk hidden curriculum dan null curriculum yang mungkin secara tidak sadar dijalankan. Contohnya ada yang disebut imitasi, yaitu proses ketika seorang anak melihat orang tuanya sebagai figur utama yang layak ditiru. Tentunya orang tua ingin anak-anaknya meniru hal-hal baik yang dilakukannya, tetapi seringkali secara tidak sadar justru melakukan hal-hal yang tidak ingin anak tiru, tetapi teramati dan terekam oleh anak-anak. Pernah terjadi, orang tua mengajukan beasiswa kepada pihak sekolah dengan alasan kesulitan ekonomi, tetapi ketika kunjungan ke rumahnya terlihat barang-barang branded dan berharga tinggi yang digunakan oleh keluarga tersebut. Nilai apa yang akan anak-anak miliki melihat kenyataan tersebut?

Ada kalanya orang tua tidak membicarakan atau membahas secara sengaja nilai-nilai yang perlu anak miliki, misalnya kesetiaan. Ketika anak disuruh rajin datang ke gereja, apakah anak tahu bahwa tujuannya adalah membangun nilai kesetiaan pada kepercayaan/imannya? Ketika anak diminta ikut dalam acara-acara keluarga, ingatkan mereka tentang kesetiaan pada keluarganya misalnya orang tuanya dan saudara-saudaranya. Adakah hal-hal yang dihindari atau dianggap tidak penting sehingga orang tua tidak memberikan pengajaran dan pendidikan pada anak padahal mungkin mereka akan menghadapi hal-hal tersebut di masyarakat sehingga mereka tidak tahu bagaimana menyikapi dan mengatasinya?

Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.
(2 Timotius 2:2)

Diatur Waktu atau Mengatur Waktu?

Oleh: Eliada Christara – Alumni SMA Athalia Angkatan IV

Hai semua pembaca setia website Sekolah Athalia! Perkenalkan saya Eliada Christara, alumni SMA Athalia angkatan IV. Sebuah kesempatan yang baik untuk berbagi secuplik kisah tentang perjuangan saya dalam mengatur waktu.

Belakangan ini, istilah “kaum rebahan” semakin populer di kalangan Gen Z. Istilah ini merujuk pada kebiasaan menunda pekerjaan dengan alasan seperti “masih ada besok” atau “masih pagi, nanti saja”. Kebiasaan ini tentunya tidak asing karena ketika masih anak-anak, kita sering inkonsisten dalam waktu bermain–extend mulai dari 10 menit lagi, 20 menit lagi, dan seterusnya sampai menang. Di sisi lain, ada pula yang terlalu strict dalam menjadwalkan waktu, sehingga tidak memberikan ruang untuk hal-hal di luar kontrol yang mungkin tanpa disadari sama pentingnya.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada anak-anak atau remaja, tetapi juga di berbagai tahap kehidupan. Baik siswa, mahasiswa, pekerja, hingga ibu rumah tangga menghadapi tantangan dalam mengelola waktu. Semakin besar tanggung jawab yang kita emban, semakin sulit pula membagi waktu antara pekerjaan, keluarga, diri sendiri, dan aktivitas lainnya. Banyak orang berpikir bahwa mereka mampu mengatur waktu dengan baik. Namun, kenyataannya, tidak sedikit yang justru merasa diatur oleh waktu. Pertanyaannya, kita termasuk yang mana? Yang diatur waktu atau mengatur waktu?

Pergulatan Mengatur Waktu

Kesulitan mengatur waktu saya jumpai pada masa perkuliahan di STT SAAT. Seperti anak kuliah pada umumnya, saya juga mengalami culture shock dalam membagi waktu. Meski berada di lingkup asrama yang kehidupannya sangat terjadwal, tetapi saya mengalami kesulitan. Beban tugas yang beruntun, jadwal kuliah yang padat, serta berbagai kegiatan di luar akademik membuat saya kewalahan. Sungguh rasanya berbeda dengan masa sekolah yang masih bisa longgar dan menunda-nunda. Bahkan, saya sempat terkena thypus akibat tekanan tersebut.

