Allah yang Penuh Perhatian

allah_yg_penuh_perhatian

 Oleh: Desni Rahmani Zega, guru Agama SD Athalia

 

Allah menginginkan setiap orang untuk memiliki karakter penuh perhatian. Mengapa? Karena Allah sendiri adalah Allah yang penuh perhatian kepada umat-Nya. Melalui kehidupan bangsa Israel kita bisa melihat bagaimana Allah begitu memperhatikan setiap umat-Nya. Saat Yusuf menjadi orang penting di Mesir, orang Israel hidup dengan nyaman dan penuh kelimpahan. Tapi itu tidak berlangsung lama. Setelah Yusuf meninggal, bangkitlah seorang Firaun yang tidak mengenal Yusuf. Saat itu jumlah bangsa Israel semakin banyak dan terus bertambah di Mesir. Hal itu membuat Firaun kuatir bahwa keberadaan bangsa Israel yang semakin banyak jumlahnya akan menjadi ancaman bagi Mesir. Firaun kuatir bangsa Israel di kemudian hari akan melakukan pemberontakan dan menguasai tanah Mesir. Untuk mengurangi jumlah bangsa Israel, maka Firaun mengeluarkan peraturan yaitu setiap laki-laki dewasa bangsa Israel harus melakukan kerja paksa. Tetapi makin ditindas makin bertambah banyak dan berkembang bangsa Israel. Mengapa? Karena Allah memperhatikan bangsa Israel. Lalu dengan kejam orang Mesir memaksa bangsa Israel bekerja dan memahitkan hidup mereka dengan pekerjaan yang berat. Firaun juga memerintahkan agar anak bayi laki-laki yang lahir dari keluarga Israel, harus segara dibunuh. Bangsa Israel mengalami kesulitan besar. Mereka sangat menderita, terlebih mereka juga kuatir kalau jumlah mereka akan terus berkurang dan punah.

Bangsa Israel pun mengeluh karena perbudakan itu dan mereka berseru-seru sehingga teriak mereka minta tolong karena perbudakan itu sampai kepada Allah. Apakah Allah membiarkan bangsa Israel? Ternyata tidak. Allah adalah Allah yang penuh perhatian kepada umat ciptaan-Nya. Allah peduli dengan penderitaan mereka. Allah memperhatikan setiap rintihan dan seruan umat-Nya. Allah ingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub. Maka Allah sendiri bertindak membebaskan umat-Nya. Dalam Keluaran 3:7-10, dituliskan bahwa Allah telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraaan umat-Nya di tanah Mesir. Allah mendengar seruan mereka. Allah mengetahui penderitaan mereka. Allah sendiri yang akan turun untuk melepaskan bangsa Israel dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke negeri yang sudah dijanjikan Allah kepala nenek moyang bangsa Israel.

Allah segera bertindak. Allah pun memanggil Musa sebagai utusan yang akan memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian. Pada akhirnya, bangsa Israel pun dalam kepemimpinan Musa, berhasil keluar dari tanah Mesir menuju tanah perjanjian yang diberikan Allah kepada bangsa Israel. Sepanjang perjalanan bangsa Israel keluar dari mesir menuju tanah perjanjian, Allah senantiasa menyertai dan memimpin bangsa Israel. Melalui Kisah kehidupan bangsa Israel, kita bisa belajar bentuk-bentuk perhatian Allah kepada umat-Nya yaitu:
Memperhatikan kesengsaraan umat-Nya (Kel.3:7a)
Mendengar seruan umat-Nya (Kel.3:7b)
Mengetahui dan mengenal penderitaan umat-Nya (Kel.3:7c)
Bertindak langsung untuk melepaskan umat-Nya (Kel.7:8a)

Pada saat kita mengalami masa-masa sulit, kesesakan, penderitaan atau kesulitan hidup, kadang kala kita berpikir bahwa Tuhan sudah tidak lagi memperhatikan dan mengasihi kita. kita berpikir Tuhan sudah melupakan kita. Benarkah yang terjadi seperti itu? Tentu saja tidak demikian. Apapun yang terjadi, Dia adalah Allah yang setia. Kasih-Nya selalu konsisten dan tidak pernah berkesudahan. Kisah bangsa Israel menunjukkan dengan jelas betapa Tuhan sangat peduli dan memperhatikan kita, termasuk hal-hal yang sangat kecil sekalipun. Tuhan memperhatikan kita secara detil dan sempurna. Tuhan tahu persis setiap pergumulan kita. Dia juga tahu apa yang kita perlukan dan butuhkan. Dia mengerti apa yang kita alami dan apa yang kita rasakan; sebab bukankah Dia adalah Tuhan yang penuh perhatian kepada kehidupan umat-Nya. Di dalam Ibrani 4:15 dikatakan,”sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa”

