Jujur akan Hancur??

jujur_akan_hancur

Oleh: Tan Ai Li, staf Admin Yayasan

 

Ada pepatah yang berbunyi “jaman saiki sing jujur ajur” (zaman sekarang, yang jujur akan hancur). Banyak perisitiwa di jaman edan ini yang membuktikan bahwa kejujuran malah menjadi bumerang bagi diri seseorang. Masih relevankah kita mempertahankan kejujuran jika faktanya jujur itu menempatkan kita pada posisi tidak aman?

Firman Tuhan amat relevan bagi kehidupan kita. Karena Tuhan yang menciptakan kita maka Tuhan sendiri yang menetapkan sesuatu yang pasti baik buat kita. Tidak ada ketetapan atau perintah yang tujuannya untuk menyulitkan kita. Firman Tuhan banyak berbicara tentang kejujuran (mis. Kel. 20:15-16; Im. 19:11-13). Di sepanjang sejarah Tuhan mengulangi ketetapan-Nya agar umat hidup jujur. Beberapa kejadian menunjukkan  Allah menghukum orang yang tidak jujur seperti pada kisah Akhan di Yos. 7:11; peristiwa Ananias dan Safira di Kis. 5:3-4.

Apakah jujur itu?
Secara singkat jujur itu artinya mengatakan dan menyatakan kebenaran, transparan, seirama antara kata-kata dan perbuatan, tidak meminta lebih dari yang seharusnya. Jujur bukan berarti mengatakan semua yang kita ketahui. Perlu hikmat untuk memilih mana yang perlu dikatakan. Namun ketika menyatakannya kita harus menyatakan yang sebenarnya.

Bagaimana halnya jika situasi memojokkan kita untuk tidak jujur? Misalnya ketika atasan tidak bersedia ditemui seseorang dan meminta kita mengatakan pada orang tersebut bahwa ia tidak ada. Atau ketika sahabat kita meminta suatu info yang menurut kita info tersebut bersifat rahasia, dan ia akan marah jika kita tidak bersedia mengatakannya? Tentu ini perlu hikmat. Namun kita bisa mengatakan kepada sahabat kita misalnya, “Untuk kali ini saya tidak bisa membicarakannya denganmu karena ini sesuatu yang bersifat rahasia”. Jadi kita tidak perlu berbohong dengan mengatakan hal yang lain. Saya pernah berada dalam situasi itu beberapa kali. Berdasarkan pengalaman jika dalam hati kita dari awalnya  bertekad untuk jujur,  biasanya kita akan mendapatkan jalan keluar dalam mengatasinya. Tuhan akan menolong kita melewati situasi seperti itu. Awalnya mungkin saja terasa pahit tetapi suatu hari  akan tergantikan.

Apa sih manfaat hidup jujur?

1. Damai sejahtera.

Hati kita tenang ketika kita berani jujur dan menyatakan kebenaran. Saya pernah bekerja di suatu tempat yang hanya bertahan tiga bulan saja. Padahal saya bukan tipe orang yang suka berpindah-pindah pekerjaan. Namun di tempat itu, setelah tiga bulan bekerja saya mengetahui bahwa perusahaan itu menjalankan pembukuan ganda yang dilakukan di rumah. Saya telah mencoba mengatakan kepada pemilik perusahaan, yang juga seorang Kristen, bahwa itu merupakan suatu perbuatan yang tidak benar, namun ia tetap melakukannya. Walaupun saat itu saya sebenarnya membutuhkan pekerjaan itu karena ayah sudah meninggal, dan pekerjaan tersebut cukup bagus serta masa depannya juga cukup baik, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari tempat tersebut karena kami berbeda prinsip dan nilai-nilai yang tidak mungkin dipertemukan. Ketika saya berani mengambil keputusan tersebut dalam kondisi yang dilematis, Tuhan menggantikan dengan pekerjaan yang lain dan saya memiliki damai sejahtera. Damai sejahtera itu amat mahal, tidak bisa digantikan dengan sesuatu apapun.

2. Mendapatkan kepercayaan dan kesempatan untuk melakukan banyak hal.

Ketika kita bisa dipercaya dan ada orang yang mengetahui, biasanya berita itu akan tersebar dari mulut ke mulut dengan sendirinya, demikian juga sebaliknya ketika  kita tidak dapat dipercaya maka akan sulit sekali mengembalikan kepercayaan orang lain kepada kita. Mungkin ada dari kita yang sempat menyaksikan acara Kick Andy di bulan Maret yang lalu dengan topik “Berbagi untuk Berbahagia”. Salah satu narasumber waktu itu adalah Felani. Ia berkisah bahwa krisis ekonomi di tahun 1998 membuat seluruh keluarganya kehilangan segala-galanya. Ruko mereka dibakar dan ia hampir putus sekolah. Setiap hari ia harus berjualan susu kedelai di lampu merah. Suatu hari ia bertemu dengan Dato Sri Tahir, pemilik bank Mayapada yang membeli beberapa bungkus susu kedelai darinya. Sri Tahir waktu itu memberikan sejumlah uang dan mengatakan, “Ambil saja sisanya untuk kamu”. Namun Felani menolak menerima pemberian tersebut dan mengatakan “Pak, saya harus tetap mengembalikan karena harganya hanya sekian. Saya dari kecil diajar orang tua untuk menerima apa yang seharusnya saja dan tidak boleh menerima melebihi dari apa yang seharusnya saya terima. Kami bukan pengemis. Kami menerima bagian kami.” Rupanya Sri Tahir terkesan dengan sikap Felani ini dan suatu hari berkunjung ke rumahnya. Anak yang masih semuda itu sudah mempunyai prinsip yang demikian kuat seperti ini pasti dapat dipercaya. Jika ia sekolah pasti akan sekolah dengan benar dan akan menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Pada akhirnya ia menerima beasiswa dari Tahir Foundation dan bisa melanjutkan sekolah dan menjadi orang yang cukup berhasil dan memberkati banyak orang.

3. Mempunyai relasi yang baik dengan orang lain.

Ketika George Washington masih kecil, ayahnya mempunyai pohon cerry yang unggul yang amat bagus dibanding dengan pohon cherry lain di sekitarnya. Suatu hari ketika George Washington bermain kampak tidak sengaja mengenai pohon cherry kesayangan ayahnya. Ketika ayahnya menemukan pohon tersebut terkampak dan hampir mati, ia kaget dan berseru, “Siapa yang melakukan ini?!”. Dalam beberapa detik George Washington terdiam, namun ia segera memutuskan untuk jujur dan berkata, “Ayah, saya yang melakukannya. Saya tidak sengaja, Ayah. Saya sedih karena saya tahu Ayah amat menyayangi pohon ini dan pohon ini hampir mati karena kelalaian saya.” Namun ayahnya berkata, “Nak, tatap aku. Aku menyesal kehilangan pohon cherryku. Tapi aku sangat senang karena kamu berani berkata jujur. Aku lebih suka kamu berkata jujur daripada memiliki seluruh kebun cherry yang paling unggul tetapi kamu berkata bohong. Jangan lupa itu anakku.” George terus mengingat kata ayahnya ini dan tumbuh menjadi orang yang terus belajar jujur dan dipakai oleh Tuhan luar biasa. Karena ia jujur maka relasi orang tua dan anak ini bertumbuh dengan baik juga. Bisa dibayangkan jika ia tidak jujur, maka sejak waktu itu relasinya dengan ayah menjadi rusak.

