Waspada! Ini 10 Kesalahan yang Sering Dilakukan Orang Tua

keluarga

 

Dr. Paul Bohn, seorang psikiater, mengatakan bahwa orang tua zaman sekarang sering kali berusaha melindungi anak-anak mereka dari segala bentuk ketidaknyamanan. Akibatnya, ketika anak menghadapi kegagalan dalam hidup, mereka merasa ada sesuatu yang sangat salah terjadi.

Terlalu memanjakan, ingin menjadi sahabat terbaik, hingga menetapkan standar yang tidak realistis. Apakah Anda termasuk salah satu yang melakukannya?

Yuk, simak dan refleksikan cara kita dalam mengasuh anak!

10 Kesalahan Orang Tua yang Sering Dilakukan

Kesalahan No. 10: Memuja Anak Berlebihan

Banyak keluarga modern tanpa sadar hidup dalam komunitas child-centric (menempatkan anak sebagai pusat dari segala hal). Hal ini mendorong orang tua untuk melakukan segala sesuatu, membelikan, dan menghujani anak dengan cinta serta perhatian.

Meskipun begitu, Dr. Paul Bohn berpikir bahwa sangat penting untuk mengingat bahwa anak-anak kita diciptakan untuk dicintai, bukan dipuja. Ketika kita memperlakukan mereka sebagai pusat dari dunia, kita menciptakan idola palsu. Daripada rumah yang child-centric, kita seharusnya mengusahakan sebuah rumah yang Christ-centric (berpusat pada Kristus). Anak-anak kita tetap dicintai, hanya saja dalam cara yang lebih baik, yang mengutamakan ketidakegosian di atas keegoisan.

Kesalahan No. 9: Menganggap Anak Selalu Sempurna

Banyak orang tua sulit menerima kritik tentang anak mereka, bahkan ketika disampaikan atas dasar kasih dan demi kebaikan anak mereka. Akibatnya, mereka menolak kenyataan dan kehilangan kesempatan untuk mencegah masalah sebelum berkembang lebih jauh.

Kenyataan dapat menyakitkan, tetapi ketika kita mendengar dengan hati dan pikiran yang terbuka, hal itu akan menguntungkan kita. Kita dapat mencegah lebih dini sebelum situasi berkembang di luar kendali. Sangat mudah untuk menghadapi anak bermasalah daripada memperbaiki orang dewasa yang sudah rusak.

Seorang psikiater dari Children’s of Alabama menegaskan bahwa intervensi dini adalah kunci. Anak-anak lebih elastis dan lebih mudah dibantu saat masih muda. Ketika masalah berlangsung cukup lama, maka hal itu akan menjadi bagian dari identitas mereka.

Kesalahan No. 8: Hidup Melalui Anak

Orang tua tentu bangga melihat anaknya sukses. Bahkan terkadang, kita dapat lebih bahagia daripada aat kita sendiri yang mencapainya. Namun, bahaya muncul ketika anak menjadi perpanjangan eksistensi kita.

Tanpa sadar, kita melihat mereka sebagai kesempatan kedua untuk meraih impian yang belum tercapai. Akhirnya, itu bukan lagi mengenai mereka, tetapi mengenai kita. Inilah dimana kebahagiaan mereka menjadi tercampur aduk dengan kebahagiaan kita.

Kesalahan no. 7: Ingin Menjadi BFF (Best Friend Forever) Anak

Dalam ceritanya, Dr. Paul Bohn membagikan dirinya yang pernah bertanya kepada seorang imam untuk menyebutkan kesalahan orang tua terbesar yang dia lihat dalam mengasuh anak. Imam tersebut berpikir sesaat kemudian menjawab, “Ketika orang tua tak berani mengambil peran sebagai orang tua”.

Tentu, saya sebagai orang tua ingin dicintai dan dihargai oleh anak-anak. Tetapi, jika saya melakukan tugas sebagai orang tua dengan benar, mereka akan marah dan kadang-kadang tidak menyukai saya. Mereka akan memutar mata mereka, menguap, dan mengerang, dan berharap mereka dilahirkan di keluarga lain.

