TAAT

Setiap Bulan April, maka umat Kristen di seluruh dunia akan mempersiapkan dirinya untuk memperingati hari Paskah. Beberapa rangkaian ibadah dan kegiatan dilakukan beberapa minggu menjelang hari Paskah dan pada hari Paskah itu sendiri. Misalnya, Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, Perjamuan Kudus, pengakuan dosa, baksos, jalan sehat, games, perlombaan, dll. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berlalunya hari Paskah, seringkali yang tertinggal di dalam diri kita hanyalah serangkaian memori mengenai kegiatan-kegiatan tersebut dan ucapan syukur karena dosa-dosa kita telah ditebus. Pada kenyataannya, Paskah juga berbicara mengenai ketaatan. Ketaatan Yesus dalam rencana keselamatan dan ketaatan manusia sebagai umat yang telah diselamatkan.

Apakah taat itu? Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan yang umum, dan rata-rata akan dijawab seperti ini: Taat adalah kemampuan untuk patuh menjalankan perintah. Jawaban tersebut tidaklah salah, namun juga tidak 100% benar. Taat bukanlah suatu kemampuan. Keberhasilan untuk taat tidak didasari oleh kekuatan atau kemampuan seseorang.

Yosua, sebagai penerus Musa untuk memimpin Bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, sempat mengalami kebimbangan. Rupanya Yosua kaget bahwa dirinya dipilih untuk memimpin Bangsa Israel. Melihat Bangsa Israel yang bebal dan pelbagai perang sengit melawan musuh yang kuat, membuat Yosua gentar. Kemudian Musa berkata kepadanya “…kuatkan dan teguhkanlah hatimu…” (Yosua 1:6,7). Dari nasihat Musa ini, Yosua menjadi tahu, bahwa itu artinya dia tidak boleh berpaling dari perintah untuk memimpin Bangsa Israel. Dia harus tunduk pada perintah itu. Apapun rintangannya, Yosua harus menyelesaikan perintah Allah. Yosua mulai belajar mengenai ketaatan.

Taat atau tidak taat akan terlihat ketika seseorang berada di dalam situasi yang sulit. Tidak mudah mengatakan bahwa orang itu taat, bila dia berada di dalam situasi yang baik-baik saja. Ketaatan akan terlihat ketika seseorang diuji masuk dalam kebimbangan, kebingungan, ketakutan, atau perasaan-perasaan lainnya yang cenderung mendorong untuk lari dari perintah yang seharusnya dikerjakan.

Taat adalah sikap dan tindakan memusatkan perhatian serta mengusahakan untuk tetap sesuai dengan perintah yang diberikan untuk mencapai tujuan. Allah tidak hanya memberikan perintah-Nya, tetapi juga memberikan kunci atau cara yang tepat agar perintah tersebut berhasil dikerjakan. Untuk dapat taat, Alkitab mengajarkan agar kita merenungkan kebenaran Allah siang dan malam  (Yosua 1:8).

Manusia tidak bisa taat hanya dengan mengandalkan kekuatan diri sendiri, karena akan berhadapan dengan berbagai cobaan/rayuan. Bersama Allah, ketaatan akan membuahkan hasil. Karena Allah, yang tidak pernah berubah itu, Dia-lah yang akan mendampingi kita untuk memerangi cobaan atau rayuan si jahat.

Kisah ketaatan juga bisa kita lihat saat Yesus bergumul di Taman Getsemani (Matius 26:36-46). Yesus pada saat itu sebagai manusia mengalami ketakutan yang luar biasa, ketika Dia harus menghadapi saat penyaliban. Yesus dengan jujur mengatakan ketakutan-Nya, tetapi pada saat yang sama Dia juga berkata bahwa sekalipun berat, biarlah kehendak Bapa yang terjadi. “Ya Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” Yesus mau bertindak sebagai pribadi yang taat.

Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa Yesus tetap menjalankan proses penyaliban itu tanpa mengeluh sepatah kata pun. Yesus mau memikul salib yang berat dan menyakitkan itu, untuk menebus dosa manusia. Ketaatan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa di dalam taat membutuhkan pengorbanan dan penundukan diri. Ketika kita mau taat, maka kita juga harus mau menanggung resiko akibat ketaatan tersebut. Ketaatan selalu berhadapan dengan godaan. Kita sebagai manusia pasti tidak kuat menanggung godaan tersebut.

Bersyukurlah bila kita bisa memanggil nama yang ajaib itu, yaitu: Yesus. Yesus sudah membuktikan bahwa Dia adalah pribadi yang taat. Rintangan yang begitu hebat, bahkan maut yang menghadang, ternyata tidak bisa menghancurkan ketaatan-Nya. Maka, bila kita ingin taat menyelesaikan suatu perintah, janganlah ditanggung sendiri. Mintalahlah Yesus mendampingi diri kita. Karena kita akan digandeng-Nya melewati perjalanan ketaatan itu hingga tuntas. Taat bersama Yesus, pasti membuahkan kemenangan.

Meskipun peringatan Paskah baru saja kita lewati, namun demikian biarlah semangat Paskah terus menyala dalam kehidupan kita. Karena, melalui Paskah kita akan selalu diingatkan tentang ketaatan yang sejati.

