CasCamp

Oleh: Mr. Jusuf, guru SMP

 

Kegiatan CasCamp untuk siswa/I kelas 8 diadakan pada tanggal 12-13 Januari 2018, bertempat di gedung sekolah SMP Athalia. Kegiatan selama 2 hari 1 malam ini bertujuan agar para siswa dapat menghidupi karakter Caring  and  Sharing dalam kehidupan sehari-hari. Latar belakang dilaksanakannya program ini agar siswa/i kelas 8 belajar untuk lebih menghargai orang lain, berempati terhadap sesama, meningkatkan rasa kepedulian mereka terhadap keadaan di sekitar mereka serta perlu meningkatkan daya juangnya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan adanya fenomena  yang terjadi pada para siswa kelas 8 inilah maka guru-guru SMP khususnya kelas 8 dan dibantu oleh tim karakter merancang acara dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menolong siswa untuk membangun karakter Caring and Sharing.

Di hari pertama, para siswa melakukan outdoor games secara berkelompok. Mereka harus melewati pos-pos yang sudah disiapkan. Untuk sampai di pos-pos tersebut, tiap kelompok harus berjalan beriringan dengan mata yang tertutup dan di pimpin oleh 1 siswa yang matanya tidak ditutup sebagai pemandu. Di bagian ini, para siswa dilatih jiwa kepemimpinannya, kesabaran dan kesatuan hati untuk mencapai tujuan.

Pos-pos yang harus dituju oleh tiap kelompok berjumlah 4 pos. Pos 1 diberinama “Take The Pieces”. Setiap siswa dalam tiap kelompok bergantian mengambil potongan kertas yang berisi ayat alkitab yang dibungkus oleh plastik dan direndam dalam baskom yang berisi jus pare. Pos ini mengajarkan para siswa untuk rendah hati. Mereka harus rela hati keluar dari zona nyamannya dan mengambil ayat alkitab yang ada dalam jus pare. Pos 2 diberi nama “Count Your Steps”. Setiap siswa harus menapak sejumlah susunan angka dimana untuk menapak ke angka berikutnya siswa harus bertolong-tolongan. Pos ini mengajarkan para siswa untuk mau meminta bantuan atau pun bersedia membantu orang lain. Pos 3 diberi nama “Save The Life”. Di pos ini siswa harus membawa ikan dengan selamat sampai tujuan. Ikan tersebut diletakkan di dalam kantung plastik yang dilubangi. Pos ini mengajarkan siswa untuk berbelas kasih dan berusaha menemukan cara yang terbaik untuk menyelamatkan ikan tersebut. Pos 4 atau pos yang terakhir diberi nama “Pay The Price”. Di pos ini anak-anak menampilkan talent show. Mereka diajarkan untuk murah hati. Kegiatan di hari pertama ini diakhiri dengan berbagi pengalaman bersama wali kelas dan partner dan ditutup dengan sebuah permainan sebelum tidur.

Hari ke-2 siswa menghitung hasil perolehan bintang selama para siswa melakukan outdoor games dan games malam. Hasil perhitungan bintang mereka ditukarkan dengan sarapan pagi. Di kegiatan sarapan pagi ini anak-anak kembali belajar bagaimana mereka bisa peduli dan mau menolong kelompok lain yang tidak memiliki cukup bintang agar dapat ditukarkan dengan sarapan pagi. Akhir dari rangkaian kegiatan CasCamp ini ditutup dengan talent show dari masing-masing kelas.

caring_sharing_camp

caring_sharing_camp

caring_sharing_camp

caring_sharing_camp

caring_sharing_camp

Untuk Apa Kita Berencana Jika Semua Sudah Ditentukan?

