Rekoleksi SMP Belajar Menerima dan Memaafkan


Oleh: Felicia

Tidak terasa, sebentar lagi angkatan X SMP Athalia akan naik ke jenjang pendidikan berikutnya, yaitu SMA. Begitu banyak kenangan yang sudah tercipta selama 3 tahun mereka berada di jenjang SMP. Datang masa mereka mengikuti kegiatan Rekoleksi. Rekoleksi berasal dari bahasa Inggris yaitu recollect yang berarti mengingat kembali atau mengumpulkan kembali. Mengingat kembali tentu saja akan membawa kita kepada kejadian-kejadian yang paling berkesan, baik peristiwa yang menyenangkan maupun tidak. Melalui kegiatan ini, para siswa diharapkan dapat melakukan refleksi diri dan rekonsiliasi sehingga akhirnya memiliki relasi yang lebih baik dengan teman-temannya dan guru.

Rekoleksi SMP Athalia diadakan pada Kamis, 2 Mei 2019–Jumat, 3 Mei 2019. Hari pertama, kegiatan diawali dengan sharing Firman Tuhan oleh Bapak Hery Ciu tentang acceptance dan forgiveness. Sharing ini dimaksudkan sebagai “bridging” bagi anak menghadapi tahapan berikutnya: melakukan rekonsiliasi dengan teman, guru, dan orangtua. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan talkshow yang dimoderatori oleh Bu Nosta dan sharing dari salah seorang guru, yaitu Bapak Beryl Sadewa, yang memberikan kesaksian tentang relasi dengan orangtua.

Pada hari pertama ini, para siswa juga diberikan waktu khusus untuk melakukan rekonsiliasi dengan guru yang diawali dengan sharing oleh Ibu Ni Putu Mustika Dewi dari PK3 mengenai pengalamannya ketika bersekolah di SMP. Rekonsiliasi dengan teman dimulai dalam kelas yang didampingi wali kelas dan partnernya masing-masing kemudian dilanjutkan rekonsiliasi dengan teman seangkatan.

Pada hari kedua, anak-anak diajak untuk mengikuti acara kebersamaan yang diadakan di Taman Impian Jaya Ancol. Siswa dibagi dalam kelompok yang akan singgah ke tiga tempat, yaitu Pasar Seni, Outbondholic, dan pantai. Di tiap tempat ada kegiatan khusus yang harus mereka lakukan bersama kelompok. Kegiatan ini diharapkan bisa merekatkan relasi antarsiswa agar mereka bisa semakin mengenal satu sama lain dan belajar bekerja sama dalam tim.



Rescamp 2019: Belajar tentang Pengendalian Diri dan Tanggung Jawab

Oleh: Melvin Johan Laluyan dan Bella Kumalasari

Pada 3–4 Mei 2019 lalu, siswa kelas 6 SD Athalia mengikuti Rescamp (Responsibility Camp). Kali ini, Rescamp diadakan di Camp Hills Eco Stay, Bogor. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Rescamp diadakan di tempat terbuka untuk memberikan kesempatan kepada para siswa untuk berkegiatan di alam terbuka.


Rescamp diadakan di masa akhir siswa belajar di jenjang Sekolah Dasar dengan tujuan siswa dapat mengevaluasi karakter-karakter yang telah mereka pelajari selama 6 tahun terakhir, sekaligus menjadi kesempatan para guru mengapresiasi dan meneguhkan pertumbuhan karakter siswa. Oleh karena itu, camp ini bertemakan “Tanggung Jawab”, yang melingkupi karakter yang dipelajari di tiap level, yaitu tepat waktu, rajin, jujur, tertib, inisiatif, dan pengendalian diri. Karakter pengendalian diri yang baru saja mereka pelajari di kelas 6 menjadi titik berat Rescamp kali ini.


Acara dimulai dengan ice breaking. Kemudian, siswa-siswi memiliki waktu yang menyenangkan bersama kelompok-kelompok lintas kelas dalam permainan pos. Mereka berbagi tugas, bekerja sama, bermain di lapangan maupun di kolam renang. Setelah seru berbasah-basahan, mereka diberi waktu untuk mandi, istirahat, serta menikmati snack sore sebelum berkumpul kembali di aula. Tak hanya keseruan yang didapat, permainan pos pun tak lupa dimaknai. Siswa-siswi diajak untuk bertanya-jawab mengenai karakter-karakter apa yang mereka pelajari dan terapkan dalam permainan-permainan tersebut.


Acara dilanjutkan dengan pembahasan tokoh Yakub. Melalui kisah Esau dan Yakub, siswa-siswi diajak untuk mengenali sisi positif dan negatif Yakub yang kemudian direfleksikan ke dalam diri masing-masing. Melalui sharing yang didampingi oleh bapak dan ibu guru, anak-anak diajak untuk mengenali sisi positif dan negatif mereka, hal-hal apa yang masih sulit dalam pengendalian diri mereka, serta cara mengatasinya.


