20 Strategi Menolong Anak untuk Mengembangkan Karakter Baik

20 saran di bawah ini dikutip dari buku Dr. Helen LeGette, Parents, Kids & Character: Twenty-One Strategies to Help Your Children Develop Good Character. Dia membagikan kepada kita ilmu dan pengalaman yang berasal dari kesuksesan 33 tahun karirnya sebagai pemimpin di bidang pendidikan-sebagai guru, konselor, dan pengelola. Dia tahu bahwa anak-anak yang memiliki batasan-batasan di rumah dan memiliki orang tua dengan harapan akan karakter yang baik, memiliki kesempatan yang lebih besar untuk sukses di sekolah dan dalam karir pekerjaan mereka. Bukunya menawarkan ide-ide yang dapat diterapkan di berbagai bentuk keluarga.

1. Jadilah contoh atau teladan karakter di rumah.

Seperti pengamatan William Bennet dalam The Book of Virtues, “tidak ada satupun yang lebih berpengaruh, dan lebih menentukan dalam hidup anak selain kekuatan moral dari contoh yang bisu”. Jika kita ingin mencoba mempengaruhi karakter anak secara positif, maka hal yang sangat penting untuk  dilakukan adalah “Melakukan apa yang kita katakan”.

2. Perjelas nilai-nilai kita

Beritahukan kepada anak-anak mengenai sikap kita terhadap isu-isu penting di sekitar kita. Karakter sebenarnya berkembang di seputaran mengajar dan menangkap apa yang diajarkan. Jika kita ingin anak-anak menginternalisasi kebajikan yang kita hargai, kita harus mengajarkan kepada mereka apa yang kita yakini dan mengapa kita menyakini hal tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak sekali kesempatan untuk mengikutsertakan anak-anak dalam pembicaraan moral.

3.  Tunjukkan rasa hormat pada pasangan, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.

Orang tua yang menghormati satu sama lain, yang berbagi tanggung jawab, dan yang memecahkan perbedaan dengan cara damai, menyampaikan pesan yang sangat kuat mengenai rasa hormat. Jika anak-anak mendapatkan pengalaman rasa hormat langsung dari dalam keluarga, lebih mudah bagi mereka untuk dapat menghormati orang lain. Sederhananya adalah, rasa hormat melahirkan rasa hormat.

4. Contohkan dan ajarkan sopan santun pada anak-anak

Minta seluruh anggota keluarga menggunakan sopan santun di rumah. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sopan santun dan norma-norma sosial berasal dari rumah, dimana sikap sungguh-sungguh memperhatikan orang lain itu berakar dan berawal.

5.  Sesering mungkin makanlah bersama keluarga tanpa televisi.

Waktu makan adalah waktu yang sangat baik bagi orang tua untuk berbicara dengan anak, mendengar anak, dan memperkuat ikatan keluarga. Tidak jadi masalah apakah makanan tersebut masakan rumah atau makanan yang dibeli di luar, namun unsur yang terpenting adalah waktu berbagi bersama-waktu yang disisihkan untuk memperkuat rasa memiliki satu sama lain dan rasa peduli pada keluarga.

6.  Rencanakan sebanyak mungkin kegiatan-kegiatan  bersama keluarga.

Libatkan anak-anak dalam perencanaan. Kegiatan keluarga yang awalnya terlihat sangat biasa, seringkali ketika dilihat dan ditinjau kembali kegiatan itu sebenarnya adalah potongan memori keluarga yang sangat spesial dan mengesankan. “Kencan” antara ayah dan anak perempuan remaja, piknik keluarga di taman, darma wisata untuk membeli es krim di hari Minggu dapat memberikan waktu yang bermakna bagi kebersamaan dan saling berbagi sebagai sebuah keluarga.

7.  Jangan berikan akses pada anak untuk alkohol maupun obat-obat terlarang.

Teladankan perilaku yang benar mengenai alkohol dan obat-obat terlarang. Meskipun tekanan teman sebaya, kecemasan remaja, keinginan remaja akan hal-hal duniawi, dan pesan-pesan media mengagung-agungkan penggunaan obat-obat terlarang dan alkohol, namun keluarga memiliki pengaruh yang paling kuat apakah anak muda akan menyalahgunakan bahan-bahan tersebut atau tidak. Contoh dan teladan orang tua sangat penting dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan obat-obat terlarang dan alkohol.

8.  Rencanakan proyek pelayanan keluarga atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kebangsaan.

Inti dari karakter baik adalah perasaan peduli dan memperhatikan orang lain. Berbagai kesempatan proyek pelayanan keluarga tersedia di setiap komunitas, bahkan anak-anak kecil pun dapat berpartisipasi. Tindakan sederhana seperti membawakan makanan untuk tetangga yang sakit, memotong rumput di pekarangan rumah orang yang sudah tua, atau mengumpulkan baju-baju dan mainan untuk disumbangkan, akan menolong anak remaja belajar tentang sukacita menolong orang lain dan mengembangkan kebiasaan melayani.

9.  Membacakan buku untuk anak-anak kita dan menyimpan atau menyediakan bacaan yang baik di rumah.

Guru yang hebat selalu menggunakan cerita untuk mengajar, memotivasi, dan menginspirasi. Membaca bersama adalah bagian yang penting untuk menyampaikan warisan moral budaya dari generasi ke generasi. Pertanyaan dan pendapat anak-anak mengenai cerita memberikan pemahaman yang penting bagi orang tua mengenai pikiran, keyakinan, dan fokus perhatian anak-anak mereka.

10.  Batasi  pengeluaran atau belanja anak-anak.

Bantu anak-anak mengembangkan rasa menghargai pada hadiah, penghargaan atau reward yang bersifat non-material. Dalam budaya konsumerisme saat ini, anak remaja mudah untuk memercayai bahwa image-menggunakan baju yang “pantas”, mengendarai mobil yang “pantas”, dll-menggambarkan kesuksesan dan kebahagiaan. Orang tua dapat membuat sebuah pernyataan kuat tentang apa yang mereka hargai dengan menunjukkan bagaimana mereka mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dan bagaimana anak-anak mereka menghabiskan dana yang dipercayakan kepadanya.

11.  Diskusikan mengenai liburan dan maknanya.

Milikilah perayaan keluarga dan bangunlah tradisi keluarga. Abraham Lincoln mengamati bahwa dengan berpartisipasi dalam perayaan nasional menyebabkan orang-orang Amerika “merasa lebih terikat satu sama lain, dan terikat lebih kuat pada Negara dimana ia tinggal.” Memperhatikan liburan dan merayakan tradisi keluarga tidak hanya mengembangkan rasa keterikatan dan kekeluargaan dengan orang lain, tetapi hal ini juga menjadi perekat khusus yang mengikat kita bersama-sama sebagai manusia, anggota keluarga, dan warga negara.

12.  Memanfaatkan “saat mendidik”

Gunakan berbagai situasi untuk memicu diskusi keluarga tentang isu-isu penting. Beberapa pendidikan karakter yang paling efektif dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang sedang berlangsung di dalam keluarga. Orang tua dan anak berinteraksi satu sama lain, mereka juga berinteraksi dengan orang lain di luar rumah, tak terhitung situasi yang dapat digunakan untuk mengajarkan pelajaran berharga tentang tanggung jawab, empati, kebaikan, dan belas kasih.

