Hidup dalam Kejujuran

hidup dalam kejujuran

Hidup dalam Kejujuran (Ams. 14:2)

Siapa berjalan dengan jujur, takut akan TUHAN, tetapi orang yang sesat jalannya, menghina Dia.

 

Oleh: Maria Fennita S, staf Kerohanian

 

Pada tahun2008, New York Magazine menerbitkan sebuah artikel mengenai riset terkait anak-anak dan berbohong. Dalam riset tersebut, sekelompok anak dikumpulkan dan dibacakan buku cerita The Boy Who Cried Wolf yang menceritakan tentang seorang anak kecil yang dimakan oleh serigala karena ia telah berbohong. Sebelum riset ini, dilakukan juga survei terhadap sekelompok orang tua mengenai pandangan mereka tentang cerita dari buku tersebut dan kaitannya dengan berbohong. Menurut para orang tua dalam survei ini, sebagian besar berpikir bahwa konsekuensi-konsekuensi negatif yang diceritakan dari buku The Boy Who Cried Wolf itu akan mengarahkan anak-anak untuk lebih jujur. Meski demikian, setelah anak-anak mendengar cerita The Boy Who Cried Wolf, para peneliti mendapati bahwa anak-anak tersebut tetap berbohong dengan tingkat kebohongan seperti sedia kala.

Kemudian para peneliti itu melakukan riset berikutnya, dengan membacakan kisah tentang George Washington dan pohon ceri. Dalam kisah tersebut, George datang kepada ayahnya dan mengaku bahwa ia telah menebang pohon ceri kesayangan ayahnya. Mendengar pengakuan George, ayahnya berkata, “Mendengarmu berkata jujur daripada berbohong, itu lebih baik dibanding jika ayah punya ribuan pohon ceri.” Lalu dalam riset ini para peneliti mendapati bahwa kisah George Washington dan pohon ceri itu mampu mengurangi kebohongan yang dilakukan anak-anak sebanyak 43%. Mereka menyimpulkan, ancaman hukuman terhadap kebohongan hanya mengajarkan anak-anak untuk belajar bagaimana berbohong dengan cara yang lebih baik. Ketika anak-anak belajar betapa berharganya sebuah kejujuran, seperti yang ditekankan dalam kisah George Washington, kebohongan mereka berkurang.

Terkait pentingnya kejujuran, firman Tuhan berulangkali memberikan penegasan tentang betapa penting dan berharganya kejujuran: Karena kejujurannya, orang akan bermegah dan bersukacita (Mzm. 64:11), akan bersyukur kepada Tuhan (Mzm. 119:7), akan hidup sesuai firman Tuhan dan membenci jalan dusta (Mzm. 119:128), berelasi dekat dengan Tuhan (Mzm. 140:14; Ams. 3:32; Ams. 16:13), hidup dalam ketulusan (Ams. 11:3) dan kebenaran (Ams. 11:6), ditolong oleh Allah (Ams. 2:7), takut akan Allah (Ams. 14:2), mewujudkan kebaikan (Ams. 14:9), doanya diperkenan Tuhan (Ams. 15:8), hidup menjauhi kejahatan (Ams. 16:17), dst.

Berdasarkan terang kebenaran firman Tuhan di atas, terlihat jelas betapa kejujuran dipandang sangat penting dan berharga oleh Tuhan. Mengapa? Alasannya bukan semata-mata karena moralitas (kejujuran itu baik dan ketidakjujuran itu buruk), melainkan karena kejujuran terkait langsung dengan cara kita memandang memperlakukan Allah. Dalam Amsal 14:2 dituliskan, “Siapa berjalan dengan jujur, takut akan TUHAN, tetapi orang yang sesat jalannya, menghina Dia.” Ini artinya, kejujuran kita dalam hidup ini bukan semata-mata dalam rangka hidup baik, melainkan untuk hidup takut akan Tuhan dan menghormati Dia sebagai Pemilik hidup kita. Dan ayat tersebut juga berarti, ketidakjujuran atau dusta yang kita perbuat bukan semata-mata membuktikan keburukan moralitas kita, melainkan di saat yang sama juga memperlihatkan penghinaan kita kepada Tuhan.

Mengapa ketidakjujuran atau dusta dianggap penghinaan kepada Tuhan? Ini terkait dengan siapa sumber dusta dan bapa segala pendusta, yaitu Iblis (Yoh. 8:44). Sederhananya, ketika kita memilih berbohong daripada jujur, kita lebih memilih menuruti kemauan iblis dibanding kehendak Allah; kita memilih menghina Tuhan daripada takut akan Dia. Tidak heran jika Allah sangat serius menangani persoalan kejujuran dan ketidakjujuran ini. Dalam Yehezkiel 13:8, firman Tuhan mengatakan, “Sebab itu, beginilah firman Tuhan ALLAH, oleh karena kamu mengatakan kata-kata dusta dan melihat perkara-perkara bohong, maka Aku akan menjadi lawanmu, demikianlah firman Tuhan ALLAH.”

Sebagai pendidik ataupun orang tua, mari kita mengevaluasi diri, bagaimanakah selama ini kita menyikapi kejujuran ataupun ketidakjujuran, baik yang kita perbuat sendiri, atau yang diperbuat pasangan kita, rekan kerja kita, atau bahkan anak-anak/siswa kita? Seberapa besar kepedulian kita ketika menyaksikan ketidakjujuran? Seberapa besar antusiasme kita untuk hidup jujur dan menjadi teladan kejujuran dalam keseharian kita?

Seorang kritikus seni dan pemerhati sosial abad 19, John Ruskin (8 Februari 1819 – 20 Januari 1900), menuliskan, “Yang menjadi pendidikan mula-mula adalah memampukan anak-anakmu untuk jujur.” Biarlah ini menjadi PR kita bersama, baik orang tua maupun guru. Mari didik anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita tentang betapa berharganya kejujuran itu! Mari dorong mereka untuk berkata, bertindak, dan berpikir dengan jujur! Dan yang terlebih penting lagi, mari kita mulai dari diri kita, untuk berkata, berbuat, dan berpikir dengan jujur. Dengan demikian kehidupan kita sungguh dapat menjadi teladan bagi orang lain dan memuliakan Tuhan, sebagaimana yang dinasehatkan Paulus kepada Titus, “Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.”

Posted in karakter and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , .