Oleh: Bella Kumalasari, S.TP, staf PK3
Bulan Februari identik dengan bulan penuh cinta karena banyak orang di seluruh dunia merayakan hari Valentine di bulan ini dengan bunga, cokelat, permen, kado, dan kartu ucapan. Banyak versi cerita yang beredar di balik perayaan “Hari Kasih Sayang” ini. Kebanyakan di antaranya adalah cerita mengenai beberapa orang Santo yang masing-masing bernama sama yaitu Valentine/Valentinus, dan semuanya mati martir. Seorang diantaranya dikatakan mati martir ketika membela orang-orang yang dilarang menikah agar semakin banyak pemuda yang mengabdikan dirinya sehingga perang berlangsung dengan baik. Seorang yang lain dikatakan dieksekusi mati pada tanggal 14 Februari karena membantu orang Kristen melarikan diri dari penjara Romawi yang menyiksa pada tahun 270-an Masehi. Sedangkan seorang yang lain lagi, diceritakan jatuh cinta pada anak sipir penjara dan mengirimkan kartu valentine-nya kepada gadis tersebut. Masih banyak cerita yang berbeda yang dipercaya menjadi latar belakang hari Valentine. Dari berbagai versi sejarah yang dipaparkan, hari Valentine terus diperingati dan berkembang dan dirayakan oleh banyak orang. Namun perlu kita sadari bahwa perayaan “Hari Kasih Sayang” ini, hanyalah perayaan cinta manusia.
Manusia begitu terbatas dalam berbagai hal termasuk dalam mencintai. Dalam keberdosaan manusia, segala hal “baik” yang dilakukan manusia seperti kain kotor di hadapan Tuhan (Yes. 64: 6). Dalam mencintai pun, manusia sangat mungkin justru melukai orang yang dicintainya tersebut. Seorang suami sangat mungkin memukul isteri yang dicintainya ketika marah; seorang ayah mungkin memaki anaknya ketika anaknya itu berbuat salah. Banyak orang mengkhianati sahabatnya sendiri; bahkan ada orang tua yang dengan sadar mengabaikan atau menyakiti anaknya sendiri.
Di tengah rusaknya moral dunia ini, seorang teman saya pernah berkata, “Mengapa harus mengenal Allah jika tanpa mengenal Allah pun aku dapat menjadi seseorang yang baik dan mengasihi sesamaku? Bukankah itu cukup?” Kemudian seorang mentor saya pun berkata, “Bagaimana kamu dapat mengasihi tanpa mengenal kasih itu, yaitu Allah?” Penggalan percakapan ini menyadarkan kita bahwa tidak mungkin seseorang dapat mengasihi atau mencintai dengan benar tanpa mengenal kasih yang sejati itu, yaitu Allah sendiri.
Allah adalah kasih (1 Yoh. 4: 8). Ia telah menunjukkan kasih-Nya yang sempurna kepada kita dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal; kasih yang memberi tanpa menyisakan sesuatu apapun untuk diri-Nya sendiri. Padahal siapakah kita? Kita adalah orang berdosa yang sama sekali tidak layak mendapatkan kasih-Nya. Namun tidak peduli seberapa pun besarnya dosa dan pemberontakan kita, Ia bahkan telah menunjukkan kasih-Nya ketika kita masih berdosa, masih lemah, dan masih seteru (Roma 5: 6,8,10). Ia lebih mengasihi kita daripada siapa pun bahkan orang tua kita sekalipun (Maz. 27: 10). Kasih Allah bagi kita adalah anugerah semata.
Sedemikian besarnya kasih Allah atas manusia. Layaklah pertanyaan ini menjadi refleksi bagi kita sekalian, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8: 32). Ayat-ayat selanjutnya dalam Roma 8 menegaskan bahwa tidak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus, baik itu penindasan, kesesakan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, atau pedang, kuasa-kuasa, pemerintah-pemerintah, segala makhluk lain, bahkan maut. Apakah kita sudah mengalami serta memiliki keyakinan akan kasih Allah itu di dalam diri kita?
Lalu apa yang seharusnya kita lakukan sebagai orang-orang yang telah menerima kasih-Nya? Kasih Kristus membuat kita diperdamaikan dengan-Nya (Roma 5: 9-10). Allah menebus kita dari dosa karena Ia ingin berelasi dengan kita, maka sudah seharusnya kita berelasi semakin intim dengan-Nya. Selain itu, Rasul Yohanes mengajak kita untuk saling mengasihi, karena setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah (1 Yoh. 4: 7). Allah telah terlebih dulu mengasihi kita, sudah selayaknya kita membagikan kasih Allah itu kepada orang lain. Berbahagialah kita yang telah mengalami kasih Allah itu karena semestinya kita mampu mengasihi orang lain seperti Allah mengasihi kita. Berelasi dengan Allah membuat kita dapat berelasi dengan orang lain dengan benar.
Pada akhirnya kita tahu sekarang bahwa kasih Allah tidak dapat dibandingkan dengan kasih manusia. Kasih Allah terlalu agung dan besar sedangkan kasih manusia terbatas dan sementara. Kasih Allah kekal adanya; Ia mengasihi kita dulu, sekarang, dan selamanya. Mari kita membagikan kasih Allah ini, baik di hari Valentine maupun di hari-hari yang lain dengan berdasar pada kasih Allah yang telah dan terus-menerus kita alami. Kasih Allahlah yang memampukan kita dapat tetap mengasihi meski tersakiti.
“ Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita “
1 Yohanes 4: 19
Sumber:
https://www.history.com/topics/valentines-day/history-of-valentines-day-2
http://jabar.tribunnews.com/2018/02/14/14-februari-dianggap-hari-kasih-sayang-ternyata-sejarah-valentine-sadis-dan-jauh-dari-kata-romantis?page=3
Candawasa, Yohan. 2005. Mendapatkan-Mu dalam Kehilanganku. Bandung: Pionir Jaya.
Alkitab.
121 dika-lamanya” (ay. 7-8).