13.  Berikan tanggung jawab pekerjaan rumah untuk seluruh anggota keluarga.

Meskipun seringkali lebih mudah melakukan sendiri tugas-tugas rumah-membersihkan meja, membuang sampah, menaruh piring kotor di mesin cuci piring-daripada menunggu anak-anak kita mengerjakannya, namun kita memiliki kewajiban untuk menolong anak-anak belajar menyeimbangkan kebutuhan dan harapan mereka  terhadap anggota keluarga lain-dan pada akhirnya pada anggota masyarakat lainnya.

14.  Tetapkan ekspektasi untuk anak-anak dan pertahankan agar mereka bertanggung jawab atas tindakannya.

Menentukan batasan yang rasional dan menerapkannya dengan benar akan menjadikan orang tua sebagai pemimpin moral di dalam rumah. Hal ini akan memberikan rasa aman bagi anak dan remaja. Hal ini juga memungkinkan anak-anak tahu bahwa kita peduli pada mereka dan ingin mereka menjadi orang yang memiliki karakter baik.

15.  Jaga anak-anak tetap sibuk dalam kegiatan-kegiatan positif.

Anak-anak dan remaja memililki tingkat energi yang luar biasa, dan tantangannya adalah bagaimana menyalurkan energi tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan positif, seperti olah raga, hobi, musik, seni, atau ke dalam kelompok komunitas gereja atau anak muda, atau kepramukaan. Kegiatan-kegiatan tersebut mempromosikan sikap memperhatikan orang lain, peduli, kerja sama dan juga memberikan anak perasaan berhasil.

16.  Belajar untuk mengatakan TIDAK dan jelaskan mengapa.

Sangat alami bagi anak-anak-khususnya remaja-untuk menguji batasan orang tua dan menantang otoritas orang tua. Terlepas dari protes yang diajukan anak, tindakan kasih sayang terbesar  yang dapat diberikan oleh orang tua adalah dengan selalu bersikap tegas dan melarang keterlibatan anak dalam kegiatan yang berpotensi melukai mereka.

17.  Ketahuilah anak-anak sedang berada dimana, melakukan apa, dan dengan siapa.

Orang dewasa perlu mengkomunikasikan dengan berbagai cara bahwa kita peduli pada anak-anak dan mengharapkan yang terbaik dari mereka, tetapi kita juga menganggap serius tanggung jawab kita untuk membangun standar, memonitor, mendampingi, dan mengawasi mereka. Dengan resiko dianggap “kuno”, bersikeraslah untuk bertemu teman-teman dan orang tua dari teman-teman anak kita.

18.  Jangan menutup-nutupi atau membuat alasan untuk membenarkan perilaku anak yang tidak pantas.

Melindungi anak-anak dan remaja dari konsekuensi logis atas tindakan mereka akan membuat kita gagal mengajarkan mereka tentang tanggung jawab individu. Hal ini juga akan merusak kebiasaan/ budaya sosial dan hukum, karena kita memberi kesan pada mereka bahwa mereka entah bagaimana caranya dapat dibebaskan dari peraturan yang mengatur perilaku orang lain.

19.  Ketahuilah acara televisi, video, dan film apa yang ditonton oleh anak-anak.

Meskipun ada beberapa bahan tontonan yang baik, namun informasi pornografi dan informasi yang penuh dengan kebencian semakin marak dan menjamur, sehingga sangat mudah diperoleh oleh anak remaja kita. Dengan perkataan dan contoh, ajarkan anak-anak kebiasaan bertanggung jawab dalam menonton. Jika kita mengetahui bahwa anak telah menonton sesuatu yang  tidak pantas, berterus teranglah dan bagi perasaan kita mengenai hal itu, kemudian diskusikan mengapa bahan tontonan yang tidak pantas itu menyakiti dan mengganggu nilai-nilai keluarga.

20.  Ingat bahwa kita adalah orang dewasa.

Anak-anak tidak membutuhkan kita sebagai teman lain, tetapi mereka sangat membutuhkan kita sebagai orang tua yang peduli untuk mengatur dan menetapkan batas-batas yang tepat untuk perilaku mereka. Terkadang mengatakan “ayah saya tidak mengijinkan saya” dapat memberikan anak-anak remaja pelarian yang nyaman ketika mereka tidak ingin ikut serta dalam kegiatan yang meragukan.

Adapted from Parents, Kids, & Character by Helen LeGette. – Available from the National Center for Youth Issues or from the Character Development Group. Used by permission.

Sumber: http://charactered.net -IB/ Tim karakter

 

Sepuluh Kesalahan yang Dilakukan Orang Tua Saat Ini

Seorang Psikiatri Paul Bohn berkata:

“Banyak orang tua yang akan melakukan apa saja untuk melindungi anak mereka. Mereka bahkan berusaha untuk melindungi anak-anak dari ketidaknyamanan, kecemasan atau kekecewaan yang ringan atau segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Hasilnya adalah ketika anak-anak tumbuh dewasa dan mengalami kegagalan hidup yang berada pada batas normal, mereka langsung berpikir bahwa ada sesuatu yang sangat salah sedang terjadi.

Saya menemukan bahwa saat ini, banyak orang tua yang lebih berinvestasi dalam kehidupan anak-anak mereka daripada generasi-generasi sebelumnya. Apa yang mungkin kita benarkan sebagai “pola asuh yang benar” dapat melukai anak-anak kita di kemudian hari. Salah satunya adalah ketika kita membuat hidup mereka terlalu mudah. Seperti filosofi pola asuh favorit saya: “Prepare your child for the road, not the road for your child.”

Disini saya akan menguraikan 10 kesalahan yang orang tua sering lakukan saat ini. Tujuan saya adalah untuk membangun kesadaran.

Kesalahan No. 10:

Memuja anak-anak kita. Banyak di antara kita yang hidup dalam komunitas child-centric (anak sebagai pusat). Kita memelihara anak kita di dalam rumah yang child-centric. Anak-anak kita menyukai hal ini, tentu saja, karena kehidupan kita berputar mengelilingi mereka. Sebagian besar dari kita tidak keberatan akan hal itu, karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita juga. Hal ini mendorong kita untuk melakukan sesuatu untuk mereka, membelikan sesuatu untuk mereka, menghujani mereka dengan cinta dan perhatian.

Tetapi, saya berpikir bahwa sangat penting untuk mengingat bahwa anak-anak kita diciptakan untuk dicintai, bukan dipuja. Sehingga ketika kita memperlakukan mereka sebagai pusat dari dunia, kita menciptakan idola palsu. Daripada rumah yang child-centric, kita seharusnya mengusahakan sebuah rumah yang Christ-centric (berpusat pada Kristus). Anak-anak kita tetap dicintai, hanya saja dalam cara yang lebih baik, yang mengutamakan ketidakegosian diatas keegoisan.

Kesalahan No. 9

Percaya bahwa anak-anak kita sempurna. Satu hal yang sering saya dengar dari professional yang bekerja dengan anak-anak (konselor, guru, dll) adalah bahwa orang tua tidak ingin mendengar sesuatu yang negatif mengenai anak-anak mereka. Meskipun hal-hal itu disampaikan atas dasar kasih kepada anak, namun reaksi spontan dari orang tua biasanya adalah menyerang si pemberi pesan.

Kenyataan dapat menyakitkan, tetapi ketika kita mendengar dengan hati dan pikiran yang terbuka, hal itu akan menguntungkan kita. Kita dapat mencegah lebih dini sebelum situasi berkembang di luar kendali. Sangat mudah untuk menghadapi anak bermasalah daripada memperbaiki orang dewasa yang sudah rusak.

