Film ini diangkat dari kisah nyata, dari sebuah buku yang berjudul Freedom Writers Diary. Film ini menceritakan tentang kehidupan seorang guru bernama Erin Gruwel dan murid-muridnya di kelas 203 sekitar tahun 1990an. Pada masa itu, terjadi kerusuhan dan konflik antar ras. Kerusuhan dan konflik ini telah merenggut banyak jiwa dan menebarkan kebencian dan dendam pada hampir seluruh masyarakat Long Beach.
Erin Gruwel baru saja akan mengawali karirnya sebagai guru Bahasa Inggris. Ia ditugaskan untuk menangani sebuah kelas di ruang 203, dimana murid-muridnya berasal dari berbagai ras yang berbeda. Hampir seluruh muridnya rasis dan saling membenci satu sama lain. Hari pertama mengajar bukanlah awal yang menyenangkan bagi Erin, keadaannya sebagai seorang kulit putih membuat murid-muridnya sulit untuk menerima dan bahkan justru menaruh kecurigaan dan rasa benci padanya. Hal ini memengaruhi bagaimana murid bersikap dan bertingkah laku di kelas. Tak ada rasa hormat yang ditunjukkan murid kepada Erin, bahkan sering kali murid-muridnya berkelahi di tengah-tengah pelajaran sehingga Erin harus memanggil petugas untuk melerai mereka. Tekanan dan tantangan untuk mengajar tidak hanya diperoleh Erin dari murid-murid di kelasnya, tetapi juga dari suami dan ayahnya.
Pada awal mengajar, Erin hanya berusaha menyampaikan materi dan membuat murid-muridnya mengerti mengenai materi yang ia sampaikan. Ia tidak menyadari keadaan yang sedang dialami dan dihadapi oleh murid-muridnya yang menjadi tembok penghalang mereka untuk dapat menjadi seorang murid yang baik. Pada suatu hari, Erin menemukan sebuah gambar salah seorang muridnya. Gambar itu adalah gambar seorang kulit hitam dengan bibir yang sangat tebal. Disinilah akhirnya Erin melihat betapa seriusnya isu rasis yang ada di kelasnya. Erin akhirnya memutuskan untuk menjadikan isu rasis menjadi media pengajaran Bahasa Inggrisnya. Erin berharap ini tidak hanya akan meningkatkan nilai akademis mereka, namun juga dapat menolong mereka terbebas dari belenggu benci dan dendam akibat rasisme.
Berbagai macam cara dilakukan Erin untuk menjangkau murid-muridnya. Seringkali cara yang ia lakukan sangat berbeda dari yang dilakukan oleh rekan sekerjanya yang lain. Namun cara-cara itu ditambah dengan ketulusan dan kasih sayang dari Erin berhasil menyentuh hati murid-muridnya. Hubungan antara Erin dan murid-muridnya juga menjadi semakin dalam pada saat Erin meminta mereka untuk menulis jurnal. Erin meminta murid-muridnya untuk menceritakan apapun tentang diri mereka di jurnal; masa lalu, saat sekarang, masa depan, hal-hal baik, hal-hal buruk, puisi, lagu, dll. Erin mengatakan bahwa ia tidak akan menilai tugas tersebut, sehingga siswa tidak perlu khawatir akan isi tulisannya, namun jika mereka ingin agar Erin membaca tulisan mereka, maka mereka dapat meletakkannya di dalam lemari terkunci yang telah disediakan Erin sebelumnya. Tanpa disangka ternyata hampir seluruh murid meletakkan jurnal mereka di lemari tersebut dan ingin agar Erin membacanya. Lewat jurnal inilah Erin mulai mengenal murid-muridnya lebih dalam secara pribadi. Lewat tulisan mereka, Erin akhirnya mengerti apa yang mereka alami, rasakan, dan penyebab kebencian serta dendam yang ada di dalam diri mereka. Hal ini sangat menolong Erin untuk memahami keadaan murid-muridnya sehinggga ia dapat menerapkan metode mengajar yang lebih tepat.
Usaha Erin untuk mengajar dan menolong murid-muridnya ternyata tidak mendapat dukungan dari pihak sekolah. Pihak sekolah sudah terlanjur memiliki cap tertentu pada murid-murid Erin. Pihak sekolah menilai murid-murid Erin tidak memiliki harapan dan masa depan. Hal ini menyebabkan sangat sulit bagi Erin untuk memperoleh bahan ajar yang ia perlukan. Bahkan ijin untuk meminjam buku di perpustakaan sekolah pun tidak Erin dapatkan. Pihak sekolah merasa bahwa murid-murid Erin tidak dapat membaca dan hanya akan menghilangkan, mencoret atau merusak buku tersebut.
Tantangan dan hambatan yang dialami Erin tidak membuatnya menyerah. Erin sudah bertekad untuk melakukan yang terbaik bagi murid-muridnya. Oleh karena itu Erin memutuskan untuk bekerja di dua tempat lainnya (menjadi pramuniaga di sebuah toko Bra dan menjadi penjaga pintu Hotel) agar ia dapat memiliki uang yang cukup untuk membelikan buku-buku yang dibutuhkan murid-muridnya, membiayai perjalanan tour mereka, dan hal-hal lainnya.
Pada suatu kesempatan, Erin mengadakan sebuah perjamuan untuk para murid yang ia sebut sebagai “Toast for Change”. Pada perjamuan ini, setiap siswa diminta untuk merayakan kebebasan mereka dan mengambil sebuah arah baru di dalam hidup mereka. Satu per satu murid-murid Erin maju ke depan untuk membagikan pandangan, harapan, dan komitmen mereka. Perlahan tapi pasti, kini murid-murid Erin mulai terbebas dari rasisme serta kebencian dan dendam yang ditimbulkannya. Kini mereka memiliki pengharapan dan tujuan yang baru di dalam hidup mereka.
Di akhir film dijelaskan bahwa murid-murid Erin akhirnya dapat lulus dari SMU dan menjadi orang pertama di keluarga mereka yang lulus SMU dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Jurnal yang pernah ditulis oleh murid-murid Erin akhirnya dibuat menjadi sebuah buku dan dipublikasikan pada tahun 1999. Buku ini diberi nama “The Freedom Writers Diary”. Beberapa tahun kemudian Erin dan murid-muridnya mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama “Yayasan Freedom Writers”. Yayasan ini mereka dedikasikan untuk mengulang kesuksesan ruang kelas 203 di ruang kelas di seantero negeri.
Film ini sangat baik untuk kita tonton khususnya ketika kita bekerja dalam dunia pendidikan. Lewat film ini kita dapat belajar bagaimana perhatian dan kasih sayang dari seorang guru dapat mengubah hidup banyak murid, dan bagaimana perubahan dari setiap murid ini membawa perubahan-perubahan bagi lebih banyak orang. Kita juga akan mendapatkan banyak sekali inspirasi mengenai metode-metode mengajar yang efektif, belajar mengenai hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam proses belajar-mengajar, dan bagaimana kekuatan sebuah kepedulian dapat merobohkan tembok-tembok pemisah dan memberi harapan baru dalam hidup seorang murid.
Selamat menonton…!
IB/ Tim Karakter