Mungkin lebih tepat bila judul di atas dibaca sebagai sebuah pertanyaan skeptis. Masih ada kah daya juang remaja kita? Remaja sekarang lebih terkesan memble alias melempem. Dimana api roh atau kobaran spirit mereka? Nyaris tak bersinar? Apa yang menyebabkan keadaan mereka seperti itu? Lain dengan remaja dan pemuda tempo dulu yang menyingsingkan lengan baju untuk turut berjuang memperebutkan kemerdekaan dari tangan penjajah. Masih jelas dalam ingatan kita sejarah bangsa yang diwarnai oleh gelora semangat kaum muda.
Tentu saja pergeseran yang terjadi sekarang ini bukan tanpa sebab. Pola atau gaya hidup masyarakat berubah, ditambah lagi fenomena tantangan hidup sekarang berbeda dari masa lalu. Semua ini perlu diantisipasi dan disikapi dengan cara yang berbeda namun bijak.
I. Mengapa remaja sekarang kehilangan daya juang ?
1. Kondisi Jaman
Tantangan hidup sekarang ini berbeda. Kesulitan yang ada bukan yang terlihat tapi lebih banyak yang tidak terlihat. Secara faktual hidup sekarang jauh lebih mudah dibanding prakemerdekaan. Tidak ada himpitan penjajah yang memaksa kita untuk berjuang lebih keras, tidak ada ancaman terhadap keselamatan jiwa, tak perlu mengungsi, hukum pun berlaku dengan jelas. Berbagai fasilitas kian menyerbu, apa pun mudah didapat, asal punya uang. Berbagai perangkat elektronik canggih, hiburan, bahkan mainan pun tidak ketinggalan. Para pencipta mainan seolah berlomba mengisi waktu luang anak, memanfaatkan sekaligus merogoh kocek orang tua yang rela menyenangkan hati anak sebagai ganti waktu yang terhilang akibat kesibukan mengejar tuntutan karir. Tantangan yang tak kelihatan itu membuat remaja tidak sadar bahwa mereka juga sedang di bawah penjajahan, dikuasai berbagai keinginan yang membuat mereka menyimpang dari fokus hidup yang seharusnya.
Gaya hidup hedonis yang mengacu kepada materialisme juga turut memberi andil dalam mereduksi daya juang remaja saat ini. Segala sesuatu tidak lagi dinilai dari sebuah perjuangan. Usaha yang ditunjukkan seseorang tidak dihargai, bahkan dianggap absurd. Otak dan uang menjadi prioritas dalam ”membeli” harga diri. Seseorang yang pandai, kaya, cantik akan lebih dihargai dari pada yang sederhana, rajin, tekun tapi jujur! Demi uang remaja rela melakukan apa pun, bahkan menjual dirinya sekali pun.
2. Kondisi Orang Tua
Orang tua makin fokus pada karir demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Makin banyak remaja yang tumbuh dalam asuhan babysitter/pembantu rumah tangga. Anak tidak diajar mandiri, semua dilakukan oleh pembantu. Orang tua jarang berada di rumah, tidak cukup memberi arahan dan didikan, baik pada pembantu maupun si anak, sehingga semua hal dikerjakan pembantu. Anak tidak dilatih untuk melakukan sesuatu sesuai usia dan kekuatannya.
Tuntutan karir dan ekonomi mengkondisikan orang tua untuk tidak memiliki banyak anak. Makin banyak keluarga yang hanya punya satu atau dua anak. Kondisi ini memicu orang tua memiliki sayang yang berlebihan pada anak. Namun karena orang tua harus fokus pada karir, rasa sayang digantikan dengan hal lain. Anak diberi kemudahan dan berbagai fasilitas. Orang tua berusaha semaksimal mungkin agar anak tidak mengeluarkan keringat maupun air mata. Anak tidak lagi memiliki rasa lapar, karena belum sempat lapar mereka sudah dijejali dengan berbagai hal yang mengenyangkan, bahkan sampai berlebih hingga ”luber”. Sebenarnya kondisi ini membuat anak kehilangan ”nafsu”, tidak mengenal rasa nikmat dan puas karena segala sesuatu diperoleh tanpa perjuangan, bahkan tanpa perlu meminta. Anak tidak dapat lagi membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Orang tua juga merasa bersalah jika anaknya ”menderita”. Ada sebagian orang tua yang ingin balas dendam akan kehidupannya yang susah di masa lampau, tanpa menyadari bahwa berbagai kesulitan itu lah yang membuatnya berhasil mencapai apa yang dicapainya sekarang.
Ada juga yang ingin menaikkan gengsinya di mata orang lain melalui keberadaan si anak. Maka anak menjadi simbol gengsi orang tua, hanya menjadi ”boneka pajangan” yang siap didandani tanpa memiliki otoritas atas dirinya. Orang tua lebih menekankan pada prestasi akademis anak, dan mengabaikan sisi keahlian hidup anak, yang menyangkut cara anak menghadapi masalah, menghindari godaan, menyelesaikan perselisihan, meredam nafsu, dll.