Pada saat saya menginterview seorang Psikiater Chrildren’s of Alabama, mengenai depresi pada anak remaja, ia mengatakan bahwa intervensi awal adalah kunci, karena hal itu dapat mengubah lintasan kehidupan anak. Dia mengatakan bahwa hal inilah yang membuatnya menikmati psikiatri anak dan remaja-karena anak-anak lebih elastis, dan lebih mudah untuk mengintervensi secara efektif ketika mereka masih muda, daripada tahun-tahun setelahnya. Ketika masalah berlangsung cukup lama, maka hal itu akan menjadi bagian dari identitas mereka.

Kesalahan No. 8

Hidup mewakili anak-anak kita. Kita orang tua memiliki kebanggaan yang besar terhadap anak-anak kita. Ketika mereka sukses, hal itu membuat kita lebih senang daripada jika kita melakukannya sendiri.

Tetapi ketika anak-anak menjadi eksistensi kita, maka kita mungkin akan melihat mereka sebagai kesempatan kedua. Akhirnya, itu bukan lagi mengenai mereka, tetapi mengenai kita. Inilah dimana kebahagiaan mereka menjadi tercampur aduk dengan kebahagiaan kita.

Kesalahan no. 7

Ingin menjadi BFF (Best Friend Forever) anak kita. Ketika saya bertanya kepada seorang imam untuk menyebutkan kesalahan terbesar yang dia lihat dalam pengasuhan anak, dia berpikir sesaat kemudian berkata, “Orang tua tidak menjadi orang tua. Mereka tidak melangkah untuk melakukan hal-hal yang sulit.”

Sama seperti semua orang, saya ingin anak-anak saya mencintai saya. Saya igin mereka memuji dan menghargai saya. Tetapi, jika saya melakukan tugas sebagai orang tua dengan benar, mereka akan marah dan kadang-kadang tidak menyukai saya. Mereka akan memutar mata mereka, menguap, dan mengerang, dan berharap mereka dilahirkan di keluarga lain.

Berusaha menjadi BFF anak kita hanya akan mengarahkan pada tindakan permisif dan mengakibatkan rasa putus asa karena kita takut kehilangan persetujuan dari anak-anak kita.

Kesalahan no. 6

Terlibat dalam pengasuhan yang kompetitif. Saya mendengar cerita ini kebanyakan dari level SMP dan SMA, cerita mengenai persahabatan yang rusak dan  adanya penghianatan karena satu keluarga melemahkan keluarga lain.

Menurut pendapat saya, akar permasalahannya adalah rasa takut. Kita takut anak-anak kita akan tertinggal di belakang. Kita berusaha mendidik anak mengikuti tren yang ada (mendaftarkan anak untuk mengikuti berbagai kursus/ les sejak usia dini dan memberi anak gadget). Kita takut bila kita tidak melakukan itu nantinya mereka akan memiliki hidup yang biasa-biasa saja.

Saya percaya bahwa anak-anak perlu bekerja keras dan mengerti bahwa mimpi tidak akan datang diatas piring perak, mereka harus berkeringat dan berjuang untuk mendapatkannya.

Karakter mungkin tidak terlihat penting pada masa remaja, namun pada masa dewasa, itu adalah segalanya.

Kesalahan no. 5

Kehilangan kemegahan masa kecil. Membesarkan anak kecil sulit, sebuah pekerjaan yang monoton. Pada saat itu juga sangat melelahkan secara fisik dan emosional. Terkadang kita berharap agar mereka lebih tua untuk membuat hidup kita lebih mudah. Kita juga ingin tahu mereka akan tumbuh seperti siapa. Apa yang menjadi passion mereka? Apakah Tuhan memberikan karunia yang jelas? Sebagai orang tua kita berharap demikian untuk mengetahui kekuatan memelihara mana yang akan memampukan kita untuk mengarahkan mereka pada arah yang jelas.

Untuk masa depan kita bertanya apakah anak-anak kita yang memiliki kepandaian khusus dalam seni akan menjadikan mereka seorang Picasso, atau apakah suara merdu mereka akan membuat mereka seperti Taylor Swift, kita mungkin lupa untuk menyerap kemegahan yang ada di hadapan kita: Anak di piyama berkaki, cerita pengantar tidur, menggelitik perut, dan jeritan gembira. Kita mungkin lupa untuk membiarkan anak kita menjadi anak kecil dan menikmati satu-satunya masa kecil yang diberikan pada mereka.

Bagi mereka, hal ini bukan tentang menjadi produktif, ini tentang keberadaan/ menjadi ada. Ini tentang bermimpi besar dan menikmati kehidupan. Tekanan pada anak-anak dimulai terlalu cepat. Kita perlu melindungi mereka dari tekanan-tekanan itu. Kita perlu untuk membiarkan mereka bersenang-senang dan tumbuh sesuai dengan kecepatan mereka, sehingga: 1. Mereka dapat mengeksplore ketertarikan mereka tanpa takut gagal dan 2. Mereka tidak “burned out”

Masa anak-anak adalah waktu untuk bebas bermain dan menjelajah. Ketika kita memburu-buru mereka melewati masa-masa ini, maka kita akan merampas masa-masa kecil mereka dan mereka tidak tidak akan pernah dapat kembali ke masa itu.

Kesalahan no. 4

Membesarkan anak yang kita inginkan, bukan anak yang kita miliki. Sebagai orang tua, kita memiliki mimpi untuk anak-anak kita. Hal itu bermula ketika kita hamil, sebelum jenis kelaminnya diketahui. Diam-diam kita berharap agar anak kita menjadi seperti kita, namun lebih pintar dan lebih bertalenta.

Tetapi ironinya adalah, anak-anak kita mengikuti cetakan kita dengan cara yang terbalik. Mereka keluar dari jalur dengan cara yang tidak dapat kita antisipasi. Tugas kita adalah mencari tahu sifat mereka, tunduk pada ketetapan Allah, dan melatih mereka pada ketetapan Allah. Memaksakan mimpi kita pada mereka tidak akan berhasil. Hanya ketika kita melihat mereka sebagaimana adanya merekalah yang dapat membuat kita dapat berdampak kuat dalam kehidupan mereka.

Kesalahan no. 3

Lupa bahwa tindakan kita berbicara lebih keras daripada kata-kata kita. Saya ingin memenuhi anak-anak saya dengan kebijaksanaan, tetapi apa yang saya lupakan adalah bagaimana contoh-contoh yang saya perlihatkan membayangi kata-kata saya.

Bagaimana saya menghadapi penolakan dan penderitaan… bagaimana saya memperlakukan teman dan orang asing… apakah saya mengomeli atau membangun ayah mereka… mereka memperhatikan seluruh hal-hal ini. Cara saya merespon memberikan mereka ijin untuk bertindak dan melakukan hal yang sama.

Jika saya ingin anak-anak saya menjadi luar biasa, saya harus memiliki tujuan yang luar biasa juga. Ketika saya ingin anak saya memiliki kualitas tertentu, maka saya harus terlebih dahulu memiliki kualitas tersebut. Dengan begitu saya dapat menjadi contoh bagi mereka, tidak sekedar menyuruh mereka menaati perkataan saya.

Kesalahan no. 2

Menghakimi orang tua lain-dan anak-anak mereka. Tidak menjadi masalah seberapa tidak setujunya kita dengan pola asuh seseorang, bukan menjadi bagian kita untuk menghakimi mereka. Tidak satu orang pun di dunia ini yang “seluruhnya benar” atau “seluruhnya salah”, kita semua memiliki keduanya.