Oleh: Ni Putu Mustika Dewi, staf Pengembangan Karakter

Saat memasuki awal tahun, kita cenderung merencanakan banyak hal (ini dan itu) untuk dilakukan sepanjang tahun. Namun, pernahkah kita bertanya-tanya untuk apa kita (manusia) melakukan perencanaan jika toh segala sesuatunya sudah TUHAN tentukan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penting bagi kita untuk memahami dengan benar siapa TUHAN yang kita percaya dan siapa diri kita sebagai manusia yang adalah ciptaan-Nya.
TUHAN Allah yang kita sembah adalah Tuhan yang menciptakan kita segambar dan serupa dengan-Nya (Kejadian 1:26) dengan tujuan untuk menikmati Dia dan memuliakan-Nya.
Manusia tidak memiliki kuasa penuh atas waktu, tempat atau apa pun juga di dalam hidupnya, karena sebagai ciptaan kita ada dalam keterbatasan. Oleh sebab itu, untuk menjalani kehidupan ini Allah memperlengkapi manusia dengan akal budi dan kehendak. Manusia tidak diciptakan seperti robot atau wayang oleh TUHAN, tetapi diminta Allah untuk bertanggung jawab atas kehendaknya dan keputusannya. Namun, di dalam kebebasan manusia yang terbatas itu, Allah yang tak terbatas tetap pegang kendali penuh atas kehidupan ini. Tidak ada satu pun kejadian yang terlewatkan dari mata Allah.

Jika demikian, masih perlukah manusia berencana?
Perencanaan merupakan lambang hikmat sekaligus lambang keterbatasan. Hari depan sangat tidak bisa menentu, oleh sebab itu manusia melakukan perencanaan. Perencanaan yang dibuat bukan untuk mengontrol segala sesuatu di depan melainkan sebagai antisipasi (atau sebisa mungkin meminimalisir resiko) dari apa yang akan dihadapi nanti.
Oleh sebab itu, biarlah di dalam perencanaan kita akan masa depan yang tidak menentu, kita dapat belajar terbuka terhadap kendali Allah dengan berkata: Jika Tuhan berkehendak maka saya akan ….

Sumber:
 Alkitab
 Buku “Mengambil Keputusan seusai Firman Tuahn”, karya Haddon W. Robinson
 Ringkasan Khotbah Pdt. Ivan Kristiano “Jika Allah Berkehendak” di GRII Andika, 6 Juli 2014)

The Consistency of The New Year Resolution

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter

resolusi

Tahun baru identik dengan sesuatu yang baru. Dalam mengawali tahun yang baru, kita sering membuat resolusi, sebuah tekad yang akan kita lakukan di sepanjang satu tahun mendatang. “Saya berjanji akan lebih baik dalam hal …” begitu kira-kira kita ucapkan. Namun seiring berjalannya waktu, tekad itu pun mulai memudar. Kita mulai kompromi dan berkata “Yah.. sudahlah..” atau bahkan tidak berkata apa-apa tentang tekad kita tersebut karena mengingatnya pun tidak. Tahun yang baru tidak hanya membutuhkan sebuah tekad yang baru. Tentu hal itu baik, namun konsistensi diperlukan untuk mempertahankan tekad itu sampai akhir tahun.
Menurut KBBI, konsistensi berarti ketetapan, kemantapan, kekentalan, kepadatan, dan ketahanan. Ijinkan saya menjabarkan konsistensi dalam dua hal, yaitu antusiasme dan kesetiaan.

