“Kami tidak bertanggung jawab atau berkewajiban atas setiap klaim, kerusakan, atau kerugian…”
“… Perhatikan barang bawaan Anda, kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan…”
“Anda bertanggung jawab untuk menjaga barang bawaan Anda…”
“… kerusakan menjadi tanggung jawab Anda…”
Inilah beberapa kalimat yang sering kita dengar atau baca pada saat kita berada di suatu tempat, pada saat menaiki transportasi umum, atau pada saat kita menggunakan suatu jasa. Mengapa banyak orang yang lari, menghindari atau saling melempar tanggung jawab? Pertanyaan ini dapat kita jawab dengan memahami apa itu tanggung jawab.
Tanggung: panggilan atau kewajiban
Tanggung jawab dapat dipandang sebagai panggilan atau kewajiban. Ketika kita memandang tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan melihatnya sebagai anugerah, hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada kita. Karena anugerah adalah pemberian. Mengapa dikatakan sebagai anugerah dan hak istimewa? Karena pada dasarnya kita bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Kita sebenarnya tidak layak dan tidak mampu mengerjakan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Mengapa demikian? Karena kita adalah ciptaan Tuhan sehingga segala sesuatu yang kita miliki bukanlah kepunyaan kita sendiri tetapi kepunyaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan pada kita. Jadi ketika kita tidak layak dan tidak mampu, siapa yang memampukan dan melayakkan kita? Hanya Tuhan. Tuhan yang berotoritas memanggil kita, membuat kita mau dan mampu mengerjakan tanggung jawab tersebut. Tuhan yang berotoritas memanggil dan memberikan tanggung jawab dan Tuhan yang memampukan kita dalam mengerjakannya.
Sebaliknya, pada saat kita memandang tanggung jawab sebagai kewajiban, maka kita akan melihatnya sebagai suatu beban. Ketika tanggung jawab dipandang sebagai beban, maka akan muncul tuntutan. Kita merasa dituntut untuk melakukan sesuatu sehingga kita tidak akan melakukan pekerjaan kita dengan sukacita dan rela hati, tetapi dengan keterpaksaan.
Tanggung jawab: Berkat atau Beban
Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan melihat tanggung jawab sebagai berkat. Kita akan merasa berharga dan dihargai ketika diberikan tanggung jawab dan akan melakukannya dengan sukacita. Kita akan mendekat, mencari, mengingini dan memiliki kerinduan untuk melakukan tanggung jawab tersebut, bukan menghindarinya. Misalnya, mengingini berada di rumah agar dapat melayani anak dan suami, mengingini suatu tugas yang memberikan kesempatan kepada kita untuk dapat berinteraksi dan melayani siswa untuk memenuhi panggilan dan kerinduan hati kita sebagai guru atau staff, dll.
Namun, ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban maka kita akan melihat tanggung jawab sebagai beban, sehingga tidak akan ada sukacita di dalam hati pada saat melakukannya. Hal ini akan menyebabkan munculnya keluhan, rasa tidak puas dan rasa kecewa yang membuat kita cenderung menghindari tanggung jawab tersebut. Misalnya, menyalahkan anak atas nilai-nilai buruk yang ia miliki dan tidak pernah merasa puas atas gaji suami atau nilai anak, menghindari tugas tambahan untuk mengurus dan memperhatikan siswa, dll.
Sikap ketika diberikan tanggung jawab
Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan bersyukur dan melakukan yang terbaik pada saat dipanggil untuk suatu tanggung jawab. Kita juga akan setia dalam menjalani setiap proses dari panggilan tanggung jawab tersebut. Meskipun proses tersebut mengharuskan kita untuk melakukan hal-hal kecil, sederhana, sepele atau rendah menurut pandangan dunia. Karena kita tidak akan pernah bisa setia pada perkara besar jika kita tidak setia pada perkara yang kecil. “Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar (Lukas 16:10). Kita akan tetap setia menjalani proses tersebut sebagai bentuk ucapan syukur pada Tuhan atas panggilan yang diberikan-Nya pada kita.
Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban, maka kita akan menuntut imbalan pada saat diberikan tanggung jawab. Pada saat diberikan tanggung jawab maka kita akan selalu bertanya “Apa yang akan saya dapatkan dari tanggung jawab ini?” Kita akan menimbang-nimbang apakah tanggung jawab tersebut akan menghasilkan imbalan yang menguntungkan bagi kita atau tidak. Ketika menguntungkan maka kita cenderung akan mengerjakannya dengan maksimal, sebaliknya ketika tidak menguntungkan maka kita akan mengerjakannya dengan berat hati dan berkeluh kesah. Misalnya, menuntut kenaikan gaji ketika kita diberikan sedikit tambahan pekerjaan diluar apa yang tertulis di dalam perjanjian kerja, dll. Dan pada saat kita tidak mendapatkan apa yang kita tuntut, maka kita akan menjadi kecewa, diperlakukan tidak adil atau dirugikan.
Relasi yang terbentuk dalam tanggung jawab
Relasi yang terbentuk pada saat kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan dan anugerah adalah relasi “si pemberi dan si penerima”. Gambaran relasinya adalah seperti aliran air yang terus mengalir, dimana apa yang sudah diberikan oleh si pemberi akan diteruskan oleh si penerima kepada penerima lain dan seterusnya. Bukan relasi timbal balik dimana si penerima akan membalas atau membayar apa yang telah diberikan oleh si pemberi kepadanya. Kita mengasihi orang lain karena sudah dikasihi oleh Tuhan, memberi kepada orang lain karena sudah diberi oleh Tuhan, mengampuni orang lain karena sudah diampuni oleh Tuhan. Di dalam relasi “si pemberi dan si penerima”, si pemberi tidak akan pernah mengharapkan balasan dari si penerima, karena siapakah yang sanggup membalas kasih Tuhan? Siapa yang sanggup memberi kepada Tuhan? Siapa yang dapat mengampuni Tuhan, apakah Tuhan pernah salah?.
Selain relasi “si pemberi dan si penerima”, maka relasi lain yang terbentuk adalah “being”. Karena telah menjadi istri, maka harus melayani suami. Karena telah menjadi karyawan maka sudah seharusnya bekerja dengan sungguh-sungguh. Pada saat “being”, maka kita tidak akan membandingkan diri dengan orang lain karena kita sadar sepenuhnya bahwa kita mau dan mampu hanya karena Tuhan. Sehingga tidak akan ada perasaan iri atau tidak adil di dalam hati kita. Misalnya, tidak akan merasa diperlakukan tidak adil karena orang lain yang lebih malas memiliki gaji yang lebih besar, istri tidak akan marah kepada suami meskipun ia telah bekerja keras membereskan rumah dan suami tidak mau membantu, dll.
Relasi yang terbentuk pada saat kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban adalah relasi timbal balik, relasi tuntutan, sehingga akan selalu ada kata “seharusnya”. Karena saya sudah menjadi ibu kamu, seharusnya kamu menuruti kata-kata Ibu, karena saya sudah bekerja keras, maka seharusnya saya diberikan kenaikan gaji, karena saya sudah menjadi istri yang baik, maka seharusnya kamu mengasihi saya, dll.
Motivasi dalam melakukan tanggung jawab
Pada saat tanggung jawab dipandang sebagai panggilan yang adalah anugerah, maka motivasi dalam melakukan tanggung jawab adalah ungkapan syukur, “giving”. Penerima tanggung jawab akan selalu berusaha memberi yang terbaik dalam mengerjakan tanggung jawab atas dasar ungkapan syukur kepada Tuhan. Misalnya, ketika guru mendapatkan anak yang memiliki masalah perilaku perilaku di kelasnya, maka ia tidak akan merasa sial. Namun ia tetap bersyukur dan akan mau memberi perhatiannya untuk membantu siswa tersebut. Dan pada saat ia belum berhasil, maka ia tidak akan menyalahkan dirinya atau siswa melainkan terus berusaha dan mencari cara-cara lain yang dapat ia lakukan untuk membantu siswa tersebut.
Jika tanggung jawab dipandang sebagai kewajiban, maka motivasi dalam melakukan tanggung jawab adalah ingin mendapatkan sesuatu, “taking”. Kualitas dari pengerjaan tanggung jawab akan di dasarkan pada seberapa banyak yang akan ia dapatkan. Pada saat penerima tanggung jawab melakukan yang terbaik, ia melakukannya untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkannya, apakah itu imbalan atau pujian dari orang lain. Misalnya melakukan yang terbaik dalam pelayanan agar mendapatkan berkat dari Tuhan, melakukan yang terbaik dalam pekerjaan agar mendapatkan promosi, dll.
