Kenali Bahasa Kasih Pasangan: Kunci Hubungan Harmonis

Oleh: Tirza Naftali – Staf Chaplain

Ketika kita tinggal di negeri asing, kita pasti akan mati-matian belajar bahasa negara tersebut, bukan? Jika tidak, kita akan kesulitan memahami budaya, cara pikir, bahkan obrolan sederhana. Relasi pun terasa sulit, meski hanya untuk sekadar membeli ikan di pasar.

Begitu pun dengan pernikahan. Namun, kali ini bukan soal belajar bahasa asing, melainkan bahasa kasih. Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menunjukkan dan menerima kasih. Jika pasangan tidak memahami bahasa kasih satu sama lain, komunikasi bisa menjadi hambatan besar dalam hubungan.

Ketidaksesuaian bahasa kasih dapat menyebabkan perasaan tidak dimengerti, bahkan berujung pada konflik. Oleh karena itu, memahami bahasa kasih pasangan adalah kunci dalam membangun pernikahan yang sehat dan penuh cinta.

Kenali Bahasa Kasih Pasangan Kunci Hubungan Harmonis

Perbedaan Bahasa Kasih: Konflik atau Kekuatan?

Saya dan suami memiliki bahasa kasih utama yang sama, yaitu sentuhan fisik. Pelukan dan ciuman menjadi bagian dari keseharian kami untuk menunjukkan kasih sayang. Namun, di awal-awal pernikahan, kami kerap memiliki konflik yang berkaitan dengan bahasa kasih kedua kami yang berbeda.

Saya sangat membutuhkan kata-kata penghargaan. Saya merasa dikasihi jika mendapat pujian, apresiasi, atau sekadar ucapan terima kasih. Hal ini dipengaruhi oleh pola asuh keluarga saya sebelumnya yang penuh kritik. Sebaliknya, suami saya menunjukkan kasihnya melalui tindakan pelayanan. Tuhan menganugerahkan saya seorang suami yang betul-betul irit dalam berkata-kata.

Ketika Bahasa Kasih Tidak Dipahami

Di awal pernikahan, komunikasi kami terasa berat. Saya ingin berdiskusi saat konflik terjadi, tetapi suami justru memilih diam. Ada perasaan bahwa saya ingin dipahami, sedangkan dia merasa cukup dengan melayani saya melalui tindakan.

Saya sering merasa frustrasi ketika suami lebih banyak diam saat kami bertengkar. Bahkan, ia bisa tertidur pulas dan berangkat ke kantor esok harinya tanpa berkata apa-apa. Baginya, diam adalah cara menenangkan diri. Namun, bagi saya, diam terasa seperti mengabaikan perasaan saya. Konflik yang tidak segera diselesaikan membuat saya semakin resah.

Suatu kali, setelah satu atau dua hari berlalu, suami baru mendekat, memeluk, dan meminta maaf. Barulah saat itu, saya menangis dan mengungkapkan isi hati. Kami pun berdamai. Terkadang hal itu terjadi karena di siang hari, pada saat kami berada di kantor masing-masing, saya tidak tahan untuk menumpahkan seluruh pikiran pada suami via WA. Saya berpikir bahwa tulisan dapat mengungkapkan pikiran dengan lebih terstruktur dan minim emosi, sehingga suami dapat mengerti dengan lebih baik.

Baca Juga : Athalia Learning Community News Edisi Oktober 2023

Belajar Bahasa Kasih

Kami berkesempatan mengikuti retreat persekutuan pasangan suami istri di gereja. Di sana, kami diberi waktu untuk berbicara dari hati ke hati. Saya akhirnya bertanya langsung kepada suami:

Apa yang sebenarnya kamu rasakan terhadap saya? Kenapa konflik soal kata-kata ini selalu berulang? Kenapa ya kira-kira konflik terkait kata-kata itu sering berulang? Lalu, mengapa kamu begitu sopan dan berkata-kata baik untuk orang lain, tapi sering terkesan ketus kepadaku?”