1. Antusiasme
Konsistensi membutuhkan semangat dan tekad yang kuat, yang sering kita sebut dengan antusiasme. Sebuah buku menuliskan bahwa kata antusias berasal dari dua kata Yunani: “en” yang berarti “di dalam” dan “theos” yang berarti “Allah”. Jadi antusias berarti diinspirasi dan digerakkan oleh Allah. Hal ini mengingatkan kita tentang dasar dari segala sesuatu yg kita perjuangkan. Antusiasme tidak hanya sekedar semangat atau minat, namun lebih dari itu, ada Tuhan yang menggerakkan di dalam diri kita.
Antusiasme adalah hasrat yang begitu kuat untuk mengejar sesuatu. Pada kenyataannya, orang yang tidak mengenal Tuhan pun bisa seolah memiliki antusiasme, misalnya Saulus. Namun, tentu dasarnya berbeda. Dasar dari antusiasme bagi orang yang mengenal Tuhan adalah kenyataan yang begitu menggetarkan bahwa Allah terlebih dahulu menyelamatkan kita sehingga kita ingin memberikan yang terbaik bagi-Nya sebagai rasa syukur kita yang tidak terbendung. Oleh karena itu, sudah semestinya kita berusaha melakukan yang terbaik yang kita bisa dalam segala sesuatu, seperti yang Rasul Paulus katakan dalam Kolose 3:23 (TB) “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Sebaliknya, orang yang tidak mengenal Allah giat karena keinginan untuk memenuhi kepuasan pribadi.
Lalu, bagaimana cara mempertahankannya? Karena antusiasme tidak dihasilkan oleh usaha kita sendiri melainkan oleh Allah, maka kita perlu bersekutu dengan Roh Kudus dalam Firman Tuhan. “Janganlah padamkan Roh”, Firman Tuhan yang tertulis dalam 1 Tesalonika 5:19.

2. Kesetiaan
Ketika berbicara mengenai kesetiaan, saya pun teringat pada pengalaman saya melayani di suatu daerah selama satu tahun yang lalu. Saya merasa sudah coba lakukan yang terbaik yang saya bisa dan mengusahakan ini dan itu, namun seolah tidak ada hasil yang tampak. Saya protes pada Tuhan dan Tuhan menegur saya. Tuhan menyadarkan saya bahwa yang Dia minta hanyalah kesetiaan saya dalam melakukan apa yang Dia percayakan, bukannya menuntut hasil atau pun “menghasilkan sesuatu”.
Dalam perumpamaan tentang talenta, sang tuan memberikan apresiasi kepada hamba-hambanya dengan mengatakan “baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Matius 25:21, 23). Kesetiaan sudah semestinya mengiringi antusiasme. Tidak cukup kita digerakkan dalam satu moment saja. Tuhan menuntut kesetiaan kita.
Tentu akan ada banyak hal yang sulit untuk dihadapi dalam memperjuangkan sesuatu, namun Tuhan ingin kita setia pada hidup yang Tuhan percayakan karena Dia terlebih setia. Ibrani 12:1-3 mengatakan “marilah kita … berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus. … Ingatlah selalu akan Dia … supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa.” Itulah kuncinya: mata yang tertuju pada Yesus.

Kiranya momen tahun baru ini mengajak kita mengambil sebuah resolusi yang sungguh-sungguh kita ikrarkan di hadapan Tuhan, apa yang Tuhan mau kita lakukan di tahun ini. Biarlah kita memiliki dasar yang benar sebagai sumber yang terus menggerakkan kita. Marilah terus menujukan mata kita kepada-Nya sehingga kita dimampukan untuk setia sampai akhir.

Selamat menempuh tahun yang baru bersama dengan Tuhan 🙂

Bijaksana

Oleh: Reggy Sebastian Sapetu, guru Agama SMA

“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu” (Matius 7:24-25).

Pengertian tentang bijaksana di sini bukan hanya berbicara tentang kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat. Akan tetapi, kita harus memahaminya sebagai sebuah dasar berpikir dan bertindak dalam menjalani kehidupan setiap hari. Sama seperti Musa di dalam doanya kepada Tuhan, “ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana,” Musa lebih melihat kepada penyertaan Tuhan di dalam hari-hari yang telah dan akan dia lalui. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang yang bijaksana kita harus terus melibatkan Tuhan dalam hidup kita. Inilah yang akan menjadi dasar yang kokoh, yang akan selalu memimpin kita pada hidup yang bijaksana. Permasalahannya adalah: dalam hari-hari kehidupan kita, berapa banyak kita melibatkan Tuhan dalam setiap apa yang kita pikirkan, katakan, dan perbuat?