Respon terhadap hasil dari pelaksanaan tanggung jawab
Ketika tanggung jawab dipandang sebagai panggilan, maka kita menyadari bahwa pemilik tanggung jawab itu adalah Tuhan dan kita hanyalah orang yang dipanggil untuk ambil bagian dalam pengerjaannya. Dengan demikian, maka kita akan dengan sadar mengakui bahwa bagian terbesar dalam pengerjaan tanggung jawab adalah Tuhan sedangkan bagian kita sangat kecil sekali dan itupun berada di dalam bagian Tuhan. Mengapa? Karena hanya Tuhanlah yang membuat kita mampu untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Sehingga pada saat tanggung jawab yang kita kerjakan membuahkan hasil, maka kita akan dengan sadar mengembalikan hasil tersebut untuk Tuhan, terlepas dari apakah hasilnya berhasil atau gagal, menang atau kalah. Semuanya adalah milik Tuhan dan hanya untuk Tuhan saja. Dengan demikian, hasil dari pengerjaan tanggung jawab yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan diri sendiri, tetapi dikaitkan bagi Tuhan, kepada Tuhan, dari Tuhan, dan oleh Tuhan.
Jadi, apakah kita boleh bangga atau kecewa? Pada saat tanggung jawab yang kita kerjakan berhasil, kita tidak boleh bangga untuk diri sendiri tetapi bangga untuk Tuhan. Kita tidak boleh mengklaim apa yang seharusnya menjadi milik Tuhan. Demikian juga sebaliknya, pada saat kita gagal mengerjakan tanggung jawab, kita tidak boleh kecewa, menyesali diri atau menyalahkan Tuhan tetapi justru melihat apa yang menjadi rencana Tuhan lewat kegagalan yang kita alami. Hal ini akan membuat kita tidak berorientasi pada hasil, tetapi pada proses. Misalnya, pada saat gaji kita masih kecil, maka kita tidak melihatnya sebagai hasil tetapi sebagai proses apa yang Tuhan inginkan melalui kejadian ini, pada saat memiliki anak autis, maka kita tidak melihatnya sebagai hasil; “Mengapa anakku seperti ini?”, tetapi sebagai proses; “Apa rencana Tuhan pada anak ini?”.
Ketika tanggung jawab sipandang sebagai kewajiban, maka orientasi kita selalu pada hasil, bukan proses. Misalnya, saya harus menang agar tidak menjadi malu. Kita juga akan menganggap bahwa kitalah yang memiliki bagian yang terbesar dari pengerjaan tanggung jawab tersebut, sedangkan Tuhan hanya memililki bagian yang sangat kecil atau tidak memiliki bagian sama sekali. Sehingga ketika tanggung jawab tersebut membuahkan hasil, maka kita akan mengklaim hasil tersebut untuk diri sendiri. Jika hasilnya adalah suatu keberhasilan atau kemenangan, maka kita akan merasa bangga atau menjadi sombong. Sebaliknya, ketika hasilnya adalah suatu kegagalan, kekalahan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan atau target yang telah kita tentukan, maka kita akan merawa kecewa, menyalahkan diri sendiri, merasa bersalah, dll. Misalnya, kita akan berkata paduan suara ini menjadi bagus karena saya yang melatihnya, proyek ini berhasil karena saya telah bekerja keras, nilai saya jelek karena saya anak yang bodoh, dll.
Tanggung jawab, panggilan atau kewajiban? Semuanya kembali lagi pada diri kita masing-masing memandangnya sebagai apa. Tetapi sebagai seorang Kristen yang telah ditebus oleh Tuhan, sudah seharusnya kita memandangnya sebagai panggilan yang merupakan anugerah dan berkat untuk kita. Hal ini dengan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:36). Biarlah pandangan yang baru membawa kita pada motivasi, sikap dan respon yang benar terhadap tanggung jawab. Sehingga kita akan meresponi setiap tanggung jawab yang diberikan kepada kita dengan ucapan syukur serta mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan dengan hati yang bersuka cita, hanya untuk Tuhan dan bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun pujian dari manusia. “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23). Dan biarlah setiap hasil yang kita peroleh dengan penuh kesadaran selalu kita kembalikan hanya bagi kemuliaan Tuhan saja.
(Charlotte Priatna)
“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)