Kita bersyukur memiliki Tuhan yang begitu peduli dan penuh perhatian kepada umat ciptaan-Nya. Sebagai respon kita, kita juga harus belajar untuk memiliki sikap penuh perhatian. Karena hal itu menyukakan hati Tuhan. Allah juga menuntut umat-Nya untuk punya karakter penuh perhatian baik kepada Allah Sang Pencipta maupun perhatian kepada orang-orang di sekitar kita. Kita harus meluangkan waktu dengan Tuhan sebagai hal yang terutama dalam hidup kita. Tiada yang lebih layak mendapatkan perhatian penuh kita daripada Firman Tuhan. Dalam Nehemia 8:4 dikatakan, “dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu”. Jadi, ketika Ezra membacakan kitab Taurat kepada kaum Yehuda maka mereka memberikan perhatian penuh kepada firman tersebut. Perhatian mereka atas penjelasan dari kitab itu menghasilkan pengertian (Nehemia 8:9), sehingga timbul pertobatan dan kebangunan rohani. Sebagai umat Tuhan yang sudah terlebih dahulu menerima perhatian Allah maka kita harus punya perhatian penuh kepada Firman Tuhan. Kadang-kadang ketika mendengar khotbah, pikiran kita mengembara. Kita tampaknya duduk menghadap pengkhotbah dan mata terpaku kepada pengkhotbah, seakan-akan kita menghayati semua perkataan pengkhotbah padahal kenyataannya, pikiran kita mengembara kemana-mana.

Suatu hari seseorang sharing tentang pengalamannya saat tidak mempunyai sikap penuh perhatian. Saat ia duduk di aula gereja mengikuti seminar pembinaan iman, posisinya memang menghadap ke arah pembicara dengan mata yang terpaku kepadanya. Postur tubuhnya menunjukkan bahwa ia menghayati semua perkataan pembicara tersebut. Tiba-tiba ia mendengar semua orang tertawa dan bertepuk tangan. Dengan heran ia memperhatikan sekelilingnya. Ia tidak mengerti mengapa semua orang bertepuk tangan dan tertawa. Ternyata pembicara tersebut baru saja menyampaikan sesuatu yang lucu tetapi ia tidak tahu apa yang telah diucapkan pembicara tersebut. Kelihatannya ia seperti mendengarkan sungguh-sungguh tetapi pada kenyataannya pikirannya tidak fokus dan sedang mengembara.

Kita mungkin pernah punya pengalaman seperti itu. Kita bisa saja mendengarkan apa yang sedang dibicarakan tetapi gagal menyimak, memandang tapi gagal melihat, hadir tapi tidak memperhatikan. Dalam kondisi seperti itu, kita bisa melewatkan pesan-pesan penting yang seharusnya kita terima. Untuk itu, satu hal yang harus kita miliki untuk bisa mendengarkan, menyimak dan memperhatikan dengan baik adalah karakter penuh perhatian baik kepada Tuhan maupun kepada sesama kita. Termasuk ketika kita sedang berkomunikasi dengan orang lain.

Mari kita belajar untuk menjadi penuh perhatian supaya kita tidak lagi berfokus pada diri kita sendiri tetapi belajar menjadikan Tuhan sebagai pusat hidup kita dan menjadi berkat bagi orang lain.

PENUH PERHATIAN

Penuh perhatian dalam bahasa latinnya disebutkan sebagai attente, yang atinya listen carefully. Penuh perhatian adalah sebuah sikap yang serius, memusatkan perhatian, fokus untuk menyimak suatu hal yang penting. Dalam Lukas 8:18, melalui perumpamaan tentang pelita, Yesus menyampaikan bahwa betapa pentingnya kehidupan kita sebagai terang. Makna penting ini harus diperhatikan dengan penuh perhatian. Dikatakan oleh Yesus bahwa konsep penuh perhatian harus diwujudkan dari konsep mendengar yang attentive.

Yesaya 54:3 menyatakan bahwa sikap penuh perhatian adalah sikap yang selalu diminta oleh Allah. Allah meminta agar kita memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk mendengar suaraNya. Ketika kita mendengarNya dengan penuh perhatian, maka kita akan hidup.

