Liburan di Rumah Bebas ‘Drama’

Oleh: Hilda Davina S. – Staf Parenting PK3

Penilaian Akhir Semester (PAS) baru saja selesai. Hari libur menanti di depan mata. Anak-anak pun bersukacita menyambutnya. Liburan adalah waktu di mana anak-anak bisa rehat sejenak dari rutinitas belajar selama satu semester. Namun, di balik sukacita anak-anak, terdengar beberapa keluhan dari orang tua antara lain, “Anakku kalau liburan malah bangun siang,” atau “Anakku kalau di rumah, tiap hari main HP karena bingung mau main apa.”
Keluhan-keluhan tersebut sering terucap saat anak-anak menjalani masa liburan di rumah. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh rutinitas yang tidak sengaja terbentuk karena aktivitas anak di rumah turut ‘berlibur’ saat anak berada di rumah. Oleh sebab itu, orang tua perlu menciptakan rutinitas yang berkesinambungan untuk mengajarkan kedisiplinan pada anak.
Berikut ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk menerapkan disiplin di rumah:

Instruksi yang Jelas
Orang tua perlu mengomunikasikan dengan jelas perilaku yang diharapkan dari anak dan menetapkan batasan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menciptakan rutinitas yang teratur, stabil, dan nyaman. Rutinitas dapat membantu mengembangkan perilaku dan kontrol pribadi pada anak-anak. Agar anak dapat menikmati rutinitas mereka, ajak anak untuk terlibat dalam membuat jadwal dan aturan yang akan disepakati bersama. Di kegiatan tersebut, orang tua bisa berkreasi bersama anak untuk membuat poster dan menempelkannya di tempat yang gampang dilihat oleh seluruh anggota keluarga.

Berikan Pujian dan Semangat
Pujian dan dorongan semangat dapat memupuk rasa percaya diri dan harga diri anak. Berikan dorongan semangat atas upaya yang telah dilakukan oleh anak. Misalnya ketika anak mendapat nilai yang baik saat penilaian harian. Orang tua bisa berkata, “Kamu telah belajar dengan giat sehingga mendapatkan hasil yang baik.” Selain itu, pujian juga dapat diberikan ketika anak-anak menceritakan keberhasilan kecil yang mereka raih. Namun, tahukah Bapak Ibu, pujian paling efektif adalah pujian yang datangnya tanpa diharapkan anak. Contohnya, Orang tua memberi pujian ketika anak membereskan kamarnya tanpa diminta. Pujian tersebut akan lebih berarti bagi anak. Pujian yang tidak pernah diharapkan akan menjadi motivasi anak untuk mencapai keberhasilan.

Berikan Konsekuensi
Sebelum memberikan konsekuensi atas perilaku anak, jelaskan terlebih dahulu perilaku seperti apa yang orang tua harapkan dan konsekuensi apa yang akan mereka dapatkan jika mereka berbuat sebaliknya. Misalnya jika anak tidak mau merapikan mainannya, maka mainan tersebut akan disimpan di gudang dalam waktu tertentu.

Jadilah Teladan
Sikap orang tua memberi pengaruh yang besar pada anak. Anak perlu teladan orang tua yang selalu taat pada aturan, yang tentunya bersumber pada ketaatan kepada Tuhan. Contohnya, orang tua membuat aturan tidak ada gawai saat sedang makan di meja makan. Maka aturan tersebut seharusnya tidak hanya berlaku bagi anak tapi juga bagi orang tua. Dengan demikian, anak melihat orang tua sebagai orang yang adil dan berpegang pada aturan yang telah disepakati.

Butuh proses yang panjang untuk belajar disiplin. Kunci keberhasilannya adalah konsistensi dan kesabaran. Melalui proses ini, orang tua akan dibentuk menjadi pribadi yang lebih tegas tapi tetap penuh kasih dan sabar dalam mendidik anak-anak. Buah dari kedisiplinan ini juga akan membentuk anak menjadi pribadi yang lebih rajin dan taat.

Catatan: poin-poin tentang disiplin disadur dari beberapa sumber:
Ezzo, G. & Ezzo, A. M. 2001. Membesarkan Anak dengan Cara Allah.
Family routines: how and why they work. Diambil dari https://raisingchildren.net.au/pre-teens/behaviour/behaviour-management-ideas/family-routines

Kasih Karunia dari Allah

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian PK3

Lukas 1:30-31
Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.