Sangat jelas di sini bahwa syarat mutlak untuk menjadi seorang yang bijaksana adalah mendengar dan melakukan apa yang difirmankan Tuhan. Inilah langkah yang harus kita tempuh saat ini, yaitu mulai belajar untuk melakukan apa yang Tuhan kehendaki. Yesus mengajarkan tentang bagaimana membangun sebuah dasar yang kuat dan dasar itu adalah Yesus sendiri, melalui apa yang Ia firmankan. Satu hal lagi yang harus kita pahami adalah bahwa dasar ini berbicara tentang dasar yang teguh dan kekal di dalam Tuhan (bukan hal yang sementara).

Banyak orang Kristen yang tidak menyediakan waktu khusus untuk membaca dan merenungkan Firman Tuhan dengan alasan terlalu sibuk. Tanpa kita sadari sebenarnya kita sedang membangun sebuah dasar yang rapuh dalam hidup kita, yang akhirnya akan membuat kita mudah tergoyahkan imannya ketika menghadapi permasalahan hidup. Ketakutan, kekuatiran yang berlebihan, putus asa, dan bahkan meragukan keberadaan Tuhan, bisa menimpa kita jika tidak memiliki dasar yang kuat.

Oleh karena itu, sudah selayaknyalah kita menyediakan waktu untuk Tuhan secara pribadi. Mulailah untuk membangun relasi yang intim dengan Tuhan, melalui kehidupan doa dan firman yang teratur, sehingga kita bisa peka dengan apa yang Tuhan kehendaki untuk kita lakukan setiap hari. Dengan dasar ini, maka kita akan menjadi pribadi yang bijaksana, yang bisa menjadi berkat bagi orang lain dan memuliakan Tuhan senantiasa.

Hidup bijaksana sangatlah penting terutama dalam menghadapi tantangan di zaman sekarang ini, terlebih di dalam panggilan kita sebagai seorang pendidik bagi anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita. Mungkin di satu sisi kita tidak bisa mengikuti perkembangan zaman yang semakin canggih ini, kita kalah dengan generasi ini dalam hal penguasaan teknologi informasi, penggunaan social media, dll. Akan tetapi, dengan hati yang bijaksana, Tuhan akan senantiasa menuntun dan memberikan hikmat kepada kita untuk mendidik anak-anak kita, terlebih kerinduan kita adalah agar mereka pun memiliki dasar yang teguh di dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus.

Rendah Hati

Oleh: Nostalgia Pax Nikijuluw – Kasie Pengembangan Kerohanian, Karakter, dan Konseling Sekolah Athalia

“I am persuaded that love and humility are the highest attainments in the school of Christ and the brightest evidences that He is indeed our Master.”
John Newton (1725-1807)

Rendah Hati, sebuah kualitas hidup (karakter) yang cukup sering diperdengarkan tetapi sulit untuk dihidupi. John Newton seorang hamba Tuhan berkebangsaan Inggris menuliskan sebuah kalimat bijak yang memandang kerendahan hati dan kasih sebagai pencapaian tertinggi dalam sekolah Kristus dan kerendahan hati sebagai bukti yang sangat jelas bahwa benarlah Yesus adalah Tuan kita. Kerendahan hati dipandang sebagai kualitas hidup yang sangat penting dalam diri seseorang terlebih lagi bagi pengikut Kristus, karena rendah hati adalah salah satu karakter Allah yang sangat terllihat dalam diri Yesus Kristus. Bagi seseorang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus, maka kehidupannya adalah cerminan dari Kristus yang adalah Tuhan dan Tuan.

