Perbedaan yang Indah

Oleh: Erika Kristianingrum – Orang tua murid kelas IXEr dan VW

Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar mengenai MBTI (Myers–Briggs Type Indicator), sebuah tes kepribadian yang mengidentifikasi kecenderungan seseorang dalam berpikir, berperilaku, dan mengambil keputusan. MBTI dikembangkan oleh Katharine Cook Briggs dan Isabel Briggs Myers untuk memahami bagaimana individu melihat dunia dan merespons berbagai situasi. (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Myers-Briggs_Type_Indicator).

Dalam MBTI, kepribadian seseorang dikategorikan berdasarkan empat dimensi utama:

Setiap individu memiliki kombinasi dari keempat kategori ini, yang membentuk kepribadian unik mereka dengan kelebihan serta tantangan masing-masing.

Perbedaan Extrovert dan Introvert dalam Keluarga

Dalam keluarga saya, perbedaan kepribadian ini sangat nyata. Saya dan anak pertama memiliki kepribadian extrovert, yang berarti kami memperoleh energi dengan berbicara dan berinteraksi. Sebaliknya, suami dan anak kedua adalah introvert yang justru mendapat energinya dengan berdiam menyendiri. Bagi orang introvert, melelahkan berada di kerumunan orang yang banyak bicara.

Perbedaan ini membuat saya sering sekali uring-uringan dengan suami dan anak saya. Misalnya saat suami pulang kerja, saya yang merasa lelah harus mendapatkan energi dengan menceritakan keseharian saya. Mendapatkan tanggapan dengan jawaban seadanya dari suami sering membuat saya jengkel. Padahal saat itu suami saya juga lelah karena teman satu timnya sebagian besar adalah orang extrovert sehingga dia membutuhkan waktu untuk me-recharge energinya dengan berdiam sebentar.

Setelah saya sadar bahwa kami berbeda, saya mengajak suami berdiskusi tentang perbedaan sifat kami. Akhirnya, saya mengerti ketika saya mulai berdiam diri sejenak, saya dapat merefleksikan makna hidup ini.

Judging vs. Perceiving: Diferensiasi Gaya Hidup yang Menantang

Perbedaan lain yang cukup mencolok adalah dalam hal gaya hidup. Saya adalah tipe judging yang berarti saya menyukai keteraturan, perencanaan, dan kepastian. Sebaliknya, suami dan kedua anak saya adalah tipe perceiving yang lebih fleksibel dan spontan.

Perbedaan ini paling terasa saat kami merencanakan perjalanan liburan. Saya terbiasa memikirkan “nanti bagaimana” dan merencanakan hal-hal yang akan kami lakukan untuk memastikan liburan kami berjalan dengan baik dan berkesan. Namun, suami dan anak-anak seringkali tidak mengindahkan jadwal yang sudah saya buat. Hal itu menjengkelkan bagi saya. Sifat santai mereka pernah membuat kami berangkat melebihi waktu yang sudah saya rencanakan. Namun, keterlambatan itu justru membuat kami terhindar dari kemacetan luar biasa karena sebelumnya terjadi kecelakaan di jalan yang akan kami lewati.

Setelah kejadian itu saya menyadari bahwa sesekali menjadi fleksibel itu menyenangkan. Saya mulai belajar untuk menerima hal-hal yang tidak prinsip dan anak-anak serta suami belajar untuk teratur terhadap hal-hal yang prinsip. Perubahan kecil dalam cara kami menyesuaikan diri membuat perbedaan itu tidak lagi menjadi konflik, melainkan sebuah harmoni yang memperkaya kehidupan keluarga kami.

Menghadapi perbedaan kepribadian dalam keluarga tentu tidak selalu mudah. Kadang kala, perbedaan ini memicu kesalahpahaman, bahkan menimbulkan kekecewaan. Namun, Tuhan mengijinkan perbedaan itu ada supaya saya belajar untuk bisa menerima diri sendiri dan menerima suami serta anak-anak saya apa adanya, agar kami bisa berjalan bersama dengan perbedaan itu. Perbedaan itu tetap ada hingga saat ini tetapi cara merespon yang berbeda membuat perbedaan itu menjadi sebuah harmoni yang indah sehingga menjadikan saya pribadi yang semakin baik.

Bagaimana dengan Anda? Pernahkah perbedaan dalam keluarga membuat Anda frustrasi atau justru perbedaan tersebut memberi Anda pelajaran berharga?

Posted in Kisah Inspiratif and tagged , , , , , , , , , , , .