BD/Tim Karakter

Hari Kunjung Perpustakaan 2014

Selasa, 16 September 2014 adalah hari yang spesial bagi para siswa dan guru yang berkunjung ke perpustakaan SD maupun SMP/SMA. Ketika memasuki ruang perpustakaan SMP/SMA kita akan langsung melihat perubahan pada warna cat dinding yang tadinya berwarna abu-abu menjadi hijau cerah. Begitu pula halnya dengan langit-langit perpustakaan. Mata kita akan segera tertuju pada foto-foto, gambar, dan paper quilling yang terangkai dengan indahnya menghiasi langit-langit. Pertanyaan pun muncul di benak kita. Ada apa dengan perpustakaan hari ini?
siswa di perpustakaan
Ternyata perpustakaan SD, SMP/SMA sedang memperingati hari berdirinya Perpustakaan Nasional pada 14 September 2014. Hal inilah yang mendasari dimulainya Hari Kunjung Perpustakaan 2014 ini. Meski begitu, hari kunjungan ini juga dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan minat baca para siswa. Ruang perpustakaan yang terlihat cerah didekorasi dengan menarik agar para siswa tertarik untuk  membaca buku di perpustakaan.

Sebagian besar foto-foto, gambar, dan paper quilling yang mewarnai perpustakaan sebenarnya adalah hasil karya dari para siswa sendiri. Semuanya dipasang sebagai penghargaan atas kerja keras mereka dalam mengikuti lomba Hari Buku Sedunia di bulan Juni lalu. Para siswa, guru, dan staf yang mengunjungi perpustakaan hari ini ternyata juga mendapat kejutan berupa hadiah snack dan pembatas buku. Masing-masing kemudian diminta untuk membubuhkan tanda tangan di sebuah spanduk besar dan menuliskan kesan serta harapan mereka bagi perpustakaan. Para murid juga terlihat antusias untuk menuliskan tanda tangan dan menerima souvenir dari staf perpustakaan.
siswa di perpustakaan
Semua hal ini dilakukan untuk membuat para murid tertarik kembali ke perpustakaan karena sampai saat ini belum banyak yang menyadari keberadaan perpustakaan. Bu Hana sendiri selaku koordinator perpustakaan mengatakan, “Sampai saat ini masih belum banyak yang tahu ada Hari Kunjung Perpustakaan, maka melalui kegiatan seperti ini juga kami ingin mengenalkan perpustakaan dan menunjukkan keberadaan perpustakaan ini sendiri.” Tak hanya itu Bu Hana juga ingin menyadarkan pentingnya perpustakaan dan memohon kerja sama dari para guru, “Kami berharap semakin banyak orang yang paham fungsinya dan merasakan pentingnya keberadaan perpustakaan. Kerjasama antara perpustakaan dengan guru-guru sangat diperlukan, apalagi murid SMA tidak memiliki jam perpustakaan, semua bisa terjadi berkat kerja sama dari para guru.”

“Kerjasama antara perpustakaan dengan guru-guru sangat diperlukan,..”

Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai kegiatan yang mendukung telah direncanakan oleh staf perpustakaan. Pada bulan bahasa di bulan Oktober, perpustakaan akan mengadakan kegiatan bedah buku dan pameran. Kemudian pada Hari Pers Nasional, perpustakaan berencana untuk membuat kegiatan membaca koran bersama dan mendatangkan jurnalis untuk membagikan pengalamannya pada siswa.

siswa di perpustakaanMemang masih ada banyak hal yang harus dilakukan dan dibutuhkan kerja keras dari para staf perpustakaan. Namun, semua kerja keras itu tidak akan sia-sia, “Semua kerja keras kita  terbayar ketika melihat siswa dan guru serta staf punya kesadaran dari dalam dirinya untuk datang berkunjung ke perpustakaan,” kata Bu Hana.

Jadi, sudahkah Anda berkunjung ke perpustakaan hari ini?

(LDS)

Peresmian Gedung F

Gedung F Sekolah Athalia telah selesai dibangun, peresmian dan dedikasinya telah dilaksanakan pada tanggal 1 September 2014. Gedung ini dipergunakan sebagai lobby utama Sekolah Athalia sekaligus sebagai tempat belajar untuk siswa-siswi SMA Athalia.

 

Gedung F Sekolah Athalia

 

 

 

 

Tanggung Jawab; Panggilan atau Kewajiban

Tanggung Jawab

“Kami tidak bertanggung jawab atau berkewajiban atas setiap klaim, kerusakan, atau kerugian…”
“… Perhatikan barang bawaan Anda, kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan…”
“Anda bertanggung jawab untuk menjaga barang bawaan Anda…”
“… kerusakan menjadi tanggung jawab Anda…”
Inilah beberapa kalimat yang sering kita dengar atau baca pada saat kita berada di suatu tempat, pada saat menaiki transportasi umum, atau pada saat kita menggunakan suatu jasa. Mengapa banyak orang yang lari, menghindari atau saling melempar tanggung jawab? Pertanyaan ini dapat kita jawab dengan memahami apa itu tanggung jawab.