Pemazmur dalam Mazmur 113:5-6 menggambarkan kerendahan hati Allah dengan menuliskan, “Siapakah seperti Tuhan Allah kita yang diam di tempat yang tinggi yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur.” Bahkan jika melihat kata asli yang digunakan untuk kata “rendah hati”, menggunakan kata yang artinya tertunduk. Allah menundukkan diri-Nya. Jika Allah Sang pencipta adalah Allah yang merendahkan diri-Nya terhadap ciptaan-Nya, maka kerendahan hati adalah sikap hidup yang juga dikehendaki-Nya untuk dihidupi oleh manusia sebagai ciptaan-Nya. Ia yang berada di tempat yang tinggi, mau merendahkan diri-Nya dengan datang ke dunia dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2: 6-8). Yesus Kristus adalah teladan.Tidak ada pilihan bagi manusia terlebih pengikut-Nya selain untuk mengikuti kehendak-Nya. Amsal 3:34 menuliskan, “Orang yang rendah hati dikasihi-Nya.” Allah mengasihi orang yang rendah hati.

Kerendahan hati mencerminkan kesadaran diri manusia dihadapan Allah. Apapun yang ada pada manusia baik itu sesuatu yang melekat semenjak lahir, ataupun sesuatu yang menjadi “milik“ dalam perjalanan kehidupan didunia ini, semua itu berasal dari Allah. Orang yang rendah hati akan menyadari bahwa seluruh keberadaan dirinya tidak dapat lepas dari campur tangan Allah yang telah terlebih dahulu melayani. Penebusan Kristus di salib menjadi bukti pelayanan-Nya. Demikian juga dengan kesadaran akan kebebasan untuk bernafas, setiap denyut jantung yang masih ada, matahari terbit pagi hari, hujan yang membasahi bumi, menyediakan apa yang dibutuhkan manusia, Allah yang terlebih dulu melayani. Bahkan Allah Roh Kudus yang hadir dalam kehidupan manusia, menolong dalam setiap perjalanan hari demi hari orang percaya, bukankah itu semua bukti kerendahan hati Allah dalam mengasihi dan melayani manusia? Jika demikian adanya, bagaimana dengan respons kita?

Orang yang rendah hati akan menyadari kebergantungannya kepada Allah, di tengah berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi. Kerendahan hati akan memampukan orang yang rendah hati untuk tidak hidup berpusat pada diri yang hanya mengikuti kata hatinya, pemikirannya sendiri, melainkan rela melepaskan kehendak diri demi mengikuti kehendak Sang Tuan. Ketika kerendahan hati menjadi bagian dari hidupnya, maka orang lain akan dapat menilai dan merasakan kenyamanan dalam berelasi dengan orang yang rendah hati. Adakah manusia yang dapat mengatakan dirinya sudah rendah hati? Seharusnya tidak ada, kecuali Yesus. Kita semua sedang diproses untuk menjadi serupa dengan-Nya, serupa dengan kerendahan hati-Nya.

Jika kerendahan hati adalah pencapaian tertinggi dalam sekolah Kristus seperti yang dikatakan oleh John Newton, dan jika kita adalah pengikut Kristus yang seharusnya menginginkan pencapaian tersebut, maka bagian kita adalah “mendaftarkan diri” kita dalam sekolah tersebut, dengan mempersilakan Tuhan melakukan setiap proses yang dikehendaki-Nya dalam hidup kita agar kita menjadi orang yang semakin serupa dengan-Nya.
Selamat berproses, Tuhan menyertai kita.