Kesalahan no. 1

Meremehkan karakter. Banyak orangtua tidak fokus dalam mengembangkan karakter anak dan bahkan menganggap karakter sebagai hal yang tidak penting. Tapi bagi saya satu hal yang saya harapkan benar dalam diri anak saya adalah karakter sebagai inti hidup mereka. Karakter inilah yang akan meletakkan dasar untuk bahagia, dan masa depan yang sehat. Hal-hal ini lebih penting dari pada semua nilai, rapor, dan penghargaan yang pernah mereka terima.

Tidak seorangpun dari kita dapat memaksa anak kita untuk memiliki karakter tertentu. Hal ini karena bagi anak-anak usia 10 atau 15 tahun, karakter tidak akan berarti banyak. Mereka cenderung lebih peduli pada penghargaan secara langsung yang diberikan pada saat itu juga (short-term gratification). Namun, kita tahu bahwa apa yang akan terjadi pada usia 25, 30, dan 40 bukanlah seberapa jauh mereka dapat melempar bola, atau apakah mereka menjadi cheerleader, tetapi bagaimana mereka memperlakukan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri. Jika kita ingin agar mereka membangun karakter, kepercayaan diri, kekuatan, dan kegembiraan, kita butuh untuk membiarkan mereka menghadapi kesengsaraan dan mengalami kebanggaan yang mengikuti ketika mereka menjadi lebih kuat di sisi lain.

Sulit untuk melihat anak-anak kita jatuh, tetapi kadang-kadang kita harus. Kadang kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah intervensi adalah cara terbaik untuk mereka. Ada ribuan cara untuk mengasihi anak, tetapi dalam pencarian kita untuk membuat mereka senang, mari kita menyadari bahwa terkadang dibutuhkan rasa sakit jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang.

Kari Kubiszyn Kampakis.

Sumber: http://www.viacharacterblog.org/

 

Inkonsistensi dalam Parenting: Apakah Berbahaya?

Mendidik dan membesarkan anak adalah panggilan dan tanggung jawab orang tua, sebagai pihak yang diberikan kepercayaan oleh Tuhan. Walau begitu, di zaman sekarang, semakin banyak para ibu yang memutuskan untuk mengambil peran sebagai pencari nafkah untuk membantu keuangan keluarga. Kondisi ini memunculkan isu baru: kalau begitu, siapakah yang akan mengasuh anak ketika kedua orang tuanya bekerja di luar rumah?

Para orang tua bekerja ini tentu membutuhkan bantuan pihak ketiga untuk menjaga anak mereka. Berbagai pilihan bisa diambil, mulai dari mempekerjakan suster atau asisten rumah tangga, menitipkan ke daycare, atau menitipkan ke keluarga. Yang terakhir ini pada umumnya pihak-pihak yang dianggap dekat dengan keluarga inti, misalnya tante, om, atau kakek dan nenek.

Menitipkan anak kepada kakek dan nenek menjadi opsi paling menarik karena selain masih dalam lingkup keluarga, kakek dan nenek dianggap sudah pernah mengurus anak sebelumnya. Namun, ada hal yang harus diingat. Ketika orang tua menitipkan anak kepada kakek dan nenek, mereka harus memahami bahwa akan ada nilai-nilai yang berbeda dan hal tersebut bisa saja memunculkan kebingungan pada anak.

Mari kita ambil contoh. Misalnya, peraturan mengenai jam tidur siang. Bagi orang tua, anak wajib tidur siang agar tubuhnya lebih fit di sore hari dan bisa melakukan aktivitas lainnya dengan lebih bersemangat. Sementara itu, kakek dan nenek tidak tega untuk meminta cucu mereka tidur siang ketika masih asyik bermain.

Adanya nilai yang berbeda ini akan menimbulkan perbedaan gaya parenting. Terjadilah inkonsistensi. Pihak A berkata 1, pihak B berkata 2. Anak pun akan mulai kebingungan. Jika kondisi ini tidak segera ditangani, akan memengaruhi pertumbuhan emosionalnya yang mengarah kepada rasa frustrasi. Lalu, apa dampak dari kebingungan yang dialami anak ini?

  • Emosi anak menjadi tidak stabil. Dia akan merasakan banyak kemarahan karena melihat bahwa lingkungannya “tidak nyaman”. Anak usia dini, khususnya, sangat memerlukan kenyamanan. Dengan melakukan aktivitasnya secara konsisten dan teratur, anak lebih mudah menerima kondisinya dan menyadari ekspektasi-ekspektasi yang diberikan kepadanya. Ketika anak berada di lingkungan yang membuatnya dapat memprediksikan kondisinya, dia akan memiliki perilaku yang positif.
  • Tidak bonding dengan orang tua. Ketika anak melihat bahwa kakek dan neneknya secara konsisten membelanya (selalu berseberangan dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan oleh orang tuanya), anak akan melihat bahwa orang tuanya adalah pihak yang “jahat”, yang membuat mereka kesulitan untuk dekat dengan orang tuanya.
  • Merasa bersalah akan konflik yang terjadi. Ketika ada perbedaan nilai, ada beberapa orang tua yang akhirnya mengonfrontasi kakek dan nenek. Hal ini berujung pada pertengkaran. Jika anak menyaksikan ini, akan muncul perasaan bersalah di dalam dirinya karena menjadi penyebab orang tuanya tidak akur dengan kakek dan neneknya.
  • Sulit mengenal diri dan identitas dirinya lemah. Ketika anak berhasil mendapatkan nilai 6 di mata pelajaran yang tidak dikuasainya, dia mendapatkan pujian dari orang tuanya karena sudah bekerja keras untuk mendapatkan nilai cukup. Sementara itu, bagi kakek dan nenek, nilai itu masih jauh dari cukup. Dia didorong untuk mendapatkan nilai lebih. Pengalaman ini yang terjadi di sepanjang hidupnya akan membuatnya kesulitan mengambil sikap.
  • Mengalami kecemasan dan sulit mengatasi masalah di masa dewasa. Anak dengan pola asuh ganda akan kesulitan memutuskan sesuatu yang baik baginya. Selama hidupnya, dia melihat ada dua nilai berbeda. Ketika dia berada di kondisi harus mengatasi masalahnya sendiri, dia akan cemas karena ragu bahwa dirinya bisa mengambil keputusan yang tepat.
  • Munculnya agresi dan kekerasan. Dalam kasus-kasus ekstrem, beberapa anak yang mengalami pola asuh yang tidak konsisten dapat membuatnya menjadi kriminal di masa depan. Tindakan kekerasan dilakukan karena dia tidak pernah merasa nyaman dengan lingkungan dan dirinya.

Jika saat ini Anda sedang mengalami masalah serupa, segera ambil tindakan dengan memberikan batasan-batasan. Perjelas bahwa aturan dan nilai-nilai Andalah yang harus diajarkan kepada anak.
Jika Anda ingin tahu lebih lanjut perihal inkonsistensi dalam mengasuh anak dan sedang mencari solusi untuk meminimalisasi intervensi pihak ketiga, Anda dapat menyaksikan program Athalia on Parenting edisi 18 Juli 2020 bertajuk “Pihak Ketiga Tidak Tega: Bisakah Kita Menyela?”. Silakan klik link ini https://www.youtube.com/watch?v=ZRaKNWTTLz8 untuk menonton webinar tersebut. (DLN)


CPR (Coordinating Parent Relation)

CPR atau Coordinating Parent Relation merupakan wadah komunikasi  antara Sekolah dan orangtua siswa, meliputi:

  1. Membantu menjelaskan prinsip-prinsip umum Sekolah Athalia.
  2. Menampung dan menyalurkan pertanyaan, kritik, saran, peneguhan dari orangtua ke pihak sekolah.