Paulus menegaskan di dalam 1Timotius 4:15, bahwa Timotius harus memusatkan perhatiannya kepada ajaran Kitab Suci dan hidup di dalamnya agar ada kemajuan yang nyata.

Dengan demikian sikap yang penuh perhatian bila dilakukan akan memberikan kehidupan, dan kehidupan itu bukan hidup yang biasa-biasa saja melainkan kehidupan yang penuh dengan kemajuan.

 Definisi

Penuh perhatian adalah sikap yang sungguh-sungguh mau mengerti, dengan cara  memusatkan perhatian dan mendengar hal-hal yang baik dan benar.

“Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.”

Lukas 8:18

Apakah Fokus Utama Hidup Anda?

Bacaan: 1 Kor 9: 24-27

Oleh: Prasasti Perangin-angin, M.Div

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah pembinaan di sebuah kampus di Central Park Jakarta Barat. Inti dari pembinaan tersebut adalah bagaimana kita mampu membangun relasi keintiman dengan Allah. Namun yang menarik dari sesi pembinaan empat hari tersebut adalah satu sesi dimana peserta dilatih untuk mampu mengalami keintiman dengan Allah tidak saja di tempat pembinaan namun di dalam realitas hidup yang akan dijalani setiap hari. Karena itu, panitia merancang satu sesi, di mana setiap peserta diberikan kesempatan untuk berjalan melalui hiruk pikuk Mall Central Park yang kebetulan satu lokasi dengan tempat pembinaan. Tugas yang diberikan adalah menuliskan bagaimana relasi atau perhatian peserta selama di mall tersebut. Pesan pokok yang ingin diperoleh dari sesi tersebut, yakni sejauh mana keintiman dengan Allah tetap bertahan di tengah kebisingan dunia. Karena itulah realitas yang sesungguhnya dimana fokus dan perhatian hidup akan terus ditantang. Tetap kepada Tuhan atau terhanyut oleh dunia ini.

…saya menyadari bahwa kebisingan dunia setiap saat dapat saja menarik kita pada hilangnya fokus utama di dalam kehidupan ini.

Melalui pengalaman itu, saya menyadari bahwa kebisingan dunia setiap saat dapat saja menarik kita pada hilangnya fokus utama di dalam kehidupan ini. Persekutuan yang intim dengan Tuhan dapat saja tergantikan dengan fokus kita kepada media sosial yang tidak pernah ada habisnya. Kerinduan kita kepada kebutuhan hidup yang semakin menggunung dapat menggantikan perhatian kita kepada kerinduan akan kehadiran Allah. Teknologi yang serba lengkap dapat membuat kepenuhan hidup rasa-rasanya adalah jawaban akan kehampaan kehidupan. Karena itu tidak heran seorang siswa di Taiwan mendeklariskan pernikahannya dengan sebuah benda mati bernama laptop. Ternyata di dalam sebuah laptop seorang manusia dapat memenuhi semua keinginan dan kebutuhan hidup yang dicarinya.

Di dalam konteks jemaat Korintus, Paulus sangat menyadari di dalam pemberitaan injil yang sedang dilakukannya, setiap saat fokus dan perhatiannya dapat direnggut oleh berbagai bentuk kehampaan. Begitu juga dengan jemaat Korintus di tengah modernisasi kota Korintus dan liturgika ibadah jemaat yang semakin ‘maju’ telah membuat jemaat kehilangan fokus dan perhatian utama. Sehingga bila itu terjadi akan terjadi penolakan terhadap Injil. Atau dengan kata lain, kesaksian hidup jemaat akan menjadi kesaksian yang palsu.

Penolakan terhadap Injil sama saja dengan penolakan terhadap keberadaan Kristus sebagai Tuhan satu-satunya yang patut disembah…

Penolakan terhadap Injil sama saja dengan penolakan terhadap keberadaan Kristus sebagai Tuhan satu-satunya yang patut disembah oleh setiap umat manusia. Karena itulah Paulus mendorong jemaat Korintus untuk menjadi seperti seorang pelari yang terus terfokus kepada tujuan yang sedang dituju. Atau seperti seorang petinju yang tidak sembarang saja memukul. Butuh perhatian khusus. Fokus yang tidak tergoyahkan.