Belas Kasihan

Oleh: Bapak Presno Saragih, Kabid. Pendidikan
belas kasihan

 

Dalam Markus 6:30 kita membaca bahwa para murid melaporkan apa yang sudah mereka kerjakan dan ajarkan kepada orang-orang yang mereka jumpai. Pasti terjadi diskusi yang menarik antara mereka dengan Tuhan Yesus. Mungkin ada pujian, koreksi, dan lain-lain yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Pendek kata ada evaluasi yang Tuhan Yesus sampaikan kepada mereka. Lalu pada ayat 31 kita membaca adanya ajakan Tuhan Yesus kepada mereka untuk pergi ke tempat yang sunyi untuk beristirahat di sana karena mereka baru saja melakukan pelayanan yang sangat melelahkan. Namun ketika Tuhan Yesus melihat orang banyak yang mencari-cari (membutuhkan) Dia, niat-Nya untuk beristirahat diurungkan-Nya (Markus 6:33,34). Ayat 34 mencatat bahwa hati-Nya tergerak oleh “belas kasihan” kepada mereka.

Belas kasihan adalah perasaan kasih yang ditunjukkan lewat perbuatan nyata. Markus 6:34b mencatat bahwa Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka. Mereka membutuhkan pengajaran Tuhan Yesus karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala (Markus 6:34a). Perasaan belas kasihan-Nya tidak berhenti pada perasaan simpati dan atau empati saja tapi dilanjutkan dengan perbuatan memberi pengajaran kepada orang banyak yang terlantar tersebut. Bahkan ketika hari mulai malam Tuhan Yesus meminta murid-murid-Nya untuk memberi makanan kepada orang banyak yang baru menerima pengajaran-Nya. Orang banyak membutuhkan makanan jasmani setelah mereka menerima makanan rohani dari Tuhan Yesus. Perasaan belas kasihan-nya kembali mewujud nyata dalam bentuk perbuatan yaitu memberi orang banyak makanan yang mereka butuhkan.

Ada banyak hal yang sangat menarik berkaitan dengan mujizat 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Ketika diberitahukan kepada Tuhan Yesus bahwa “modal” makanan yang mereka miliki hanyalah 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, Tuhan Yesus tidak berkomentar negatif melihat perbandingan yang sangat tidak seimbang antara jumlah makanan dan jumlah orang yang butuh makanan. Yang membutuhkan makanan ada lebih dari 5.000 orang (Markus 6:44). Alkitab mencatat ada 5.000 orang laki-laki yang mendengarkan khotbah Tuhan Yesus pada waktu itu. Jumlah perempuan dan anak-anak yang hadir tidak ditulis. Mungkin ada 5.000 perempuan dan 5.000 anak-anak yang juga hadir menerima pengajaran Tuhan Yesus. Berarti totalnya ada +/- 15.000 orang yang membutuhkan makanan. Lalu Tuhan Yesus mengucap syukur dan membagi-bagikan roti dan ikan itu kepada mereka (Yohanes 6:11). Dan terjadilah mujizat. Roti dan ikan itu tidak kunjung habis. Semua orang mendapat makanan dan makan sampai kenyang (Markus 6:42). Bahkan masih tersisa 12 bakul penuh (Markus 6:43). Belas kasihan Tuhan Yesus yang disertai ucapan syukur menghasilkan mujizat yang mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani 15.000 orang.

Bagaimana dengan perasaan belas kasihan yang kita miliki? Apakah perasaan tersebut mewujud nyata dalam bentuk perbuatan? Atau hanya berhenti pada perasaan simpati dan atau empati saja? Hanya berputar-putar pada poros perasaan kasihan semata. Kita cuma berkata, ”Kasihan ya bapak itu?” Namun tidak ada perbuatan nyata yang kita lakukan. Bahkan mungkin kemudian menggosipkan orang yang kita kasihani itu panjang lebar dengan teman kita. Ironis, bukan?!

Mengapa banyak orang hanya memiliki perasaan simpati dan atau empati saja tanpa disertai perbuatan nyata? Mungkin karena mereka sendiri belum pernah mengalami kasih ilahi dalam kehidupan mereka yaitu kasih Allah yang membawa-Nya naik ke bukit Golgota. Sehingga mereka tidak dapat membagikan kasih ilahi kepada orang lain karena kantong kasih mereka kosong melompong. Alkitab berkata bahwa Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita melalui kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib ketika manusia (kita) masih berdosa (Roma 5:8). Dengan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, kita menerima kasih ilahi yang menyucikan kita dari segala dosa dan pelanggaran kita. Dengan modal kasih Allah tersebut kita dimampukan untuk mewujudnyatakan kasih kita kepada orang lain melalui perbuatan kita.