4. Kejujuran menghindarkan dari dosa-dosa selanjutnya.
Biasanya ketidakjujuran akan menciptakan kebohongan-kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan yang sebelumnya.

5. Lebih Simple.
Hidup menjadi lebih simple karena kita tidak perlu terus-menerus memikirkan saya harus bilang apa. Itu sesuatu yang melelahkan, ribet.

6. Jujur menghindarkan kita dari kesusahan yang tidak seharusnya ditangggung.
Ada seorang nenek yang tinggal bersama dengan dua cucunya, si sulung dan si bungsu. Suatu hari si bungsu diminta tolong untuk pergi menggembalakan bebek. Di tengah kejenuhannya menggembalakan bebek, ia bermain ketapel. Dalam kecerobohannya, ketapel tersebut mengenai salah satu bebek nenek dan bebek itu mati. Si bungsu ketakutan, namun kakaknya berkata, “Sudah, ngga perlu takut, aku ngga akan memberitahukan bahwa bebek itu mati karena kecerobohanmu.” Akhirnya ketika nenek bertanya mengapa bebek tersebut mati, si bungsu mengatakan ia tidak tahu. Sejak hari itu, si kakak selalu menyuruh si bungsu untuk melakukan segala sesuatu yang disuruh oleh kakaknya. Jika si bungsu tidak mau, maka si sulung berkata, “Ingat, bebek. Kamu mau saya mengatakan kepada nenek kalau kamu yang membuat bebek itu mati?”. Terpaksa si bungsu melakukan saja semua hal yang disuruhkan oleh kakaknya karena takut kebohongannya dibongkar. Hari demi hari, minggu demi minggu si kakak terus memperdaya adiknya. Setelah satu bulan diperlakukan demikian, akhirnya ia tidak tahan dan si bungsu mengaku kepada nenek bahwa dialah penyebab kematian bebek itu. Dan nenek berkata, “Sebenarnya dari semula saya sudah tahu kalau kamulah yang membuat bebek itu mati, karena kematiannya tidaklah wajar seperti kematian bebek biasanya. Tapi nenek menunggu kamu berkata jujur”…. Si bungsu sadar, andaikan dari awal berkata jujur, tentu tidak perlu menanggung tekanan selama ini dari si kakak.

7. Berkenan di hadapan Tuhan.
Inilah yang paling penting dan paling utama dalam hidup kita, yaitu berkenan di hadapan Tuhan. Di hadapan manusia kita bisa nampaknya bagus dan membuat orang lain senang, tetapi jika tidak berkenan di hadapan Tuhan, maka semua itu sia-sia.

8. Lalu apa yang kita dapatkan jika kita tidak jujur?
Untuk sementara waktu kita bisa aman dan tenang, namun jangka panjangnya hanya akan membawa pada kesengsaraan dan membuat kita makin jauh dari Tuhan. Sayang sekali, bukan? Kesimpulannya jujur itu mujur. Efesus 4:25, “Jauhkanlah segala dusta dan bicaralah yang benar satu sama lain, sebab kita adalah anggota satu terhadap yang lain.”

Hidup dalam Kejujuran

hidup dalam kejujuran

Hidup dalam Kejujuran (Ams. 14:2)

Siapa berjalan dengan jujur, takut akan TUHAN, tetapi orang yang sesat jalannya, menghina Dia.

 

Oleh: Maria Fennita S, staf Kerohanian

 

Pada tahun2008, New York Magazine menerbitkan sebuah artikel mengenai riset terkait anak-anak dan berbohong. Dalam riset tersebut, sekelompok anak dikumpulkan dan dibacakan buku cerita The Boy Who Cried Wolf yang menceritakan tentang seorang anak kecil yang dimakan oleh serigala karena ia telah berbohong. Sebelum riset ini, dilakukan juga survei terhadap sekelompok orang tua mengenai pandangan mereka tentang cerita dari buku tersebut dan kaitannya dengan berbohong. Menurut para orang tua dalam survei ini, sebagian besar berpikir bahwa konsekuensi-konsekuensi negatif yang diceritakan dari buku The Boy Who Cried Wolf itu akan mengarahkan anak-anak untuk lebih jujur. Meski demikian, setelah anak-anak mendengar cerita The Boy Who Cried Wolf, para peneliti mendapati bahwa anak-anak tersebut tetap berbohong dengan tingkat kebohongan seperti sedia kala.

Kemudian para peneliti itu melakukan riset berikutnya, dengan membacakan kisah tentang George Washington dan pohon ceri. Dalam kisah tersebut, George datang kepada ayahnya dan mengaku bahwa ia telah menebang pohon ceri kesayangan ayahnya. Mendengar pengakuan George, ayahnya berkata, “Mendengarmu berkata jujur daripada berbohong, itu lebih baik dibanding jika ayah punya ribuan pohon ceri.” Lalu dalam riset ini para peneliti mendapati bahwa kisah George Washington dan pohon ceri itu mampu mengurangi kebohongan yang dilakukan anak-anak sebanyak 43%. Mereka menyimpulkan, ancaman hukuman terhadap kebohongan hanya mengajarkan anak-anak untuk belajar bagaimana berbohong dengan cara yang lebih baik. Ketika anak-anak belajar betapa berharganya sebuah kejujuran, seperti yang ditekankan dalam kisah George Washington, kebohongan mereka berkurang.

Terkait pentingnya kejujuran, firman Tuhan berulangkali memberikan penegasan tentang betapa penting dan berharganya kejujuran: Karena kejujurannya, orang akan bermegah dan bersukacita (Mzm. 64:11), akan bersyukur kepada Tuhan (Mzm. 119:7), akan hidup sesuai firman Tuhan dan membenci jalan dusta (Mzm. 119:128), berelasi dekat dengan Tuhan (Mzm. 140:14; Ams. 3:32; Ams. 16:13), hidup dalam ketulusan (Ams. 11:3) dan kebenaran (Ams. 11:6), ditolong oleh Allah (Ams. 2:7), takut akan Allah (Ams. 14:2), mewujudkan kebaikan (Ams. 14:9), doanya diperkenan Tuhan (Ams. 15:8), hidup menjauhi kejahatan (Ams. 16:17), dst.

