Oleh: Agape Ndraha, staf Sekolah Athalia

“Andaikan aku memintanya untuk tetap di rumah saja…”
“Ini RS pasti gak menangani dengan benar…”
“Aku gagal… aku ga mampu menyelamatkan nyawanya… mestinya aku lebih cepat membawanya ke RS…”
Kehilangan seseorang yang dikasihi, apalagi yang selama ini menjadi belahan jiwa, akan menimbulkan dukacita yang mendalam. Ini adalah emosi yang bisa sangat menguasai seseorang dan tidak mudah untuk dihadapi, apalagi bila terjadi secara mendadak. Respons yang muncul umumnya adalah penyesalan, kegundahan yang besar karena meyakini bahwa seharusnya kehilangan ini bisa dihindari, andai saja…
Elizabeth Kübler-Ross dan David Kessler dalam bukunya On Grief and Grieving menuliskan bahwa seseorang yang mengalami grief atau dukacita umumnya akan masuk dalam lima tahap. Tahapan ini tidaklah baku karena manusia adalah individu yang unik. Duka yang dialami atas peristiwa yang sama bisa menimbulkan respons emosi yang berbeda antara satu individu dengan yang lain. Grief bersifat individual sehingga tidak semua orang menjalani pola yang sama dan dalam jangka waktu yang sama. Teori mengenai Five Stages of Grief ini diberikan sebagai upaya menolong seseorang yang mengalami dukacita untuk setidaknya memiliki gambaran tentang apa yang akan dilaluinya, dan untuk mengenali emosi-emosi yang mungkin akan dialami saat berduka.
1. Denial (Penyangkalan)
“Rasanya gak percaya dia tidak akan pernah duduk di kursi itu lagi…”
“Dia seperti hanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota seperti biasa, dan sebentar lagi akan menelepon saya…”
Tahap pertama ini tidak berarti seseorang sengaja mengingkari realitas yang ada. Namun kabar yang begitu tiba-tiba bisa membuatnya diserang shock yang hebat dan tak mampu lagi merasa. Bagai terputus dari ruang dan waktu. Respons seperti ini sering kali muncul karena realitas itu terlalu berat untuk ditanggung oleh jiwa. Berita kematian terasa tidak nyata, seperti mimpi, karena otak tidak mampu memrosesnya. Dalam tahap ini, tanpa disadari denial sedang menolong seseorang yang berduka untuk mengelola perasaan, memberinya waktu untuk sedikit berjarak dengan dukacitanya. Tahap ini membawa anugerah tersendiri karena secara natural seseorang akan mampu menerima tekanan hanya sebatas kekuatannya saja. Bila tahap ini tidak hadir, munculnya emosi yang membludak dengan begitu tiba-tiba bisa sangat mengguncangkan.
Di tahap ini mereka yang berduka akan banyak bercerita tentang orang yang dikasihi tersebut, tentang masa akhir hidupnya, rencana yang belum tercapai, dan cerita lain. Ini adalah cara pikiran beradaptasi dengan realitas. Dengan melakukan hal ini, penyangkalan perlahan mulai hilang dan realitas muncul dengan jelas di depan mata, membawa orang masuk ke tahap berikutnya: mencari jawaban. “Mengapa ini semua terjadi, apakah sebenarnya bisa dicegah?”, atau “Apa salahku sehingga pantas menerima ini?” Pada akhirnya, dengan banyaknya pertanyaan yang mulai bermunculan, makin menguat kesadaran bahwa kehilangan itu nyata. Penyangkalan mulai reda seiring dengan proses ini. Berbagai emosi mulai muncul ke permukaan.
Baca Juga : Athalia Learning Community News Nomor 3 Tahun 2021
2. Anger (Amarah)
Setelah melalui tahap penolakan, seseorang mulai menyadari bahwa mereka mampu bertahan. “Aku masih di sini… Aku masih bisa menghadapi semuanya…” Namun, di balik kesadaran itu, muncul berbagai emosi yang menyakitkan seperti marah, sedih, panik, kecewa, dan kesepian. “Kenapa ini terjadi padaku? Aku tidak pantas menerima ini! Aku belum siap!”
Kemarahan bisa tertuju ke mana saja—pada orang yang telah pergi, pada diri sendiri yang merasa tidak berdaya, atau bahkan pada Tuhan. “Kenapa kamu pergi dan meninggalkanku? Kenapa tidak lebih berhati-hati?” Amarah juga bisa muncul sebagai bentuk protes kepada Tuhan, mempertanyakan kehadiran-Nya di tengah penderitaan.