Maria mendapat kasih karunia di hadapan Allah. Kasih karunia yang dimaksud oleh malaikat adalah mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi Juru Selamat dunia. Di satu sisi, ini adalah sebuah hak istimewa yang luar biasa, rahim manusia berdosa dipakai untuk hadir-Nya Yesus, Putra Allah. Namun, di sisi lain tentu ini merupakan tugas yang berat karena Maria masih perawan. Saat itu di Israel, jika seorang wanita yang belum menikah mengandung seorang anak maka ia akan mendapatkan hukuman mati. Karena itu, kasih karunia yang diterima Maria adalah sebuah tanggung jawab mulia dari Allah. Ia menjadi rekan sekerja Allah untuk mewujudkan rencana Allah yang mulia yaitu menyelamatkan manusia yang berdosa.
Apa yang kita pikirkan ketika berbicara mengenai kasih karunia? Apakah kasih karunia yang kita pikirkan adalah berkat-berkat jasmani, kemudahan hidup dan kesenangan dunia ini? Kasih karunia Allah jauh melampaui keindahan dan kenikmatan dunia ini. Kasih karunia Allah adalah ketika kita bisa menjadi bagian dari penggenapan rencana Allah yang mulia. Kasih Karunia adalah ketika kita bersedia dipakai menjadi hamba-Nya, melakukan kehendak-Nya seperti Maria (Lukas 1:38). Dan dalam prosesnya, Allah tidak meninggalkan umat-Nya.
Salah satu kasih karunia Allah bagi kita adalah dengan menjadi orang tua. Tidak semua orang punya kesempatan ini, namun jika kita memilikinya, bersyukurlah. Sebab anak adalah hak istimewa sekaligus tanggung jawab yang mulia dari Allah. Adakalanya tanggung jawab ini terasa berat sebab orang tua dan juga anak-anak sama-sama manusia yang terbatas. Namun, itu bukan berarti orang tua di dalam Tuhan tidak akan mampu mengemban tanggung jawab ini. Sebab kasih karunia Allah juga berarti adanya penyertaan Allah bagi mereka yang dipilih Allah untuk melakukan misi-Nya.
The story of Christmas is the story of God’s relentless love for us – Kisah Natal adalah kisah kasih Tuhan yang tiada henti bagi kita (Max Lucado). Oleh karena itu, biarlah momen Natal mengingatkan kita bahwa kasih karunia Allah telah dinyatakan bagi kita dengan kehadiran Kristus yang mengasihi dan menyelamatkan kita. Dan kiranya teladan kasih Allah itu mendorong kita untuk menjadi orang tua yang menyatakan kasih Kristus kepada anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita.

PARADIGMA KURIKULUM MERDEKA

Oleh: Elisabeth Lili Herlianah – Research & Development Unit SMP

Tahun Ajaran 2023-2024, SMP Athalia mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. Penerapan ini dilaksanakan secara bertahap, tahun ini diawali di kelas VII. Tentunya sebelum menerapkan kurikulum ini, semua pihak harus menyiapkan banyak hal, baik pihak sekolah, murid, dan orang tua murid. Pihak sekolah telah memberikan pembekalan kepada pendidik dan tenaga kependidikan berupa pelatihan maupun workshop mengenai Kurikulum Merdeka. Hal yang terpenting untuk dapat memahami dan melaksanakan Kurikulum Merdeka, semua pihak harus menyadari akan perubahan paradigma dari paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma Kurikulum Merdeka menekankan pada pengembangan kemampuan adaptasi dan pembelajaran sepanjang hayat. Berikut adalah beberapa poin penting dalam paradigma ini:

1. Pembelajaran berpusat pada siswa

Kurikulum Merdeka menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada murid. Setiap murid aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Murid diberi kesempatan untuk menggali minat dan bakat mereka sendiri, mengembangkan kekuatan mereka, dan mengatasi kelemahan mereka.

2. Peningkatan keterampilan abad ke-21

Kurikulum Merdeka fokus pada pengembangan keterampilan abad ke-21, seperti keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, komunikasi, pemecahan masalah, dan literasi digital. Murid diajarkan bagaimana menerapkan keterampilan ini dalam berbagai konteks baik dalam pembelajaran maupun kehidupan sehari-hari.

3. Integrasi teknologi

Paradigma ini mengakui pentingnya teknologi dalam kehidupan siswa saat ini. Oleh karena itu, teknologi digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi pembelajaran yang aktif, kolaboratif dan kreatif. Murid diajarkan tentang penggunaan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.

4. Pembelajaran lintas disiplin

Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran lintas disiplin, setiap murid dapat mempelajari berbagai bidang pengetahuan dan mengintegrasikan konsep-konsep yang diajarkan bukan untuk satu disiplin ilmu saja melainkan dapat dihubungkan lebih holistik.