Berdasarkan terang kebenaran firman Tuhan di atas, terlihat jelas betapa kejujuran dipandang sangat penting dan berharga oleh Tuhan. Mengapa? Alasannya bukan semata-mata karena moralitas (kejujuran itu baik dan ketidakjujuran itu buruk), melainkan karena kejujuran terkait langsung dengan cara kita memandang memperlakukan Allah. Dalam Amsal 14:2 dituliskan, “Siapa berjalan dengan jujur, takut akan TUHAN, tetapi orang yang sesat jalannya, menghina Dia.” Ini artinya, kejujuran kita dalam hidup ini bukan semata-mata dalam rangka hidup baik, melainkan untuk hidup takut akan Tuhan dan menghormati Dia sebagai Pemilik hidup kita. Dan ayat tersebut juga berarti, ketidakjujuran atau dusta yang kita perbuat bukan semata-mata membuktikan keburukan moralitas kita, melainkan di saat yang sama juga memperlihatkan penghinaan kita kepada Tuhan.

Mengapa ketidakjujuran atau dusta dianggap penghinaan kepada Tuhan? Ini terkait dengan siapa sumber dusta dan bapa segala pendusta, yaitu Iblis (Yoh. 8:44). Sederhananya, ketika kita memilih berbohong daripada jujur, kita lebih memilih menuruti kemauan iblis dibanding kehendak Allah; kita memilih menghina Tuhan daripada takut akan Dia. Tidak heran jika Allah sangat serius menangani persoalan kejujuran dan ketidakjujuran ini. Dalam Yehezkiel 13:8, firman Tuhan mengatakan, “Sebab itu, beginilah firman Tuhan ALLAH, oleh karena kamu mengatakan kata-kata dusta dan melihat perkara-perkara bohong, maka Aku akan menjadi lawanmu, demikianlah firman Tuhan ALLAH.”

Sebagai pendidik ataupun orang tua, mari kita mengevaluasi diri, bagaimanakah selama ini kita menyikapi kejujuran ataupun ketidakjujuran, baik yang kita perbuat sendiri, atau yang diperbuat pasangan kita, rekan kerja kita, atau bahkan anak-anak/siswa kita? Seberapa besar kepedulian kita ketika menyaksikan ketidakjujuran? Seberapa besar antusiasme kita untuk hidup jujur dan menjadi teladan kejujuran dalam keseharian kita?

Seorang kritikus seni dan pemerhati sosial abad 19, John Ruskin (8 Februari 1819 – 20 Januari 1900), menuliskan, “Yang menjadi pendidikan mula-mula adalah memampukan anak-anakmu untuk jujur.” Biarlah ini menjadi PR kita bersama, baik orang tua maupun guru. Mari didik anak-anak yang Tuhan percayakan kepada kita tentang betapa berharganya kejujuran itu! Mari dorong mereka untuk berkata, bertindak, dan berpikir dengan jujur! Dan yang terlebih penting lagi, mari kita mulai dari diri kita, untuk berkata, berbuat, dan berpikir dengan jujur. Dengan demikian kehidupan kita sungguh dapat menjadi teladan bagi orang lain dan memuliakan Tuhan, sebagaimana yang dinasehatkan Paulus kepada Titus, “Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.”

Tepat Waktu dan Waktu yang Tepat

karakter_tepat_waktu

Oleh: Netty Sianturi, guru Agama SD

 

“Ia menentukan waktu yang tepat untuk segala sesuatu.
Ia memberi kita keinginan untuk mengetahui hari depan,
tetapi kita tak sanggup mengerti perbuatan Allah dari awal sampai akhir”
– Pengkhotbah 3:11 (BIS) –

Era kita hidup sekarang adalah era di mana waktu sungguh dihargai dengan sebuah semboyan, “Waktu adalah Uang”, sehingga zaman ini manusia begitu cepat bergerak dan menghargai ketepatan waktu. Namun, ada kisah di mana Daniel, Gideon dan Samuel beserta 7 anggota keluarganya yang lain, terhindar dari kecelakaan pesawat AirAsia QZ 8501 dari Surabaya tujuan Singapura yang jatuh pada tanggal 28 Desember 2014, karena mereka sekeluarga terlambat datang ke bandara Juanda. Mereka selamat; mereka tidak tepat waktu, tetapi ada pada waktu yang tepat. Di sinilah perbedaan penting antara dua konsep waktu yaitu kronos dan kairos. Kronos berbicara tentang tepat waktu, sementara Kairos berbicara tentang waktu yang tepat.

Dalam konteks kehidupan spiritual, maka waktu yang tepat adalah anugerah Tuhan bagi kita, seperti dikatakan di atas: “Ia menentukan waktu yang tepat untuk segala sesuatu.” Tidak ada usaha manusia yang dapat merancang waktu yang tepat dalam peristiwa kehidupannya. Doa, pengharapan, iman dan hubungan intim dengan Tuhanlah yang dapat membantu manusia memiliki kepekaan untuk dapat berada pada waktu yang tepat.

Sementara itu, tepat waktu adalah usaha manusia untuk menghargai waktu yang Tuhan berikan dengan sebuah perencanaan dalam kehidupannya, karena dikatakan juga di atas: “Ia memberi kita keinginan untuk mengetahui hari depan, tetapi kita tak sanggup mengerti perbuatan Allah dari awal sampai akhir.” Manusia berkeinginan untuk mengetahui hari depan, tetapi hari depan adalah misteri Allah, sehingga yang bisa dibuat manusia adalah membuat perencanaan dalam hidupnya atau menjalankan rencana yang sudah dibuat dengan tepat waktu sebagai ekspresi dari keinginannya untuk mengetahui hari depan.

Kisah indah yang menggambarkan tepat waktu dan waktu yang tepat adalah kisah “Lazarus dibangkitkan” dalam Yohanes 11:1-43. Ada beberapa kalimat penting dalam ayat-ayat tersebut dalam konteks pembahasan tepat waktu dan waktu yang tepat, yaitu: “…Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan…(4)” “…Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada…(6)”; “…tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu supaya kamu dapat belajar percaya…(15)”, “…Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati..(21,32)”

Dalam pikiran dan perkataannya Maria dan Marta memandang bahwa Yesus tidak datang tepat waktu. Seharusnya Dia datang empat hari yang lalu, dan saat ini Yesus sudah terlambat, sehingga kematian terjadi pada Lazarus. Tetapi dalam rancangan Yesus, Ia “sengaja terlambat”, karena ada sesuatu yang lebih besar yang hendak dicapai yaitu: Kemuliaan Allah, dan pembelajaran akan kepercayaan.

Andai pada waktu itu Yesus datang tepat waktu dan Lazarus disembuhkan, tentu ini berkat ilahi, namun dampak dari peristiwa itu tidak begitu besar, tidak ada pembelajaran penting melaluinya. Syukurlah Yesus datang tidak tepat waktu, tetapi pada waktu yang tepat, sehingga kita bisa belajar arti percaya dan memuliakan Allah.