Ada banyak orang di sekitar kita membutuhkan injil Kristus. Ada banyak orang di sekitar kita membutuhkan uang kita, tenaga kita, telinga kita, waktu kita, nasehat kita, dan lain-lain. Maukah kita berbelas kasihan kepada mereka dengan memberitakan injil Kristus? Maukah kita berbelas kasihan kepada mereka dengan memberikan uang kita, tenaga kita, telinga kita, waktu kita, nasehat kita? Mari kita menjawabnya di hadapan Tuhan secara pribadi…

Rendah Hati

Oleh: Nostalgia Pax Nikijuluw - Staf PK3 Sekolah Athalia

“I am persuaded that love and humility are the highest attainments in the school of Christ and the brightest evidences that He is indeed our Master.”
John Newton (1725-1807)

Rendah Hati, sebuah kualitas hidup (karakter) yang cukup sering diperdengarkan tetapi sulit untuk dihidupi. John Newton seorang hamba Tuhan berkebangsaan Inggris menuliskan sebuah kalimat bijak yang memandang kerendahan hati dan kasih sebagai pencapaian tertinggi dalam sekolah Kristus dan kerendahan hati sebagai bukti yang sangat jelas bahwa benarlah Yesus adalah Tuan kita. Kerendahan hati dipandang sebagai kualitas hidup yang sangat penting dalam diri seseorang terlebih lagi bagi pengikut Kristus, karena rendah hati adalah salah satu karakter Allah yang sangat terllihat dalam diri Yesus Kristus. Bagi seseorang yang mengaku diri sebagai pengikut Kristus, maka kehidupannya adalah cerminan dari Kristus yang adalah Tuhan dan Tuan.