Saya juga pernah berada di 2 fase ekstrem yang berlawanan. Ada satu titik, saya menjalani hidup tanpa mengatur waktu sama sekali dan hanya mengikuti arus. Namun, di lain waktu, saya terlalu disiplin hingga tidak memberi ruang hal lain mengintervensi waktu saya sepenting apapun itu. Meski begitu, keduanya ternyata bukan solusi yang tepat.

Beruntungnya, pendidikan karakter yang saya dapatkan di sekolah menolong saya untuk lebih bijak dalam mengatur waktu. Saya belajar bahwa tanggung jawab dan pengendalian diri adalah dua hal yang saling berkaitan.

Beberapa prinsip yang membantu saya, antara lain:

  1. Membedakan yang penting dan kurang penting. Tidak semua hal harus diselesaikan sekaligus. Menyusun prioritas membantu kita fokus pada tugas yang benar-benar mendesak.
  2. Menyeimbangkan antara tugas dan istirahat. Keseimbangan antara belajar, bekerja, dan beristirahat sangat penting agar tidak mengalami kelelahan berlebihan.
  3. Bersikap fleksibel namun tetap disiplin. Memiliki jadwal yang terstruktur memang penting, tetapi kita juga perlu memberi ruang untuk hal-hal yang tidak terduga.
  4. Menyesuaikan aktivitas dengan tanggung jawab utama. Misalnya, mengurangi kegiatan kampus yang kurang esensial agar tidak mengganggu tugas akademik.

Baca Juga : 13 Tips untuk Mengatasi Kemalasan

Peran Tuhan dalam Manajemen Waktu

Sehebat apapun strategi yang kita buat, mengatur waktu tetap menjadi perjuangan yang tidak mudah. Manusia lemah, mudah tergoda untuk malas dan menunda, mudah terlena untuk mengerjakan yang bukan prioritas, bahkan kita lupa meluangkan waktu untuk Tuhan dalam mendengarkan firman-Nya setiap hari.

Oleh karena itu, penting untuk meminta pertolongan Tuhan dalam mengatur waktu. Dengan bimbingan-Nya, kita bisa lebih disiplin, konsisten, dan bijaksana dalam menentukan prioritas. Bahkan, hal-hal sederhana yang kita lakukan setiap hari pun adalah anugerah-Nya.

PARADIGMA KURIKULUM MERDEKA

Oleh: Elisabeth Lili Herlianah – Research & Development Unit SMP

Tahun Ajaran 2023-2024, SMP Athalia mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. Penerapan ini dilaksanakan secara bertahap, tahun ini diawali di kelas VII. Tentunya sebelum menerapkan kurikulum ini, semua pihak harus menyiapkan banyak hal, baik pihak sekolah, murid, dan orang tua murid. Pihak sekolah telah memberikan pembekalan kepada pendidik dan tenaga kependidikan berupa pelatihan maupun workshop mengenai Kurikulum Merdeka. Hal yang terpenting untuk dapat memahami dan melaksanakan Kurikulum Merdeka, semua pihak harus menyadari akan perubahan paradigma dari paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma Kurikulum Merdeka menekankan pada pengembangan kemampuan adaptasi dan pembelajaran sepanjang hayat. Berikut adalah beberapa poin penting dalam paradigma ini:

1. Pembelajaran berpusat pada siswa

Kurikulum Merdeka menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada murid. Setiap murid aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Murid diberi kesempatan untuk menggali minat dan bakat mereka sendiri, mengembangkan kekuatan mereka, dan mengatasi kelemahan mereka.

2. Peningkatan keterampilan abad ke-21

Kurikulum Merdeka fokus pada pengembangan keterampilan abad ke-21, seperti keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, komunikasi, pemecahan masalah, dan literasi digital. Murid diajarkan bagaimana menerapkan keterampilan ini dalam berbagai konteks baik dalam pembelajaran maupun kehidupan sehari-hari.