5. Pengembangan karakter dan etika

Selain pengetahuan akademik, Kurikulum Merdeka juga menekankan pada pengembangan karakter dan etika murid. Murid diajarkan nilai-nilai seperti integritas, empati, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Paradigma ini berusaha menciptakan individu yang tidak hanya pintar secara akademik tetapi juga berkepribadian baik.

6. Keterlibatan komunitas

Paradigma Kurikulum Merdeka mendorong keterlibatan komunitas dalam pembelajaran. Murid diajak untuk terlibat dalam proyek-proyek yang relevan dengan komunitas mereka sehingga mereka dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam konteks yang nyata.

Kurikulum Merdeka bertujuan untuk mempersiapkan murid menjadi individu yang siap menghadapi dunia yang terus berubah. Paradigma ini memberikan siswa kebebasan untuk mengembangkan potensi mereka sendiri dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran. Namun, di usia remaja ini mereka masih sangat membutuhkan dukungan terutama dari pihak orang tua. Dukungan dari orang tua bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Dukungan secara langsung misalnya orang tua dapat mendampingi saat putra-putrinya sedang belajar di rumah ataupun saat membuat proyek yang sedang mereka kerjakan. Dukungan secara tidak langsung misalnya orang tua memberikan kesempatan kepada putra-putrinya untuk mencari informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugasnya dengan memberikan fasilitas yang diperlukan dalam pencarian informasi. Dukungan yang tidak kalah pentingnya adalah orang tua terus mendoakan dan memberikan semangat untuk putra-putrinya agar menjadi pribadi yang berkarakter dan mandiri. Demikianlah sekilas informasi mengenai paradigma Kurikulum Merdeka. Tetap semangat untuk pendidik, tenaga kependidikan, murid, dan orangtua dalam menerapkan Kurikulum Merdeka. Kerja sama yang harmonis dari semua pihak sangat diperlukan, terutama orangtua dan pihak sekolah demi generasi muda menyongsong masa depan yang lebih gemilang.

Catatan:
Poin-poin tentang paradigma Kurikulum Merdeka diambil dari sumber di bawah ini dengan beberapa perubahan redaksi kalimat.
https://dikbudbanggai.id/read/183/paradigma-baru-kurikulum-merdeka-menghadapi-abad-21

Perbedaan yang Indah

Oleh: Erika Kristianingrum – Orang tua murid kelas IXEr dan VW

Sebagian dari kita pasti pernah mendengar salah satu tes kepribadian yang disebut MBTI. MBTI sendiri adalah kepanjangan dari (Myers–Briggs Type Indicator). Tes ini untuk menilai kecenderungan kepribadian seseorang. “MBTI (Myers-Brigg Type Indicator) adalah tes kepribadian yang dikembangkan oleh ibu dan anak Katharine Cook Briggs dan Isabel Briggs Myers untuk mengukur bagaimana seseorang melihat dunia dan membuat keputusan” (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Myers-Briggs_Type_Indicator).

  • Dari sisi seseorang mendapat energi maka ada extrovert (E) dan introvert (I)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengolah informasi ada sensing (S) dan intuition (N)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengambil keputusan ada thinking (T) dan feeling (F)
  • Dari sisi bagaimana seseorang mengelola hidup ada Judging (J) dan Perceiving (P) (Chahyadi, 2019)

Setiap pribadi memiliki 4 kombinasi ini di dalam diri mereka. Setiap kombinasi masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya.
Demikian juga dengan saya, suami, dan anak-anak. Saya dan anak pertama memiliki kepribadian yang extrovert, kami memperoleh energi kami dengan berbicara dan mengobrol dengan orang lain. Sementara itu, suami dan anak kedua saya memiliki kepribadian yang introvert yang justru mendapat energinya dengan berdiam menyendiri. Bagi orang introvert melelahkan berada di kerumunan orang yang banyak bicara. Perbedaan ini membuat saya sering sekali uring-uringan dengan suami dan anak saya. Saat suami pulang kerja, saya yang merasa lelah harus mendapatkan energi dengan menceritakan keseharian saya dengan tak berhenti bercerita. Mendapatkan tanggapan dengan jawaban seadanya dari suami sering membuat saya jengkel. Padahal saat itu suami saya juga lelah karena teman satu timnya sebagian besar adalah orang extrovert sehingga dia membutuhkan waktu untuk me-recharge energinya dengan berdiam sebentar. Setelah saya sadar bahwa kami berbeda, saya mengajak suami berdiskusi tentang perbedaan sifat kami. Akhirnya, saya mengerti ketika saya mulai berdiam diri sejenak, saya dapat merefleksikan makna hidup ini.


