Oleh: Dwi Handayani, Orang Tua Siswa.
Anak adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Sebagai orang tua, kita pasti ingin menanamkan nilai-nilai kebaikan di hidupnya agar menjadi generasi yang tangguh dan mandiri di masa depannya.
Saya ingin berbagi cerita tentang putri pertama kami. Dia merupakan anak yang patuh dan penyayang, tetapi memiliki sifat pemalu serta cenderung manja. Ketika teman sebayanya mengajaknya bermain, ia lebih memilih lari pulang ke rumah dan hanya mau bermain jika saya menemaninya. Selain itu, daya juangnya masih lemah. Misalnya, saat mencoba membuat benda dari origami dan hasilnya tidak sesuai harapan, ia langsung menyerah dan enggan mencoba kembali.
Sebagai orang tua, kami selalu berusaha membimbing dan menyemangatinya agar lebih percaya diri serta mau berusaha. Kami terus mengingatkan bahwa tidak semua keinginannya dapat langsung terwujud tanpa usaha. Ada kalanya ia harus bekerja keras dan berjuang untuk mencapai sesuatu. Selain itu, kami juga menanamkan nilai syukur atas segala nikmat yang sudah Tuhan berikan. Kami ingin ia memahami bahwa menghargai apa yang dimiliki lebih penting daripada terus meminta lebih, karena masih banyak orang lain yang hidup dalam keterbatasan.

Pelajaran Berharga dari Sebuah Keinginan
Suatu hari, saat usia anak kami lima tahun, dia minta dibelikan mainan yang cukup mahal bagi kami, yaitu satu set mainan Plants vs Zombies. Kami pun tidak membelikannya karena mainannya sudah cukup banyak di rumah. Beberapa hari kemudian, ketika sedang mengikuti sekolah daring, ia memanggil saya dan menunjukkan layar laptop. Rupanya, ada teman laki-lakinya yang memegang mainan yang ia inginkan. Dengan penuh harap, ia kembali meminta hal yang sama. Namun, jawaban kami tetap tidak berubah. Kami menjelaskan alasan yang sama agar ia belajar memahami bahwa tidak semua keinginan bisa langsung terpenuhi.
Beberapa minggu kemudian, terjadi sesuatu yang sangat membekas dalam hati saya. Suatu siang, ia tiba-tiba berkata ingin berjualan. Awalnya, saya mengira ini hanyalah bagian dari permainan jual-jualan seperti biasanya. Saya mengiyakan saja karena dia suka mainan jual-jualan dan mama papanya disuruh menjadi pembeli. Namun, ternyata kali ini berbeda. Ia meminta saya membawakan meja belajar kecilnya ke teras depan rumah. Tidak lama kemudian, ia menempelkan kertas HVS bertuliskan “Mainan ini dijual, ya!” dengan hiasan warna-warni.
Ketika saya bertanya tujuannya, ia dengan penuh semangat menjawab, “Aku mau jualan karena aku mau dapet duit biar bisa beli mainan Zombie.”
Ternyata, tanpa kami sadari, ia mulai memahami pentingnya usaha untuk mendapatkan sesuatu. Ia tidak lagi sekadar meminta, melainkan mulai menunjukkan sikap pantang menyerah dengan mencari cara sendiri untuk mewujudkan keinginannya.
Baca Juga : Dibentuk dengan Berbagi Hidup
Sikap Pantang Menyerah dalam Berusaha
Tak lama setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan kembali membawa sekantong mainan serta beberapa camilan dari rak makanan. Dia letakkan berbagai cemilan tersebut, kemudian dia mengambil kertas, gunting, dan selotip. Dengan penuh antusiasme, ia menuliskan harga dan menempelkannya ke bungkus cemilan.
Saat dia meletakkan cemilan ke meja, saya lihat harga satu Beng-Beng Rp1.000.000 dan Nyam-Nyam Rp1.000.000.000. Hampir semua cemilan dia kasih harga fantastis. Saya hanya tertawa dalam hati. Ya… tentunya dia belum paham arti nol sebanyak itu. Walau geli melihat hal itu, saya terharu sekali. Saya tidak menyangka dia akan seniat itu untuk berjualan demi mendapatkan mainan yang dia mau. Entah dari mana asal ide itu, yang pasti saya dan suami cukup kaget melihatnya. Saat itu, saya mengelus rambutnya sambil berkata, “Jadi kamu mau jualan beneran, ya?”
Dia pun menjawab dengan semangat, “Iyaa… nih aku udah tulis harga makanannya, terus aku juga mau jualin mainan yang di kantong yang udah nggak aku suka.”
Melihat semangatnya, saya setuju untuk membantunya. Namun, karena saat itu siang hari dan matahari sangat terik, saya menyarankan untuk berjualan sore saja. Namun, ia tetap bersikeras ingin melanjutkan. Ia bahkan membuka pagar rumah lebar-lebar dan menggeser meja ke depan agar lebih terlihat oleh orang-orang. Dengan penuh semangat, ia duduk menunggu pembeli datang.
Setelah 15 menit berlalu tanpa ada satu pun pembeli, saya hanya bisa mengawasinya dari dalam rumah. Ia tetap duduk diam, mungkin sedang berpikir apakah usahanya akan berhasil atau tidak. Setelah lebih dari 20 menit, akhirnya saya berhasil membujuknya masuk dan berjanji untuk berjualan kembali di sore hari.
Buah dari Sikap Pantang Menyerah
Sore hari pun tiba. Sekitar pukul 4, ia kembali semangat untuk berjualan. Kami berdiskusi mengenai harga yang lebih masuk akal dan memilih mainan yang layak dijual. Mainan kecil diberi harga Rp1.000 atau Rp2.000 agar lebih mudah dibeli oleh anak-anak lain. Kebetulan, di dekat rumah ada musala yang ramai dengan anak-anak mengaji pada sore hari. Kami berharap ada beberapa anak yang tertarik membeli dagangannya.
Setelah mencoba berjualan selama tiga hari, uang yang terkumpul sebanyak 22 ribu rupiah. Dia senang bukan main. Kami berniat mau menambahkan uang untuk membelikan mainan yang dia mau. Saya pun bertanya, “Kamu jadi mau beli mainan Plants vs Zombies?”
Secara mengejutkan, dia menjawab, “Enggak jadi. Aku mau beli mainan makeup-makeupan aja!” sambil menunjukkan gambarnya di Tokopedia.
Apa pun akhirnya, kami salut atas usahanya, kami pun bersyukur karena anak kami akhirnya dapat memahami jika ingin mendapatkan sesuatu harus berusaha dan tidak pantang menyerah. Oh ya, ternyata dari hasil usaha berjualannya itu pula dia akhirnya belajar bersosialisasi dan lebih percaya diri, bahkan akhirnya mendapatkan teman baru untuk bermain setiap sore hari.