3. Integrasi teknologi

Paradigma ini mengakui pentingnya teknologi dalam kehidupan siswa saat ini. Oleh karena itu, teknologi digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi pembelajaran yang aktif, kolaboratif dan kreatif. Murid diajarkan tentang penggunaan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.

4. Pembelajaran lintas disiplin

Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran lintas disiplin, setiap murid dapat mempelajari berbagai bidang pengetahuan dan mengintegrasikan konsep-konsep yang diajarkan bukan untuk satu disiplin ilmu saja melainkan dapat dihubungkan lebih holistik.

5. Pengembangan karakter dan etika

Selain pengetahuan akademik, Kurikulum Merdeka juga menekankan pada pengembangan karakter dan etika murid. Murid diajarkan nilai-nilai seperti integritas, empati, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Paradigma ini berusaha menciptakan individu yang tidak hanya pintar secara akademik tetapi juga berkepribadian baik.

6. Keterlibatan komunitas

Paradigma Kurikulum Merdeka mendorong keterlibatan komunitas dalam pembelajaran. Murid diajak untuk terlibat dalam proyek-proyek yang relevan dengan komunitas mereka sehingga mereka dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam konteks yang nyata.

Kurikulum Merdeka bertujuan untuk mempersiapkan murid menjadi individu yang siap menghadapi dunia yang terus berubah. Paradigma ini memberikan siswa kebebasan untuk mengembangkan potensi mereka sendiri dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran. Namun, di usia remaja ini mereka masih sangat membutuhkan dukungan terutama dari pihak orang tua. Dukungan dari orang tua bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan secara langsung misalnya orang tua dapat mendampingi saat putra-putrinya sedang belajar di rumah ataupun saat membuat proyek yang sedang mereka kerjakan. Dukungan secara tidak langsung misalnya orang tua memberikan kesempatan kepada putra-putrinya untuk mencari informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugasnya dengan memberikan fasilitas yang diperlukan dalam pencarian informasi. Dukungan yang tidak kalah pentingnya adalah orang tua terus mendoakan dan memberikan semangat untuk putra-putrinya agar menjadi pribadi yang berkarakter dan mandiri. Demikianlah sekilas informasi mengenai paradigma Kurikulum Merdeka. Tetap semangat untuk pendidik, tenaga kependidikan, murid, dan orangtua dalam menerapkan Kurikulum Merdeka. Kerja sama yang harmonis dari semua pihak sangat diperlukan, terutama orangtua dan pihak sekolah demi generasi muda menyongsong masa depan yang lebih gemilang.

Catatan:
Poin-poin tentang paradigma Kurikulum Merdeka diambil dari sumber di bawah ini dengan beberapa perubahan redaksi kalimat.
https://dikbudbanggai.id/read/183/paradigma-baru-kurikulum-merdeka-menghadapi-abad-21

Kunci Berkomunikasi dengan Anak: Buat Lebih Bermakna!

Oleh: Marcelina Denise Lahenda – Staf Konselor SD

Bulan Bahasa diperingati setiap bulan Oktober di Sekolah Athalia. Kegiatan ini menjadi momen refleksi akan peran krusial bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi antarindividu, tetapi juga sebagai sarana utama dalam membangun interaksi sosial yang efektif. Selain itu, komunikasi dengan anak secara efektif merupakan fondasi penting dalam membentuk hubungan yang sehat dan keterikatan emosi antara orangtua dan anak.

Komunikasi yang efektif berperan penting dalam membantu anak merasa dipahami, dihargai, dan didukung. Ketika anak merasa bahwa perasaan dan kebutuhannya diakui, mereka akan lebih mudah mengembangkan rasa percaya, serta merasa aman dan nyaman dalam lingkungannya. Kondisi ini secara tidak langsung mendukung perkembangan sosial dan emosional mereka.

Komunikasi yang berkualitas mencakup kemampuan untuk mendengarkan dengan empati, memahami perspektif anak, serta memberikan respons yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Meskipun komunikasi antara orang tua dan anak terlihat sederhana, pada praktiknya dibutuhkan kesabaran, keterampilan, serta kesiapan untuk menyediakan waktu yang cukup agar komunikasi dapat berjalan secara efektif.