Suami saya akhirnya mengungkapkan bahwa dalam keluarganya, ia diajarkan untuk sopan di depan orang lain. Namun, kepada keluarga sendiri, ia merasa tidak perlu menjaga tutur kata. Bagi dia, saya adalah bagian dari dirinya, sehingga berbicara dengan singkat dan lugas adalah hal yang wajar. Pada titik ini, saya menyadari bahwa bukan berarti dia tidak peduli. Dia hanya menunjukkan kasih dengan cara yang berbeda.

Selain memahami alasan di balik kebiasaannya, saya juga menyadari sesuatu yang lebih dalam. Suami saya sudah menunjukkan kasih dengan caranya sendiri, tetapi saya terlalu fokus pada keinginan saya. Dia mengganti lampu yang rusak tanpa saya minta dan memasang cantelan di dapur agar saya lebih nyaman memasak. Dia pergi ke minimarket dengan sigap ketika saya butuh sesuatu. Sayangnya, saya buta terhadap semua itu.

Ternyata, luka batin masa lalu saya membuat saya haus akan kasih dengan cara yang spesifik. Saya lebih banyak menuntut daripada menerima. Padahal, suami saya sudah menunjukkan kasih dengan begitu banyak tindakan kecil yang bermakna.

Baca Juga : Perbedaan yang Indah

Mengenali Pasangan: Perubahan yang Dibutuhkan

Saat terjadi konflik, saya mulai menyadari pola yang terus berulang antara saya dan suami. Di satu sisi, suami membiarkan saya untuk meredakan ledakan emosi saya. Dia tidak ingin memperburuk situasi dengan respons yang impulsif. Namun, di sisi lain, sifatnya yang sangat rasional membuatnya takut untuk berkata-kata atau bertindak. Dia khawatir jika salah bicara, itu justru akan memperkeruh suasana.

Saya pun menyadari bahwa mengajak suami untuk langsung berdebat saat konflik memuncak bukanlah solusi yang tepat. Saya juga tidak adil jika memaksanya untuk berbicara ketika dia masih membutuhkan waktu untuk memahami situasi. Faktanya, bukan hanya saya yang perlu waktu untuk meredakan emosi, tetapi suami juga membutuhkan ruang untuk meregulasi pikirannya.

Kami akhirnya menyadari bahwa kami tidak bisa terus-menerus berjalan dengan cara masing-masing. Saya belajar untuk lebih peka terhadap bahasa kasih pelayanan suami. Dia, di sisi lain, mulai berusaha mengungkapkan perasaan dengan kata-kata. Saat konflik, kami mulai membangun kebiasaan baru. Jika suasana memanas, kami berusaha tidak langsung berbicara dengan emosi. Kami belajar untuk berhenti sejenak, memeluk, atau sekadar bertanya dengan lembut: “Apa yang bisa aku lakukan untukmu?

Perbedaan ini menyadarkan kami, sampai maut memisahkan pun, kami harus terus mengenal dan mempelajari pasangan kami. Meski orang berkata “Ah, kalau sudah bertahun-tahun menikah kedip mata saja sudah tahu maksud dia apa”.

Pernikahan bukan soal saling memahami dalam setahun atau dua tahun. Bahkan setelah puluhan tahun, pasangan tetap perlu terus belajar mengenal satu sama lain.

Seperti belajar bahasa asing, jika tidak digunakan, kita bisa melupakannya. Begitu pula dengan bahasa kasih pasangan. Jika tidak dipraktikkan, hubungan bisa terasa hambar dan tanpa makna.

Maka, mari kita terus berjuang untuk memahami dan menggunakan bahasa kasih pasangan kita. Terlebih lagi, mari kita doakan dan serahkan pasangan kita kepada Tuhan, Sang Ahli dari semua bahasa kasih. Karena kasih yang sejati berasal dari-Nya.

Posted in Kisah Inspiratif and tagged , , , , , , , , , , , .