C.S. Lewis dalam A Grief Observed menggambarkan rasa kehilangan dengan begitu jujur: Ketika kita bahagia, Tuhan terasa dekat. Namun, saat kita dilanda duka dan mengetuk pintu-Nya, justru kita merasakan keheningan yang menyakitkan. Tahap kemarahan adalah bagian dari proses berduka yang perlu diterima. Luapkan kemarahan dengan cara yang sehat. Misalnya seperti berbicara dengan orang terdekat, menulis, berteriak di tempat yang aman, atau menyalurkannya melalui aktivitas fisik. Semakin kita mengizinkan diri merasakannya, semakin cepat kemarahan mereda.
Menurut Dr. Jill Bolte Taylor, reaksi kimia akibat emosi hanya bertahan 90 detik. Namun, jika seseorang terus merasa marah atau sedih berkepanjangan, itu sering kali disebabkan oleh pikirannya sendiri yang terus menghidupkan kembali perasaan itu. Dengan mengelola emosi, kemarahan akan berlalu. Ketika amarah mereda, muncul emosi lain—kesedihan, frustrasi, atau bahkan iri pada mereka yang tidak mengalaminya. Menghadapi setiap emosi dengan kesadaran akan membantu kita perlahan pulih.
3. Bargaining (Tawar-menawar)
Fase berikutnya yang umum terjadi adalah pikiran yang terus melayang ke masa sebelum dukacita… “Kalau aku lebih banyak berbuat baik, akankah semua ini berubah jadi sekadar sebuah mimpi buruk?” atau “Kalau saja aku lebih memahami dirinya, mungkinkah dia akan lebih sehat danlebih kuat bertahan…?” Rasa bersalah adalah emosi yang umumnya mendasari fase ini. Kalimat seperti “Tuhan, tolonglah…aku akan lakukan apa pun agar dia kembali…” merupakan respons khas yang dapat muncul juga di fase ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Kübler-Ross dan Kessler menuliskan bahwa tahap demi tahap tidak selalu bersifat linear. Seseorang yang berdukacita dapat kembali lagi ke fase sebelumnya, atau bahkan melewati salah satu fase.
Sama seperti pada fase yang lain, penting untuk menerima emosi yang muncul. Rasa bersalah dan tawar-menawar yang dilakukan adalah bagian upaya untuk keluar dari rasa sakit akibat kehilangan, upaya mengalihkan diri dari kepedihan yang sebenarnya. Mereka yang berduka tahu bahwa tawar-menawar tak akan mengembalikan orang yang dikasihinya, tetapi tetap melakukannya selama beberapa waktu karena dapat memberi kelegaan walau sesaat. “Tuhan, bagaimana bila aku saja yang mati dan jangan dia?” Pikiran-pikiran semacam ini akan terus muncul. Seiring pikiran memproses seluruh tawar-menawar itu, akan muncul kesadaran mengenai realitas yang sesungguhnya: orang terkasih sudah benar-benar pergi selamanya!
4. Depression (Depresi)
Perasaan hampa mulai muncul, sementara dukacita semakin mendalam. Namun, penting untuk memahami bahwa perasaan ini bukan gangguan mental, melainkan respons alami terhadap kehilangan yang besar. Ada keengganan menjalani hari, keinginan untuk tetap berada dalam kesedihan, dan pertanyaan tentang makna hidup. “Mengapa harus bangun? Untuk apa makan? Apa gunanya semua ini jika harus dijalani sendirian?”
Banyak orang berusaha mencegah mereka yang berduka agar tidak tenggelam dalam depresi. Kondisi ini sering dianggap tidak wajar dan perlu segera diatasi. Padahal, dalam proses berduka, depresi adalah bagian yang alami. Justru aneh jika kesedihan mendalam tidak menimbulkan perasaan tersebut.
Dalam konteks dukacita, depresi berfungsi sebagai mekanisme perlindungan. Sistem saraf secara alami menutup diri agar seseorang tidak langsung menghadapi emosi yang terlalu berat. Oleh karena itu, mendesak seseorang untuk segera pulih justru bisa memperburuk keadaan. Ibarat badai yang sedang mengamuk, memaksanya “keluar” terlalu cepat sama dengan memaksanya menghadapi gelombang besar tanpa persiapan.
Depresi bukan perasaan yang nyaman, tetapi cara terbaik menghadapinya adalah dengan menerimanya. Mengabaikannya hanya akan membuatnya terus menghantui. Seiring waktu, perasaan ini akan mereda, dan kehidupan perlahan berjalan kembali. Namun, dukacita tidak benar-benar hilang. Dari waktu ke waktu, rasa pedih itu mungkin datang lagi.