Baca juga : Titik Temu Antargenerasi – Terhubung dan Terlibat

Tips Berkomunikasi dengan Anak Secara Efektif

Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan orang tua untuk membangun komunikasi yang lebih bermakna dengan anak:

  1. Active listening
    Saat berbicara dengan anak, pastikan Anda benar-benar hadir dalam percakapan. Hindari distraksi seperti ponsel atau pekerjaan lain, sehingga anak merasa dihargai dan didengar sepenuhnya. Mendengarkan secara aktif membantu anak-anak merasa didengar dan dipahami.
  2. Reflective listening
    Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita memperhatikan dan menangkap apa yang mereka katakan adalah dengan mengulangi apa yang mereka katakan dengan menggunakan frase yang berbeda. Misalnya, jika anak berkata, “Saya tidak mau bermain dengan Tono lagi.” Kita dapat merespons dengan, “Kamu sedang tidak mau main ya. Kelihatannya kamu sedang kesal.” Dengan ini, anak akan merasa dimengerti dan tidak dihakimi, sehingga anak dapat mengekspresikan emosi mereka tanpa penilaian.
  3. Speaking clearly
    Gunakan bahasa yang dapat dimengerti untuk anak dan sesuai dengan usia mereka. Pemilihan kata harus jelas, spesifik, dan tidak menggunakan kata-kata yang kasar atau menghina. Menggunakan bahasa yang baik akan membantu memberikan contoh positif bagi anak-anak.
  4. Explaining feelings
    Untuk membantu anak mengembangkan kecerdasan emosional, penting bagi mereka untuk belajar bagaimana memberi nama perasaan mereka. Ketika anak mengekspresikan perasaan mereka secara verbal, dengarkan apa yang mereka katakan dengan empati dan tanpa penilaian. Jika anak mengekspresikan perasaan mereka dengan cara nonverbal – misalnya melalui amarah atau tertawa dan bersenang-senang melakukan aktivitas yang mereka sukai, kita perlu membahasakan bagaimana perasaan mereka, seperti bahagia, sedih, santai, terluka, takut, lapar, bangga, mengantuk, marah, tidak berdaya, jengkel, malu atau gembira, dll.

Bangun Hubungan Lebih Dekat Lewat Komunikasi yang Positif

Berkomunikasi dengan anak secara efektif bukanlah hal yang instan, tetapi merupakan proses yang perlu dengan sengaja diciptakan dan dibangun karena sangat mempengaruhi hubungan orangtua dengan anak. Dengan memberikan waktu, perhatian, dan mendengarkan dengan baik, kita dapat membantu anak tumbuh dan berkembang secara positif. Semua ini membantu mereka merasa dicintai dan diperhatikan sebagai dasar yang kuat untuk setiap tahap perkembangan di masa depan.

Sumber: https://www.unicef.org/parenting/child-care/9-tips-for-better-communication

Soft Skill vs Hard Skill, Mana yang Lebih Penting?

Oleh: Elisa Sri Indahati – Research & Development Unit SD

Kita mungkin pernah mengenal seseorang yang nilai akademiknya tidak menonjol di masa sekolah, tetapi berhasil membangun karier yang cemerlang dan mencapai kesuksesan. Hal ini bukan tanpa sebab, melainkan mereka memiliki kelebihan lainnya di luar nilai akademis.

Nilai atau kemampuan akademik seseorang atau yang disebut dengan hard skill (keahlian yang bisa diukur dan bisa dinilai) tidak bisa begitu saja membuat seseorang berhasil atau sukses. Diperlukan juga kemampuan yang disebut dengan soft skill. Apa itu soft skill?

Soft skill adalah kemampuan yang tidak terlihat seperti berpikir kritis, mampu beradaptasi, percaya diri, pantang menyerah, daya juang tinggi, dan lain sebagainya. Lalu, apakah soft skill lebih unggul daripada hard skill atau justru sebaliknya? Tentu saja tidak, keduanya seharusnya memiliki porsi yang sama dalam diri seseorang. Hard skill dan soft skill sama-sama penting.