Berikut data masing-masing koordinator CPR untuk masing-masing level:

Batita dan Pra TK

CPR TK A: Junaria, Jasmine

Apple-1: Nofita

Apple-2: Meilina

Grape-1: Ercia Tjong

Grape-2: Bunga Theresia Purba

TK A

CPR TK A: Junaria, Jasmine

TK A 1: Lusia

TK A 2: Irene

TK A 3: Atria

TK A 4: Safitri

TK A 5: Erny

TK B

CPR TK B: Tirza, Diana

TK B 1: Yulia, Yuliana Pangamenan

TK B 2: Poppy

TK B 3: Dian Wesiana

TK B 4: Yustite

TK B 5: Anastasia

SD 1

CPR SD 1: Cynthia, Trisna, Olivia

SD 1 A: Sinsi, Ovie

SD 1 B: Fenny Tjong

SD 1 D: Dina

SD 1 H: Maggie

SD 1 N: Mariska

SD 2

CPR SD 2: Erika Kristianingrum, Bertha Suria Utami

SD 2 M: Cicilia Christine

SD 3

CPR SD 3: Dianna, Natalia

SD 3 M: Sella, Lia

SD 3 T: Wiwied

SD 3 W: Maria, Vita

SD 3 Y: Lucy

SD 4

CPR SD 4: Ingrid Novasuli, Hanny Roslani

SD 4 C: Yenny Anggraeni, Leony Soekarta

SD 4 E: Christiana Chandrasari, Herawati

SD 4 G: Irene Castelia, Kitfong (Kikit)

SD 4 M: Veronika Setyawati B., Jenny Susanti

SD 5

CPR SD 5: Ravina, A. Dyah Anggraheni

SD 5 H: Sayuri

SD 5 L: Friska Mindo Saida

SD 5 N: Yuniati Triatningsih

SD 5 V: Hanny Lesmana

SD 6

CPR SD 6: Sumiatul Khirom (Upik), Meiliani

SD 6 H: Hwie Djing

SD 6 S: Agustina Lim

SD 6 W: Yenni

SD 6 Y: Dorisma

SMP Kelas 7

CPR SMP 7: Anna M. Cieputri, Clara C. Suryaatmadja

SMP 7 DB: Theresia Yin, Lieke

SMP 7 DS: Nicolaus Septhino, Yohana

SMP 7 E: Basaria Girsang, Issabel Widjaja

SMP 7 F: Yevi, Peggy Melati

SMP 7 L: Merry Mariany Lengkey, Lisa Sukiran

SMP Kelas 8

CPR SMP 8: Lianawati, Indira Ayu Yendra Puteri

SMP 8 B: Lasmaria Debby Siahaan

SMP 8 D: Lanny Dewi Joeliani

SMP 8 JM: Suryani

SMP 8 JT: Yanny Kusumawaty

SMP 8 N: Yulianti (Yanti)

SMP Kelas 9

CPR SMP 9: Novie Christanty, Gracely Fanita

SMP 9 E: Poppy, Mery Silalahi

SMP 9 F: Christine, Fifi Julianti

SMP 9 H: Laura Andaria, Linda Eryawijaya

SMP 9 R: Laeny

SMP 9 W: Selvi, Andriani Yuwana (Ria)

SMA Kelas 10

CPR SMA 10: Sianny, Odry Agustin

SMA 10 MIPA-1: Eva, Shirley

SMA 10 MIPA-2: Susi

SMA 10 MIPA-3: Dina, Liena

SMA 10 IIS-1: Naniek, Novi

SMA 10 IIS-2: Tinah

SMA Kelas 11

CPR SMA 11: Vera Ngangi, Joice Tanto

SMA 11 MIPA-1: Meilita Kitting, Elly Waluyo

SMA 11 MIPA-2: Ina Santi, Sintche Oei

SMA 11 IIS-1: Yuli Hoei, Pingkan

SMA 11 IIS-2: Daisy, Norsiana L. Nitbani

SMA Kelas 12

CPR SMA 12: Anna Yanuar, Novita Adam

SMA 12 MIPA-1: Silvi

SMA 12 MIPA-2: Meichen

SMA 12 MIPA-3: Olive

SMA 12 IIS-1: Anastasia

SMA 12 IIS-2: Puji

Pojok Parenting: Menangkap “Golden Moment”

Orang tua menjadi lingkaran terkecil dalam kehidupan anak yang paling memberikan dampak dalam pembentukan karakter dan perilakunya di kemudian hari. Oleh karena itu, usia-usia krusial, yaitu 0–5 tahun menjadi begitu penting dan dapat digunakan orang tua untuk mengajari anak berbagai keterampilan hidup.

Saat di rumah bersama anak seperti sekarang ini dapat dijadikan momentum untuk memberikan sebanyak mungkin ajaran tentang kehidupan. Khususnya untuk anak usia dini, orang tua dapat memanfaatkan masa-masa ini untuk memberikan teladan dan mengajari anak tentang kebaikan dan keburukan.

Mungkin Anda sering tidak sabar dengan polah anak yang sering menumpahkan air minum, membuat rumah berantakan, sulit diatur dan diberitahu, mengajak saudaranya berkelahi, dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi tersebut memang menguras emosi dan tenaga, apalagi jika Anda tak memiliki asisten rumah tangga di rumah. Namun, ayolah, kita renungkan kembali: apa yang bisa kita petik dari momen tersebut? Jangan biarkan momen tersebut berlalu begitu saja dan berakhir dengan Anda memarahi anak tanpa memberikannya pelajaran berharga. Apa yang harus anak lakukan saat menumpahkan air minumnya dan membuat rumah berantakan? Konsekuensi apa yang harus dihadapi anak saat tidak taat kepada orang tua dan mengusili saudaranya?

Ubah “momen melelahkan” tersebut menjadi “golden moment”. Jadikan momen tersebut gerbang masuk untuk Anda mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Daripada fokus dengan kejengkelan karena anak menumpahkan minumannya berkali-kali, Anda dapat menjadikan momen ini sebagai pembelajaran bagi anak untuk belajar tanggung jawab. Ajak anak untuk bersihkan tumpahan air minumnya. Ajari anak untuk menjadi pribadi yang lebih hati-hati. Rengkuh momen ini secepat mungkin.
Begitu juga ketika anak terus-menerus membantah dan tak mau mendengarkan orang tua. Apa yang harus anak pelajari tentang ketaatan? Ketika anak mengganggu saudaranya, apa yang dapat dia pelajari tentang mengasihi dan menghormati saudaranya? Orang tua memang memikul tugas besar untuk membentuk karakter anak dan dari momen-momen seperti inilah—hal yang terjadi secara nyata—Anda bisa mengajarkan tentang karakter.

Anak-anak usia dini adalah pembelajar ulung, tetapi mereka juga jiwa-jiwa yang sangat membutuhkan bimbingan langkah per langkah. Syukuri segala hal yang terjadi di rumah dan berikan respons yang dapat “membangun” karakter anak sekaligus mempererat relasi antaranggota keluarga. [DLN]

Siasat Cermat Dampingi Anak Belajar di Rumah

Tiga bulan sudah anak-anak belajar di rumah, berinteraksi dengan guru-guru mereka secara virtual, baik melalui video-video, video call, maupun Google Classroom. Orang tua menjadi pihak yang paling berperan dalam pembelajaran sekolah anak belakangan ini. Dengan bimbingan dan panduan orang tua, anak dapat melanjutkan proses belajar dengan berbagai materi yang tersedia di rumah.

