Hidup itu Singkat..

“Life is short.. hidup itu singkat dan waktu yang sudah kita lalui tidak akan bisa kembali lagi..” Itulah apa yang Pak Presno Saragih sampaikan pada pembukaan AKSEN, Sabtu, 8 November 2014. AKSEN atau Ajang Kreativitas dan Seni ini memang ditujukan untuk menampilkan kreativitas para siswa khususnya dalam bermusik.
band alumni
AKSEN tahun ini mengangkat konsep Time Machine yang ditampilkan dalam bentuk narasi dan cerita. Acara yang berdurasi kurang lebih lima jam ini berlangsung seru dengan dinyanyikannya lagu-lagu dari berbagai era dan jaman sesuai dengan konsep Time Machine. Tak hanya siswa yang menampilkan kebolehan mereka, guru-guru SMA juga turut mempersembahkan beberapa lagu.
penampilan guru SMA
Meski begitu di awal kegiatan Krishna Nugraha sebagai ketua panitia juga mengingatkan para penonton agar tetap bisa memahami pesan yang sebenarnya ingin disampaikan melalui kegiatan ini. Salah satunya adalah untuk bisa memberikan apa yang dimiliki pada orang-orang yang lebih membutuhkan, secara khusus donasi ditujukan pada Panti Wredha Melania yang turut bergabung bersama dalam kegiatan ini.

Seperti apa yang dikatakan oleh Krishna, acara ini sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk menghibur para penonton dan menjadi wadah kreasi siswa ataupun peserta. Siswa, orang tua, atau siapapun yang hadir juga harus memahami bahwa yang lebih penting sebenarnya adalah untuk menjadi berkat bagi sesama menggunakan setiap waktu yang kita miliki di dunia ini.

Maka agar para donatur dan penonton bisa lebih memahami hal itu, perwakilan dari Panti Wredha Melania pun turut berbicara membagikan pergumulan mereka. Panti Wredha Melania dibangun untuk menjawab kebutuhan orang-orang lanjut usia yang tidak berkeluarga atau hidup sendiri. Sebagian kakek-nenek yang tinggal di panti berstatus single atau tidak menikah dan beberapa lainnya hidup terlantar. Meski keberadaan panti masih sering dianggap sebelah mata oleh orang-orang, sebenarnya kehadiran mereka sangat dibutuhkan di masyarakat.
perwakilan Panti Wredha
Pak Utomo, salah seorang penghuni panti turut membagikan kesannya selama tinggal di panti. Ia merasa memiliki lebih banyak teman selama tinggal di panti. Ia juga berpesan pada setiap anak agar terus rajin belajar agar bisa menyumbangkan tenaga dan pikiran pada bangsa dan negara. Ia ingin agar setiap anak dapat menjadi pribadi-pribadi yang berguna di masa depan.
salah satu penghuni panti wredha
Tentunya kita semua berharap agar setiap donatur dan penonton yang hadir pun bisa mengerti dan memaknai setiap donasi yang diberikan. Tidak sekedar memberi secara materi tetapi juga mau memberi waktu mereka untuk lebih memperhatikan sanak saudara, orangtua atau kakek-nenek mereka. Sehingga setiap orang bisa menjalin relasi yang baik dalam keluarga mereka, mau merawat saudara-saudara mereka dan membantu sesama yang membutuhkan pertolongan.

Seperti yang Pak Presno katakan, hidup itu singkat. Kita harus bisa menggunakan waktu-waktu yang ada dengan sebaik mungkin dan membuat setiap detik menjadi berarti. Selama masih muda, selama masih diberi kesehatan, pikiran yang baik, tenaga dan energi yang besar, kita harus bisa menjadi berkat yang lebih lagi bagi sesama kita. Jangan sia-siakan waktu yang kita miliki, setiap detik, setiap menitnya. (LDS)

Pendidikan Penting, tapi Karakter lebih Penting

“Pendidikan itu memang penting, tapi yang lebih penting adalah karakter,” tegas Shandy Aulia dalam kegiatan bedah buku Incomplete miliknya di Sekolah Athalia 28 Oktober 2014 lalu.