Itu bagian dari proses tumbuh kembang. Fokuslah untuk menjadi orang tua yang membimbing, bukan sekadar menyenangkan. Di samping itu, berusaha jadi BFF hanya membuat kita permisif dan takut kehilangan persetujuan mereka—yang justru bisa berdampak buruk bagi masa depan mereka.

Kesalahan no. 6: Mengasuh Secara Kompetitif

Di era persaingan ketat, banyak orang tua terjebak dalam pengasuhan kompetitif, bahkan hingga merusak hubungan dengan keluarga lain. Semua berakar dari rasa takut seperti takut anak tertinggal, takut mereka tak cukup sukses, dan lain sebagainya.

Akibatnya, banyak orang tua berusaha membekali anak mereka dengan berbagai kursus dan teknologi sejak dini, dengan harapan dapat meningkatkan peluang kesuksesan di masa depan. Namun, sejatinya kesuksesan bukan sekadar mengikuti tren, melainkan dibangun melalui karakter yang kuat dan etos kerja yang tinggi. Anak perlu memahami bahwa pencapaian tidak diberikan begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan dedikasi dan usaha.

Karakter mungkin tidak terlihat penting pada masa remaja. Namun pada masa dewasa, itu adalah segalanya.

Kesalahan no. 5: Tidak Menikmati Masa Kecil Anak

Membesarkan anak adalah perjalanan yang melelahkan, baik secara fisik maupun emosional. Tak jarang, kita berharap mereka cepat tumbuh demi kenyamanan kita. Kita juga bertanya-tanya tentang masa depan mereka. Apa yang menjadi passion mereka? Apakah Tuhan memberikan karunia yang jelas? Apakah bakat seni mereka akan menjadikan mereka Picasso berikutnya, atau apakah suara merdu mereka akan membawa mereka setenar Taylor Swift?

Sebagai orang tua kita berharap demikian untuk mengetahui kekuatan memelihara mana yang akan memampukan kita untuk mengarahkan mereka pada arah yang jelas.

Namun, di tengah ambisi itu, kita mungkin lupa untuk membiarkan anak kita menjadi anak kecil dan menikmati satu-satunya masa kecil yang diberikan pada mereka. Bagi mereka, hal ini bukan tentang menjadi produktif, ini tentang keberadaan/ menjadi ada. Ini tentang bermimpi besar dan menikmati kehidupan. Tekanan pada anak-anak dimulai terlalu cepat. Kita perlu melindungi mereka dari tekanan-tekanan itu. Kita perlu untuk membiarkan mereka bersenang-senang dan tumbuh sesuai dengan kecepatan mereka, sehingga:

  1. Mereka dapat mengeksplore ketertarikan mereka tanpa takut gagal, dan
  2. Mereka tidak “burned out”.

Izinkan anak tumbuh sesuai ritmenya. Biarkan mereka bermain, mengeksplorasi, dan menikmati satu-satunya masa kecil yang mereka miliki. Sebab, sekali terlewat, masa itu tak akan pernah kembali.

Kesalahan no. 4: Memaksakan Impian pada Anak

Sebagai orang tua, kita memiliki mimpi untuk anak-anak kita. Hal itu bermula ketika kita hamil, sebelum jenis kelaminnya diketahui. Diam-diam kita berharap agar anak kita menjadi seperti kita, namun lebih pintar dan lebih bertalenta.

Tetapi ironinya adalah, anak-anak kita mengikuti cetakan kita dengan cara yang terbalik. Mereka keluar dari jalur dengan cara yang tidak dapat kita antisipasi. Tugas kita adalah mencari tahu sifat mereka, tunduk pada ketetapan Allah, dan melatih mereka pada ketetapan Allah. Memaksakan mimpi kita pada mereka tidak akan berhasil. Hanya ketika kita melihat mereka sebagaimana adanya merekalah yang dapat membuat kita dapat berdampak kuat dalam kehidupan mereka.

Kesalahan no. 3: Tidak Memberi Contoh yang Baik

Ada pepatah, “Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata.”