Ada beberapa hal yang dapat kita pelajari lebih jauh dan kita praktekkan dari kisah tersebut dalam kaitan dengan tepat waktu:

Tepat waktu menandakan ketaatan kita kepada otoritas.
Bagi Yesus tentulah tidak ada istilah terlambat, karena Dia adalah Pencipta waktu; Ia melampaui waktu, Ia memiliki otoritas atas waktu. Namun, bagi kita yang terkurung oleh waktu, kita harus melihat bahwa kebiasaan tepat waktu adalah wujud ketaatan kita kepada otoritas yang ada.
Tepat waktu untuk memuliakan Allah.
Melampaui ketaatan kita kepada otoritas, maka ketika kita membangun kebiasaan tepat waktu, milikilah pandangan bahwa kita melakukannya sebagai bagian dari ekspresi kita dalam memuliakan Allah.
Tepat waktu merupakan ekspresi percaya.
Kita tahu bahwa kita tidak dapat mengendalikan kejadian-kejadian dalam kehidupan kita. Namun, kita tidak boleh pesismis. Karena, meski waktu yang tepat berada di luar kontrol kita, namun tepat waktu masih bisa berada dalam kontrol kita, sehingga kita dapat melakukan apa yang telah kita rancang dengan tepat waktu dan percaya bahwa Tuhan akan menjadikannya indah pada waktunya. Seperti Maria dan Marta yang segera mengirim kabar kepada Yesus “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit” (Yoh.11:3). Mereka melakukan apa yang dapat mereka lakukan, namun bahwa segala sesuatu menjadi indah pada waktunya tergantung pada kasih Allah kepada mereka, oleh karena itu dalam kabar itu ada kebergantungan kepada kasih Allah, sehingga dikatakan: “dia yang Engkau kasihi…”

Sementara itu pelajaran lain, yang dapat kita peroleh dari kisah kebangkitan Lazarus yang berkaitan dengan waktu yang tepat, adalah:
Tuhan merancang segalanya tepat pada waktunya.
Karena itu, senantiasalah bersyukur dan tidak bersungut-sungut atas segala peristiwa yang kita alami.
Berdoalah senantiasa agar semua boleh jadi indah pada waktunya.
Karena waktu yang tepat berada di luar kontrol kita, maka doa menjadi kunci bagi kita agar Tuhan senantiasa menyertai apa yang kita lakukan agar indah pada waktunya. Doa dalam kisah Lazarus tersebut digambarkan dengan perilaku Maria dan Marta yang segera mengirim kabar. Mengirim kabar kepada Yesus adalah sebuah doa.
Repson kita haruslah memuliakan Allah.
Memuliakan Tuhan berarti menyatakan hakekat Tuhan lewat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Sehingga, apapun yang terjadi dalam hidup kita, sedapat mungkin lihatlah bagaimana Allah dimuliakan melaluinya.
Allah mau kita belajar percaya dalam penantian kita akan waktu yang tepat.
Keingintahuan kita akan masa depan dan ketidaktahuan kita akan masa depan justru menjadi wadah bagi pengembangan iman kita. Bukankah iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat? (Ibr.11:1).
Tetaplah berharap.
Teruslah berharap sekalipun apa yang kita lihat dan alami  kita pikir sudah terlambat.

Tepat waktu mengandung sikap “menghargai”. Ketika kita tepat waktu, kita menghargai orang-orang yang menunggu kita, kita menghargai diri kita sebagai orang yang bertanggung jawab dan terlebih lagi kita menghargai Tuhan sang pemberi waktu. Waktu yang tepat mengandung anugerah Allah yang membuat kita terus belajar percaya, bersyukur dan memuliakan Tuhan.

 

Tepat Waktu

tepat_waktu

Oleh: Ruth Irene Chandra, staf Pengembangan Karakter

 

Allah adalah Sang Pencipta Waktu. Dia menciptakan siang dan malam. Dia juga menetapkan musim dalam setahun dan musim kehidupan. Allah menciptakan siang untuk kita bekerja dan malam untuk beristirahat.

Dalam berkarya Allah juga tepat waktu. Dari awal penciptaan, Tuhan menciptakan dengan urutan waktu yang sedemikian rupa sehingga semuanya dapat berjalan dengan baik. Tuhan menciptakan hewan-hewan setelah menciptakan daratan dan lautan sehingga hewan-hewan memiliki tempat untuk tinggal. Tuhan menciptakan manusia pada hari terakhir sehingga manusia memiliki tempat untuk tinggal dan makanan untuk dimakan. Semuanya diciptakan dengan urutan waktu yang tepat (Kej 1:1-31).

Tidak hanya masalah penciptaan, Tuhan juga mengatur waktu hidup untuk manusia dan ciptaan lainnya. Dalam Pengkhotbah 3:1-15 dikatakan bahwa segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk menabur, ada waktu untuk menuai, ada waktu untuk bersuka, ada waktu untuk berduka, semuanya sudah diatur sedemikian rupa agar terjadi keseimbangan.

Tuhan menciptakan waktu sehingga manusia juga dapat mengatur hidupnya sesuai dengan waktu yang diberikan oleh Tuhan. Manusia dengan akal budi yang diberikan kepadanya, menggunakan waktu yang Tuhan berikan untuk mengatur berbagai macam pekerjaan yang harus ia lakukan dan untuk menjaga ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk beristirahat, ada waktu untuk bersekolah, ada waktu untuk bertemu, dan sebagainya.

Salah satu karya Allah yang terbesar adalah karya keselamatan melalui Yesus Kristus. Kita bisa melihat bagaimana Allah mengatur sejarah dan orang-orang yang terlibat dalam karya tersebut begitu luar biasa. Allah menghadirkan Kristus di masa pemerintahan Romawi, di mana banyak akses jalan dibuka, memudahkan perjalanan ke berbagai tempat. Ini mempersiapkan jalan bagi penyebaran berita Injil melalui masa penganiayaan orang Kristen di kemudian hari. Pada masa kelahiran Yesus juga dilakukan sensus besar sehingga semua orang harus kembali ke tempat masing-masing, menggenapi kelahiran Yesus di Betlehem sebagaimana nubuatan dalam Alkitab.

Berkenaan dengan waktu, Yesus meneladankan pentingnya bertindak tepat waktu. Ia sering berkata “waktunya belum tiba” dan ketika tiba waktunya bagi Yesus menghadapi salib, Ia pun mempersiapkan murid-murid untuk itu. Ketika menyadari bahwa Allah adalah Allah yang tepat waktu, maka kita boleh menaruh segala harapan bahkan pergumulan kita dalam tangan Allah, karena kita tahu bahwa Allah bekerja tepat waktu sesuai dengan hikmat-Nya. Kita tidak perlu terlalu kuatir menjalani hidup ini. Sebaliknya juga sebagai manusia yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah, kita harus bisa menghargai waktu yang Tuhan berikan, mengelola sedemikian rupa dan menyelesaikan segala sesuatu dengan tepat waktu.