Kegiatan ini adalah bagian dari rangkaian perayaan Bulan Bahasa 27-28 Oktober 2014. Pada sesi bedah buku Shandy datang sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman dan kisah-kisahnya selama menulis buku. Termasuk juga berbagai pergumulan dalam hidupnya mengenai karir, pendidikan, keluarga, dan bahkan pasangan hidup.
shandy aulia
Shandy yang ketika kecil bermimpi ingin menjadi astronot ini mengakui jalan hidupnya tidaklah mudah. Sejak ia masih kecil orangtuanya sudah bercerai dan bahkan ia mendapat perlakuan tidak baik dari orang di sekitarnya selama di sekolah. Begitu juga ketika ia akhirnya mulai berkarir dalam dunia akting.

Namun semua itu menurutnya memang adalah proses kehidupan yang harus dijalani. Oleh karenanya pengenalan akan Tuhan dan karakter yang kuat adalah modal bagi Shandy. Shandy mengakui ia baru bisa mulai mengenal Tuhan secara mendalam ketika berumur 19 tahun. Itupun melalui proses yang panjang dan melewati berbagai pergumulan. Latar belakang orangtua yang berbeda agama membuat Shandy kesulitan dan terus memiliki kerinduan untuk bisa beribadah bersama sebagai satu keluarga. Tetapi ia tetap bisa bersyukur karena pada akhirnya bisa melalui itu semua.

“Karakter itu yang menentukan bagaimana kita menjalani proses kehidupan, itulah yang sebenarnya bisa membuat kita bertahan,” jelas Shandy. Memang benar bahwa karakter seseorang akan menentukan masa depan seseorang. Mungkin kita sendiri sering melihat atau memiliki rekan di sekolah yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi namun kesulitan dalam berelasi atau mengekspresikan diri. Hal ini akan membuat mereka tidak bisa bertumbuh dan memakai kemampuan mereka secara maksimal. Disanalah sebenarnya dimana karakter berperan.

Pengenalan yang benar akan Tuhan, pendidikan, dan karakter yang cukup dan tepat adalah modal bagi kita dalam menjalani kehidupan. Pendidikan tanpa karakter dan pengenalan akan Tuhan dapat menghasilkan pribadi yang egois dan mengandalkan kemampuan sendiri. Begitu juga karakter tanpa pengetahuan yang cukup tak akan bisa membuat kemampuan kita berkembang. Tetapi tanpa dasar pengenalan akan Tuhan pun semua adalah sia-sia. Oleh karena itu ketiga hal ini harus terus dibangun dalam pribadi setiap siswa.

Akhir kata, Shandy berpesan pada para siswa,

“Nikmati dan hargai masa remaja kalian, jangan lakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri, meski terlihat kecil bila ke depannya merugikan, jangan dilakukan, tetapi sungguh-sungguh lakukan hal ketika itu positif dan gunakan talenta kalian dengan sungguh-sungguh.” (LDS)

Salahkah Saya Sekolah di Athalia?

“Eh, anakmu SMA mau di mana?” tanya seorang tante. “Wah, belom tau. Tapi kayaknya mau kupindahin ke sekolah yang lebih gede aja, biar gampang cari kuliah,” jawab tante yang lain. Rasanya tidak asing mendengar percakapan seperti ini di kalangan orang tua Athalia. Entah orang tua yang ingin anaknya masuk ke universitas negeri maupun yang mau mengirim anaknya ke luar negeri, kelihatannya SMA Athalia kurang menarik. Tidak mengherankan karena Athalia bukan sekolah tua, baru meluluskan 2 angkatan sampai saat ini. Tapi benarkah usia sekolah menjadi standar kualitas?

Saya lulus dari SMA Athalia di angkatan kedua tahun 2014. Cukup beruntung, saya dapat kesempatan untuk kuliah di Amerika, di Dordt College, mengambil jurusan Fisika. Ketika saya mencapai tahun terakhir di SMA, saya memutuskan untuk ikut tes SAT, yaitu ujian masuk perguruan tinggi di seluruh Amerika. Yah bisa dibilang semacam SBMPTN kalau di Indonesia. Ternyata semua perguruan tinggi di Amerika punya akses ke nilai-nilai ini, dan mereka akan menawarkan diri kepada murid-murid yang dianggap punya potensi. Cukup mengagetkan, saya dapat lumayan banyak tawaran dari universitas yang cukup besar, seperti Arizona State University, University of South Florida, University of Cincinnati, dan lainnya, meskipun akhirnya saya memilih sekolah yang lebih kecil untuk lingkungan Kristen yang lebih baik.