Pemazmur dalam Mazmur 113:5-6 menggambarkan kerendahan hati Allah dengan menuliskan, “Siapakah seperti Tuhan Allah kita yang diam di tempat yang tinggi yang merendahkan diri untuk melihat ke langit dan ke bumi? Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur.” Bahkan jika melihat kata asli yang digunakan untuk kata “rendah hati”, menggunakan kata yang artinya tertunduk. Allah menundukkan diri-Nya. Jika Allah Sang pencipta adalah Allah yang merendahkan diri-Nya terhadap ciptaan-Nya, maka kerendahan hati adalah sikap hidup yang juga dikehendaki-Nya untuk dihidupi oleh manusia sebagai ciptaan-Nya. Ia yang berada di tempat yang tinggi, mau merendahkan diri-Nya dengan datang ke dunia dan mengambil rupa seorang hamba (Filipi 2: 6-8). Yesus Kristus adalah teladan.Tidak ada pilihan bagi manusia terlebih pengikut-Nya selain untuk mengikuti kehendak-Nya. Amsal 3:34 menuliskan, “Orang yang rendah hati dikasihi-Nya.” Allah mengasihi orang yang rendah hati.
Kerendahan hati mencerminkan kesadaran diri manusia dihadapan Allah. Apapun yang ada pada manusia baik itu sesuatu yang melekat semenjak lahir, ataupun sesuatu yang menjadi “milik“ dalam perjalanan kehidupan didunia ini, semua itu berasal dari Allah. Orang yang rendah hati akan menyadari bahwa seluruh keberadaan dirinya tidak dapat lepas dari campur tangan Allah yang telah terlebih dahulu melayani. Penebusan Kristus di salib menjadi bukti pelayanan-Nya. Demikian juga dengan kesadaran akan kebebasan untuk bernafas, setiap denyut jantung yang masih ada, matahari terbit pagi hari, hujan yang membasahi bumi, menyediakan apa yang dibutuhkan manusia, Allah yang terlebih dulu melayani. Bahkan Allah Roh Kudus yang hadir dalam kehidupan manusia, menolong dalam setiap perjalanan hari demi hari orang percaya, bukankah itu semua bukti kerendahan hati Allah dalam mengasihi dan melayani manusia? Jika demikian adanya, bagaimana dengan respons kita?
Orang yang rendah hati akan menyadari kebergantungannya kepada Allah, di tengah berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapi. Kerendahan hati akan memampukan orang yang rendah hati untuk tidak hidup berpusat pada diri yang hanya mengikuti kata hatinya, pemikirannya sendiri, melainkan rela melepaskan kehendak diri demi mengikuti kehendak Sang Tuan. Ketika kerendahan hati menjadi bagian dari hidupnya, maka orang lain akan dapat menilai dan merasakan kenyamanan dalam berelasi dengan orang yang rendah hati. Adakah manusia yang dapat mengatakan dirinya sudah rendah hati? Seharusnya tidak ada, kecuali Yesus. Kita semua sedang diproses untuk menjadi serupa dengan-Nya, serupa dengan kerendahan hati-Nya.
Jika kerendahan hati adalah pencapaian tertinggi dalam sekolah Kristus seperti yang dikatakan oleh John Newton, dan jika kita adalah pengikut Kristus yang seharusnya menginginkan pencapaian tersebut, maka bagian kita adalah “mendaftarkan diri” kita dalam sekolah tersebut, dengan mempersilakan Tuhan melakukan setiap proses yang dikehendaki-Nya dalam hidup kita agar kita menjadi orang yang semakin serupa dengan-Nya.
Selamat berproses, Tuhan menyertai kita.

rendah_hati

Orderly Camp Kelas IV

Camp yang diikuti oleh seluruh siswa kelas IV SD Athalia ini diselenggarakan pada tanggal 15-16 September 2017. Kegiatan ini bertujuan untuk meneguhkan materi karakter disiplin melalui ibadah, PA kelompok, outbond permainan, studi kasus, dan interaksi perilaku siswa antar siswa, siswa dengan guru dan membuat proyek karakter yang akan dilakukan di rumah dan di sekolah.

orderly_camporderly_camporderly_camporderly_camporderly_camporderly_camporderly_camporderly_camp

Camp karakter ” Honesty Day” Kelas III

Seluruh siswa kelas III SD Athalia pada hari Jumat, 15 September 2017 yang lalu mengikuti sebuah kegiatan camp “Honesty Day”. Kegiatan yang berlangsung sehari penuh ini bertujuan untuk meneguhkan materi karakter jujur melalui ibadah, senam, permainan, studi kasus, prakarya, dan interaksi perilaku siswa antar siswa, siswa dengan guru dan membuat proyek karakter yang akan dilakukan baik di rumah dan di sekolah.

Honesty CampHonesty CampHonesty CampHonesty CampHonesty CampHonesty CampHonesty CampHonesty CampHonesty Camp

Character Camp kelas I SD Athalia

Dalam rangka mengembangkan karakter siswa khususnya siswa kelas I SD Athalia, diadakanlah kegiatan camp yang diselenggarakan pada hari Jumat, 25 Agustus 2017 dan bertempat di gedung sekolah SD Athalia. Tema dari camp ini sesuai dengan karakter yang ingin dikembangkan dalam diri siswa SD kelas I Athalia yaitu “Be On Time“. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat meneguhkan materi karakter tepat waktu dalam diri tiap siswa melalui ibadah, panggung boneka, permainan, studi kasus, prakarya, dan interaksi perilaku siswa antar siswa, siswa dengan guru, dan membuat proyek karakter yang akan dilakukan di rumah dan di sekolah.