
Dr. Paul Bohn, seorang psikiater, mengatakan bahwa orang tua zaman sekarang sering kali berusaha melindungi anak-anak mereka dari segala bentuk ketidaknyamanan. Akibatnya, ketika anak menghadapi kegagalan dalam hidup, mereka merasa ada sesuatu yang sangat salah terjadi.
Terlalu memanjakan, ingin menjadi sahabat terbaik, hingga menetapkan standar yang tidak realistis. Apakah Anda termasuk salah satu yang melakukannya?
Yuk, simak dan refleksikan cara kita dalam mengasuh anak!
10 Kesalahan Orang Tua yang Sering Dilakukan
Kesalahan No. 10: Memuja Anak Berlebihan
Banyak keluarga modern tanpa sadar hidup dalam komunitas child-centric (menempatkan anak sebagai pusat dari segala hal). Hal ini mendorong orang tua untuk melakukan segala sesuatu, membelikan, dan menghujani anak dengan cinta serta perhatian.
Meskipun begitu, Dr. Paul Bohn berpikir bahwa sangat penting untuk mengingat bahwa anak-anak kita diciptakan untuk dicintai, bukan dipuja. Ketika kita memperlakukan mereka sebagai pusat dari dunia, kita menciptakan idola palsu. Daripada rumah yang child-centric, kita seharusnya mengusahakan sebuah rumah yang Christ-centric (berpusat pada Kristus). Anak-anak kita tetap dicintai, hanya saja dalam cara yang lebih baik, yang mengutamakan ketidakegosian di atas keegoisan.
Kesalahan No. 9: Menganggap Anak Selalu Sempurna
Banyak orang tua sulit menerima kritik tentang anak mereka, bahkan ketika disampaikan atas dasar kasih dan demi kebaikan anak mereka. Akibatnya, mereka menolak kenyataan dan kehilangan kesempatan untuk mencegah masalah sebelum berkembang lebih jauh.
Kenyataan dapat menyakitkan, tetapi ketika kita mendengar dengan hati dan pikiran yang terbuka, hal itu akan menguntungkan kita. Kita dapat mencegah lebih dini sebelum situasi berkembang di luar kendali. Sangat mudah untuk menghadapi anak bermasalah daripada memperbaiki orang dewasa yang sudah rusak.
Seorang psikiater dari Children’s of Alabama menegaskan bahwa intervensi dini adalah kunci. Anak-anak lebih elastis dan lebih mudah dibantu saat masih muda. Ketika masalah berlangsung cukup lama, maka hal itu akan menjadi bagian dari identitas mereka.
Kesalahan No. 8: Hidup Melalui Anak
Orang tua tentu bangga melihat anaknya sukses. Bahkan terkadang, kita dapat lebih bahagia daripada aat kita sendiri yang mencapainya. Namun, bahaya muncul ketika anak menjadi perpanjangan eksistensi kita.
Tanpa sadar, kita melihat mereka sebagai kesempatan kedua untuk meraih impian yang belum tercapai. Akhirnya, itu bukan lagi mengenai mereka, tetapi mengenai kita. Inilah dimana kebahagiaan mereka menjadi tercampur aduk dengan kebahagiaan kita.
Kesalahan no. 7: Ingin Menjadi BFF (Best Friend Forever) Anak
Dalam ceritanya, Dr. Paul Bohn membagikan dirinya yang pernah bertanya kepada seorang imam untuk menyebutkan kesalahan orang tua terbesar yang dia lihat dalam mengasuh anak. Imam tersebut berpikir sesaat kemudian menjawab, “Ketika orang tua tak berani mengambil peran sebagai orang tua”.
Tentu, saya sebagai orang tua ingin dicintai dan dihargai oleh anak-anak. Tetapi, jika saya melakukan tugas sebagai orang tua dengan benar, mereka akan marah dan kadang-kadang tidak menyukai saya. Mereka akan memutar mata mereka, menguap, dan mengerang, dan berharap mereka dilahirkan di keluarga lain.
