Anak Saya Ternyata Mengidap Nomofobia…

“Bu… anak saya kalau sampai rumah, langsung masuk kamar, dan sibuk sama ponselnya. Dia sampai sering telat makan dan tidur karena hal itu. Bahkan, dia pernah seharian nggak mau bicara karena ponselnya rusak, kecemplung di toilet. Apa yang harus saya lakukan, ya?”

Perilaku seperti di atas tidak dialami oleh satu-dua anak. Semakin banyak anak yang menunjukkan kecenderungan terlalu lekat dengan ponsel mereka. Waktu mereka pun dihabiskan untuk berkelana di dunia maya. Ketika mereka berada di kondisi tak bisa mengakses ponsel, mereka menjadi marah, cemas, dan bingung. Gambarannya seperti orang yang sedang sakau.

Kondisi tersebut dikenal dengan “nomofobia”, yang menurut The National Center for Biotechnology Information AS, yaitu sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kondisi psikologis seseorang yang punya ketakutan atau kecemasan ketika “terputus” dari ponselnya. Kondisi ini berkaitan erat dengan kecanduan gadget, yang sudah dikategorikan sebagai adiksi klinis. Perbedaanya, hingga saat ini, nomofobia belum dimasukkan ke dalam DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) edisi ke-5.

Nomofobia disebabkan oleh kecemasan yang sudah ada sebelumnya pada diri anak. Biasanya, berkaitan erat dengan image diri, self security, dan relasi dengan keluarga. Berikut beberapa hal yang bisa menyebabkan seorang anak mengalami nomofobia.

  • Tidak percaya diri. Anak-anak yang punya citra diri yang rendah tak mampu menghadapi dunia nyatanya sehingga dia mencari kenyamanan di dunia maya (misalnya, mencari teman baru di dunia maya). Hal ini biasanya dialami anak-anak yang memiliki kemampuan sosial yang rendah, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak introvert. Anak-anak ini nyaman dengan dunia barunya sehingga akan begitu terganggu jika terputus dari dunia tersebut.
  • Kecemasan sosial. Dikenal juga dengan istilah “FOMO” (Fear of Missing Out). Anak-anak ini merasa cemas ketika mereka ketinggalan update terbaru di media sosial. Mereka ingin menjadi orang pertama yang mengetahui update terkini. Ketidakmampuan mengakses berita terbaru bisa membuat orang merasa cemas, takut dianggap tidak up to date.
  • Kekosongan. Ketika anak merasa kesepian, dia menemukan ponsel sebagai penghibur hati. Hal ini mengingatkan kita pada teori kelekatan, di mana seorang anak akan bergantung pada sosok/benda yang membuatnya nyaman. Ketika hanya ponsel yang membuatnya nyaman, tentu dia akan terganggu ketika ia tidak bisa mengakses ponselnya.

Di Sekolah Athalia sendiri, menurut survei kecil-kecilan yang dilakukan oleh para konselor dan guru agama oleh siswa SMP dan SMA pada 2019 lalu, beberapa anak secara sadar mengetahui bahwa mereka mengalami nomofobia. Anda bisa melihatnya pada gambar berikut.

Hasil di atas, kita sadar bahwa ada lebih dari 35 persen siswa SMA dan 28 persen siswa SMP mengaku mereka mengalami kecemasan jika jauh dari ponselnya. Jumlah yang memang tidak besar, tetapi tetap harus kita tangani sesegera mungkin.

Orang tua harus membantu!

Sebagai orang tua, apa yang bisa kita lakukan? Anak dengan nomofobia biasanya memang mengalami ketergantungan pada ponselnya (adiksi). Nah, memarahi anak dan mempersalahkan adiksinya justru akan semakin menciptakan jurang besar. Anda bisa membantu anak menghilangkan ketergantungannya pada gadget dengan cara-cara berikut:

  • Mengalihkan perhatian. Mengajak anak untuk keluar makan bersama atau beraktivitas bersama untuk membuatnya lupa sejenak dengan ponselnya, misalnya rekreasi ke taman hiburan.
  • Menyodorkan hobi baru. Perhatikan minat dan bakat anak, kemudian dukung dia untuk mendalaminya. Buatlah dia sibuk dengan hal-hal yang disukainya.
  • Lakukan interaksi intens. Anak-anak yang kecanduan gadget mungkin saja merasa kesepian di rumah. Saatnya menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengobrol dengan anak.
  • Terapi. Jika anak sudah dalam tahap kecanduan gadget sampai mengganggu rutinitas hariannya, Anda bisa mengajaknya untuk konsultasi ke psikolog agar nomofobia-nya bisa ditangani dengan tepat. Dukung anak dalam menjalani terapinya dengan memberikan contoh terlebih dahulu mengenai cara bijak menggunakan gadget.