 

Tanggung: panggilan atau kewajiban

Tanggung jawab dapat dipandang sebagai panggilan atau kewajiban. Ketika kita memandang tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan melihatnya sebagai anugerah, hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada kita. Karena anugerah adalah pemberian. Mengapa dikatakan sebagai anugerah dan hak istimewa? Karena pada dasarnya kita bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Kita sebenarnya tidak layak dan tidak mampu mengerjakan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Mengapa demikian? Karena kita adalah ciptaan Tuhan sehingga segala sesuatu yang kita miliki bukanlah kepunyaan kita sendiri tetapi kepunyaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan pada kita. Jadi ketika kita tidak layak dan tidak mampu, siapa yang memampukan dan melayakkan kita? Hanya Tuhan. Tuhan yang berotoritas memanggil kita, membuat kita mau dan mampu mengerjakan tanggung jawab tersebut. Tuhan yang berotoritas memanggil dan memberikan tanggung jawab dan Tuhan yang memampukan kita dalam mengerjakannya.

Sebaliknya, pada saat kita memandang tanggung jawab sebagai kewajiban, maka kita akan melihatnya sebagai suatu beban. Ketika tanggung jawab dipandang sebagai beban, maka akan muncul tuntutan. Kita merasa dituntut untuk melakukan sesuatu sehingga kita tidak akan melakukan pekerjaan kita dengan sukacita dan rela hati, tetapi dengan keterpaksaan.

 

Tanggung jawab: Berkat atau Beban

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan melihat tanggung jawab sebagai berkat. Kita akan merasa berharga dan dihargai ketika diberikan tanggung jawab dan akan melakukannya dengan sukacita. Kita akan mendekat, mencari, mengingini dan memiliki kerinduan untuk melakukan tanggung jawab tersebut, bukan menghindarinya. Misalnya, mengingini berada di rumah agar dapat melayani anak dan suami, mengingini suatu tugas yang memberikan kesempatan kepada kita untuk dapat berinteraksi dan melayani siswa untuk memenuhi panggilan dan kerinduan hati kita sebagai guru atau staff, dll.

Namun, ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban maka kita akan melihat tanggung jawab sebagai beban, sehingga tidak akan ada sukacita di dalam hati pada saat melakukannya. Hal ini akan menyebabkan munculnya keluhan, rasa tidak puas dan rasa kecewa yang membuat kita cenderung menghindari tanggung jawab tersebut. Misalnya, menyalahkan anak atas nilai-nilai buruk yang ia miliki dan tidak pernah merasa puas atas gaji suami atau nilai anak, menghindari tugas tambahan untuk mengurus dan memperhatikan siswa, dll.

 

Sikap ketika diberikan tanggung jawab

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan bersyukur dan melakukan yang terbaik pada saat dipanggil untuk suatu tanggung jawab. Kita juga akan setia dalam menjalani setiap proses dari panggilan tanggung jawab tersebut. Meskipun proses tersebut mengharuskan kita untuk melakukan hal-hal kecil, sederhana, sepele atau rendah menurut pandangan dunia. Karena kita tidak akan pernah bisa setia pada perkara besar jika kita tidak setia pada perkara yang kecil. “Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar (Lukas 16:10). Kita akan tetap setia menjalani proses tersebut sebagai bentuk ucapan syukur pada Tuhan atas panggilan yang diberikan-Nya pada kita.

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban, maka kita akan menuntut imbalan pada saat diberikan tanggung jawab. Pada saat diberikan tanggung jawab maka kita akan selalu bertanya “Apa yang akan saya dapatkan dari tanggung jawab ini?” Kita akan menimbang-nimbang apakah tanggung jawab tersebut akan menghasilkan imbalan yang menguntungkan bagi kita atau tidak. Ketika menguntungkan maka kita cenderung akan mengerjakannya dengan maksimal, sebaliknya ketika tidak menguntungkan maka kita akan mengerjakannya dengan berat hati dan berkeluh kesah. Misalnya, menuntut kenaikan gaji ketika kita diberikan sedikit tambahan pekerjaan diluar apa yang tertulis di dalam perjanjian kerja, dll. Dan pada saat kita tidak mendapatkan apa yang kita tuntut, maka kita akan menjadi kecewa, diperlakukan tidak adil atau dirugikan.

 

Relasi yang terbentuk dalam tanggung jawab

Relasi yang terbentuk pada saat kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan dan anugerah adalah relasi “si pemberi dan si penerima”. Gambaran relasinya adalah seperti aliran air yang terus mengalir, dimana apa yang sudah diberikan oleh si pemberi akan diteruskan oleh si penerima kepada penerima lain dan seterusnya. Bukan relasi timbal balik dimana si penerima akan membalas atau membayar apa yang telah diberikan oleh si pemberi kepadanya. Kita mengasihi orang lain karena sudah dikasihi oleh Tuhan, memberi kepada orang lain karena sudah diberi oleh Tuhan, mengampuni orang lain karena sudah diampuni oleh Tuhan. Di dalam relasi “si pemberi dan si penerima”, si pemberi tidak akan pernah mengharapkan balasan dari si penerima, karena siapakah yang sanggup membalas kasih Tuhan? Siapa yang sanggup memberi kepada Tuhan? Siapa yang dapat mengampuni Tuhan, apakah Tuhan pernah salah?.