Perbedaan lain yang cukup mencolok adalah dalam hal gaya hidup. Saya adalah tipe judging. Tipe judging memiliki gaya hidup yang teratur, rapi, dan terencana. Pernyataan yang khas dari orang judging adalah “nanti bagaimana.” Sedangkan suami dan kedua anak saya adalah tipe perceiving yang lebih fleksibel, pernyataan yang khas dari tipe perceiving adalah “gimana nanti.” Contoh perbedaan sikap yang pernah terjadi adalah saat kami melakukan perjalanan liburan. Saya terbiasa merencanakan hal-hal yang akan kami lakukan untuk memastikan liburan kami berjalan dengan baik dan berkesan. Sayangnya, suami dan anak-anak seringkali tidak mengindahkan jadwal yang sudah saya buat dengan susah payah. Hal itu menjengkelkan bagi saya. Sifat santai mereka pernah membuat kami berangkat melebihi waktu yang sudah saya rencanakan. Namun, keterlambatan itu justru membuat kami terhindar dari kemacetan luar biasa karena sebelumnya terjadi kecelakaan di jalan yang akan kami lewati. Setelah kejadian itu saya menyadari bahwa sesekali menjadi fleksibel itu menyenangkan. Saya mulai belajar untuk menerima hal-hal yang tidak prinsip dan anak-anak serta suami belajar untuk teratur terhadap hal-hal yang prinsip.


Tentu tidak mudah menyikapi perbedaan, kadang menimbulkan luka dan air mata. Namun, Tuhan mengijinkan perbedaan itu ada supaya saya belajar untuk bisa menerima diri sendiri dan menerima suami serta anak-anak saya apa adanya, agar kami bisa berjalan bersama dengan perbedaan itu. Perbedaan itu tetap ada hingga saat ini tetapi cara merespon yang berbeda membuat perbedaan itu menjadi sebuah harmoni yang indah sehingga menjadikan saya pribadi yang semakin baik.

Seni Berkomunikasi dengan Anak

Oleh: Marcelina Denise Lahenda – Staf Konselor SD

Bulan Bahasa diperingati setiap bulan Oktober di Sekolah Athalia. Kegiatan ini bertujuan sebagai pengingat akan fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi antar individu dan juga alat berinteraksi dengan sesama manusia. Misalnya, anak bertumbuh dan belajar banyak melalui percakapan secara khusus dengan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Hal ini bukan hanya membantu mereka mengembangkan keterampilan berbahasa. Namun, membangun hubungan yang kuat dengan keterampilan sosial yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, komunikasi yang efektif dengan anak merupakan fondasi penting dalam membentuk hubungan yang sehat dan keterikatan emosi antara orangtua dan anak.
Komunikasi yang efektif akan menolong anak untuk merasa dipahami, dimengerti perasaannya, dan dipahami kebutuhannya. Hal ini juga akan menolong anak mengembangkan rasa percaya, perasaan aman dan nyaman sehingga secara tidak langsung juga menolong perkembangan sosial emosinya. Komunikasi yang baik dengan anak bukan hanya tentang berbicara, tetapi juga tentang mendengarkan, memahami, dan merespons dengan tepat. Komunikasi antara orangtua dengan anak sebenarnya bukan hal yang sulit. Namun, membutuhkan keterampilan, memberikan diri, dan juga waktu.

Tips berkomunikasi dengan anak:

  1. Active listening
    Mendengarkan secara aktif membantu anak-anak merasa didengar dan dipahami. Kita perlu mengalihkan perhatian dari ponsel atau pekerjaan lainnya saat berbicara dengan anak. Mereka perlu merasa dirinya penting dan didengarkan. Mendengarkan bukan saja dengan telinga, tetapi dengan hati sehingga kita dapat menangkap bukan hanya tentang apa yang dikatakannya, melainkan perasaan dibalik kata-katanya tersebut.
  2. Reflective listening
    Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa kita memperhatikan dan menangkap apa yang mereka katakan adalah dengan mengulangi apa yang mereka katakan dengan menggunakan frase yang berbeda. Misalnya, jika anak berkata, “Saya tidak mau bermain dengan Tono lagi.” Kita dapat merespons dengan, “Kamu sedang tidak mau main ya. Kelihatannya kamu sedang kesal.” Ini akan membuat anak merasa dimengerti dan tidak dihakimi, sehingga anak dapat mengekspresikan emosi mereka tanpa penilaian.
  3. Speaking clearly
    Gunakan bahasa yang dapat dimengerti untuk anak dan sesuai dengan usia mereka. Pemilihan kata harus jelas, spesifik, dan tidak menggunakan kata-kata yang kasar atau menghina. Menggunakan bahasa yang baik akan membantu memberikan contoh positif bagi anak-anak. Kita harus ingat bahwa percakapan harus membuat anak merasa dihargai dan dicintai.
  4. Explaining feelings
    Untuk membantu anak mengembangkan kecerdasan emosional, penting bagi mereka untuk belajar bagaimana memberi nama perasaan mereka. Ketika anak mengekspresikan perasaan mereka secara verbal, dengarkan apa yang mereka katakan dengan empati dan tanpa penilaian. Jika anak mengekspresikan perasaan mereka dengan cara nonverbal – misalnya melalui amarah atau tertawa dan bersenang-senang melakukan aktivitas yang mereka sukai, kita perlu membahasakan bagaimana perasaan mereka, seperti bahagia, sedih, santai, terluka, takut, lapar, bangga, mengantuk, marah, tidak berdaya, jengkel, malu atau gembira, dll.

Komunikasi yang baik dengan anak bukanlah hal yang instan, tetapi merupakan proses yang perlu dengan sengaja diciptakan dan dibangun karena sangat mempengaruhi hubungan orangtua dengan anak. Dengan memberikan waktu, perhatian, dan mendengarkan dengan baik, kita dapat membantu anak tumbuh dan berkembang secara positif. Semua ini membantu mereka merasa dicintai dan diperhatikan sebagai dasar yang kuat untuk setiap tahap perkembangan di masa depan.

Sumber: https://www.unicef.org/parenting/child-care/9-tips-for-better-communication

Keharmonisan dalam Perbedaan

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian (PK3)

Mazmur 133:1,3a
Nyanyian ziarah Daud. Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion.

Gunung Hermon adalah pegunungan yang diliputi salju, sedangkan tanah di sekitarnya cenderung tandus. Karena itu, kesuburan tanah di sekitar Gunung Hermon bergantung pada embun dan lelehan es dari Gunung Hermon. Sungai es Gunung Hermon juga menjadi sumber utama air Sungai Yordan dan airnya mengalir ke Laut Mati. Daud mengumpamakan kerukunan seperti embun Gunung Hermon. Kerukunan di antara orang percaya dapat menjadi berkat dan sukacita bagi komunitas di mana kita berada, seperti embun Hermon yang memberikan keuntungan bagi daerah sekitarnya.
Sayangnya, kerukunan tidak mudah terjadi dalam sebuah komunitas. Mengapa? Charles Swindoll menulis renungan dalam https://insight.org/resources/daily-devotional/individual/ unity-and-humility, “Do you realize how closely unity and humility are tied together? One breeds the other; neither can exist without the other.” Kerukunan tidak bisa dilepaskan dari kerendahan hati. Sebaliknya, musuh kerukunan adalah kesombongan. Hal ini berlaku bukan hanya dalam komunitas yang besar, tetapi juga dalam setiap keluarga. Tanpa kerendahan hati, kita akan cenderung menghakimi daripada memahami. Tanpa memiliki kesadaran bahwa kita adalah manusia yang lemah dan rapuh, kita cenderung akan cepat marah dan mengeluh daripada menerima dan menolong sesama. Akibatnya, kita terus bertengkar bukan hidup rukun.
Perbedaan tentu akan selalu kita temukan di mana saja. Namun, sikap hati kita dalam merespon akan sangat menentukan apakah kerukunan itu dapat terjadi atau tidak. Karena itu, pilihlah untuk tetap rendah hati, buanglah kesombongan, belajarlah saling menerima, dan menolong. Dengan demikian, kehidupan kita akan seperti Gunung Hermon yang membawa berkat bagi sekitarnya, menghadirkan kerukunan beserta damai sejahtera dan sukacita dalam setiap komunitas di mana pun kita ditempatkan.

Kita Berharga di Mata Tuhan

Oleh: Grace Maharani Eraputri – Alumni SMA Athalia Angkatan XI

Halo perkenalkan namaku Grace Maharani Eraputri alumni Athalia 2023 dan aku sedang berkuliah di Universitas Indonesia jurusan Teknologi Bioproses. Puji Tuhan, aku bisa masuk ke jurusan impianku dan ikut bahagia dengan teman-teman lulusan Athalia yang lulus ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan jurusan yang mereka minati juga. Aku sangat bersyukur diberikan teman-teman seperjuangan, komunitas, dan sekolah yang sangat baik.