Sama halnya dengan pepatah di atas, kata-kata bijak saja tidak cukup jika tidak disertai dengan teladan dalam mendidik anak. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat. Cara kita menghadapi kegagalan, memperlakukan orang lain, atau berbicara tentang pasangan, semuanya menjadi contoh yang mereka tiru.

Bagaimana orang tua menghadapi penolakan dan penderitaan… bagaimana orang tua memperlakukan teman dan orang asing… anak-anak memperhatikan hal-hal ini. Cara orang tua merespon memberikan mereka ijin untuk bertindak dan melakukan hal yang sama.

Jika ingin anak-anak menjadi luar biasa, kita harus memiliki tujuan yang luar biasa juga. Ketika ingin anak-anak memiliki kualitas tertentu, maka kita harus terlebih dahulu memiliki kualitas tersebut. Dengan begitu kita sebagai orang tua dapat menjadi contoh bagi mereka, tidak sekedar menyuruh mereka menaati perkataan kita.

Kesalahan no. 2: Menghakimi Orang Tua Lain

Setiap orang tua memiliki pendekatan unik dalam membesarkan anak, dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, dan situasi masing-masing. Meskipun kita mungkin tidak selalu setuju dengan pola asuh orang lain, penting untuk diingat bahwa tidak ada metode yang mutlak benar atau salah.

Dengan bersikap lebih terbuka dan menghargai perbedaan, kita tidak hanya menghindari konflik yang tidak perlu tetapi juga memberikan contoh positif bagi anak-anak kita tentang pentingnya toleransi dan kebijaksanaan dalam menilai orang lain.

Kesalahan no. 1: Meremehkan Pentingnya Karakter

Banyak orangtua tidak fokus dalam mengembangkan karakter anak dan bahkan menganggap karakter sebagai hal yang tidak penting. Padahal, karakter inilah yang akan meletakkan dasar mereka untuk bahagia dan masa depan yang sehat. Hal-hal ini lebih penting dari pada semua nilai, rapor, dan penghargaan yang pernah mereka terima.

Tidak seorangpun dari kita dapat memaksa anak kita untuk memiliki karakter tertentu. Hal ini karena bagi anak-anak usia 10 atau 15 tahun, karakter tidak akan berarti banyak. Mereka cenderung lebih peduli pada penghargaan secara langsung yang diberikan pada saat itu juga (short-term gratification). Namun, kita tahu bahwa apa yang akan terjadi pada usia 25, 30, dan 40 bukanlah seberapa jauh mereka dapat melempar bola, atau apakah mereka menjadi cheerleader, tetapi bagaimana mereka memperlakukan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri. Jika kita ingin agar mereka membangun karakter, kepercayaan diri, kekuatan, dan kegembiraan, kita butuh untuk membiarkan mereka menghadapi kesengsaraan dan mengalami kebanggaan yang mengikuti ketika mereka menjadi lebih kuat di sisi lain.

Sulit untuk melihat anak-anak kita jatuh, tetapi kadang-kadang kita harus. Terkadang, rasa sakit jangka pendek adalah investasi bagi pertumbuhan dan ketahanan mereka di masa depan.

Karakter: Warisan Terbesar untuk Anak

Mengasuh anak memang bukan hal yang mudah, dan tidak ada orang tua yang sempurna. Namun, dengan memahami kesalahan orang tua dalam mendidik anak, kita bisa berusaha menjadi lebih baik.

Mari refleksikan kembali: Apakah Anda pernah melakukan salah satu kesalahan di atas? Bagaimana cara Anda memperbaikinya?

Kari Kubiszyn Kampakis.

Sumber: http://www.viacharacterblog.org/

20 Strategi untuk Mengembangkan Karakter Baik pada Anak

keluarga bahagia

Pernahkah Anda merasa mengembangkan karakter baik pada anak adalah hal yang menantang? Sebagai orang tua atau pendidik, kita tentu ingin membimbing mereka menjadi individu yang penuh perhatian, jujur, bertanggung jawab, dan berani. Namun, bagaimana cara terbaik untuk menanamkan nilai-nilai tersebut?