Selain relasi “si pemberi dan si penerima”, maka relasi lain yang terbentuk adalah “being”. Karena telah menjadi istri, maka harus melayani suami. Karena telah menjadi karyawan maka sudah seharusnya bekerja dengan sungguh-sungguh. Pada saat “being”, maka kita tidak akan membandingkan diri dengan orang lain karena kita sadar sepenuhnya bahwa kita mau dan mampu hanya karena Tuhan. Sehingga tidak akan ada perasaan iri atau tidak adil di dalam hati kita. Misalnya, tidak akan merasa diperlakukan tidak adil karena orang lain yang lebih malas memiliki gaji yang lebih besar, istri tidak akan marah kepada suami meskipun ia telah bekerja keras membereskan rumah dan suami tidak mau membantu, dll.

Relasi yang terbentuk pada saat kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban adalah relasi timbal balik, relasi tuntutan, sehingga akan selalu ada kata “seharusnya”. Karena saya sudah menjadi ibu kamu, seharusnya kamu menuruti kata-kata Ibu, karena saya sudah bekerja keras, maka seharusnya saya diberikan kenaikan gaji, karena saya sudah menjadi istri yang baik, maka seharusnya kamu mengasihi saya, dll.

 

Motivasi dalam melakukan tanggung jawab

Pada saat tanggung jawab dipandang sebagai panggilan yang adalah anugerah, maka motivasi dalam melakukan tanggung jawab adalah ungkapan syukur, “giving”. Penerima tanggung jawab akan selalu berusaha memberi yang terbaik dalam mengerjakan tanggung jawab atas dasar ungkapan syukur kepada Tuhan. Misalnya, ketika guru mendapatkan anak yang memiliki masalah perilaku perilaku di kelasnya, maka ia tidak akan merasa sial. Namun ia tetap bersyukur dan akan mau memberi perhatiannya untuk membantu siswa tersebut. Dan pada saat ia belum berhasil, maka ia tidak akan menyalahkan dirinya atau siswa melainkan terus berusaha dan mencari cara-cara lain yang dapat ia lakukan untuk membantu siswa tersebut.

Jika tanggung jawab dipandang sebagai kewajiban, maka motivasi dalam melakukan tanggung jawab adalah ingin mendapatkan sesuatu, “taking”. Kualitas dari pengerjaan tanggung jawab akan di dasarkan pada seberapa banyak yang akan ia dapatkan. Pada saat penerima tanggung jawab melakukan yang terbaik, ia melakukannya untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkannya, apakah itu imbalan atau pujian dari orang lain. Misalnya melakukan yang terbaik dalam pelayanan agar mendapatkan berkat dari Tuhan, melakukan yang terbaik dalam pekerjaan agar mendapatkan promosi, dll.

 

Respon terhadap hasil dari pelaksanaan tanggung jawab

Ketika tanggung jawab dipandang sebagai panggilan, maka kita menyadari bahwa pemilik tanggung jawab itu adalah Tuhan dan kita hanyalah orang yang dipanggil untuk ambil bagian dalam pengerjaannya. Dengan demikian, maka kita akan dengan sadar mengakui bahwa bagian terbesar dalam pengerjaan tanggung jawab adalah Tuhan sedangkan bagian kita sangat kecil sekali dan itupun berada di dalam bagian Tuhan. Mengapa? Karena hanya Tuhanlah yang membuat kita mampu untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Sehingga pada saat tanggung jawab yang kita kerjakan membuahkan hasil, maka kita akan dengan sadar mengembalikan hasil tersebut untuk Tuhan, terlepas dari apakah hasilnya berhasil atau gagal, menang atau kalah. Semuanya adalah milik Tuhan dan hanya untuk Tuhan saja. Dengan demikian, hasil dari pengerjaan tanggung jawab yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan diri sendiri, tetapi dikaitkan bagi Tuhan, kepada Tuhan, dari Tuhan, dan oleh Tuhan.

Jadi, apakah kita boleh bangga atau kecewa? Pada saat tanggung jawab yang kita kerjakan berhasil, kita tidak boleh bangga untuk diri sendiri tetapi bangga untuk Tuhan. Kita tidak boleh mengklaim apa yang seharusnya menjadi milik Tuhan. Demikian juga sebaliknya, pada saat kita gagal mengerjakan tanggung jawab, kita tidak boleh kecewa, menyesali diri atau menyalahkan Tuhan tetapi justru melihat apa yang menjadi rencana Tuhan lewat kegagalan yang kita alami. Hal ini akan membuat kita tidak berorientasi pada hasil, tetapi pada proses. Misalnya, pada saat gaji kita masih kecil, maka kita tidak melihatnya sebagai hasil tetapi sebagai proses apa yang Tuhan inginkan melalui kejadian ini, pada saat memiliki anak autis, maka kita tidak melihatnya sebagai hasil; “Mengapa anakku seperti ini?”, tetapi sebagai proses; “Apa rencana Tuhan pada anak ini?”.

Ketika tanggung jawab sipandang sebagai kewajiban, maka orientasi kita selalu pada hasil, bukan proses. Misalnya, saya harus menang agar tidak menjadi malu. Kita juga akan menganggap bahwa kitalah yang memiliki bagian yang terbesar dari pengerjaan tanggung jawab tersebut, sedangkan Tuhan hanya memililki bagian yang sangat kecil atau tidak memiliki bagian sama sekali. Sehingga ketika tanggung jawab tersebut membuahkan hasil, maka kita akan mengklaim hasil tersebut untuk diri sendiri. Jika hasilnya adalah suatu keberhasilan atau kemenangan, maka kita akan merasa bangga atau menjadi sombong. Sebaliknya, ketika hasilnya adalah suatu kegagalan, kekalahan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan atau target yang telah kita tentukan, maka kita akan merawa kecewa, menyalahkan diri sendiri, merasa bersalah, dll. Misalnya, kita akan berkata paduan suara ini menjadi bagus karena saya yang melatihnya, proyek ini berhasil karena saya telah bekerja keras, nilai saya jelek karena saya anak yang bodoh, dll.