Namun yang saya ingin sampaikan bukan senangnya saya tentang kehidupan baru saya, atau menyombongkan keberhasilan saya, tetapi justru saya mau bercerita tentang pengalaman saya di SD, SMP, SMA Athalia (ya, saya tahu saya tidak pernah ganti sekolah semenjak SD). Saya masih sangat terkesan dengan guru-guru di Athalia yang selalu peduli dengan murid-muridnya. Meskipun Athalia bukan sekolah yang menuntut akademik setinggi sekolah-sekolah “top” di Tangerang atau Jakarta, tetapi guru-guru Athalia selalu mengharapkan murid-muridnya untuk melakukan lebih dari “cukup”. “Melakukan yang terbaik” adalah prinsip yang selalu ditekankan, dan memang sebagai murid itulah motivasi yang dibutuhkan. Sekolah lain boleh menuntut pelajaran yang lebih susah, tetapi sebagian anaknya menyontek. Murid Athalia, di sisi lain mendapatkan nilai sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu yang terbaik yang mereka bisa.

Guru-guru Athalia selalu memberi motivasi setiap harinya. Motivasi-motivasi itulah yang kemudian membentuk karakter kami sebagai murid, hingga kami mampu bekerja keras dan semangat belajar (bahkan setahu saya, guru-guru yang ketahuan mengucapkan kalimat yang tidak membangun ditegur kepala sekolah). Itu menunjukkan betapa seriusnya sekolah Athalia membangun karakter murid.

Saya berani bilang Athalia punya komunitas paling baik dibandingkan sekolah-sekolah di Tangerang (atau malah di seluruh Indonesia jangan-jangan). Banyak orang bilang Athalia terlalu terisolasi, sehingga ketika muridnya pergi keluar malah lebih mudah terjerumus. Pengalaman saya bilang sebaliknya. Komunitas yang baik ini sudah memberi “image” ke saya kalau definisi teman adalah orang-orang berkelakuan baik, bukan anak nakal. Sehingga ketika saya kuliah pun, saya mencari teman-teman yang baik (semoga teman-teman alumni yang lain juga begitu).

Pada akhirnya, saya hanya ingin bilang kalau saya bangga menjadi lulusan Athalia. Keluarga saya bukan keluarga yang berbahasa Inggris, dan saya juga tadinya hanya seperti anak SMA pada umumnya, pergi les Inggris dua kali seminggu. Sekolah Athalia terbukti bisa memberi saya kesempatan kuliah ke mana saja, dan bukan saya saja, tetapi banyak teman-teman alumni lain yang punya cerita-cerita hebat. Saya harap sekolah Athalia akan terus mempertahankan kualitasnya, tetap seperti sekolah yang saya tahu, dan saya pun mengundang adik-adik kelas untuk mempertimbangkan sekolah Athalia lebih serius lagi. Salam dari saya untuk guru-guru dan teman-teman.

Daniel Amadeo Amin

Lubang Jarum

“Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
-Markus 10:25-

Apa yang bisa dilakukan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan? Tidak ada yang bisa Anda atau orang lain lakukan. Mengapa? Karena alasan sederhana bahwa saat ini Anda sudah bahagia. Bagaimana mungkin Anda memperoleh apa yang sudah Anda miliki? Nah, kalau begitu, mengapa Anda tidak merasakan kebahagiaan yang sudah menjadi milik Anda itu? Karena pikiran Anda terus-menerus menciptakan ketidakbahagiaan yang sudah menjadi milik Anda itu? Karena pikiran Anda terus-menerus menciptakan ketidakbahagiaan. Buang ketidakbahagiaan pikiran Anda itu maka kebahagiaan yang selalu Anda miliki akan langsung muncul ke permukaan. Bagaimana cara membuang ketidakbahagiaan? Carilah penyebabnya dan tatap dalam-dalam. Hal itu akan dengan sendirinya rontok.