Rajin

rajin

Oleh: Loura Palyama, guru Agama Kristen SMP

 

Mungkin kita pernah mendengar peribahasa, “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.” Peribahasa ini sudah terbukti dari masa ke masa. Ketika masih sekolah maupun kuliah, barangkali seseorang  memiliki  IQ yang tinggi, namun orang itu malas. Pada gilirannya,  ia tidak berhasil. Sebaliknya orang yang waktu sekolah, barangkali nilainya pas-pasan, tetapi berhasil, karena kerajinannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rajin berarti suka bekerja (belajar dsb); getol; sungguh-sungguh bekerja; selalu berusaha giat; kerapkali; terus-menerus; Suatu kegiatan yang terus dilakukan tanpa mudah menyerah. Dalam Yohanes 5:17 tertulis “Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.” Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus punya karakter rajin bekerja dan Tuhan juga menginginkan kita mempunyai karakter seperti Dia. Dalam Alkitab, kita tidak akan menemukan tulisan yang menjelaskan bahwa Tuhan Yesus sedang bersantai atau bermalas-malasan atau libur pelayanan mau jalan-jalan dulu. Tuhan Yesus menggunakan waktu yang diberikan Bapa dengan semaksimal mungkin. Ia tidak menyia-nyiakan waktu yang ada, sehingga dikatakan seandainya semua pelayanan Yesus dituliskan maka buku sedunia tidak akan cukup (Yoh. 21: 25).

Kalau kita perhatikan semua orang yang Yesus panggil untuk menjadi mitra kerja-Nya, baik orang terpelajar, maupun orang tidak terpelajar, rakyat biasa, orang kaya, laki-laki atau perempuan, maka kita akan mendapati bahwa mereka adalah orang yang rajin bekerja.

Seringkali banyak orang yang mengerjakan sesuatu namun tidak semangat, loyo-loyo. Dan pada akhirnya, hasilnya tidak maksimal. Untuk itu, perlu kita menyimak apa yang dikatakan seorang psikolog bernama Alan Fine. Ia  mengingatkan kita bahwa manusia normal mempunyai 3 unsur F yang sangat penting untuk terus berkembang. Tiga F itu adalah faith (keyakinan), focus dan fire (api semangat). Kita tidak boleh lupa akan kekuatan ketiga F itu, yang menciptakan dan memproduksi energi kita. Pencapaian tujuan itu tentu membutuhkan kerajinan yang luar biasa.

Dari hal di atas, kita melihat bahwa RAJIN adalah hal yang sangat penting. Sebelum dunia menunjukkannya dalam berbagai filsafat dan pandangan dunia, Tuhan sudah mengatakannya kepada kita. Bahkan dalam firman Tuhan banyak teguran pedas yang diberikan pada orang-orang yang malas. Firman Tuhan dalam Amsal 10:4-5 mengatakan “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya. Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu.” Dan para pemalas diminta oleh Salomo untuk belajar kepada para semut, agar tidak terjadi kemalangan kepada diri mereka (Ams. 6:6-11).

Jika kita memperhatikan aktivitas semut, mereka tidak pernah berhenti bekerja. Mereka selalu mengumpulkan makanan yang mereka perlukan. Dan mereka tidak pernah kekurangan makanan, karena mereka selalu menjaga agar suplai makanan selalu tersedia. Demikianlah halnya kita dalam bekerja. Rajinlah bekerja seperti semut, sehingga berkat berkelimpahan akan mendatangi kehidupan kita. Tentunya dengan tidak melupakan persekutuan pribadi kita dengan Tuhan.

Banyak juga umat Tuhan yang mengaku sudah rajin beribadah dan bahkan aktif dalam pelayanan tetapi mereka mengeluh karena tidak pernah berhasil dalam pekerjaan atau usaha yang mereka jalani. Mereka beranggapan bahwa hanya dengan rajin bersekutu dengan Tuhan, maka berkat akan tercurah bagi mereka. Padahal selain hubungan intim dengan Tuhan, Tuhan ingin agar kita juga tetap bekerja dengan giat seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia, sebagaimana yang Paulus katakan dalam Kolose 3:23-24 menuliskan, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya”.

Salah satu tokoh Alkitab yang dapat diteladani dalam hal kerajinannya yaitu Paulus. Rasul Paulus tidak hanya giat dalam pelayanan saja, tetapi dia juga giat dalam bekerja agar tidak menyusahkan orang lain. Dia menjadikan dirinya teladan tidak hanya dalam pelayanan, tetapi juga dalam bekerja untuk menghidupi kebutuhannya. Keseimbangan antara pelayanan dan pekerjaan juga harus diperhatikan, jangan sampai kita hanya mengutamakan satu hal saja tetapi menelantarkan hal yang lainnya. Dengan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan pelayanan, maka kita dapat menjadi terang bagi setiap orang yang ada di sekeliling kita dan menjadi saksi di dalam lingkungan sekuler, di mana banyak orang-orang yang tidak mengenal Tuhan akan melihat kebesaran Tuhan terjadi dalam hidup kita.

Bekerjalah dengan rajin agar kita dapat menjadi saluran berkat untuk banyak orang, bekerja juga dalam memberitakan Injil Tuhan, agar banyak orang yang mendengar tentang keselamatan dan mendapatkan keselamatan itu. Giatlah selalu, rajin dalam bekerja dan rajin dalam memuliakan Tuhan, maka hidupmu akan dipenuhi dengan rasa sukacita.

Metamorfosis Camp

Oleh: Rotua Apriliani Simanjuntak

Metamorfosis Camp adalah camp yang diadakan dengan tujuan untuk mempersiapkan siswa dari jenjang SD dengan karakter responsible memasuki jenjang SMP dengan karakter Caring and Sharing, khususnya karakter belas kasih di kelas VII.

Camp ini diadakan selama dua hari satu malam. Dimulai dari hari Jumat pagi, 3 Februari 2017 sampai Sabtu siang, 4 Februari 2017. Dihadiri oleh guru wali kelas VII dan partner, beserta tim Pengembangan Karakter. Adapun kegiatan yang diadakan adalah membuat tas, pembekalan metamorfosis, talent show, games, memasak, bersih-bersih dan refleksi diri. Dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan tersebut, para siswa dilatih untuk berbagi, bekerja sama, disiplin, taat, mendengarkan, sabar, berani, serta mampu menampilkan talenta yang mereka miliki.

Selama camp diadakan banyak pengalaman baru yang siswa-siswi dapatkan, hingga akhirnya mereka berkomitmen untuk menjadi lebih baik lagi.

 

metamorfosis_camp

metamorfosis_camp

metamorfosis_camp

metamorfosis_camp

metamorfosis_camp

metamorfosis_camp

metamorfosis_camp

metamorfosis_camp

metamorfosis_camp

Menjadi Orang yang Bijaksana

Hidup manusia dikatakan bermakna, bukan dari seberapa lama atau seberapa panjang usia dia hidup tapi dengan nilai-nilai apa dia mengisi kehidupannya di dunia. Apakah dia sudah mengisi hidupnya dengan bijaksana selama dia di dunia?

Ada suatu kisah yang menceritakan tentang seorang pria yang hidup dengan kedua anaknya. Sebelum meninggal, ia membagikan sejumlah uang kepada kedua anaknya dan berpesan:”Gunakan uang ini baik-baik! Jadikan uang ini sebagai modal usaha, supaya engkau menjadi orang berhasil. Tetapi ingat pesanku ini: “Jangan sampai kepalamu terkena sinar matahari” Setelah meninggal, kedua anaknya menggunakan uang tersebut untuk mendirikan usaha. Mengingat pesan ayahnya, anak yang pertama setiap hari datang dan pulang dari tempat usahanya dengan membawa payung. Ia berusaha melindungi kepalanya supaya jangan terkena sinar matahari, dengan demikian ia akan berhasil. Tetapi kenyataannya, ia bukan berhasil melainkan usahanya menjadi bangkrut.