Banyak yang mengakui bahwa menemani anak belajar di rumah menjadi tantangan tersendiri, khususnya anak usia TK dan SD yang membutuhkan pendampingan penuh. Apakah ada trik khusus dalam mendampingi anak belajar tanpa hambatan berarti?

Ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk menyiasati kondisi “panas” saat mendampingi anak belajar.

Pahami kondisi saat ini
Untuk dapat memahami sesuatu, Anda harus menerimanya secara sadar. Saat ini, kondisi memang sedang tidak ideal untuk siapa pun: untuk Anda yang harus mendampingi anak belajar di sela-sela kesibukan bekerja dan mengurus rumah tangga, untuk anak yang tak dapat bertatap muka dengan gurunya, juga untuk para guru yang harus menyiapkan materi belajar di rumah.

Anda tak perlu meminta anak untuk menjadi ideal. Maklumilah jika anak belum memahami materi walau Anda sudah mengulangnya, pahami jika anak meminta istirahat sebentar setelah mengerjakan beberapa soal.

Ketika Anda menyadari kondisi dan kemampuan anak, Anda akan menjalani hari-hari dengan lebih santai.

Ciptakan suasana nyaman
Suasana apa yang membuat anak merasa nyaman melakukan sesuatu? Tentu saja suasana santai, “cair”, dan penuh sukacita! Bagaimana Anda dapat berharap anak mampu mengikuti instruksi dan belajar sesuatu jika dia berada di dalam suasana yang tidak menyenangkan, menegangkan, dan terus-menerus diomeli? Justru situasi ini rentan membuat anak stres dan enggan belajar lagi di kemudian hari.

Ciptakan suasana nyaman agar anak “ketagihan” belajar bersama Anda dan menunggu-nunggu momen belajar tiap harinya.

Suasana positif
Banyak orang tua yang berfokus pada progres yang besar dan tak menganggap progres kecil. Seberapa pun kecilnya, progres tetaplah sebuah kemajuan. Jangan lupa untuk terus memuji anak ketika dia berhasil menyelesaikan satu atau dua soal atau berhasil menghafal rumus. Berikan semangat dan afirmasi positif agar semangatnya terjaga terus sampai sesi belajar berakhir.

Hindari memaksa anak untuk belajar terus-menerus. Ketika suasana sudah mulai terasa negatif, Anda dapat menghentikan sesi belajar sejenak dan menggantinya dengan melakukan hal-hal menyenangkan untuk mengembalikan mood Anda dan anak. Anda bisa mengajak anak untuk belajar kembali ketika suasana sudah kembali positif.

Sesuaikan dengan jadwal di rumah
Tidak apa-apa jika anak belajar tidak sesuai jadwal sekolah. Untuk anak yang lebih kecil, orang tua harus pintar menangkap momen. Ajak anak beraktivitas saat mood-nya sedang baik dan dia sedang bersemangat untuk melakukan aktivitas sekolah. Jadi, tidak masalah jika anak memang belum mau diajak “sekolah” pada pagi hari. Anda dapat mencobanya saat siang atau sore hari.

Hindari mengajak anak belajar saat sedang lapar, mengantuk, atau saat suasana hatinya sedang tidak baik. Ini justru akan semakin membuat anak rewel, marah, dan Anda pun akan ikut-ikutan frustrasi.

Sementara itu, untuk anak yang lebih besar, tidak ada salahnya Anda memberikan keleluasaan untuk anak memilih waktu belajarnya sendiri. Tentu saja Anda tetap harus memberikan batasan waktu kepada anak agar tidak belajar hingga larut malam. Tugas Anda adalah mengawasi aktivitas belajar anak dan mengajarinya bijak dalam mengatur waktu.

Penuhi “tangki emosi” Anda
Sebagai pendamping anak, Anda pun harus memastikan suasana hati sedang baik saat menemani anak belajar. Jika mood Anda sedang tidak baik, emosi Anda akan lebih mudah terpancing. Jika sudah begini, suasana belajar pun akan tidak menyenangkan. Output yang diharapkan pun tak tercapai.

Persiapkan diri sebelum menemani anak belajar. Pilih waktu-waktu tenang agar kedua belah pihak menjalani sesi ini dengan suasana hati dan semangat yang sama.

Tetap terapkan disiplin
Walau anak belajar di rumah, bukan berarti dia bisa melakukan banyak hal sekehendaknya. Anda tetap harus memberikan batasan-batasan. Misalnya, anak tetap harus bangun pagi—untuk membiasakannya ketika nanti kembali masuk sekolah, sarapan sesuai jamnya, dan lain sebagainya. Anda bisa memberikan jadwal, misalnya memberikan rentang waktu untuk anak belajar (yang dapat dia pilih sendiri), misalnya, pukul 10–12, 14–16, 20–22, atau waktu-waktu lain untuk anak yang usianya lebih kecil.

Momen mendampingi anak belajar di rumah menjadi momen langka yang belum tentu terulang lagi ke depannya. Jadi, berikan kenangan baik untuk anak mengingat bahwa ada masanya orang tua mereka menjadi guru yang asyik selama mereka belajar di rumah. [DLN]


Mengajarkan Anak Mengucapkan Kalimat Bijak

Oleh: Florensia Nasution, Orang tua siswa

Salah satu lagu anak TK A tentang ketaatan terus terngiang di telinga saya. Bahkan, saya sering menyanyikannya jika sedang berusaha membujuk anak saya melakukan sesuatu yang dia tidak suka.

Ketika sedang mendidik anak untuk taat, saya membaca buku Say Goodbye to Whining, Complaining, Bad Attitudes in You and Your Kids versi bahasa Inggris. Wah, ternyata, sebagai orang tua, saya harus terlebih dahulu mengubah diri sebelum menuntut anak. Memang benar yang dikatakan Bu Charlotte saat seminar parenting SD semester lalu, “Menghargai anak bukan dari apa yang dia capai, tapi dari karakter, value, dan sikap anak sehari-hari.” Mari kita kupas buku ini bersama-sama.

Ketaatan adalah melakukan langsung apa yang diminta seseorang, tanpa harus diingatkan.” Tuhan tahu jelas apa yang Dia kehendaki dalam memberikan dua perintah dalam Efesus 6:1-4: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. Ketika anak membangun ketaatan, mereka berusaha melakukan sesuatu tanpa diingatkan. Mereka belajar untuk memilih apa saja yang mereka perlu kerjakan, mengikuti aturan, dan menyelesaikan pekerjaan tanpa diawasi. Mereka akan belajar bertanggung jawab, kerelaan untuk melayani, dan setia dalam melakukan hal baik.

Menghormati ternyata termasuk keterampilan tersembunyi dalam ketaatan. Ternyata, ketika anak bisa mempunyai perilaku baik, melakukan sesuatu lebih dari yang diharapkan, kepekaan melihat apa saja yang dibutuhkan, melakukan sesuatu tanpa instruksi, mendukung seseorang dan memberikan kontribusi, mereka telah berhasil menumbuhkan rasa hormat kepada orang lain. Alangkah bangga bisa mempunyai anak yang mempunyai sifat-sifat tersebut.