Dalam Parents, Kids & Character: Twenty-One Strategies to Help Your Children Develop Good Character, Dr. Helen LeGette membagikan strategi yang terbukti membantu anak tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan nilai. Berdasarkan pengalamannya selama 33 tahun di dunia pendidikan, ia menekankan bahwa membentuk karakter anak bukan sekadar memberi aturan, tetapi juga membangun kebiasaan dan keteladanan yang konsisten. Dengan pendekatan yang tepat, anak-anak akan lebih siap menghadapi kehidupan akademik, sosial, dan masa depan yang lebih baik.

Lantas, apa saja langkah konkret yang bisa dilakukan? Berikut 20 strategi yang dapat membantu anak mengembangkan karakter positif sejak dini!

Strategi Mengembangkan Karakter Anak di Rumah

1. Jadilah contoh atau teladan karakter di rumah.

“Tidak ada satupun yang lebih berpengaruh, dan lebih menentukan dalam hidup anak selain kekuatan moral dari contoh yang bisu” – William Bennet dalam The Book of Virtues.

Anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika ingin mengembangkan karakter positif pada anak, orang tua harus melakukan apa yang mereka katakan dan menunjukkan nilai-nilai yang ingin diajarkan.

2. Perjelas nilai-nilai kita.

Beritahukan kepada anak-anak mengenai sikap kita terhadap isu-isu penting di sekitar. Karakter tumbuh melalui pembelajaran dan keteladanan. Untuk membantu anak menginternalisasi nilai-nilai positif, kita perlu mengajarkan keyakinan kita serta alasan di baliknya.

Ajak mereka berdiskusi mengenai berbagai isu sosial agar mereka memahami nilai-nilai yang penting dalam kehidupan.

3.  Tunjukkan rasa hormat pada pasangan, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.

Orang tua yang saling menghormati, berbagi tanggung jawab, dan menyelesaikan perbedaan dengan damai memberi teladan kuat tentang rasa hormat. Jika anak-anak mendapatkan pengalaman rasa hormat langsung dari dalam keluarga, lebih mudah bagi mereka untuk dapat menghormati orang lain. Sederhananya adalah, rasa hormat melahirkan rasa hormat.

4. Contohkan dan ajarkan sopan santun sejak dini.

Ajaklah anak-anak untuk menerapkan sopan santun di rumah, seperti mengucapkan “tolong” dan “terima kasih,” berbicara dengan hormat, serta mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian. Kebiasaan ini membentuk dasar interaksi sosial yang baik dan membantu mereka memahami pentingnya menghargai orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

5.  Sesering mungkin, makanlah bersama keluarga tanpa televisi.

Makan bersama adalah momen berharga untuk berkomunikasi dan membangun hubungan keluarga yang lebih erat. Tidak jadi masalah apakah makanan tersebut masakan rumah atau makanan yang dibeli di luar, namun unsur yang terpenting adalah waktu berbagi bersama-waktu yang disisihkan untuk memperkuat rasa memiliki satu sama lain dan rasa peduli pada keluarga.

6.  Rencanakan aktivitas keluarga.

Kegiatan sederhana seperti piknik, jalan-jalan, atau sekadar menghabiskan waktu bersama dapat menciptakan memori berharga dan memperkuat nilai kebersamaan dalam keluarga. Orang tua juga dapat melibatkan anak dalam perencanaannya. 

Baca juga: 13 Tips Ampuh Atasi Kemalasan – Dijamin Lebih Produktif!

Strategi Mengembangkan Karakter Anak Melalui Kebiasaan Positif

7.  Jangan berikan akses pada anak untuk alkohol dan obat-obat terlarang.

Teladankan perilaku yang benar dan ajarkan dampak negatif dari penyalahgunaan zat berbahaya agar mereka memahami pentingnya menjaga diri. Meskipun media dan lingkungan sering menggoda remaja untuk mencoba alkohol dan obat-obatan terlarang, contoh dan teladan orang tua tetap menjadi pengaruh terbesar dalam mencegah penyalahgunaan tersebut.

8.  Rencanakan proyek pelayanan keluarga atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kebangsaan.

Mengembangkan karakter anak bisa dilakukan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan pelayanan masyarakat, seperti berbagi dengan tetangga atau membantu lansia. Hal ini dapat mengajarkan empati, kepedulian, dan kebiasaan melayani.