Anak yang kedua berbeda dalam memaknai pesan ayahnya. Ia tidak mau membeli payung atau pelindung apapun untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari. Setiap hari ia datang pagi-pagi buta ke tempat usahanya, ia mengerjakan segala sesuatu hingga malam hari, barulah ia kembali ke rumah sehingga usahanya berhasil. Anak yang kedua berhasil karena ia bijaksana memaknai pesan dari ayahnya.

Apakah bijaksana itu? Dalam kamus bahasa Indonesia, bijaksana artinya selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran serta pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan. Tuhan menghendaki agar umat-Nya memiliki hati yang bijaksana dalam menjalani hidupnya. Lalu, siapakah orang yang bijaksana? Orang yang bijaksana tidak identik dengan orang yang berpengetahuan tinggi karena orang yang berpengetahuan tinggi belum tentu bijaksana. Orang yang bijaksana belum tentu berpengetahuan tinggi tapi orang bijaksana pasti pintar dalam menghadapi segala sesuatu. Orang bijaksana adalah orang yang mampu melihat hidup ini dari sudut pandang Allah dan kemudian mengetahui tindakan terbaik untuk dilakukan. Orang yang bijaksana adalah orang yang mengenal isi hati Tuhan. Setiap orang pasti punya kerinduan untuk menjadi orang yang bijaksana.

Bagaimana menjadi orang yang bijaksana menurut Alkitab?

  1. Alkitab mengajarkan satu kalimat yang melampaui ajaran buku manapun; Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Amsal 1:7). Takut akan Tuhan ialah menghormati Tuhan. Takut akan Tuhan adalah mengakui bahwa Tuhan adalah sumber hikmat dan kepada-Nya-lah kita meminta hikmat. Takut akan Tuhan membawa kita untuk menjauhkan dosa dan membenci dosa, kejahatan serta ketidakbenaran dalam hidup kita. Orang saleh dalam Alkitab seperti Henokh, Nuh, Ayub, mereka dapat menjauhi kejahatan bukan karena mereka hebat tetapi karena mereka punya rasa hormat yang besar kepada Tuhan sehingga walaupun semua berbuat jahat, mereka tetap berkata “tidak” terhadap kejahatan. Inilah yang disebut takut akan Tuhan. Orang yang tidak takut akan Tuhan, bagaimana pun pintarnya, dia akan binasa. Salomo adalah seorang raja dalam perjanjian lama yang terkenal karena bijaksananya. Salomo memohon diberikan bijaksana oleh Tuhan dalam memimpin rakyatnya karena Salomo takut akan Tuhan. Tuhan memberikan Salomo kebijaksanaan sehingga raja Salomo menjadi raja yang begitu bijaksana dalam memerintah rakyatnya. Tetapi raja Salomo tidak terus punya hati yang takut akan Tuhan. Raja Salomo mengambil perempuan-perempuan asing yang tidak takut akan Tuhan, akhirnya Salomo pun ikut menyembah dewa dari isteri-isterinya tersebut. Raja Salomo sudah kehilangan hati yang takut akan Tuhan. Salomo tidak lagi mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Dia berjalan menurut keinginan hatinya sendiri sehingga pada akhirnya Tuhan pun murka kepada Salomo. Bijaksana yang tidak disertai takut akan Tuhan akan membawa kehancuran. Jadi takut akan Tuhan adalah pondasi bijaksana yang sejati.
  2. Orang yang bijaksana harus punya hati yang melekat akan Tuhan dan mencintai Firman Tuhan. Saat hati raja Salomo tidak takut lagi akan Tuhan, maka hatinya tidak lagi melekat dan mencintai titah Tuhan. Sehingga Salomo lebih memilih untuk mencintai perempuan asing walaupun Tuhan telah melarang Salomo. Salomo mengabaikan Firman Tuhan. Hatinya tidak menyembah Tuhan lagi. Dia melupakan Tuhan. Hatinya terus menjauh dari Tuhan. Dia menyembah dewa para isterinya. Salomo tidak membiarkan kebijaksanaannya dipimpin oleh Tuhan. Dia tidak lagi mampu memiliki hati yang didedikasikan untuk Tuhan. Melekat kepada Tuhan berarti tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam kita. Orang yang bijaksana mempercayakan hidup ini sepenuhnya kepada Tuhan dan mengizinkan Tuhan berotoritas penuh atas hidupnya. Hidup bergaul dan berjalan bersama Tuhan, mencintai firman dan menjadi pelaku firman. Daud berkata, ”Aku lebih berakal budi dan aku lebih mengerti, sebab aku merenungkan peringatan-peringatanMu dan memegang titah-titahMu (Mazmur 119:99-100). Daud mempelajari Firman Tuhan dan menjadikannya sebagaai isi pikirannya serta gaya hidupnya. Untuk menjadi orang yang bijaksana, kita harus menjadikan Firman Tuhan sebagai pelita bagi kaki kita. Alkitab adalah Firman Allah yang memberitahu kita mengapa kita hidup, bagaimana kehidupan berjalan, apa yang harus dihindari dan apa yang harus kita lakukan untuk bisa menjalani hidup dengan bijaksana di dalam pandangan Allah. Jadi melekat kepada Tuhan dan mempelajari serta merenungkan Firman Tuhan dapat membuat seseorang bertindak dengan hikmat dan bijaksana.
  3. Kebijaksanaan yang sejati tidaklah berasal dari filosofi dan ide manusia. Kebijaksanaan yang sejati berasal dari Tuhan saat orang tersebut punya hati yang takut akan Tuhan dan punya hati yang melekat akan Tuhan serta mencintai Firman Tuhan dan melakukannnya. Maukah kita menjadi orang yang bijaksana sesuai dengan kehendak Tuhan?

Bijaksana

Siapa yang tidak mengenal kata bijaksana? Tentu kata tersebut bukanlah suatu kata yang baru kita kenal. Bijaksana merupakan kata sifat yang memiliki arti menurut kamus bahasa Indonesia yaitu bertindak sesuai dengan pikiran, akal sehat sehingga menghasilkan perilaku yang tepat, sesuai dan pas, juga pandai dan hati-hati apabila menghadapi kesulitan, dan sebagainya. Biasanya sebelum bertindak selalu disertai dengan pemikiran yang cukup matang sehingga tindakan yang dihasilkan tidak menyimpang dari pemikiran kita. Orang bijaksana tahu hal mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Jadi bisa dikatakan orang bijaksana adalah orang yang mampu mengambil keputusan dengan tepat, baik secara langsung maupun tidak langsung tanpa memihak secara adil dan obyektif. Sikap seperti ini sangat dibutuhkan oleh setiap orang, baik itu sebagai pemimpin, pendidik, orang tua, pedagang, atau siapapun.