Seorang ibu yang kehilangan anaknya berkata, “Saya pikir sudah lebih baik, tetapi depresi itu kembali menghantam saya. Saya tahu, satu-satunya cara menghadapi badai ini adalah dengan melaluinya.”
5. Acceptance (Penerimaan)
Banyak yang mengira acceptance terjadi ketika kita bisa menerima kehilangan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang biasa saja. Namun, acceptance bukanlah seperti itu. Tahap ini adalah tentang menerima kenyataan bahwa dia yang kita kasihi telah meninggalkan kita selamanya. Kita tak akan pernah menyukai realitas ini atau merasa baik-baik saja. Namun, pada akhirnya kita akan menerimanya dan belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa kehilangan ini. Kita mungkin akan berhenti marah kepada Tuhan, berhenti mencari jawaban, dan menerima bahwa memang sudah waktunya kekasih hati kita pergi. Sementara bagi kita, inilah waktunya untuk sembuh.
Dengan berjalannya waktu, ketika kita sedikit demi sedikit belajar hidup berdampingan dengan realitas, kita akan melihat bahwa ada hal-hal yang perlu diselaraskan karena hidup telah berubah selamanya. Kita perlu mengatur ulang peran kita, melepaskan tanggung jawab yang tak bisa kita pikul, dan melakukan penyesuaian lainnya. Acceptance adalah proses yang membutuhkan waktu. Griefing antara satu orang dengan yang lainnya berbeda karena sifatnya yang sangat personal.
Sedikit demi sedikit, energi yang kita curahkan pada kepedihan akan teralih pada hidup yang ada di hadapan kita. Kita mulai membangun perspektif baru, menemukan cara untuk mengenang dia yang telah pergi, dan menyelaraskan diri. Dalam proses ini, kita semakin mengenal diri. Anehnya, seiring dengan proses melewati dukacita ini, kita merasa makin dekat dengan kekasih yang telah pergi. Berbagai kenangan tentangnya mulai memberi kehangatan dan bukan lagi luka. Kita mulai belajar menyatukan lagi pecahan-pecahan hidup kita. Kita memulai relasi dan kisah baru, memberi perhatian kepada apa yang kita butuhkan. Selain itu, kita juga bergerak, berubah, bertumbuh…. kita mulai hidup lagi.
Itu semua akan terjadi bila kita memberi waktu pada diri kita untuk berduka.
Tips Mendukung Seseorang yang Sedang Mengalami Dukacita
1. Pahami tahap-tahap yang umumnya terjadi pada seseorang yang sedang mengalami kedukaan.
2. Kedukaan bersifat personal. Oleh karena itu, penanganannya bisa berbeda antara satu individu dengan yang lain. Bersabarlah bersama mereka untuk melalui tahap demi tahap sesuai kondisi masing-masing.
3. Seorang yang berduka perlu diberi kesempatan untuk berproses dan mengalami kesedihannya. Umumnya kita ingin menolong agar dia kembali bahagia, tetap melihat sisi positif, dan fokus pada berbagai hal baik yang hadir di sekelilingnya. Namun, sikap seperti itu bila terlalu cepat dikomunikasikan hanya akan membuat yang berduka makin terluka karena merasa kesedihannya dianggap tidak penting.
4. Tawarkan bantuan. Kita bisa menemani, memberi informasi, memberi dukungan dana, memberi bantuan transportasi, membelikan kebutuhan sehari-hari, membelikan mainan untuk anak, dan lain-lain.
Berduka dan Beriman
“Jangan sedih, dia sudah bahagia di surga…” adalah ungkapan penghiburan yang umum. Namun, apakah orang beriman tidak boleh bersedih saat kehilangan orang terkasih? Bagaimana seharusnya seorang beriman menghadapi dukacita?
Penelitian empiris menunjukkan bahwa individu lebih mampu mengatasi dukacita ketika diberikan ruang untuk berproses. Dukacita bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Kehilangan orang terkasih mengubah hidup secara signifikan. Oleh karena itu, wajar jika seseorang merasakan kesedihan mendalam.
Roma 12:15 menegaskan, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Paulus memahami bahwa menangis adalah respons alami terhadap kehilangan. Orang beriman boleh menangis dan diminta untuk mendukung sesama yang berduka dengan empati.
Dukacita Orang Beriman
Paulus menulis dalam 1 Tesalonika 4:13 bahwa orang beriman tidak berdukacita seperti mereka yang tidak memiliki pengharapan. Dalam teks aslinya, Paulus menggunakan kata “tertidur” untuk menggambarkan kematian. Ia menekankan bahwa orang percaya menantikan kedatangan Yesus kembali.