Tanggung jawab, panggilan atau kewajiban? Semuanya kembali lagi pada diri kita masing-masing memandangnya sebagai apa. Tetapi sebagai seorang Kristen yang telah ditebus oleh Tuhan, sudah seharusnya kita memandangnya sebagai panggilan yang merupakan anugerah dan berkat untuk kita. Hal ini dengan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:36). Biarlah pandangan yang baru membawa kita pada motivasi, sikap dan respon yang benar terhadap tanggung jawab. Sehingga kita akan meresponi setiap tanggung jawab yang diberikan kepada kita dengan ucapan syukur serta mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan dengan hati yang bersuka cita, hanya untuk Tuhan dan bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun pujian dari manusia. “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23). Dan biarlah setiap hasil yang kita peroleh dengan penuh kesadaran selalu kita kembalikan hanya bagi kemuliaan Tuhan saja.

(Charlotte Priatna)

 

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

 

 

Pengendalian Diri

self control

“Sesudah itu dibasuhnyalah mukanya dan ia tampil ke luar. Ia menahan hatinya dan berkata: “Hidangkanlah makanan.”” (Kejadian 43:31). Narasi yang pendek ini mengisahkan tentang Yusuf, yang saat itu sedang dilanda emosi yang begitu hebat tatkala dia yakin bahwa yang berada dihadapannya adalah saudara-saudaranya. Kasihnya kepada Benyamin, adik yang seibu dengan dia, membuat luapan emosinya menggelagak tak tertahankan. Tangis hebat tumpah di dalam kamarnya. Yusuf digambarkan seperti seseorang yang sedang terkejut bahwa kerinduan bertemu dengan saudara-saudaranya terwujud tanpa disangkanya.

Gambaran luapan emosi Yusuf memang hanya digambarkan dalam 2 ayat saja, yaitu ayat 30 yang menceritakan luapan emosi Yusuf, dan ayat 31 yang menggambarkan emosinya mulai dikendalikan. Sekalipun demikian, kedua ayat tersebut perlu kita lihat sebagai suatu hal yang luarbiasa. Betapa tidak, perpisahan Yusuf dengan saudara-sadaranya telah berlangsung selama 2 dekade (+/- 20 tahun). Perpisahan yang tidak sebentar, terlebih perpisahan tersebut terjadi dalam suasana yang penuh dengan amarah dan benci. Yusuf menjadi korban amarah saudara-saudaranya, bahkan Yusuf adalah korban pembunuhan terencana. Apabila kita menempatkan diri sebagai Yusuf, yaitu sebagai seorang korban amarah dan benci tanpa alasan yang jelas, bukan tidak mungkin di dalam hati kita akan tersusun rencana yang lebih rapi untuk membalas dendam. Simulasi tersebut bukanlah suatu hal hal yang aneh. Dendam dibayar dengan dendam, benci dibayar dengan benci. Dunia mengajarkan norma seperti itu. Namun, bagaimana dengan dendam dibalas dengan kasih?

Pengendalian diri adalah ungkapan kasih. Demikianlah Firman Tuhan menyatakan hal itu melalui kisah sejati Yusuf. Cara Yusuf mengendalikan diri cukup dituliskan melalui 1 ayat saja (ayat 31).  Luapan emosi Yusuf juga digambarkan tidak berlebihan, secukupnya. Manusia yang normal pasti membutuhkan luapan emosi, menyatakan perasaan yang paling dalam. Alkitab menegaskan bahwa Yusuf yang sudah mengenal Tuhan, dan mengerti benar bahwa hidupnya berada di bawah kuasa kasih Tuhan. Sehingga, kasih Tuhan yang sudah dia rasakan harus dikembalikan kepada orang-orang disekelilingnya. Yusuf mau taat pada konsep tersebut, yaitu apa yang sudah Tuhan berikan pada dirinya harus dibagikan dan dikembalikan sebagai sikap yang benar kepada sesamanya.

Kasih tidak dapat diungkapkan dalam suasana hati yang emosional.  Pengendalian diri menolong kita untuk tidak terjebak berada di luar kasih. Apabila Yusuf mau untuk tidak mengendalikan dirinya, maka bisa saja semua saudaranya dikurung dalam penjara yang gelap. Yang pasti, bila hal itu dilakukan oleh Yusuf, maka dia tidak bisa menerima kehangatan keluarganya lagi. Bahkan, mungkin saja Yusuf akan mati merana oleh karena dicengkram rasa benci.  Pengendalian diri menolong dan memberikan Yusuf  rasa damai untuk kembali menikmati kehangatan keluarga yang dicintainya. Pengendalian diri memberikan keuntungan yang berlimpah.