9.  Membacakan buku untuk anak-anak kita dan menyimpan atau menyediakan bacaan yang baik di rumah.

Buku adalah sumber inspirasi dan pendidikan karakter. Membaca bersama adalah bagian yang penting untuk menyampaikan warisan moral budaya dari generasi ke generasi. Pertanyaan dan pendapat anak-anak mengenai cerita memberikan pemahaman yang penting bagi orang tua mengenai pikiran, keyakinan, dan fokus perhatian anak-anak mereka.

10.  Batasi  pengeluaran atau belanja anak-anak.

Bantu anak-anak mengembangkan rasa menghargai pada hadiah, penghargaan atau reward yang bersifat non-material. 

Dalam budaya konsumerisme saat ini, anak remaja mudah untuk memercayai bahwa image-menggunakan baju yang “pantas”, mengendarai mobil yang “pantas”, dll-menggambarkan kesuksesan dan kebahagiaan.

Orang tua bisa menanamkan nilai yang lebih bermakna dengan menunjukkan cara bijak mengelola sumber daya atau dana yang dipercayakan kepada anak-anak.

11.  Diskusikan mengenai liburan dan maknanya.

Milikilah perayaan keluarga dan bangunlah tradisi keluarga. Abraham Lincoln mengamati bahwa dengan berpartisipasi dalam perayaan nasional menyebabkan orang-orang Amerika “merasa lebih terikat satu sama lain, dan terikat lebih kuat pada Negara dimana ia tinggal.” Memperhatikan liburan dan merayakan tradisi keluarga tidak hanya mengembangkan rasa keterikatan dan kekeluargaan dengan orang lain, tetapi hal ini juga menjadi perekat khusus yang mengikat kita bersama-sama sebagai manusia, anggota keluarga, dan warga negara.

12.  Gunakan momen sehari-hari sebagai kesempatan mendidik.

Gunakan berbagai situasi untuk memicu diskusi keluarga tentang isu-isu penting. Beberapa pendidikan karakter yang paling efektif dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang sedang berlangsung di dalam keluarga. Orang tua dan anak berinteraksi satu sama lain, mereka juga berinteraksi dengan orang lain di luar rumah, tak terhitung situasi yang dapat digunakan untuk mengajarkan pelajaran berharga tentang tanggung jawab, empati, kebaikan, dan belas kasih.

13.  Berikan tanggung jawab pekerjaan rumah untuk seluruh anggota keluarga.

Meskipun lebih mudah mengerjakan tugas rumah sendiri, menugaskan anak dengan pekerjaan rumah tangga akan mengajarkan mereka tanggung jawab dan kerja sama yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.

14.  Tetapkan ekspektasi untuk anak-anak dan pertahankan agar mereka bertanggung jawab atas tindakannya.

Menentukan batasan yang rasional dan menerapkannya dengan benar akan menjadikan orang tua sebagai pemimpin moral di dalam rumah. Hal ini akan memberikan rasa aman bagi anak dan remaja, serta memungkinkan anak-anak tahu bahwa kita peduli pada mereka dan ingin mereka menjadi orang yang memiliki karakter baik.

15.  Jaga anak-anak tetap sibuk dalam kegiatan-kegiatan positif.

Anak-anak dan remaja memililki tingkat energi yang luar biasa. Tantangannya adalah bagaimana menyalurkan energi tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan positif, seperti olah raga, hobi, musik, seni, atau ke dalam kelompok komunitas gereja atau anak muda, atau kepramukaan. Kegiatan-kegiatan tersebut mempromosikan sikap memperhatikan orang lain, peduli, kerja sama dan juga memberikan anak perasaan berhasil.

Strategi Orang Tua dalam Membimbing Karakter Anak

16.  Belajar untuk mengatakan TIDAK dan jelaskan mengapa.

Sangat alami bagi anak-anak-khususnya remaja-untuk menguji batasan orang tua dan menantang otoritas orang tua. Terlepas dari protes yang diajukan anak, tindakan kasih sayang terbesar yang dapat diberikan oleh orang tua adalah dengan selalu bersikap tegas dan melarang keterlibatan anak dalam kegiatan yang berpotensi melukai mereka.