Jika anak-anakmu hendak terbang lurus, ajar mereka tentang ketaatan. Jika anak-anakmu hendak terbang tinggi, ajar mereka untuk menghormati. Ketaatan dan rasa hormat memegang peranan penting. Tantangan biasanya terjadi ketika anak tidak mau taat dalam melakukan rutinitas sehari-hari. Biasanya, mereka akan merengek dan mengeluh. Buku ini mengajarkan cara komunikasi untuk meminta izin, membuat permintaan, dan mendapatkan izin dengan terhormat. Orang tua bisa melatih anak berkomunikasi sejak usia batita untuk menggunakan kalimat bijak berikut untuk bernegosiasi.

Saya mengerti papa/mama mau saya melakukan ini … untuk …

Saya punya masalah dengan perintah ini karena …

Bisakah saya … ?

Biarkan anak mengisi titik-titik tersebut. Anak berusia muda biasanya tidak tahu alasan di balik instruksi dari orang tuanya. Mereka pun tak punya pilihan selain tunduk dan mengikutinya. Nah, cara di atas merupakan bagian dari kunci bijak untuk mendorong anak bertanya jika mereka tidak mengerti tentang hal yang harus mereka lakukan.

Buku ini memberikan banyak contoh kasus nyata. Misalnya, ketika Ibu Joanne mengajari anaknya, Timothy, usia 4 tahun, tentang kalimat bijak ini. Timothy sedang bermain di halaman belakang rumah dan Ibu Joanne memanggilnya masuk ke rumah. Timothy menghampiri ibunya dan berkata, “Aku mengerti Ibu memintaku masuk ke dalam rumah, tapi aku masih mau bermain di luar. Bisakah aku bermain sebentar lagi?” Timothy mengerti ide dari kalimat bijak ini. Dia menyampaikan masalahnya daripada mengeluh atau berteriak.

Kalimat bijak ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi bisa menjadi cara berkomunikasi yang efektif untuk mereka di masa depan. Anak jadi tidak merasa komunikasi dengan orang tua merupakan sebuah tantangan. Cara ini juga membantu mereka untuk lebih menghormati orang tua. Ada kalanya anak bertanya sebelum mereka menaati sesuatu, saatnya orang tua memberi batasan, “Taat terlebih dahulu, nanti kita bicarakan mengapa harus melakukan ini semua.”

Hal menarik dari kehidupan keluarga adalah orang tua harus berubah dahulu sebelum membantu anak untuk berubah. Jika kita sebagai orang tua ingin membantu anak berhenti merengek/mengeluh, sebagai orang tua juga kita perlu menyesuaikan diri dan merespons dengan tepat ketika anak merengek/mengeluh.

Investasi terbesar yang bisa disiapkan orang tua bukan hanya melalui uang, tetapi rasa hormat. Pastinya dibutuhkan ketekunan, kegigihan, dan kreativitas agar anak bisa belajar tentang hal ini.

Anak Saya Ternyata Mengidap Nomofobia…

“Bu… anak saya kalau sampai rumah, langsung masuk kamar, dan sibuk sama ponselnya. Dia sampai sering telat makan dan tidur karena hal itu. Bahkan, dia pernah seharian nggak mau bicara karena ponselnya rusak, kecemplung di toilet. Apa yang harus saya lakukan, ya?”

Perilaku seperti di atas tidak dialami oleh satu-dua anak. Semakin banyak anak yang menunjukkan kecenderungan terlalu lekat dengan ponsel mereka. Waktu mereka pun dihabiskan untuk berkelana di dunia maya. Ketika mereka berada di kondisi tak bisa mengakses ponsel, mereka menjadi marah, cemas, dan bingung. Gambarannya seperti orang yang sedang sakau.

Kondisi tersebut dikenal dengan “nomofobia”, yang menurut The National Center for Biotechnology Information AS, yaitu sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kondisi psikologis seseorang yang punya ketakutan atau kecemasan ketika “terputus” dari ponselnya. Kondisi ini berkaitan erat dengan kecanduan gadget, yang sudah dikategorikan sebagai adiksi klinis. Perbedaanya, hingga saat ini, nomofobia belum dimasukkan ke dalam DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) edisi ke-5.

Nomofobia disebabkan oleh kecemasan yang sudah ada sebelumnya pada diri anak. Biasanya, berkaitan erat dengan image diri, self security, dan relasi dengan keluarga. Berikut beberapa hal yang bisa menyebabkan seorang anak mengalami nomofobia.

  • Tidak percaya diri. Anak-anak yang punya citra diri yang rendah tak mampu menghadapi dunia nyatanya sehingga dia mencari kenyamanan di dunia maya (misalnya, mencari teman baru di dunia maya). Hal ini biasanya dialami anak-anak yang memiliki kemampuan sosial yang rendah, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak introvert. Anak-anak ini nyaman dengan dunia barunya sehingga akan begitu terganggu jika terputus dari dunia tersebut.
  • Kecemasan sosial. Dikenal juga dengan istilah “FOMO” (Fear of Missing Out). Anak-anak ini merasa cemas ketika mereka ketinggalan update terbaru di media sosial. Mereka ingin menjadi orang pertama yang mengetahui update terkini. Ketidakmampuan mengakses berita terbaru bisa membuat orang merasa cemas, takut dianggap tidak up to date.
  • Kekosongan. Ketika anak merasa kesepian, dia menemukan ponsel sebagai penghibur hati. Hal ini mengingatkan kita pada teori kelekatan, di mana seorang anak akan bergantung pada sosok/benda yang membuatnya nyaman. Ketika hanya ponsel yang membuatnya nyaman, tentu dia akan terganggu ketika ia tidak bisa mengakses ponselnya.

Di Sekolah Athalia sendiri, menurut survei kecil-kecilan yang dilakukan oleh para konselor dan guru agama oleh siswa SMP dan SMA pada 2019 lalu, beberapa anak secara sadar mengetahui bahwa mereka mengalami nomofobia. Anda bisa melihatnya pada gambar berikut.

Hasil di atas, kita sadar bahwa ada lebih dari 35 persen siswa SMA dan 28 persen siswa SMP mengaku mereka mengalami kecemasan jika jauh dari ponselnya. Jumlah yang memang tidak besar, tetapi tetap harus kita tangani sesegera mungkin.

Orang tua harus membantu!

Sebagai orang tua, apa yang bisa kita lakukan? Anak dengan nomofobia biasanya memang mengalami ketergantungan pada ponselnya (adiksi). Nah, memarahi anak dan mempersalahkan adiksinya justru akan semakin menciptakan jurang besar. Anda bisa membantu anak menghilangkan ketergantungannya pada gadget dengan cara-cara berikut:

  • Mengalihkan perhatian. Mengajak anak untuk keluar makan bersama atau beraktivitas bersama untuk membuatnya lupa sejenak dengan ponselnya, misalnya rekreasi ke taman hiburan.
  • Menyodorkan hobi baru. Perhatikan minat dan bakat anak, kemudian dukung dia untuk mendalaminya. Buatlah dia sibuk dengan hal-hal yang disukainya.
  • Lakukan interaksi intens. Anak-anak yang kecanduan gadget mungkin saja merasa kesepian di rumah. Saatnya menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengobrol dengan anak.
  • Terapi. Jika anak sudah dalam tahap kecanduan gadget sampai mengganggu rutinitas hariannya, Anda bisa mengajaknya untuk konsultasi ke psikolog agar nomofobia-nya bisa ditangani dengan tepat. Dukung anak dalam menjalani terapinya dengan memberikan contoh terlebih dahulu mengenai cara bijak menggunakan gadget.