 

 

Mengapa Soft Skill dan Hard Skill Sama Pentingnya?

Menurut Rhenald Kasali, sudah saatnya orang tua sadar untuk memperhatikan karakter anak sedari dini. Pendidikan bukan hanya sekadar kompetensi kognitif, anak juga memerlukan kemampuan lain seperti survival skills di lingkungan.

Dalam berbagai profesi, hard skill memang menjadi syarat utama untuk masuk ke dunia kerja. Namun, tanpa soft skill yang baik, seseorang akan kesulitan dalam berkolaborasi, menyelesaikan masalah, atau bahkan mempertahankan pekerjaannya. Karena itu, pendidikan karakter sejak dini sangatlah krusial. Anak-anak tidak hanya perlu didorong untuk meraih nilai akademik yang baik, tetapi juga untuk memiliki ketahanan mental, percaya diri, dan kemampuan menyelesaikan tantangan secara mandiri.

Mengharapkan nilai rapor yang baik memang penting, tetapi menolong anak-anak kita untuk tetap memiliki daya juang dan tidak putus asa dalam mengerjakan semua tugas sekolah adalah tugas mulia kita sebagai orang tua.

Pentingnya Soft Skill dalam Pendidikan Anak

Sekolah Athalia terus berusaha untuk mengajarkan ilmu, tetapi juga tetap konsisten untuk membimbing anak-anak untuk memiliki karakter yang akan menolong mereka hidup di tengah masyarakat. Pendidikan karakter tidak saja diberikan dalam bentuk pemahaman, tetapi juga dalam bentuk proyek nyata dalam setiap kegiatan seperti kamp karakter dan kelas shepherding.

Dalam kegiatan-kegiatan ini, siswa diberikan proyek karakter sederhana seperti mencuci piring setelah makan atau merapikan tempat tidur sendiri. Namun, tantangan muncul ketika anak-anak terbiasa dilayani di rumah oleh orang tua atau asisten rumah tangga. Beberapa anak bahkan mengeluhkan bahwa melakukan tugas-tugas ini terasa sulit dan tidak nyaman.

Ketika Kamp Karakter siswa SD menginap di sekolah, ada aktivitas mencuci gelas dan sendok setelah makan malam. Tiba-tiba ada anak yang menggerutu, ”enakan tidur di rumah daripada tidur di sekolah. Kalau di rumah apa-apa sudah disiapin, diambilin, di sini semua disuruh lakuin sendiri, ambil sendiri, nyuci sendiri.”

Pengalaman-pengalaman ini membuktikan bahwa membangun soft skill memerlukan latihan dan konsistensi. Anak-anak perlu diberi kesempatan untuk bertanggung jawab atas tugas-tugas kecil agar mereka terbiasa menghadapi tantangan di masa depan.

Baca Juga : 20 Strategi untuk Mengembangkan Karakter Baik pada Anak

Peran Orang Tua

Sebagai orang tua, peran kita bukan hanya mendampingi anak dalam mengejar prestasi akademik, tetapi juga membimbing mereka dalam membangun soft skill yang akan membantu mereka bertahan di dunia nyata. Berikan anak-anak kepercayaan untuk melakukan sesuatu khususnya tugas atau proyek yang diberikan sekolah.

Jangan takut bila anak mengalami kegagalan. Bersabarlah ketika mereka mencoba mandiri, meskipun awalnya berantakan atau belum sempurna. Tidak masalah jika mereka kesulitan dalam melakukan sesuatu atau belum berhasil pada percobaan pertama. Yang terpenting, ajarkan mereka untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka dan siap menghadapi konsekuensi dari setiap kesalahan. Orang tua dapat terus mendampingi anak dan membiarkan mereka mengerjakan bagian mereka.

Sudahkan Anda membantu anak mengembangkan soft skill mereka hari ini?