Siap masuk ke dunia perkuliahan tidak terlepas dari apa yang telah Athalia ajarkan dan bekalkan padaku. Nyatanya, iman dan karakter teguhlah yang menguatkanku selama berkuliah. Sekarang, aku mau sharing perjalananku bersama Tuhan selama bersekolah di Athalia.

Perjalanan yang cukup panjang aku habiskan di Athalia. Aku belajar dan bertumbuh di Sekolah Athalia sejak berumur 3 tahun, alias masih imut di play group. Awal play group aku sangat penakut, banyak anak-anak yang asik bermain tetapi aku cuma duduk mengamati. Tapi menariknya, aku tidak pernah sendiri. Tahukah mengapa? Karena selalu ada Bu Guru yang menggandengku, sama seperti Allah yang menyertai dari awal hidupku. Jadi, kalau kami lagi keluar dari kelas, pasti aku ada di paling depan karena digandeng oleh Bu Guru. Aku merasa diterima dan ketika 1 tahun lewat, aku sudah jadi anak paling riang gembira di sekolah menyanyikan lagu-lagu karakter dan beraktivitas bersama teman-teman. Jadi dari cerita tersebut, aku jadi mengenali dan mempelajari karakter kasih. Ketika di Sekolah Dasar, aku dididik tentang penguasaan diri, tentang bagaimana menjadi anak yang taat, sabar, murah hati, setia, dan lain-lain.

Lalu bagaimana di SMP dan SMA? Pengertian yang jauh lebih berharga lagi ada di SMP dan SMA, karena di sinilah aku mulai belajar peduli dan berkontribusi bagi sesama. Pak Jefry, Captain BB mengajarkanku menjadi orang yang bersandar pada Tuhan meski kondisi menakutkan dan meragukan. Meski mendaki ke gunung saat itu merupakan keputusan yang sulit buat aku, beliau yang meneguhkanku sampai akhirnya terbukti bahwa Tuhan menyertai kami. Jadi, sampai sekarang aku belajar untuk mengandalkan Tuhan dan bukan pengertian sendiri, caranya dengan berdaya tahan, sabar, dan tekun menghadapi segala sesuatu. Aku juga jadi memahami tujuan Tuhan dalam hidupku dan menurutku itu ajaib dan menarik.

Aku berterima kasih pada Athalia karena telah mendidikku jadi anak Tuhan yang bisa mengimplementasikan karakter-karakter Allah. Semua pengajaran ini akan sangat berguna di masa hidupku. Sekian, terima kasih sudah diberi kesempatan untuk berbagi lewat tulisan ini. Tuhan memberkati.

Pembinaan Karakter di Sekolah Athalia

Oleh: Bella Kumalasari – Plt. Kasie Karakter Sekolah Athalia

Pembinaan karakter di Sekolah Athalia dilakukan demi tercapainya visi Sekolah Athalia, yaitu “Siswa yang menjadi murid Tuhan”. Seorang murid mengikuti gurunya dan meniru apa yang dilakukan oleh guru tersebut. Dalam Yohanes 13:34-35, Tuhan Yesus memberikan perintah kepada para murid-Nya agar saling mengasihi sama seperti Tuhan telah mengasihi mereka. Dengan demikian, semua orang akan tahu kalau mereka adalah murid-murid-Nya. Oleh sebab itu, dasar dari semua karakter yang diajarkan di Sekolah Athalia adalah kasih. Kasih yang sempurna telah dianugerahkan melalui kematian Tuhan Yesus di kayu salib dan itulah yang mendorong setiap kita untuk juga mau mengasihi-Nya dengan hidup makin serupa dengan-Nya.

Gambar 1

Sekolah Athalia memberikan pembinaan karakter secara intensional kepada para murid. Ada kesinambungan yang diharapkan terjadi dari TK hingga SMA (gambar 1). Di TK, karakter mulai ditumbuhkan (growing) dan terus dibentuk di masa SD (shaping) sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang kokoh (steadfast person). Di SMP dan SMA mereka mulai diajak untuk memperhatikan sekitar mereka. Karakter-karakter yang dipelajari mendorong mereka untuk peduli dan berbagi (caring and sharing) bahkan berdampak dan berkontribusi (influencing and contributing) bagi sekitar sehingga mereka menjadi pemimpin-pemimpin yang melayani (servant leader). Karakter yang dipelajari juga tidak hanya diajarkan pada 1 level saja tetapi ada yang diulang di level-level selanjutnya agar murid terus menghidupinya.