Kiranya kita diberi hikmat dalam mendampingi anak-anak. [DLN]


Character Excellence, Jilid 2, Mengembangkan Karakter Anak, Siswa, dan Karyawan

Judul: Character Excellence
Penulis: Rizal Badudu
Penerbit: Kompas
Tahun terbit: 2019
Jumlah halaman: 308 halaman

Edisi lalu, kami merekomendasikan buku Character Excellence Jilid 1. Edisi ini, mari kita belajar lebih banyak melalui buku Character Excellence Jilid 2, Mengembangkan Karakter Anak, Siswa, dan Karyawan. Seperti buku jilid 1, penulis juga memberikan panduan membaca agar pembaca memeroleh manfaat yang efektif dari buku ini. Ada tiga bagian dalam buku ini, berisi dua bab untuk masing-masing bagian. Di bagian akhir, ditutup dengan Penutup Sua. Penulis menyarankan beberapa hal.

Jika Anda orang muda, masih sekolah/kuliah, belum menikah, belum bekerja, cukup membaca empat bab awal dan bab 5 secara parsial di buku jilid 1. Namun, jika Anda sudah menikah dan memiliki anak yang belum bersekolah, Anda disarankan melanjutkan membaca buku jilid 2 di Bagian III, yaitu bab 6 dan 7. Silakan pilih dan baca dua kualitas karakter dalam dua bab tersebut. Selanjutnya, bila Anda sudah memiliki anak yang telah bersekolah, silakan melanjutkan membaca ke Bagian IV, yaitu bab 8 dan 9. Apabila Anda bekerja di lingkungan sekolah/kampus, tetap tekuni Bagian IV, yaitu bab 8 dan 9. Yang terakhir, jika Anda sudah bekerja—apa pun profesinya—silakan baca Bagian V yaitu bab 10 dan 11.

Hampir setiap bab membahas beberapa karakter yang sama dalam seting dan sudut pandang berbeda. Jika Anda dianjurkan untuk memilih dua kualitas karakter, penulis menyarankan untuk tetap membaca karakter yang sama di bab-bab selanjutnya. Setelah itu, bagian terakhir—”Penutup Sua”—wajib dibaca.

Jika buku jilid 1 membahas pengembangan karakter pribadi, jilid 2 ini berfokus pada pengembangan area yang lebih luas—anak, siswa, dan karyawan dengan sepuluh kualitas karakter yang masing-masing pembahasan karakter diurai menjadi bagian definisi, ilustrasi, penerapan, pujian, sikap dan tindakan orangtua, dan yang paling menarik ditutup dengan kisah inspirasi yang membuat para pembaca meresapi sungguh pembahasan karakter tersebut. Sepuluh karakter yang dibahas adalah antusiasme, daya tahan, kerajinan, kerendahan hati, ketulusan, keberanian, ketaatan, ketepatan waktu, perhatian penuh, dan tanggung jawab.

Semoga, setiap karakter dalam buku ini membantu kita terus berproses untuk perkembangan pribadi, serta mengembangkan anak, siswa, rekan kerja, dan komunitas kita. Tuhan memberkati! [SO]

“Excellent Servant, History Maker “

Oleh: Accoladea Wijaya, XI MIPA 1 , Ketua OSIS 2020

Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) adalah sebuah kegiatan yang wajib diikuti setiap calon pengurus OSIS dengan tujuan membekali mereka dengan kemampuan dasar memimpin. Pertama kali saya mengikuti LDK 2019, dapat dibilang kekuatan fisik dan mental saya “dihajar”. Banyak peraturan yang harus ditaati, setiap tindakan harus dipertanggungjawabkan dengan konsekuensi yang cukup melatih fisik, juga pelatihan kepemimpinan yang memperkuat mental. Dengan pengalaman ini, jujur saya sudah cemas duluan sebelum mengikuti LDK tahun ini. Saya cemas dengan berbagai pertanyaan seperti, “Seberapa tegas ya komandannya nanti?”, “Konsekuensinya seberat tahun lalu tidak, ya?”, “Apakah saya bisa melewatinya?”.

Sehari sebelum LDK, kami mengikuti briefing, dan saya ingat dengan sebuah pernyataan dari pembina bahwa ketika kita memaknai LDK bukan sebagai ajang kita dimarah-marahi, tetapi lebih ke persiapan diri untuk melayani Tuhan. Jadi, LDK tidak akan terasa berat dan kita bisa menikmatinya. Betul saja, LDK tahun ini berbeda. Bertemakan “Excellent Servant, History Maker”, garis besar LDK lebih memfokuskan pada pengembangan spiritual kami masing-masing. Perbaikan gambar diri, rekonsiliasi dengan orang-orang di sekitar kami, juga pemurnian moral.