Suatu kesia-siaan apabila kita mengatakan bahwa kita adalah orang percaya, tetapi tidak  berusaha mengendalikan diri untuk tetap bisa mempertahankan wujud kasih Tuhan dalam kehidupan kita kepada sesama.

            BD/ Tim Karakter

Gadis Pejuang Iman

Athalia Student Territory

Sumi San lahir dalam sebuah keluarga yang miskin. Hutang mengharuskan ayahnya mendekam beberapa lama di dalam penjara. Pada saat ayahnya keluar dari penjara, sang ayah memutuskan untuk bekerja ke kota. Karena pekerjaan di kota pasti akan sangat sibuk, maka ayahnya mengajak Sumi untuk ikut serta dengannya untuk mengurusi kebutuhannya. Sifat Sumi yang sangat rajin, telaten dan mandiri, menjadi pertimbangan. Ayah Sumi yakin, Sumi pasti akan dapat menolong dan merawatnya dengan baik.

Akhirnya Sumi dan ayahnya menyewa sebuah tempat di kota untuk mereka jadikan tempat tinggal. Suatu hari ayah Sumi membawa seorang temannya yang bernama Shigeru. Shigeru akan tinggal serumah dengan mereka agar biaya sewa dapat dibagi dua. Ayah Sumi berharap uang hasil bekerja dapat ia tabung lebih banyak sehingga hutang-hutang keluarganya dapat segera lunas. Awalnya semua berjalan dengan lancar, sampai suatu hari ketika Sumi dan ayahnya berencana untuk kembali ke kampung halaman mereka di Funo, Shigeru meminta Sumi untuk tinggal bersamanya di kota. Ternyata selama ini Shigeru sudah menaruh hati pada Sumi San. Namun pada saat permintaannya ditolak oleh Sumi, maka Shigeru menjadi marah dan menodai Sumi. Rasa sedih yang mendalam dialami oleh Sumi San, namun ia tidak mau menceritakan apa yang ia alami kepada orang tuanya karena ia khawatir akan membuat mereka cemas. Sumi San yang pergi ke kota dengan wajah gembira kini pulang ke kampung halaman dengan wajah yang sedih.

Setelah tinggal beberapa lama di Funo, kesedihan Sumi akhirnya sirna, hal ini disebabkan karena ia menyukai kehidupan di Funo dan terlebih  lagi karena ia dapat berkenalan dan menjadi dekat dengan salah seorang pemuda bernama Katzuo.

Keadaan ekonomi keluarga yang sangat sulit akhirnya memaksa Sumi untuk pergi ke Kobe dan bekerja sebagai tukang tenun sambil melanjutkan sekolahnya di malam hari. Sumi bekerja dan belajar dengan sangat rajin, hingga akhirnya kesibukannya yang sangat padat membuatnya terkena bronchitis dan beri-beri. Ia dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan dan terpaksa kembali ke kampung halaman karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan baginya untuk bekerja kembali.

Setelah kondisi kesehatan Sumi membaik, Sumi memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya ke Hirosima. Ia mengambil jurusan juru rawat. Akhirnya Sumi dapat menyelesaikan pendidikannya dan bekerja sebagai juru rawat pada sebuah rumah sakit. Namun sebuah kabar menyedihkan datang dari kampung halamannya. Sumi mendapat berita bahwa ibunya meninggal dan ia harus segera pulang ke Funo.

Kesedihan mendalam kembali menghampirinya, selain karena kematian Ibunya juga karena ia harus meninggalkan pekerjaannya sebagai juru rawat. Ia harus tinggal di Funo untuk mengurus rumah tangga. Sebagai anak tertua Sumi sadar bahwa beban itu harus ia pikul. Keputusan ini sungguh bukan hal yang mudah bagi Sumi. Namun, ia dan ayahnya yakin bahwa mereka dapat mengatasi kesulitan yang sedang terjadi dan segalanya pasti akan kembali normal dengan bantuan dewa Hotoke San. Sumi dan keluarganya adalah penganut agama Budha. Prinsip hidupnya didasarkan pada ajaran tersebut, yaitu bahwa “hidup hanyalah soal nasib semata, biarpun manusia dapat berbuat sesuatu untuk meringankan beban hidupnya”. Sumi dibesarkan dalam ajaran ini dan ia menyerahkan hidupnya pada nasib. Ia berusaha untuk mencari jalan keluar dari masalah yang terjadi dalam hidupnya dan berharap mudah-mudahan nasib baik akan menghampirinya pada masa yang akan datang.

Di samping mengurus rumah tangga, Sumi juga terus memperdalam pengetahuan keperawatannya. Ia berharap suatu hari nanti dapat bekerja pada sebuah distrik dengan penghasilan yang jauh lebih besar daripada penghasilan di rumah sakit. Nasib baik nampaknya berpihak pada Sumi, ia diterima sebagai perawat di Badan Kesehatan Distrik di bagian timur Kobe.

Suatu hari, Sumi mendapat tugas baru. Ia ditugaskan merawat Machan, putra tunggal keluarga Komatsu yang menderita bisul pada kakinya. Tugas tesebut mengharuskannya untuk datang setiap hari ke rumah Machan. Kedatangan Sumi selalu disambut gembira oleh Machan, mereka berdua benar-benar telah menjadi sahabat. Namun secara diam-diam, Komatsu, ayah Machan, menaruh perhatian khusus kepada Sumi dan ia memikirkan segala cara untuk mendapatkan Sumi. Sumi mengetahui hal tersebut, dan karenanya ia berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan Komatsu, mengingat Komatsu sudah memiliki istri. Sumi akhirnya pindah ke Tokyo.