17.  Ketahuilah anak-anak sedang berada dimana, melakukan apa, dan dengan siapa.

Orang dewasa perlu mengkomunikasikan dengan berbagai cara bahwa kita peduli pada anak-anak dan mengharapkan yang terbaik dari mereka, tetapi kita juga menganggap serius tanggung jawab kita untuk membangun standar, memonitor, mendampingi, dan mengawasi mereka. Jangan ragu untuk mengenal teman dan orang tua mereka, meski dianggap “kuno.”

18.  Jangan menutup-nutupi atau membuat alasan untuk membenarkan perilaku anak yang tidak pantas.

Jika anak melakukan kesalahan, bantu anak memahami konsekuensi kesalahan mereka tanpa mencari pembenaran. Melindungi mereka dari akibat logis hanya menghambat pembelajaran tanggung jawab dan memberi kesan bahwa aturan bisa diabaikan.

19.  Perhatikan konten media yang dikonsumsi anak.

Di tengah maraknya konten dan informasi negatif, ajarkan anak menonton dengan bijak melalui contoh dan diskusi terbuka. Jika mereka mengakses tontonan tak pantas, berterus teranglah dan bagi perasaan kita mengenai hal itu, kemudian diskusikan mengapa bahan tontonan yang tidak pantas itu menyakiti dan mengganggu nilai-nilai keluarga.

20.  Ingat bahwa kita adalah orang dewasa.

Anak-anak tidak membutuhkan kita sebagai teman lain, tetapi mereka  membutuhkan kita sebagai orang tua yang peduli untuk mengatur dan menetapkan batas-batas yang tepat untuk perilaku mereka. Terkadang mengatakan “ayah saya tidak mengijinkan saya” dapat memberikan anak-anak remaja pelarian yang nyaman ketika mereka tidak ingin ikut serta dalam kegiatan yang meragukan.

Mengembangkan Karakter Anak, Investasi Jangka Panjang

Mengembangkan karakter anak bukan sekadar tugas, tetapi investasi jangka panjang dalam membentuk individu yang bertanggung jawab, beretika, dan siap menghadapi tantangan hidup. Dengan membiasakan mereka menerapkan sopan santun, memahami konsekuensi dari tindakan mereka, serta menetapkan batasan yang jelas, kita membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berintegritas.

Adapted from Parents, Kids, & Character by Helen LeGette. – Available from the National Center for Youth Issues or from the Character Development Group. Used by permission.

Sumber: http://charactered.net -IB/ Tim karakter

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 1 – Penuh Perhatian dan Ketaatan

Kamp karakter adalah salah satu sarana pembelajaran karakter bagi siswa. Melalui kamp karakter ini, siswa kelas 1 SD Athalia belajar tentang karakter Penuh Perhatian dan Ketaatan. Berikut adalah dokumentasi dari kegiatan tersebut. Klik link di bawah ini untuk melihat foto-foto lainnya dan untuk men-download:

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 1 – Penuh Perhatian dan Ketaatan (versi standar/versi digital preview/low res 45,2 Mb)

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 1 – Penuh Perhatian dan Ketaatan (versi besar/versi bisa untuk dicetak/high res (158,8 Mb)

Kamp Karakter SD Athalia Kelas II – Kerajinan & Kejujuran

Kamp Karakter SD Athalia Kelas II – Kerajinan & Kejujuran, 13 September 2024

Klik link di bawah ini untuk melihat foto-foto lainnya dan untuk men-download:

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 2 – Kerajinan & Kejujuran (versi standar/versi digital preview/low res 20,7 Mb)

Kamp Karakter SD Athalia Kelas 2 – Kerajinan & Kejujuran (versi besar/versi bisa untuk dicetak/high res (76,5 Mb)

Perjalanan Mencari Komunitas yang Bertumbuh

Elizabeth Liswandi (orang tua Siswa Kelas IV dan TK A)