Nah, apabila mengamatinya dengan teliti, Anda akan melihat bahwa hanya ada satu hal yang menyebabkan ketidakbahagiaan. Nama hal itu adalah Kelekatan. Apa itu kelekatan? Suatu kondisi lengket emosional yang disebabkan keyakinan bahwa tanpa benda atau orang tertentu, Anda tidak bisa bahagia. Kondisi lengket emosional ini terdiri dari dua unsur, negatif dan positif. Yang negatif adalah rasa terancam dan tegang yang selalu mengiringi kelekatan itu.

Bayangkan orang yang sedang melahap makanan di kamp konsentrasi; dengan satu tangan dia membawa makanan itu ke mulut, dengan satu tangan yang lain dia melindunginya dari orang-orang yang akan merampasnya begitu dia lengah. Nah, itulah gambaran sempurna orang yang melekat. Jadi, kelekatan pada dasarnya memang membuat Anda rentan terhadap guncangan emosional dan selalu mengancam akan menghancurkan kedamaian Anda. Jadi, bagaimana mungkin Anda berharap orang yang melekat bisa memasuki samudra kebahagiaan yang disebut kerajaan Tuhan? Sama seperti mengharapkan seekor unta bisa melewati lubang jarum!

Nah, tragedi kelekatan adalah apabila objeknya tidak tercapai, akan timbul ketidakbahagiaan. Namun, apabila tercapai, tidak muncul kebahagiaan-hanya ada sekelebat rasa nikmat yang diikuti oleh rasa lelah. Dan, tentu saja, hal itu diiringi kecemasan bahwa Anda akan kehilangan objek kelekatan Anda. Anak akan berkata, “Tak bisakah saya menyimpan satu saja kelekatan?” Tentu saja, Anda bisa menyimpan sebanyak yang Anda mau. Namun, untuk setiap kelekatan, Anda membayarnya dengan kehilangan kebahagiaan Anda.

Coba pikir: sifat dasar kelekatan sedemikian rupa sehingga meskipun Anda memenuhi banyak kelekatan dalam satu hari, satu kelekatan yang tidak terpuaskan akan menggerogoti pikiran Anda dan membuat Anda tidak bahagia. Anda tidak mungkin menang dalam pertempuran melawan kelekatan. Mencari kelekatan tanpa ketidakbahagiaan sama seperti mencari air yang tidak basah. Tak pernah ada manusia yang bisa menciptakan resep mempertahankan kelekatan tanpa perjuangan, rasa cemas, rasa takut dan, cepat atau lambat, kekalahan.

Hanya ada satu cara untuk memenangkan pertempuran melawan kelekatan: Buang semua kelekatan Anda. Berlawanan dengan pendapat umum, membuang kelekatan itu mudah. Yang perlu Anda lakukan hanyalah melihat, benar-benar melihat, kebenaran-kebenaran berikut.

Kebenaran pertama: Anda berpegang pada keyakinan yang salah, yaitu keyakinan bahwa tanpa orang atau benda tertentu, Anda tidak akan bahagia. Amati semua kelekatan Anda satu per satu dan lihatlah kekeliruan keyakinan Anda itu. Anda mungkin akan mendapat perlawanan dari hati Anda, tapi begitu Anda bisa melihat, hasilnya akan langsung terasa. Pada saat itu juga, kelekatan Anda kehilangan kekuatan.

Kebenaran kedua: Apabila hanya menikmati berbagai hal, tidak membiarkan diri Anda melekat pada semua itu, Anda takkan mengalami semua perjuangan dan ketegangan emosional akibat upaya-upaya melindungi serta menjaga kelekatan Anda. Pernahkah terpikir bahwa Anda bisa menyimpan semua objek kelekatan Anda serta tidak perlu membuangnya, tidak perlu menyangkalnya, dan Anda bisa semakin menikmatinya tanpa didasari kelekatan, kelengketan, karena sekarang Anda merasa damai serta relaks dan tidak terancam saat menikmatinya?

Kebenaran ketiga dan terakhir: Apabila belajar menikmati aroma seribu bunga, Anda takkan lengket pada satu bunga atau menderita ketika tidak bisa memperolehnya. Apabila Anda punya seribu makanan favorit, hilang satu takkan terasa dan kebahagiaan Anda takkan terganggu. Namun, justru kelekatan Anda-lah yang menghalangi Anda untuk mengembangkan selera lebih luas dan beragam dalam berbagai hal serta orang.

