Sutradara: Kevin Peeples
Penulis naskah: Kevin Peeples, Bob Lepine, Alex Kendrick
Produksi: Pro-Family Films
Rilis: 1 Mei 2018
Durasi: 1 jam 40 menit
Like Arrows merupakan film Kristen yang mengangkat narasi tentang kehidupan keluarga, lebih spesifik tentang parenting. Film yang diproduksi oleh Pro-Family Films ini ditulis oleh pegiat film Kristen yang namanya sudah tidak asing lagi, yaitu Alex Kendrick. Alex Kendrick, bersama tim rumah produksi miliknya Kendrick brothers, telah memproduksi beberapa film Kristen, seperti Flywheel, Facing the Giants, Fireproof, Courageous, War Room, dan Overcomer. Melihat karya Kendrick sebelumnya, Courageous yang mengangkat tema fatherhood, menjadi keputusan yang tepat untuk menempatkan Kendrick sebagai penulis naskah di film kali ini.
“Parenting is a journey” merupakan tagline dari film ini. Narasi dalam film ini menggambarkan dengan jelas tagline tersebut. Starting point film ini dimulai dari sepasang kekasih yang masih berumur 20an tahun, Charlie dan Alice, yang mengambil keputusan untuk menikah. Kemudian, film ini juga mengambil latar waktu saat keduanya menjalani masa tua bersama, yang bukan saja menjadi orang tua bagi anak-anak mereka, tetapi juga menjadi kakek dan nenek bagi cucu-cucu mereka.
Parenting is a journey adalah term yang tepat. Layaknya menempuh perjalanan, tidak selamanya proses itu mulus dan menyenangkan. Begitu juga dengan kehidupan sebagai orang tua. Problem yang terjadi di dalam film ini terasa begitu dekat dengan kehidupan kita karena menampilkan kondisi nyata yang terjadi di dalam keluarga. Film ini juga menggambarkan variasi permasalahan yang dialami orang tua. Salah satu contohnya, saat masuk tahun ke-5 menjadi orang tua, Alice menghadapi kondisi harus mengurus dua orang anak sementara dia masih bergumul dengan trauma masa lalunya bersama orang tuanya. Belum lagi perasaan “sendirian” dan kurang mendapatkan dukungan dalam mengurus anak karena suaminya harus bekerja mencari nafkah.
Pergumulan hidup mereka terjadi silih berganti saat tahun ke-15, 18, 22, dan seterusnya. Saat tahun ke-49, anak-anak Charlie dan Alice menyadari dan bersyukur atas warisan iman yang ditinggalkan untuk mereka.
Mazmur 127:4 mencatat, “Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda (“Like arrows in the hand of a warrior, are the children[a] of one’s youth.” -Psalm 127:4 ESV) merupakan ayat yang mendasari pembuatan film ini sekaligus diambil menjadi judul film ini.
Alkitab menggambarkan anak sebagai anak panah dan orangtua merupakan “pahlawan” yang memegang anak panah itu untuk dapat tepat menuju sasaran. Hal ini juga mengingatkan kita pada salah satu 5 beliefs Sekolah Athalia, yaitu “anak diciptakan dengan tujuan khusus”. Tugas orangtua adalah mengarahkan anak untuk mencapai tujuan yang Tuhan tetapkan dalam hidup anak, bukan orangtua, seperti anak panah yang tepat ke papan sasaran. Hal ini baru disadari oleh Charlie dan Alice justru di tahun ke-19 pernikahan mereka ketika anak pertama “terhilang” dan menjadi atheis. Sementara itu, anak kedua, yang adalah seorang perempuan, hampir terjebak dalam pergaulan yang salah.
Melihat hal itu, mereka terpikirkan dua anak lainnya yang bisa saja mengikuti jejak kakak-kakaknya. Inilah akhirnya yang membuat kedua orangtua itu menyadari bahwa mereka butuh pertolongan. Allah membuka jalan sehingga mereka dapat belajar melalui kelas parenting di gereja mereka dan menjadi titik balik sebagai orang tua karena diingatkan akan firman Tuhan dalam Mazmur 127: 4.
Dari film ini, ada karakter yang bisa kita pelajari, yaitu kerendahan hati (humility). Kata rendah hati menurut KBBI berarti hal (sifat) tidak sombong atau tidak angkuh. Dalam perjalanannya menjadi orang tua, Alice dan Charlie menyadari miskinnya mereka di hadapan Tuhan. Mereka mencari Tuhan, meminta pimpinan-Nya untuk menjalankan peran sebagai orangtua. Dari pasangan ini, kita bisa berefleksi bahwa, sebagai orang tua, kita tak selayaknya bersikap “know it all” dan terus bersandar kepada Tuhan, Sang Empunya kehidupan.
Sebuah artikel dari diakonia.org menuliskan ada 5 ciri rendah hati menurut Alkitab, yaitu terus mau belajar (Mazmur 25:9), mau mendengarkan orang lain (Amsal 23:9), memercayai kehendak dan rencana Allah (Mazmur 131:1-3), menyadari adanya campur tangan Tuhan dalam kesuksesan kita (Lukas 18:9-14), dan bersabar (1 Petrus 5:6). Kelima ciri ini terlihat sejak Charlie dan Alice mengambil keputusan untuk mencari Tuhan. Meskipun sudah puluhan tahun, mereka tetap mau belajar menjadi orangtua yang benar di mata Tuhan lewat kelas parenting di gereja. Mereka belajar dan mau mendengar nasihat dari komunitas orang percaya tentang parenting. Mereka juga mau belajar mendengarkan anak-anak mereka, bahkan dengan rendah hati bersedia meminta maaf atas kesalahan mereka.
Memercayai kehendak dan rencana Allah tentu tidak dapat terwujud jika kita tidak mengenal Allah. Keputusan Charlie dan Alice untuk mengambil waktu membaca Alkitab bersama seluruh anggota keluarga merupakan keputusan yang tepat. Orangtua yang rendah hati mengenal Tuhan yang rendah hati sehingga mau belajar dari-Nya, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).
Tentu ini bukan sesuatu yang mudah. Meskipun sudah taat kepada Tuhan, anak pertama tetap terhilang selama 30 tahun. Namun, Charlie dan Alice tetap sabar menunggu Tuhan menemukan dan membawa anak terkasih mereka kembali percaya pada Tuhan. Mereka juga menyadari adanya campur tangan Tuhan dalam kesuksesan mereka. Charlie dan Alice terus membawa pergumulan mereka dalam doa bersama bahkan mereka menuliskan setiap jawaban dari doa yang mereka naikkan kepada Tuhan sebagai pengingat bahwa ada campur tangan Tuhan di dalam kehidupan mereka.
Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton oleh orang tua dari berbagai angkatan usia. Film ini dapat menjadi inspirasi tentang penerapan karakter rendah hati di dalam mendidik anak. Kita diingatkan kembali untuk terus bergumul bersama Tuhan, menyadari kelemahan kita dan terus bergantung kepada-Nya. Inilah kerendahan hati. [MRT]