Kita melihat bahwa banyak orang bermimpi untuk menjadi orang yang terpandang, terkenal, kaya, dan berhasil. Inilah dunia sekarang, dimana setiap individu selalu menilai orang lain berdasarkan apa yang terlihat secara kasat mata dan subyektif. Banyak orang cerdas dan memiliki kecerdasan yang tinggi, namun tidak bijaksana. Mereka menggunakan kemampuannya untuk merugikan banyak orang dan tidak berperilaku adil. Padahal Tuhan menghendaki setiap kita memiliki hati yang bijak dan menjadi pribadi yang bijaksana. Dalam Amsal 3:7 jelas dikatakan “Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan Tuhan dan jauhilah kejahatan”. Apakah kita bisa menilai diri kita sendiri bahwa kita sudah bijak? Biasanya orang lain yang bisa menilainya berdasarkan perkataan, perilaku, dan pemikiran yang mereka lihat dari diri kita sehari-hari.

Apa yang dimaksud dengan bijaksana melalui perkataan? Bijaksana dalam perkataan dimana orang tersebut dapat berinteraksi dengan bahasa yang dimengerti dan direspon oleh semua kalangan, juga mampu melakukannya dengan tenang, tidak buru-buru, dan tegas. Berbicara merupakan komunikasi yang penting dalam menjalin hubungan baik dengan Tuhan maupun sesama. Sebagai seorang pendidik (guru) kita harus menjalin komunikasi dengan orang tua untuk membicarakan tentang perkembangan anaknya, kita perlu sikap yang bijaksana dalam setiap perkataan kita terlebih lagi untuk anak yang berkebutuhan khusus. Begitu juga terhadap anak didik kita sendiri, kita perlu hikmat dari Tuhan untuk dapat menjaga setiap tutur kata kita sehingga setiap kalimat atau perkataan yang keluar dari mulut kita bersifat membangun. Mazmur 39:2 berkata “Aku hendak menjaga diri supaya jangan aku berdosa dengan lidahku”. Firman Tuhan tersebut membahas cara berbicara dan menjaga perkataan kita agar tidak jatuh dalam dosa, juga untuk berkata yang benar sebagai murid Kristus. Sama halnya seorang pemimpin yang menegur bawahannya atau sesama rekan kerja kita. Berilah dampak yang positif dalam perkataan kita dengan baik dan ucapan yang tulus bukan membuat orang tersinggung dan sakit hati.

Bijaksana dalam bertindak, biasanya terlihat saat harus mengambil sebuah keputusan. Salah satu contoh diambil dari kisah Raja Salomo dalam 1 Raja-Raja 3:16-28 dimana Tuhan memberikan hikmat kepadanya dalam mengambil keputusan yang tepat untuk memberikan bayi yang diperebutkan kepada ibunya yang benar.
Kita mungkin pernah mengalami hal yang sama seperti Raja Salomo dengan masalah yang lain. Apa pun masalahnya kita dapat belajar darinya bagaimana bertindak dengan bijaksana, yaitu dengan memohon hikmat dari Tuhan.

1 Raja-Raja 3:9…”Maka berikanlah kepada hambaMu ini hati yang faham, menimbang perkara untuk menghakimi umatMu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umatMu yang sangat besar ini?” Dengan hikmat dari Tuhan, kita akan mampu mengambil sebuah keputusan yang tepat dan tidak ceroboh, tentunya keputusan/tindakan yang kita lakukan baik dan sesuai dengan kehendakNya.
Dalam mengelola keuangan, kita pun harus memiliki pemikiran yang bijaksana. Kita harus bisa memprioritaskan mana yang utama dan mana yang tidak terlalu penting dilakukan. Kebijaksanaan di sini berhubungan erat dengan pengendalian diri dan menahan hawa nafsu/keinginan. Kita harus menahan diri untuk tidak terpengaruh dengan lingkungan di sekitar kita berada. Senantiasa bersyukur dan mencukupkan dengan kondisi yang ada, tidak berlebih atau kurang tapi cukup.

Jadi untuk dapat menjadi orang yang bijaksana, kita tidak dapat melakukan dengan kekuatan diri kita sendiri, namun harus memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan dengan kerendahan hati kita memohon hikmatnya. Luangkan banyak waktu untuk berdiam diri dan merenungkan firmanNya yang dapat menjadi refleksi hidup kita. Semakin kita menyukai Firman Tuhan, semakin kita dibentuk menjadi pribadi yang bijaksana. Banyak belajar dari buku-buku lain untuk menambah wawasan kita tanpa meninggalkan Alkitab sebagai pegangan utama kita dalam menjalani hidup yang bijaksana. Terus berusaha dan jangan pernah menyerah untuk menjadi baik. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Mazmur 90:12…”Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati bijaksana”.

Amin.

Rendah Hati

rendah hati

Kerendahan hati adalah sebuah karakter (sifat) sekaligus sebuah sikap (perilaku). Ia disebut sifat karena ia berada di wilayah pikiran dan hati yang berperan besar dalam menghasilkan perilaku manusia. Ia disebut perilaku karena ia harus terwujud dalam perilaku-perilaku tertentu yang oleh khalayak umum diakui sebagai tanda-tanda kerendahan hati. Kerendahan hati sejati muncul apabila keduanya menyatu dan saling melengkapi seperti dua sisi pada satu koin. Kita tidak dapat mengatakan seseorang itu rendah hati apabila kita tidak melihat perilaku-perilaku rendah hati dalam hidupnya. Sebaliknya, kita juga tidak serta merta dapat menyimpulkan bahwa seseorang itu rendah hati melalui perilaku-perilakunya karena ada kemungkinan sikapnya adalah rekayasa dan bukan merupakan dorongan hatinya.

Di tengah jaman yang penuh kompetisi seperti sekarang ini, adalah sangat sulit untuk menemukan orang yang rendah hati bahkan mungkin telah ada keraguan (kalau bukan keyakinan) bahwa kerendahan hati sudah tidak relevan lagi karena dianggap sebagai penghalang keberhasilan sehingga “rendah hati” ditinggalkan oleh banyak orang. Keinginan semua orang untuk menjadi “seseorang” dan penolakan semua orang menjadi “bukan siapa-siapa” diduga menjadi penyebabnya. Ada desakan yang sangat kuat dalam diri setiap orang untuk menjadi penting dan berarti serta mendapat pengakuan dari lingkungan dan masyarakat dan akibatnya terjadi persaingan yang sangat ketat untuk menjadi penting dan berarti. Persaingan ini mendorong orang berlomba-lomba untuk menjadi yang utama. Semua orang ingin menjadi nomor satu.