Orang yang telah meninggal tidak hilang selamanya. Mereka akan dibangkitkan ketika Kristus datang kembali. Pada saat itu, orang percaya akan bersatu kembali dengan mereka dalam kemuliaan Tuhan. Oleh karena itu, dukacita bagi orang beriman bukan tanpa batas, melainkan tetap diiringi pengharapan.
Paulus tidak mengabaikan kebutuhan emosional seseorang. Namun, ia menekankan bahwa kematian bersifat sementara. Kesedihan tetap ada, tetapi tidak boleh menjadi kesedihan yang tanpa harapan. Penghiburan sejati ditemukan dalam iman kepada Tuhan.
Makna Hidup dalam Menghadapi Dukacita
Pandangan terhadap hidup sangat memengaruhi cara seseorang menghadapi dukacita. Paulus berkata, “Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21). Ia menganggap hidup sebagai kesempatan untuk melayani Kristus.
Bagi Paulus, kehidupan di dunia ini bersifat sementara. Oleh karena itu, ia tidak takut menghadapi kematian. Justru, ia merindukan saat bersama Tuhan. Perspektif ini membantu orang beriman dalam menghadapi kehilangan.
C.S. Lewis dalam A Grief Observed menggambarkan hidup seperti permainan menyusun kartu. Kita bisa tertawa saat menyusunnya, tetapi situasi berubah jika setiap kartu menyangkut hidup dan mati seseorang. Kesadaran akan kefanaan membuat kita lebih serius dalam menjalani hidup.
Dukacita dapat menjadi momen refleksi. Ini adalah kesempatan untuk bertanya, “Apa makna hidup yang sejati?” Ketika menghadapi kehilangan, kita diajak untuk merenungkan tujuan hidup dalam terang iman kepada Tuhan.
Proses dalam Dukacita : Perspektif Psikologi dan Iman
R. Scott Sullender dalam Saint Paul’s Approach to Grief: Clarifying the Ambiguity menyebutkan bahwa setiap orang membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosi mereka. Namun, banyak orang justru menekan emosinya dan mengalihkannya ke hal lain.
Studi Cambridge University menemukan bahwa dukacita sehat mencapai puncaknya dalam 4-6 bulan. Setelah itu, kesedihan perlahan mereda. Proses ini sejalan dengan tahapan grief yang umum dialami seseorang.
Dalam menghadapi kehilangan, kita membutuhkan struktur, jeda, dan penghiburan. Struktur ini dapat ditemukan dalam ibadah dan pemahaman doktrin agama. Iman menuntun seseorang untuk tetap terhubung dengan Tuhan. Ibadah juga membantu seseorang dalam mengelola emosinya dengan lebih baik.
Baca Juga : Dibentuk dengan Berbagi Hidup
Pelajaran dari Kisah Ayub
Kisah Ayub memberikan gambaran tentang keterpurukan akibat dukacita. Ia bahkan berharap tidak pernah dilahirkan (Ayub 3:10-11). Dalam penderitaannya, Ayub mempertanyakan Tuhan dan mengungkapkan emosinya dengan jujur.
Allah tidak langsung menjawab pertanyaannya, tetapi memberi respons yang dibutuhkan Ayub. Di akhir kisah, Ayub berkata, “Sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Ayub bertumbuh melalui penderitaan, bukan saat kondisinya pulih, tetapi ketika ia memahami Tuhan dengan lebih dalam.
Iman menjadi kekuatan bagi Ayub dalam menghadapi penderitaan. Ini juga berlaku bagi setiap orang percaya. Dalam dukacita, iman menjadi sumber penghiburan dan keteguhan hati.
Paulus menekankan pentingnya penghiburan dalam komunitas orang percaya. Penghiburan ini dapat dilakukan dengan tiga cara:
- Memberikan pemahaman yang benar tentang dukacita, bahwa kesedihan orang Kristen bersifat sementara dan ada harapan akan sukacita mendatang.
- Menyampaikan kata-kata penghiburan yang memberi harapan berdasarkan kebenaran firman Tuhan.
- Melakukan interaksi langsung dengan mereka yang berduka. Paulus sendiri pernah merasakan penghiburan dari kunjungan Titus dan Timotius.
Ketika seseorang mengalami dukacita, kehadiran dan empati dari sesama orang beriman sangatlah berarti. Penghiburan bukan sekadar kata-kata, tetapi juga tindakan nyata dalam mendampingi mereka yang berduka.
Mazmur 119:92 berkata, “Sekiranya Taurat-Mu tidak menjadi kegemaranku, maka aku telah binasa dalam sengsaraku.” Dalam dukacita, iman kepada Tuhan memberi kekuatan dan penghiburan sejati bagi setiap orang percaya.