Namun tanpa ia sangka keberadaannya di Tokyo diketahui oleh Komatsu dan Komatsu sengaja datang ke Tokyo untuk menemuinya dan untuk memaksanya menikah dengan Jiro. Jiro adalah adik Komatsu.

Sumi sama sekali tidak dapat menolak paksaan Komatsu untuk menikah dengan Jiro adiknya. Tanpa sepengetahuan Sumi, Komatsu telah mendatangi ayah Sumi dan meminta agar Sumi dinikahkan dengan Jiro. Komatsu berjanji kepada ayah Sumi bahwa ia akan membantu keluarga Sumi melunasi hutang. Perjodohan adalah hal yang biasa pada waktu itu. Karena tidak memiliki pilihan, akhirnya Sumi setuju pada rencana perjodohan itu. Ia tahu bahwa keputusannya itu akan membuatnya kehilangan orang yang ia cintai yaitu Kazuo dan harus hidup dekat oleh bayang-bayang Komatsu.

               Ternyata Jiro bukanlah pria baik-baik. Jiro selalu menghabiskan sepanjang malam dengan minuman keras dan wanita. Sumi tinggal sendirian di rumah, rasa sepi mulai menghampirinya dan ia bertekad untuk mengakhiri penderitaannya dengan bunuh diri. Namun, pikiran tersebut segera dibuangnya jauh-jauh ketika ia mengingat hutang ayahnya yang belum lunas.

Keinginan dan niat Komatsu untuk menikahkan Sumi dengan Jiro pada dasarnya tidaklah baik. Tujuan utamanya bukanlah untuk membahagiakan Sumi ataupun adiknya Jiro, namun hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Komatsu ingin agar Sumi dapat tinggal dekat dengannya sehingga ia dapat menjalankan rencana jahatnya pada Sumi. Kesempatan itu akhirnya tiba. Pada saat Jiro tidak ada di rumah, maka Komatsu menyelinap masuk ke kamar sumi dan ingin menodainya. Untunglah teriakan dan jeritan minta tolong Sumi didengar oleh kakak Komatsu yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Kakak Komatsu akhirnya menyelamatkannya dan membawanya ke sebuah rumah dekat pantai yang ditinggali oleh seorang janda bernama Yamada.

Sumi San akhirnya tinggal dengan Yamada beberapa bulan dengan hati yang penuh kebencian kepada Komatsu. Karena perasaan benci yang sangat besar, akhirnya suatu malam Sumi menjalankan suatu ritual yang biasa dilakukan oleh orang Jepang untuk melampiaskan kebencian pada seseorang. Beberapa bulan kemudian, Sumi San mendapat informasi bahwa Komatsu menjadi gila dan meninggal di rumah sakit. Seiring dengan kematian Komatsu, akhirnya Sumi pulang ke rumahnya.

Pada saat Sumi tinggal di rumah Yamada, ia pernah dikenalkan dengan seorang yang bernama Koide. Koide adalah seorang Kristen. Koide menceritakan mengenai kasih Tuhan kepada Sumi San, namun Sumi tidak dapat percaya bahwa Tuhan mengasihinya setelah begitu banyak penderitaan yang dialaminya.

Pada saat Sumi sudah kembali ke rumahnya, rasa sepi kembali menghampirinya. Suatu saat Koide mengajaknya untuk menghadiri kebaktian Kristen. Sumi pada dasarnya tidak tertarik untuk ikut, namun ia akhirnya memutuskan untuk ikut karena ia tidak mau tinggal sendirian di rumah dan kesepian. Akhirnya Sumi selalu menghadiri kebaktian tersebut, namun ia tetap tidak mau percaya kepada Tuhan. Baginya Tuhan itu harus dapat dilihat dan dibuktikan keberadaannya. Tuhan itu harus dapat diterima oleh akal pikiran.

Suatu hari Pendeta Honda dan Koide mengajak sumi untuk berdoa, pada saat itulah Sumi merasakan perubahan dalam dirinya. Akal logikanya mulai pudar dan dia mulai percaya kepada Tuhan. Ia tetap tidak melihat Tuhan, namun ia merasakan bahwa Tuhan itu benar-benar nyata. Perubahan didalam diri Sumi berlangsung dengan perlahan tapi pasti. Ia yakin bahwa dirinya adalah milik Kristus.

Dua tahun kemudian terjadi perang pasifik. Rumah Sumi tak luput dari keganasan perang tersebut. Semuanya hancur terkena Bom. Ia dan suaminya Jiro akhirnya memutuskan untuk pulang ke Funo, kampung halamannya. Di tengah perjalanan menuju Funo, Jiro pergi begitu saja meninggalkan Sumi. Pada saat yang sama seorang pria menyapa Sumi dan begitu ia tahu bahwa sumi adalah seorang perawat, maka ia menawari pekerjaan kepada Sumi sebagai perawat di desa Sawadani. Begitulah akhirnya Sumi kembali bekerja, namun kali ini ia bekerja dengan cara yang berbeda. Sumi menjalani hidupnya dengan rasa bahagia dan selalu melayani pasiennya dengan penuh kesabaran. Tak jarang juga Sumi menceritakan mengenai Tuhan Yesus kepada para pasiennya.