Menemukan Komunitas

Hai Athalians, perkenalkan nama saya Elizabeth. Saya memiliki dua anak yang bersekolah di Athalia, yaitu Ruth dan Joy. Saya berasal dari keluarga Kristen yang taat. Setiap minggu kami sekeluarga selalu pergi ke gereja. Orang tua dan ketiga kakak saya adalah aktivis gereja, sehingga ketika ada pembentukan kepanitiaan atau pengurus untuk acara gereja, saya selalu diajak. Semua berjalan dengan sendirinya tanpa perlu usaha. Semua kemudahan yang didapat membuat saya seolah-olah take it for granted terhadap setiap kesempatan yang hadir. Sampai suatu keadaan membuat saya harus berpindah gereja.

Pada masa itu Tuhan seperti menutup kesempatan yang dahulu Dia berikan dengan mudahnya. Saya mulai menyadari bahwa melayani dan punya komunitas yang bertumbuh itu anugerah dari Tuhan. Saya pun sadar bahwa saya perlu teman-teman yang bisa saling menyemangati, menegur, dan mengingatkan.

Bertahun-tahun berlalu, sampai saya menikah dan punya anak, saya belum juga menemukan komunitas yang cocok di hati. Namun, saya tetap mencari sambil berdoa, “Tuhan, kalau boleh, saya rindu bertemu dengan komunitas yang bisa membantu saya untuk bertumbuh dan melayani”. Perlahan-lahan, Tuhan mulai menjawab doa saya. Ia mempertemukan saya dengan komunitas Kristen di luar gereja, pasutri di gereja, dan juga di Sekolah Athalia. Saya bersyukur karena akhirnya bisa menemukan teman orang tua yang saling peduli, sharing, dan support.

Lihat Juga : My Story is God’s Story

Bertumbuh dan Melayani Bersama dalam Komunitas

Sekolah Athalia memiliki komunitas doa Parents in Touch (PIT). Saat pertama kali ikut PIT, perasaan saya mengatakan, “Saya sudah berada di tempat yang tepat”. Saya merasa diberkati dengan firman Tuhan dan kesaksian yang disampaikan. Kami juga bisa saling mendoakan, hal ini tidak saya dapatkan di sekolah Ruth sebelumnya. Di Athalia bukan anak saja yang belajar, saya juga belajar dan bertumbuh dengan adanya seminar parenting. Saya juga melihat perubahan demi perubahan terjadi di diri Ruth dan Joy.

Perjalanan mencari komunitas untuk bertumbuh bersama mengajarkan saya tentang banyak hal:

1. Sikap hati yang benar

Tanpa sikap hati yang benar, ketika kita berada di komunitas yang baik pun kita tidak akan bisa bertumbuh sesuai yang Tuhan mau. Kita perlu ingat bahwa semuanya dari Tuhan dan dikembalikan untuk kemuliaan Tuhan. Jangan sombong apabila Tuhan memberi kita kesempatan. Itu semua bukan karena hebatnya kita. Mungkin kita berpikir, “Sendiri juga bisa kok, bertumbuh. Baca Alkitab sendiri juga bisa bertumbuh, gak perlu komunitas.” Tentu saja bisa. Namun, berapa lama bisa bertahan? Kita tetap butuh orang lain untuk saling mengingatkan. Seperti firman Tuhan di Amsal 27:17:

“Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.”


2. Membuka diri

Terkadang ketakutan tidak diterima membuat kita enggan untuk membuka diri, bahkan menjauh dari komunitas. Namun, keterbukaan justru dapat memudahkan kita mendapatkan kekuatan dan dukungan untuk mengatasi tantangan dalam hidup.


3. Berdampak

Kita diciptakan Tuhan dengan satu tujuan. Di mana pun kita ditempatkan, Tuhan mau kita memancarkan karakter Kristus yang berdampak bagi orang lain.

Semoga kisah ini bisa bermanfaat. Tetap semangat dan jangan lupa bahagia. Tuhan Yesus memberkati.

Baca artikel lainnya tentang PIT:

https://sekolahathalia.sch.id/pit-parents-in-touch/

https://sekolahathalia.sch.id/parents-in-touch-keluarga-yang-berpusat-pada-kristus/