Dalam terang ketiga kebenaran itu, tidak ada kelekatan yang bisa bertahan. Namun, terang itu harus bersinar terus-menerus agar bisa efektif. Kelekatan hanya bisa tumbuh subur dalam kegelapan ilusi. Orang kaya tidak bisa memasuki kerajaan sukacita bukan karena dia ingin jadi jahat, melainkan karena dia memilih untuk jadi buta.

Sumber:

De Mello, Anthony. 1991. The Way to Love. PT Gramedia: Jakarta.

 

“Kaki Boleh Panas, tapi Kepala Harus Tetap Dingin..”

“Kaki boleh panas, tapi kepala harus tetap dingin..”

Begitulah ucapan yang terus digaungkan oleh komentator Athalia Cup ke-5 selama pertandingan yang baru berlangsung 11-18 Oktober 2014 kemarin. Sebanyak 42 tim dari berbagai sekolah di Tangerang Selatan turut berpartisipasi dalam pertandingan ini. Berbagai perbedaan latar belakang tentunya dapat menjadi pemicu munculnya perselisihan dalam pertandingan. Terutama pertandingan futsal yang memang memungkinkan para pemainnya beradu fisik dengan pemain lawan. Oleh karena itu panitia selalu berusaha mengingatkan agar sportifitas harus tetap terjaga.
athalia cup 5
Athalia Cup ke-5 tahun ini secara khusus mengangkat tema Sport Reveals Character. “Karakter bukan hanya dapat dibangun di pembelajaran dalam kelas. Olahraga juga dapat menunjukkan karakter seseorang. Saat olahraga, karakter seseorang itu bisa terlihat, bagaimana karakter anak yang sebenarnya, karena karakter itu sebenarnya ada dimana-mana”. Begitulah penjelasan Pak Werdi Rolando Damanik selaku ketua panitia mengenai maksud diangkatnya tema tersebut.

Seperti yang Pak Werdi katakan bahwa olahraga khususnya futsal dapat memperlihatkan karakter anak yang sebenarnya. Apakah anak itu egois dan mau menang sendiri, atau mau saling berbagi dalam membangun serangan. Kekecewaan, kemarahan, emosi-emosi yang muncul selama di lapangan dapat menunjukkan bagaimana anak itu menyikapi situasi dan kondisi di sekitar mereka. Anak-anak diharapkan melalui pengalaman ini dapat belajar untuk mengontrol emosi mereka, tidak terprovokasi oleh lawan maupun suporter lawan dan tetap tenang di segala situasi.

Bila pemain egois dengan menyerang sendiri maka ia akan kesulitan untuk menembus pertahanan lawan. Dibutuhkan kerjasama dan kerendahan hati bahkan hanya untuk memberi umpan bola pada rekan satu tim. Sehingga kemenangan itu dapat menjadi kemenangan bersama, bukan hanya kemenangan satu orang saja. Bahkan bila kalah pun itu adalah kekalahan bersama sebagai satu tim. Sehingga diharapkan satu tim tersebut bisa sama-sama berproses dan memahami bahwa kalah dan menang itu adalah hal yang biasa terjadi.

Pak Werdi berharap bahwa melalui Athalia Cup ini para siswa dapat memahami dan menyadari bahwa karakter dapat ditemukan dan dipelajari dimana saja. Dalam bersosialisasi dan berolahraga, siswa Athalia harus belajar untuk menerima kekalahan dan tidak putus asa, mau bekerjasama dan tidak individualis.

Selain ingin membangun karakter siswa, Athalia Cup juga diadakan dengan tujuan membangun hubungan baik dengan sekolah-sekolah lain di sekitar. Oleh karena itu pada Athalia Cup ke-5 ini panitia juga mengundang siswa-siswa di tingkat SD dalam pertandingan dan tentunya memberi penghargaan bagi tim-tim pemenang di setiap tingkat.
athalia cup 5
Satu hal lain yang baru juga adalah adanya penghargaan berupa medali dan piagam bagi para top scorer di tiap tingkat. Setiap perubahan ini diadakan tentunya dengan harapan semakin banyak sekolah yang dapat berpartisipasi dan semakin banyak juga sekolah yang terberkati dengan kegiatan Athalia Cup ini. (LDS)