Setelah tinggal beberapa lama di Sawadani, Sumi sangat prihatin dengan keadaan desa tersebut, khususnya dengan keadaan para pemudanya. Sumi melihat banyak remaja putri yang hamil diluar nikah dan melahirkan anak tanpa memperdebatkan siapa ayah dari anak tersebut. Hamil diluar nikah adalah hal yang lumrah di desa itu. Berangkat dari keprihatinan itulah, Sumi berinisiatif untuk mengadakan kebaktian di rumahnya untuk mengenalkan Yesus kepada para penduduk khususnya para pemuda. Akhirnya atas usul pendeta Honda, Sumi mengundang pendeta Hasimoto untuk memimpin kebaktian di rumahnya. Empat kebaktian telah dilaksanakan, dan banyak penduduk yang datang. Para pemuda bahkan datang secara khusus untuk berbicara kepada pendeta Hasimoto dan Sumi mengenai kekhawatiran dan penyesalan mereka akan dosa yang sudah mereka perbuat saat ini. Akhirnya dua puluhan orang menyerahkan diri untuk ikut Yesus dan dibabtis.

Ketenangan dan kenyamanan yang dirasakan Sumi di Sawandani ternyata tidak berlangsung lama. Hanya dalam waktu yang singkat, keadaan berubah drastis. Pendeta Budha memberi tekanan kepada penduduk untuk melarang anggota keluarga mereka menghadiri pembelajaran firman Tuhan di rumah Sumi, para penduduk yang sudah menyerahkan diri untuk mengikut Yesus mengalami banyak tantangan untuk tetap setia pada imannya, Sumi diusir dari rumahnya dan didiagnosis menderita penyakit berbahaya bahkan Dokter mengatakan bahwa ia hanya dapat bertahan hidup beberapa bulan saja.

Bagaimana kehidupan Sumi dan nasib orang-orang percaya di Sawandani berikutnya?

Silahkan baca kisah lengkapnya di buku “Gadis Pejuang Iman”.

-IB/ Tim Karakter-

Referensi: http://www.sabda.org/

Aiko Di Tokyo

Aiko di Tokyo

Aiko berlari menuju ibunya sambil meneteskan air mata, padahal tadi pagi ia pergi dan bermain dengan temannya dengan wajah gembira.

“Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu?” Tanya Aiko kepada ibunya.

“Tidak, kita tidak miskin, Aiko. Miskin berarti tidak mempunyai sesuatu apa pun untuk diberikan kepada orang lain,” kata ibu.

“Tapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai,” kata Aiko. “Apakah yang dapat kita berikan?”

“Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang ke sini minggu lalu? Kita memberikan sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya tempat tidur,” ibu memberi contoh.

“Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk saya berikan kepada orang lain,” kata Aiko.

“Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan sesuatu,” jawab ibu meyakinkan Aiko.

Aiko mencari tahu apa yang dapat ia berikan pada orang lain. Ia membongkar barang-barang yang ia miliki, tas, alat tulis dan segala sesuatu yang ia miliki. Namun ia tidak menemukan apapun. Tiba-tiba wajahnya nampak gembira.

“Bu! Saya mempunyai sesuatu untuk saya berikan,” kata Aiko.

Ya, Aiko telah menemukan sesuatu yang dapat ia berikan kepada orang lain dan ia dapat memberikannya kepada banyak orang, bahkan kepada seluruh orang tanpa berkurang sedikit pun. Sehingga ia dapat terus memberi dan memberi tanpa pernah kehabisan.

Aiko sangat senang karena ia telah menemukan sesuatu untuk dibagikan pada orang lain. Namun kini hati Aiko kembali sedih. Suatu malam Aiko mendengar bahwa adiknya Toru yang pintar akan dinaikkan melompat satu kelas tahun depan. Jadi tahun depan ia akan sekelas dengan adiknya.

Aiko sangat senang dengan keberhasilan Toru, namun ia sangat sedih karena ia harus satu kelas dengan Toru. Teman-temannya pasti akan mengejeknya kembali. Apa yang harus ia lakukan?

Suatu hari paman Ogawa berkunjung dan membawa kabar yang sungguh mengejutkan bagi Aiko. Sebuah kabar yang mengharuskan Aiko berteman dengan Kenichi yang sangat egois dan pemarah, dengan bapak dan ibu Ito yang penuh kasih, dan nenek yang selalu menghiburnya. Bahkan ia harus mengalami peristiwa badai topan yang merubuhkan rumah bapak dan ibu Ito serta menimpa tubuh Genji, seorang anak lelaki yang suka melempar bapak dan ibu Ito dengan sayur-sayuran. Apa yang harus Aiko lakukan?

Bagaimana kelanjutan kisah Aiko? Yuk, baca cerita lengkapnya dalam Buku “Aiko di Tokyo”. Bukunya dapat dibeli di toko buku terdekat atau untuk siswa Athalia dapat dipinjam dari Perpustakaan SMP. Tanyakan saja pada ibu Hana, ibu Ita, atau ibu Ros letaknya di mana ya…… Selamat membaca …

-IB/ Karakter-