Di balik segala suka-duka mengikuti LDK, saya merasa sangat terberkati. Segala latihan mental dan fisik yang pernah saya alami dulu sangat membantu saya menjadi seseorang yang lebih sabar dan lebih kuat. Ibaratnya seperti besi yang harus ditempa dan dipanaskan dulu supaya bisa dibentuk menjadi pedang. Untuk LDK kali ini pun, saya merasa didamaikan. Gambar diri saya, yang awalnya merasa tidak percaya diri dan terlalu peduli dengan kata orang lain, diperbaiki. Saya diajarkan untuk bisa memaafkan orang lain, memperbaiki hubungan dengan orang-orang yang mungkin telah menyakiti saya. Saya diajarkan untuk merendahkan hati saya, lewat simulasi pembasuhan kaki seperti yang dilakukan Yesus kepada murid-murid-Nya. Saya diajak untuk aktif dalam melayani sesama, seperti pada saat kelompok saya ditugaskan untuk melayani saat makan siang.

LDK ini mengajarkan kami semua maksud sebenarnya dari seorang servant leader. Dengan tingkah laku seorang pemimpin yang disiplin dan tegas, bersama dengan kerendahan hati seorang pelayan. Kami telah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin diri kami sendiri, pemimpin teman-teman kami, sebagai hamba Tuhan, untuk melayani-Nya dan sesama. Sebagai seorang excellent servant, menjadi history maker.


Bahasa Ibu, Jendela Bangsa

Oleh: Lidia Kurniasari, Guru Bahasa Indonesia SMA

Sebagai makhluk sosial yang selalu hidup berdampingan satu dengan yang lain, manusia membutuhkan kemampuan untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Kemampuan ini perlu dikuasai untuk memperkecil kesalahpahaman antarpelaku percakapan. Instrumen yang bisa membantu manusia untuk berinteraksi, yaitu bahasa. Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki peranan yang sangat penting. Kemampuan berbahasa yang baik dapat semakin meningkatkan kualitas interaksi seseorang.

Konsep komunikasi dapat dilakukan di lingkungan seseorang dilahirkan, tempat utama dan pertamanya adalah keluarga. Keluarga atau orang tua sangat berperan penting dalam proses pemerolehan bahasa pada anak, yang biasanya disebut bahasa ibu. Mother tongue atau first language adalah bahasa pertama yang dikuasai oleh manusia sejak lahir melalui interaksi sesama anggota masyarakat tempatnya dilahirkan. Proses pembentukan bahasa pertama pada anak terjadi dengan cara mendengar komunikasi yang terjadi antara orang tuanya dan orang sekitarnya. Bahasa-bahasa itu akan masuk ke dalam “gudang bahasa” seorang anak, kemudian seiring dengan berjalannya waktu akan dipahami dan diterbitkan menjadi kalimat-kalimat.

Kepandaian seseorang dalam menguasai bahasa ibu sangat penting untuk proses belajar berikutnya karena bahasa dianggap sebagai dasar cara berpikir. Orang tua perlu menyadari pentingnya pemakaian bahasa ibu dalam pembentukan karakter anak saat memasuki lingkungan masyarakat yang lebih luas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu orang yang berbicara dan diajak bicara, tempat terjadinya proses interaksi, waktu berlangsungnya proses interaksi, topik pembicaraan, dan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, orang tua diharapkan dapat mengambil peran penting dalam memperkenalkan bahasa ibu kepada anaknya.
Anak zaman sekarang lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman sebaya atau “hidup” di dunia media sosial. Anak lebih tertarik belajar bahasa asing karena stigma yang terbentuk bahwa menguasai bahasa asing dapat mempermudah mereka memiliki koneksi yang lebih luas dan karier yang lebih menjanjikan. Orang tua atau pendidik tidak bisa menyalahkan konsep tersebut, tetapi hal yang perlu ditanamkan kepada mereka adalah tanggung jawab mempertahankan atau melestarikan bahasa ibu. Bahasa adalah jendela untuk memandang realitas kehidupan. Setiap bangsa memiliki cara pandangnya sendiri dalam menyikapi realitas. Hilangnya bahasa dapat menghilangkan cara pandang, etika bangsa, nilai, dan norma. Orang tua memiliki peran besar untuk memberi anak-anaknya hak mempelajari beragam bahasa, tetapi dengan tetap memberikan tanggung jawab untuk memaknai nilai, norma, dan budaya Indonesia melalui bahasa ibu.

Sekolah Athalia sebagai sekolah Kristen yang ingin membentuk karakter siswa agar lebih baik, dapat menjadi wadah yang tepat untuk melestarikan bahasa ibu. Kesadaran orang tua dan guru sangat diperlukan untuk memulai pemaksimalan penggunaan bahasa ibu di lingkungan rumah dan sekolah. Mari kita memberikan contoh yang baik bagi anak-anak dan membukakan pintu cara pandang bangsa.

“Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Pelajari Bahasa Asing.”

Slogan yang diungkapkan oleh Pemerintah tersebut memberikan penguatan pengertian bahwa bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu harus diutamakan dan dilestarikan. Memberikan ruang bagi siswa untuk mengenal jati diri bangsa melalui pemakaian bahasa ibu.