Itu bagian dari proses tumbuh kembang. Fokuslah untuk menjadi orang tua yang membimbing, bukan sekadar menyenangkan. Di samping itu, berusaha jadi BFF hanya membuat kita permisif dan takut kehilangan persetujuan mereka—yang justru bisa berdampak buruk bagi masa depan mereka.
Kesalahan no. 6: Mengasuh Secara Kompetitif
Di era persaingan ketat, banyak orang tua terjebak dalam pengasuhan kompetitif, bahkan hingga merusak hubungan dengan keluarga lain. Semua berakar dari rasa takut seperti takut anak tertinggal, takut mereka tak cukup sukses, dan lain sebagainya.
Akibatnya, banyak orang tua berusaha membekali anak mereka dengan berbagai kursus dan teknologi sejak dini, dengan harapan dapat meningkatkan peluang kesuksesan di masa depan. Namun, sejatinya kesuksesan bukan sekadar mengikuti tren, melainkan dibangun melalui karakter yang kuat dan etos kerja yang tinggi. Anak perlu memahami bahwa pencapaian tidak diberikan begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan dedikasi dan usaha.
Karakter mungkin tidak terlihat penting pada masa remaja. Namun pada masa dewasa, itu adalah segalanya.
Kesalahan no. 5: Tidak Menikmati Masa Kecil Anak
Membesarkan anak adalah perjalanan yang melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Tak jarang, kita berharap mereka cepat tumbuh demi kenyamanan kita. Kita juga bertanya-tanya tentang masa depan mereka. Apa yang menjadi passion mereka? Apakah Tuhan memberikan karunia yang jelas? Apakah bakat seni mereka akan menjadikan mereka Picasso berikutnya, atau apakah suara merdu mereka akan membawa mereka setenar Taylor Swift?
Sebagai orang tua kita berharap demikian untuk mengetahui kekuatan memelihara mana yang akan memampukan kita untuk mengarahkan mereka pada arah yang jelas.
Namun, di tengah ambisi itu, kita mungkin lupa untuk membiarkan anak kita menjadi anak kecil dan menikmati satu-satunya masa kecil yang diberikan pada mereka. Bagi mereka, hal ini bukan tentang menjadi produktif, ini tentang keberadaan/ menjadi ada. Ini tentang bermimpi besar dan menikmati kehidupan. Tekanan pada anak-anak dimulai terlalu cepat. Kita perlu melindungi mereka dari tekanan-tekanan itu. Kita perlu untuk membiarkan mereka bersenang-senang dan tumbuh sesuai dengan kecepatan mereka, sehingga:
- Mereka dapat mengeksplore ketertarikan mereka tanpa takut gagal, dan
- Mereka tidak “burned out”.
Izinkan anak tumbuh sesuai ritmenya. Biarkan mereka bermain, mengeksplorasi, dan menikmati satu-satunya masa kecil yang mereka miliki. Sebab, sekali terlewat, masa itu tak akan pernah kembali.
Kesalahan no. 4: Memaksakan Impian pada Anak
Sebagai orang tua, kita memiliki mimpi untuk anak-anak kita. Hal itu bermula ketika kita hamil, sebelum jenis kelaminnya diketahui. Diam-diam kita berharap agar anak kita menjadi seperti kita, namun lebih pintar dan lebih bertalenta.
Tetapi ironinya adalah, anak-anak kita mengikuti cetakan kita dengan cara yang terbalik. Mereka keluar dari jalur dengan cara yang tidak dapat kita antisipasi. Tugas kita adalah mencari tahu sifat mereka, tunduk pada ketetapan Allah, dan melatih mereka pada ketetapan Allah. Memaksakan mimpi kita pada mereka tidak akan berhasil. Hanya ketika kita melihat mereka sebagaimana adanya merekalah yang dapat membuat kita dapat berdampak kuat dalam kehidupan mereka.