Dalam pembinaan karakter yang didasari oleh kasih kepada Tuhan, murid-murid tidak hanya diajar secara kognitif atau teoritis, tetapi juga diberikan contoh-contoh melalui kisah nyata, tokoh, ilustrasi, cerita dongeng, ataupun sharing langsung dari guru dan teman. Lebih dari itu, mereka juga diajak untuk menerapkan karakter yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Setiap murid memiliki “proyek karakter” yang harus dikerjakan baik di rumah maupun di sekolah. Proyek karakter diberikan sesuai dengan usia murid, misalnya: murid TK belajar karakter penuh perhatian dengan cara segera menjawab ketika dipanggil guru/orang tua, murid SD belajar karakter ketertiban dengan melakukan kegiatan sesuai jadwal, murid SMP belajar karakter tanggung jawab dengan membereskan kamar sendiri, murid SMA belajar karakter keberanian untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik.

Penerapan karakter dalam keseharian sangat membutuhkan keterlibatan orang tua. Apa saja yang dapat orang tua lakukan untuk mendukung perkembangan karakter anak?

  • Beri ruang untuk berproses.

Untuk dapat melatih karakternya, anak butuh ruang untuk mencoba dan kemungkinan melakukan kesalahan. Orang tua perlu mendukung dengan mengizinkan dan memaklumi hal tersebut.

  • Beri pujian dan respons yang meneguhkan.

Ketika anak melatih karakternya, orang tua dapat memberikan pujian dan peneguhan. Hindari respons yang menghakimi dan membuat anak tidak lagi berani mencoba. Apresiasi setiap perubahan kecil.

  • Beri teladan.

Salah satu cara anak belajar adalah dengan meniru. Orang tua perlu menjadi teladan bagi anak dalam praktik karakter sehari-hari. Dengan demikian, anak mengerti apa yang benar dan salah serta bagaimana melakukannya.

  • Berjalan bersama dalam proyek karakter anak.

Di TK dan SD, orang tua dapat mengingatkan dan memonitor proyek karakternya setiap hari. Di SMP dan SMA, orang tua dapat menjadi teman seperjalanan anak-anaknya dengan berdiskusi mengenai proyek yang sedang dikerjakan anaknya tanpa menghakimi dan menuntut.

Pembinaan karakter di Sekolah Athalia tidak dapat berjalan sendiri tanpa kerja sama dan keterlibatan orang tua. Mari bergandengan tangan membina karakter anak-anak kita agar mereka dapat bertumbuh makin serupa Kristus dan menjadi berkat bagi sekitarnya.

SOFT SKILL atau HARD SKILL?

Oleh: Elisa Sri Indahati – Research & Development Unit SD

Kita mungkin pernah mendengar dan melihat seseorang yang kita kenal yang dahulu biasa saja nilai akademiknya tetapi memiliki karier yang baik bahkan bisa dikatakan sukses. Mungkin saja karena mereka memiliki hal lain selain nilai akademis. Nilai atau kemampuan akademik seseorang atau yang disebut dengan hard skill (keahlian yang bisa diukur dan bisa dinilai) tidak bisa begitu saja membuat seseorang berhasil atau sukses, diperlukan juga kemampuan yang disebut dengan soft skill. Apa itu soft skill? Soft skill adalah kemampuan yang tidak terlihat seperti berpikir kritis, mampu beradaptasi, percaya diri, pantang menyerah, daya juang tinggi, dan sikap baik lainnya. Lalu, apakah soft skill lebih unggul daripada hard skill atau justru sebaliknya? Tentu saja tidak, keduanya seharusnya memiliki porsi yang sama dalam diri seseorang. Hard skill dan soft skill sama-sama penting. Menurut Rhenald Kasali, sudah saatnya orang tua sadar untuk memperhatikan karakter anak sedari dini. Pendidikan bukan hanya sekadar kompetensi kognitif, anak juga memerlukan kemampuan lain seperti survival skills di lingkungan.

Dalam profesi apa pun saat ini dan di masa depan, hard skill sangat dibutuhkan tetapi soft skill juga menjadi pertimbangan yang sama pentingnya dalam menunjang karier atau keberhasilan seseorang. Jika berbicara tentang soft skill ini kita teringat pada pentingnya pendidikan karakter pada diri setiap orang termasuk anak-anak kita sedari mereka kecil. Sebagai orang tua kita bukan hanya dituntut untuk membimbing anak-anak kita untuk mengejar ilmu dan mendampingi mereka untuk mendapat nilai yang baik. Namun, sebagai orang tua kita juga perlu menolong mereka untuk mengembangkan soft skill dan karakter mereka sejak dini. Mengharapkan nilai rapor yang baik memang penting, tetapi menolong anak-anak kita untuk tetap memiliki daya juang dan tidak putus asa dalam mengerjakan semua tugas sekolah adalah tugas mulia kita sebagai orang tua.