3. Kondisi Anak
Bisa juga kondisi anak stress dan tertekan karena tuntutan jaman yang kian hari kian memaksa anak-anak kita menjadi idola atau sang juara dalam berbagai perlombaan, turnamen, dan olimpiade. Orang tua rela merogoh kocek mereka untuk mengikutsertakan anaknya dalam berbagai kegiatan perlombaan dimana-mana setiap minggunya. Piala dan piagam seolah menumpuk hanya untuk membeli sebuah prestise atau harga diri.
Anak-anak pun mudah mendapat apa yang diinginkan, tanpa perlu bersusah payah untuk mendapatkannya. Hal ini pula yang memicu anak untuk kurang menghargai apa yang dimilikinya. Anak kurang merawat barang-barangnya, tidak menghargai kepemilikan orang lain, bahkan tidak menghargai orang lain! Easy come, easy go kata orang. Anak tidak terganggu bila barang miliknya ada yang rusak, apakah itu pensil yang hanya ribuan perak hingga handphone jutaan rupiah. Apa pun bisa dengan mudahnya raib dari tangan atau tas miliknya, dan tragisnya, mudah pula memperoleh kembali (yang baru tentunya) ketika mereka mengeluarkan jurus rengek memelas kepada orang tua mereka yang hatinya lembek alias gampang dimanipulasi.
Tidak memiliki goal, tujuan dan cita-cita. Kalau pun ada, selalu dilihat dari sisi keuntungannya. Berapa banyak yang bisa diperoleh? Hukum ekonomi pun berlaku: mengeluarkan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Nilai-nilai hidup dianggap usang. Budi pekerti dan karakter pun terbuang. Orang tua dan anak remajanya sudah tergerus oleh gaya hidup seperti sekarang ini.
Pola hidup instant. Pentas ’idola’ marak di mana-mana dan menjadi jalan pintas untuk cepat kaya dan terkenal. Bagaimana cara cepat jadi pintar? Bagaimana cara mudah bisa lulus? Bagaimana cara cepat banyak uang? Dan lain sebagainya. Proses tidak lagi menjadi unsur yang dipentingkan. Itu lah yang dunia tawarkan pada remaja kita. Yang penting ada duitnya. Hal ini juga berkaitan dengan orang tua yang berpikir bahwa anak adalah investasi, jadi yang penting anak bisa cari duit. Mau jadi apa terserah.
II. Apakah benar remaja sudah kehilangan daya juang atau justru mereka sedang memperjuangkan hal lain ?
Tentu saja gaya hidup mengubah tujuan dan sasaran perjuangan remaja. Sering kita dengar ”Hidup enjoy aja lageee…” (sukses=enjoy, kegagalan adalah enjoy yang tertunda). Buat apa susah? Hidup untuk kesenangan dan kesenangan untuk hidup. Kesuksesan hidup tidak lagi dilihat sebagai perjuangan tapi kenikmatan. Asal nikmat, itu sudah pasti sukses. Jadi anak-anak kita sedang berjuang mencari kenikmatan, hiburan, just for fun, entertainment, game dll.
Berjuang tapi sambil jalan santai. Kalau dapat ya syukur, kalau tidak juga tidak apa-apa. Tentu saja ini bukan berserah seperti yang Tuhan inginkan tapi lebih kepada menyerah.
III. Bagaimana supaya remaja memiliki daya juang ? Filipi 3 : 14
• Berlari, bukan berjalan apalagi merangkak. Kaki mereka sudah kuat untuk berlari. Tubuhnya pun sudah cukup mampu untuk diajak berlari
• Memiliki tujuan, dan fokus pada tujuan itu. Sekarang ini ada terlalu banyak fokus sehingga remaja kita kehilangan fokus yang sesungguhnya
• Bukan kemudahan yang diberikan pada remaja, tapi latihan yang keras supaya ”tubuh” siap untuk diajak berlari. Untuk hidup senang dan enak tidak perlu latihan, tapi untuk sanggup hidup susah remaja perlu dilatih dan dipersiapkan. Supaya, jika mengalami kesulitan, mereka justru tambah kuat, bukan bunuh diri!
• Hidup adalah perlombaan, hidup adalah perjuangan. Harus diselesaikan hingga tuntas. Setiap orang tanpa kecuali. Mau tidak mau. Tidak ada kata mundur, yang ada hanya maju.
1 Yoh 2 : 15 – 17 menjelaskan kepada kita bahwa dunia menawari kita, dan remaja – remaja kita khususnya, pemenuhan atas segala keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup. Padahal dunia ini sedang lenyap dengan segala keinginannya.
Jadi, untuk membuat remaja memiliki daya juang, harus dimulai dari Anda sebagai orang tuanya. Anda bisa memilih, mau bayar di muka atau bayar di belakang. Pikirkan lah itu!
Oleh : CHarlotte Priatna