Metafora petinju dan pelari menggambarkan bahwa ada dua hal yang harusnya dimiliki oleh setiap kita untuk dapat menjadi saksi Kristus yang hidup. Pertama, terus terfokus kepada tujuan. Tujuan akan mendasari pertanyaan, kenapa dan untuk apakah kehidupan kita jalani (1 Korintus 9:26). Tujuan harus menjadi pemimpin dan pendorong satu-satunya kita hidup. Dengan istilah lain, tujuan ini dapat juga digambarkan sebagai sebuah panggilan hidup yang memimpin langkah dan tindakan hidup kita.

Panggilan hidup adalah alasan. Termasuk pekerjaan. Sebagai guru atau karyawan di dunia pendidikan (Athalia), landasan utama yang menjadi alasan kita untuk memutuskan memilih pekerjaan ini harusnya adalah panggilan untuk mendidik anak bangsa menjadi seorang murid Kristus. Ketika panggilan yang mendasari, maka pekerjaan ini dapat dinikmati. Fokus yang utama akhirnya apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki. Namun sebaliknya, ketika pekerjaan hanyalah sebagai tempat bagi kita untuk mencari nafkah maka pekerjaan itu dapat menjadi konsentrasi kesekian bagi kita. Atau hanyalah berjalan begitu saja, tanpa ada spirit yang menggerakkan.

Fokus yang utama akhirnya apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang kita kehendaki.

Begitu juga gaya hidup yang kita pilih. Kenapa saya katakan, kita pilih, karena bagi saya gaya hidup adalah pilihan. Apakah perhatian utama dari gaya hidup kita? Konsumtif dan hedonis? Tren dan kesenangan hidup menjadi tujuan? Atau sebaliknya, nilai-nilai kesederhanaan. Membeli sesuatu berdasarkan fungsi. Pendekatan kebutuhan bukan keinginan.

Fokus kita adalah kemuliaan Allah. 1 Kor 10 :31 mengatakan Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.’ Perjalanan hidup akhirnya diterjemahkan hidup untuk kemuliaan Allah. Apapun itu, tanyakan apakah menjadi kemuliaan bagi Allah atau tidak? Dengan demikian perhatian kita akan kita tujukan kepada perkara surgawi.

Kedua, menguasai diri (1 Korintus 9:25). Penguasaan diri menjadi kunci utama bagaimana kita mampu terus memusatkan perhatian kepada tujuan. Penguasaan diri seperti penangkal segala bentuk godaan. Seperti seorang atlet harus mampu untuk menguasai diri untuk terus berlatih untuk menggapai hasil yang terbaik. Penguasaan diri berarti mampu menolak keinginan diri. Menyangkal diri.

… dunia ini semakin hari akan terus berusaha menarik kita kepada jalan yang dunia kehendaki.

Bila kita perhatikan, dunia ini semakin hari akan terus berusaha menarik kita kepada jalan yang dunia kehendaki. Nilai-nilai yang ditawarkan iklan televisi, media sosial, atau tulisan diskon di tempat perbelanjaan adalah bentuk usaha dunia menarik kita semakin jauh dari dari nilai-nilai kebenaran yang Allah rindukan dari kita. Bila kita lengah, maka kita akan larut di dalamnya.

Lihatlah, sungguh disayangkan, nilai-nilai tersebut akhir-akhir ini telah merasuki gereja Tuhan di berbagai tempat. Gereja-gereja seakan mulai berlomba menawarkan hiburan untuk menarik semakin banyak para pengikut datang ke gereja, dan menghalalkan cara-cara manipulatif yang dunia pakai. Semoga saja ini bukan merupakan gejala yang telah lama diingatkan oleh Paulus kepada Timotius; karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya ( 2 Tim 4:3). Ketika hal ini yang terjadi maka perhatian gereja yang harusnya terpusat kepada kebenaran Alkitab atau identitas sejati di dalam salib berubah menjadi filosofi dunia dan identitas kemakmuran yang umumnya menjadi perhatian manusia yang telah dipenuhi oleh dosa.

Kunci dari penguasaan diri adalah terus berfokus kepada kebenaran Allah.

Kunci dari penguasaan diri adalah ketika kita terus berfokus kepada kebenaran Allah. Ketika waktu dan energi kita investasikan kepada hal-hal yang bernilai kekal. Ketika itulah suara Tuhan akan semakin jernih di dalam pendengaran kita. Bersamaan dengan itu, bisik rayu dunia ini tidak membuat fokus kita berubah daripada-Nya.