Pandangan Kristen tentang kerendahan hati sangat jelas. Hal yang menjadi dasar sikap rendah hati dalam pandangan Kristen adalah diri Kristus sendiri mulai dari kerendahan dalam kelahiran-Nya di kandang domba, kerendahan dalam sikap sehari-hari di masa hidup-Nya dan akhirnya kerendahan dalam pengorbanan-Nya di kayu salib. Kerendahan hati Kristiani juga bersifat paradoks sebagaimana Kristus katakan: “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:11-12). Yakobus menegaskan ini dalam Yakobus 4:10: “Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu”.
Rendah hati adalah tentang mengutamakan orang lain dan menempatkan diri sendiri di posisi yang lebih rendah daripada orang lain. Rendah hati adalah tentang menjadi pelayan orang lain dan “mengosongkan” diri sendiri dan menjadi “bukan siapa-siapa”. Menjadi rendah hati adalah perjuangan seumur hidup. Namun kita tidak perlu kuatir karena kita mempunyai Tuhan yang rendah hati dan berjanji menolong kita menjadi rendah hati seperti Dia.

Ciri pribadi yang rendah hati adalah dengan senantiasa bertanggung jawab serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan tulus jika melakukan kesalahan, baik yang disengaja atau tidak disengaja sekalipun, atau pada saat menyinggung perasaan orang lain. Pribadi rendah hati yaitu manusia yang sangat peduli dengan perasaan orang lain. Empat tanda bahwa seseorang adalah pribadi yang rendah hati yaitu:
Tidak merasa perlu menyombongkan diri.
Bisa menunjukkan empati.
Senang membuat orang lain bahagia.
Melihat semua orang sama.

Menurut Alkitab, ada beberapa upah yang akan kita peroleh jika kita rendah hati, yaitu: makan dan kenyang, jalannya dibimbing Tuhan, bersuka cita, mewarisi negeri, kesejahteraannya berlimpah-limpah, dimahkotai dengan keselamatan, dikasihani Tuhan, memiliki hikmat, menerima pujian, semangatnya dihidupkan oleh Tuhan, terlindung pada hari kemurkaan Tuhan, dibiarkan hidup, dihibur Tuhan, kehormatan dan kehidupan.

Tokoh Alkitab yaitu Daud memiliki hati yang luar biasa. Dia dikenal sebagai orang yang berkenan di hadapan Allah. Berbagai masalah dilalui Daud dengan penuh penderitaan tetapi juga selalu penuh kemenangan. Kuncinya ada di kerendahan hati yang Daud miliki. Kerendahan hati membuat Tuhan berkenan kepada kita. Dia melihat orang-orang yang rendah hati dan mencurahkan berkat-Nya bagi mereka.

Bagaimana menjadi rendah hati? Kita semua sedang belajar untuk itu. Perenungan yang terus-menerus akan anugerah keselamatan yang sudah Bapa berikan melalui Yesus Kristus kepada kita seharusnya bisa menjadi dasar yang kuat sekali untuk kita menjadi rendah hati. Kita “bukan siapa-siapa” tetapi kita diselamatkan-Nya. Kesadaran ini seharusnya membuat kita tak henti-hentinya bersyukur. Selama kita meyakini bahwa menjadi yang utama di antara orang lain adalah tujuan hidup, selama itu juga kita akan gagal menjadi rendah hati. Marilah kita bersama-sama terus belajar rendah hati sehingga melalui hal tersebut kita boleh menyenangkan hati Allah dan nama Tuhan dipermuliakan.

(Oleh: Endang Ninanta, guru SD)

Tertib

Dalam bahasa Indonesia, kata ‘tertib“ bisa berarti teratur; aturan; rapi; peraturan yang baik. Sedangkan kata “tertib” dalam bahasa Yunani adalah taksis, bisa berarti urutan tetap, pengalihan kekuasaan yang berurut (untuk imam), ketertiban, keteraturan (seperti dalam I Korintus 14:40, segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur), sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.

Dari surat Paulus kepada jemaat di Korintus kita mendapat pemahaman bahwa Allah yang kita kenal adalah Allah yang menghendaki ketertiban. Karena itu kepada jemaat Tesalonika yang tidak tertib ia menasehati  “Saudara-saudara, tegurlah mereka yang hidup dengan tidak tertib” (I Tesalonika 5:14). Kata ‘tidak tertib’ dalam bahasa Yunani adalah ataktos. Kata ini dalam bahasa Indonesia artinya adalah malas, mengacu pada orang yang tidak mau bekerja dan suka mencampuri urusan orang lain (periergazomai, mengerjakan yang sia-sia/hal-hal yang tidak berguna; mereka sibuk tetapi tidak melakukan apa-apa; mereka sibuk dengan hal-hal yang bukan urusannya sendiri), tidak disiplin, tidak mengikuti peraturan, pemberontak (II Tesalonika 3:11). Mereka aktif bahkan hiperaktif tetapi tidak produktif.

Dengan demikian, ketika kita hidup secara tidak teratur, maka sebenarnya kita sedang menjalani hidup yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Sebagaimana dalam hal kemalasan, ada banyak orang beranggapan itu hanya sebuah sifat yang menjadi kekurangan dan tidak melihat sebagai dosa, banyak orang percaya yang juga berpikir bahwa hidup tidak tertib itu bukanlah dosa. Namun, ketika kita memahami bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak Allah, maka kita mengerti bahwa hidup tidak tertib sebenarnya adalah melawan kehendak Tuhan, melenceng dari tujuan Allah, dan itu artinya dosa.

Semua yang diciptakan Tuhan itu tertib. Amsal 30:27 mengajarkan agar kita belajar dari belalang yang  walaupun tidak ada raja atau atasannya, mereka sangat tertib, berangkat dan pergi bisa bersama-sama dengan teratur sekali. Begitu juga orang yang dewasa (matang rohaninya) akan hidup tertib, sebab ia hidup takut akan Allah dan taat akan Firman-Nya. Sekalipun tidak ada pengarah, supervisor atau orang yang mengawasinya, ia tetap hidup kudus dan taat akan Firman Tuhan seperti belalang ini.

Ketertiban orang percaya bukanlah karena sistem atau taat pada perintah pimpinan, tetapi karena takut, cinta akan Tuhan. Ia  ingin diperkenan Tuhan sehingga berjuang untuk hidup tertib dan baik. Inilah yang  harus terus dikembangkan dan ditingkatkan yaitu tertib karena Tuhan. Segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa (Kol 3:17). Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.”  (2 Timotius 1:7).

Dengan demikian sesungguhnya hidup tertib bukan hanya cerminan bahwa kita adalah orang-orang yang telah dilahirbarukan oleh Allah, dimana salah satu buktinya adalah mau menaati kehendak Tuhan untuk hidup tertib, tetapi juga sekaligus itu merupakan bentuk ucapan syukur dan kasih kita kepada Tuhan.

Dalam hal apa saja kita perlu hidup tertib? Dalam segala aspek kehidupan. Tertib pada peraturan yang berlaku secara lisan ataupun tidak lisan, selama itu tidak bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan, tertib dalam perjanjian, tertib waktu, tertib dalam pengelolaan keuangan, dan seterusnya. Marilah kita bersama-sama terus belajar dan bertumbuh dalam hidup tertib sehingga melalui hal tersebut kita boleh menyenangkan hati Allah dan nama Tuhan dipermuliakan.

(Oleh: Ruth Irene Chandra, staf Pengembangan Karakter)