Kesalahan no. 3: Tidak Memberi Contoh yang Baik
Ada pepatah, “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata.”
Sama halnya dengan pepatah di atas, kata-kata bijak saja tidak cukup jika tidak disertai dengan teladan dalam mendidik anak. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat. Cara kita menghadapi kegagalan, memperlakukan orang lain, atau berbicara tentang pasangan, semuanya menjadi contoh yang mereka tiru.
Bagaimana orang tua menghadapi penolakan dan penderitaan… bagaimana orang tua memperlakukan teman dan orang asing… anak-anak memperhatikan hal-hal ini. Cara orang tua merespon memberikan mereka ijin untuk bertindak dan melakukan hal yang sama.
Jika ingin anak-anak menjadi luar biasa, kita harus memiliki tujuan yang luar biasa juga. Ketika ingin anak-anak memiliki kualitas tertentu, maka kita harus terlebih dahulu memiliki kualitas tersebut. Dengan begitu kita sebagai orang tua dapat menjadi contoh bagi mereka, tidak sekedar menyuruh mereka menaati perkataan kita.
Kesalahan no. 2: Menghakimi Orang Tua Lain
Setiap orang tua memiliki pendekatan unik dalam membesarkan anak, dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, dan situasi masing-masing. Meskipun kita mungkin tidak selalu setuju dengan pola asuh orang lain, penting untuk diingat bahwa tidak ada metode yang mutlak benar atau salah.
Dengan bersikap lebih terbuka dan menghargai perbedaan, kita tidak hanya menghindari konflik yang tidak perlu tetapi juga memberikan contoh positif bagi anak-anak kita tentang pentingnya toleransi dan kebijaksanaan dalam menilai orang lain.
Kesalahan no. 1: Meremehkan Pentingnya Karakter
Banyak orangtua tidak fokus dalam mengembangkan karakter anak dan bahkan menganggap karakter sebagai hal yang tidak penting. Padahal, karakter inilah yang akan meletakkan dasar mereka untuk bahagia dan masa depan yang sehat. Hal-hal ini lebih penting dari pada semua nilai, rapor, dan penghargaan yang pernah mereka terima.
Tidak seorangpun dari kita dapat memaksa anak kita untuk memiliki karakter tertentu. Hal ini karena bagi anak-anak usia 10 atau 15 tahun, karakter tidak akan berarti banyak. Mereka cenderung lebih peduli pada penghargaan secara langsung yang diberikan pada saat itu juga (short-term gratification). Namun, kita tahu bahwa apa yang akan terjadi pada usia 25, 30, dan 40 bukanlah seberapa jauh mereka dapat melempar bola, atau apakah mereka menjadi cheerleader, tetapi bagaimana mereka memperlakukan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri. Jika kita ingin agar mereka membangun karakter, kepercayaan diri, kekuatan, dan kegembiraan, kita butuh untuk membiarkan mereka menghadapi kesengsaraan dan mengalami kebanggaan yang mengikuti ketika mereka menjadi lebih kuat di sisi lain.
Sulit untuk melihat anak-anak kita jatuh, tetapi kadang-kadang kita harus. Terkadang, rasa sakit jangka pendek adalah investasi bagi pertumbuhan dan ketahanan mereka di masa depan.
Karakter: Warisan Terbesar untuk Anak
Mengasuh anak memang bukan hal yang mudah, dan tidak ada orang tua yang sempurna. Namun, dengan memahami kesalahan orang tua dalam mendidik anak, kita bisa berusaha menjadi lebih baik.
Mari refleksikan kembali: Apakah Anda pernah melakukan salah satu kesalahan di atas? Bagaimana cara Anda memperbaikinya?
Kari Kubiszyn Kampakis.
Sumber: http://www.viacharacterblog.org/