Sekolah Athalia terus berusaha untuk mengajarkan ilmu tetapi juga tetap konsisten untuk membimbing anak-anak untuk memiliki karakter yang akan menolong mereka hidup di tengah masyarakat. Pendidikan karakter tidak saja diberikan dalam bentuk pemahaman tetapi juga dalam bentuk proyek nyata dalam setiap kegiatan seperti kamp karakter dan kelas shepherding. Ketika proyek karakter dalam kelas shepherding diberikan guru kepada siswa untuk dilakukan di rumah, salah satunya belajar mencuci piring sendiri setelah makan, tidak sedikit anak-anak menyampaikan kalau mereka dilarang mencuci piring. Atau saat anak diajak belajar merapikan tempat tidur sendiri, ternyata sudah ada asisten rumah tangga yang siap merapikan. Kemarin ketika Kamp Karakter siswa SD menginap di sekolah, ada aktivitas mencuci gelas dan sendok setelah makan malam, tiba-tiba ada anak yang menggerutu,”enakan tidur di rumah daripada tidur di sekolah. Kalau di rumah apa-apa sudah disiapin, diambilin, di sini semua disuruh lakuin sendiri, ambil sendiri, nyuci sendiri.”

Akhirnya orang tua yang ingin anak-anaknya berhasil sejak dini bisa mengambil peran dalam mendukung anak-anaknya melakukan proyek karakter di rumah sembari terus mengasah kemampuan soft skill mereka. Berikan dorongan agar anak-anak percaya diri dan berikan mereka kepercayaan bahwa mereka mampu melakukan setiap proyek karakter yang diberikan. Dorong anak-anak agar dapat bekerja sama dengan orang lain dan siapkan mereka memasuki dunia luar. Ini cukup mewadahi anak-anak untuk berlatih kemampuan soft skill dan mengembangkan karakter mereka. Berikan anak-anak kepercayaan untuk melakukan sesuatu khususnya tugas atau proyek yang diberikan sekolah. Jangan takut bila anak gagal, bersabar bila anak belajar mandiri dan menjadikan semua berantakan, tidak mengapa bila anak melakukan atau memakai sesuatu tetapi tidak bisa, dan bantu anak siap menerima konsekuensi bila melakukan kesalahan. Orang tua dapat terus mendampingi anak dan membiarkan mereka mengerjakan bagian mereka.

Kita Berharga di Mata Tuhan

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian (PK3)

Yesaya 43:4
Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi Engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu

Firman Tuhan ini disampaikan oleh Yesaya kepada orang Israel yang saat itu berada dalam pembuangan. Pembuangan adalah masa di mana Israel dihancurkan oleh Babel dan orang-orang Israel diangkut keluar dari negerinya untuk menjadi budak di Babel. Hal ini terjadi sebagai hukuman atas dosa yang Israel lakukan. Namun, di tengah hukuman yang mereka rasakan, Tuhan tetap baik dan mengasihi mereka.

Sekalipun saat itu Israel belum bertobat, Ia tetap menjanjikan keselamatan kepada umat-Nya. Ia berjanji akan melepaskan mereka dari Babel dan mengembalikan mereka ke negerinya. Keselamatan Tuhan berikan kepada umat-Nya bukan karena Israel baik atau sempurna melainkan karena anugerah Tuhan semata. Tuhan memberikan keselamatan kepada umat-Nya karena di mata-Nya mereka berharga, mulia, dan Ia mengasihi umat-Nya.

Kiranya pengalaman Israel bersama Tuhan menjadi pengingat bahwa saat ini kita pun dikasihi-Nya. Tuhan memandang setiap anak-Nya berharga dan mulia sehingga memberikan yang paling berharga untuk menyelamatkan kita, yaitu nyawa Putra Tunggal-Nya, Yesus Kristus. Meskipun kita lemah dan terbatas, Ia tidak membuang kita. Sebaliknya, Ia mau terus merangkul dan menopang kita karena Ia mengasihi kita dengan anugerah-Nya. Percayalah dan bersyukurlah untuk kasih-Nya. Lebih daripada itu, Ia pun rindu, kita memiliki cara pandang dan sikap yang sama kepada sesama kita terutama pasangan dan anak-anak kita. Mari belajar menghargai kehadiran mereka, menerima dan mengasihi mereka dengan segala keunikannya sebagaimana Tuhan memandang kita berharga dan mengasihi kita.