Kiranya kita diberi hikmat dalam mendampingi anak-anak. [DLN]


Anak (Bukanlah) Sumber Kebanggaan!

Beberapa orang tua dikumpulkan. Masing-masing ditanyai: “Berapa nilai anak Anda?”

Ada yang menilai anaknya 6, 7, 8. Namun, tak ada yang merasa anaknya pantas mendapatkan nilai 10. Alasannya, beragam. Ada yang karena susah makan, tidak suka sayur, cengeng, jorok, tidak mau mendengarkan orang tua, dan lain sebagainya. Tanpa sadar, kita menilai anak bukan karena dirinya, tetapi karena harapan-harapan kita terhadap mereka tak terpenuhi.

Ketika anak kita lahir ke dunia, Tuhan sudah menetapkan rencana-Nya atas anak kita. Pada perkembangannya, anak kita akan menunjukkan kelebihan dan kelemahannya. Ada anak yang sangat aktif dan kerap bergerak ke sana-kemari. Ada anak yang lebih suka duduk tenang berjam-jam membaca buku favoritnya. Ada anak yang selalu ingin tahu dan memegang barang apa pun yang menarik perhatiannya. Anak-anak ini memiliki keunikannya sendiri, yang sudah “dilukiskan” Tuhan sesuai rencana-Nya untuk tiap anak.

Inilah yang sering dilupakan oleh orang tua. Sejak anak di dalam kandungan, orang tua mulai membangun harapan-harapan. Ketika anak lahir dan bertumbuh, harapan orang tua semakin besar. Pencapaian anak harus sesuai standar orang tua. Prestasi anak menjadi kebanggaan orang tua. Lalu, bagaimana jika anak tak pernah mencapai prestasi? Apakah orang tuanya akan tetap bangga kepadanya?

Dalam seminar parenting yang diadakan untuk orang tua siswa Athalia kelas kecil (1–3), Ibu Charlotte kembali menegaskan bahwa orang tua boleh memiliki ekspektasi, tetapi harus sesuai dengan kemampuan anak. Orang tua perlu memahami bahwa sangat perlu menerima anak apa adanya, bukan ada apanya. Sangat perlu mengetahui potensi anak dan mengembangkan potensi-potensi tersebut, dan menerima dengan lapang dada segala kelemahan-kelemahan anak.

Kebanggaan kepada anak sudah selayaknya ada di hati tiap orang tua, bagaimana pun kondisi anak kita. Layaknya kasih yang kita berikan adalah kasih yang tanpa syara agar dalam perjalanan hidupnya, anak bisa jujur kepada diri sendiri dan tumbuh menjadi seorang dewasa yang memiliki jati diri yang kuat. (dln)

“Kasih atau Kasihan?”

Tema di atas menjadi pilihan kami ketika kami melihat fenomena adanya penurunan daya juang pada anak-anak zaman now. Kenyamanan hidup yang mereka rasanya membuat mereka tak lagi merasakan keterdesakan untuk “bertahan” dalam situasi sulit. Mereka cenderung pasif, pasrah, dan mudah putus asa.

Sebagai orang tua, kita kerap berpikir bahwa kita harus memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Ketika kita pernah mengalami kesulitan hidup di masa lalu, kita merasa bahwa itu adalah hal yang menyedihkan dan tidak ingin anak kita mengalami apa yang pernah kita alami. Berbagai cara kita lakukan untuk membahagiakan anak. Segala fasilitas kita sediakan. Anak kita pun tumbuh dengan segala kenyamanan, di tengah sangkar emas yang sudah kita bangun dengan bilur-bilur keringat kita.

Apakah hal ini salah? Tentu setiap orang tua ingin anaknya merasakan kenyamanan. Namun, jangan lupakan bahwa anak kita, saat mereka terjun ke dunia yang sebenarnya, pasti akan mengalami sandungan-sandungan, akan mengalami kekecewaan, akan mengalami kejatuhan. Saat anak dewasa nanti dan mengalami kondisi-kondisi ini, mungkin kita sudah tak lagi bisa mendampinginya setiap saat.

Mengasihi anak yang sebenarnya berarti memberikan segala yang mereka butuhkan untuk menghadapi hidup ke depan. Mengasihi anak berarti membentuk mereka untuk menjadi individu-individu tangguh yang sanggup berdiri tegak di tengah berbagai ujian hidup. Dan daya juang itu merupakan skill yang harus dimiliki oleh anak-anak kita dalam menjalani masa depannya.

Lalu, bagaimana cara untuk membuat anak-anak kita memiliki daya juang dan mampu berdiri di atas kakinya kelak? Kita perlu berani melakukan beberapa hal yang mungkin akan sangat bertentangan dengan hati kita, tetapi dampaknya akan sangat bermanfaat bagi anak.

  • Berani menanggung risiko. Untuk membuat anak-anak kita mandiri, kita perlu melepaskan mereka sedikit demi sedikit dan berani menanggung risiko jika dalam proses pembelajaran tersebut, anak akan mengalami sandungan dan rintangan. Misalnya, membiarkan anak berlatih sepeda roda dua. Saat belajar, risiko jatuh pasti sangat besar. Sebagai orang tua, kita perlu menyadari bahwa hal tersebut merupakan hal yang wajar terjadi pada anak yang sedang belajar. Jadi, biarkan anak terjatuh satu, dua, hingga sepuluh kali. Berikan dukungan bahwa ketika dia sudah lancar mengendarai sepeda, dia tidak akan lagi merasakan sakit akibat tergores aspal, dan lain sebagainya.
  • Berani direpotkan. Untuk mengajari anak, tentunya kita akan kerepotan. Misalnya, mengajari seorang bayi untuk makan sendiri. Kita tentu akan kerepotan setelahnya membersihkan remahan makanan yang mungkin tak hanya menempel di tubuh si anak, tetapi juga di lantai, kursi, meja, dan alat makan lain. Namun, ketika kita sudah berkomitmen untuk membiasakan anak makan sendiri sejak dini—yang juga sangat bermanfaat untuk perkembangan motoriknya, kita harus rela untuk lebih repot dan susah demi perkembangan si anak.
  • Berani malu. Untuk mengajarkan anak bangkit dan memiliki daya juang lebih besar, terkadang orang tua harus membiarkan anak mengalami kegagalan. Bagaimana jika si anak terancam tidak naik kelas? Apakah kita harus membiarkannya? Sebagai orang tua, tentu kita harus terus mendukung anak untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Namun, ketika memang hasil akhirnya tak juga bisa membuatnya naik kelas, orang tua harus lapang dada menerima hal tersebut. Ingatlah, di sini yang sedang belajar adalah anak sehingga kita perlu menekan ego serendah-rendahnya dan membiarkan anak mengalami kegagalan dan menanggung konsekuensinya.

Jadi, mana yang baik: mengasihani atau mengasihi? Pity atau compassion? Ada banyak peristiwa sehari-hari yang bisa kita jadikan bahan pembelajaran bagi anak tentang konsekuensi. Dari kejadian-kejadian tersebut anak juga bisa belajar tentang problem solving. Ketika seorang anak menguasai keterampilan memecahkan masalah, dia akan menjadi anak yang lebih mandiri, mampu menjadi solusi dari hambatan yang dihadapinya, dan mampu mengintrospeksi diri untuk tidak mengulangi kesalahannya. (dln)

*tulisan ini disarikan dari materi Seminar Parenting SD Kelas 4-6 Sekolah Athalia dengan tema “Kasih atau Kasihan?”