Diselingi dengan makan malam, siswa-siswi kembali belajar dari Yakub, yaitu transformasi yang dialaminya. Siswa-siswi diajak untuk melihat perubahan Yakub dari yang sebelumnya egois dan manipulatif menjadi orang yang rendah hati dan siap menghadapi segala sesuatu. Tidak hanya satu arah, siswa-siswi diajak untuk melakukan simulasi melalui Unfair Game menggunakan permen dan dadu. Ada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan yang membuat mereka mendapat ataupun kehilangan permennya. Melalui situasi yang mungkin tidak menguntungkan atau membuat mereka kesal, siswa-siswi diajar untuk mengenali emosi mereka dan merespons dengan benar. Terlihat kepolosan, kejujuran, maupun kedewasaan anak-anak ini dalam tanya-jawab yang dilakukan serta tantangan yang diberikan. Ada yang merasa kesal karena permennya selalu diambil, tetapi ketika ditantang untuk memberikan semua permen yang ia miliki pada temannya ia rela memberikan. Ada pula yang masih sulit dalam membagi dan menyisakan satu permen untuk dirinya sendiri. Ada siswa yang merasa kesal, namun bukan karena ketidakadilan yang dialaminya sendiri melainkan karena ia merasa temannya tidak adil pada teman yang lain. Ketika ditantang bahwa hal itu tidak memengaruhi/merugikan dirinya, siswa tersebut berkata, “Tapi kan yang hidup di dunia ini bukan aku doang.” Sungguh bersyukur untuk pertumbuhan karakter yang terjadi dalam diri setiap siswa-siswi!


Pada malam hari, pada momen api unggun siswa-siswi dipandu untuk merenungkan kembali kehidupan mereka dan diajak untuk berkomitmen belajar mengendalikan diri.


Keesokan harinya, kegiatan dimulai dengan renungan pagi bersama dan olahraga. Setelah sarapan, anak-anak masuk ke dalam sesi terakhir, yaitu “Scrolling Kehidupan”. Pada sesi ini, anak-anak diingatkan pada tiga hal yang harus dilatih agar dapat berubah/memperbaiki diri, yaitu punya perencanaan, fokus, dan bergerak cepat. Setelah sesi ini selesai, anak-anak diajak untuk menikmati keindahan alam dengan melakukan perjalanan ke Curug Cigamea. Di sana anak-anak menikmati segarnya udara dan air pegunungan.


Melalui Responsibility Camp, siswa-siswi diajak untuk menyadari bahwa semakin mereka besar, semakin banyak juga tanggung jawab mereka terhadap diri sendiri, sesama, dan lingkungan. Kiranya Tuhan yang telah memberikan pertumbuhan karakter dalam diri siswa-siswi akan meneruskannya hingga semakin serupa dengan-Nya.

LOVE TO LEARN AND LEARN TO LOVE

Oleh: Chandria Wening Krisnanda, staf PK3

Sekolah Athalia berkomitmen untuk mendidik para siswanya tidak hanya fokus dalam hal akademis, tetapi juga dalam hal “Belajar Berkontribusi untuk Kehidupan”.

Slogan di atas tidak hanya ditulis di dinding sekolah, tetapi sekolah berusaha menerapkan salah satunya dengan membuat program field trip karakter yang dilakukan di setiap semester genap di level kelas X SMA.

Field trip karakter kali ini para siswa diajak untuk berkunjung ke Panti Sosial Bina Grahita Belaian Kasih milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah Dinas Sosial. Lokasi panti ini di daerah Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat.

Pada Kamis, 11 April 2019, pukul 08.30 rombongan tiga bus dari Sekolah Athalia tiba di Panti Belaian Kasih. Ketika bus memasuki halaman panti, beberapa siswa berteriak girang. Sementara itu, murid-murid yang melihat pemandangan tersebut langsung terdiam di kursinya. Mereka tak tahu sama sekali apa yang akan mereka alami selama beberapa jam ke depan.

Para siswa diarahkan untuk masuk ke aula. Di sana, sekitar seratus anak panti sudah menunggu kedatangan mereka. Sebagian besar duduk di bangku, ada juga yang duduk di kursi roda dan di lantai. Beberapa dengan kondisi khusus berdiri di balik ruang berjeruji. Ibu Rita, Sub Bagian Tata Usaha, menjelaskan mengenai kondisi anak-anak di panti yang kebanyakan masih membutuhkan bantuan untuk aktivitas primer mereka, misalnya memegang sikat gigi atau mandi.

Sungguh itu pemandangan yang asing bagi sebagian dari siswa Athalia. Namun, mereka berhasil mengatasi perasaan takut mereka dan mau berbaur dengan siswa panti. Para siswa mulai mau berinteraksi dengan siswa panti dengan melakukan battle dance. Walau di awal mereka tampak malu-malu, suasana segera cair ketika Bapak Agus memotivasi para siswa Athalia untuk menari lebih seru lagi.

Setelah itu, mereka melakukan berbagai kegiatan bersama. Mereka dibagi ke dalam kelompok-kelompok. Ada yang mewarnai gambar, menyanyi, bermain bola, menari, membuat origami, membuat kerajinan tangan, dan lomba makan kerupuk.

Para siswa panti sangat antusias pada saat para siswa Athalia membagikan gambar untuk diwarnai. Bahkan, sebagian dari mereka mengetahui nama gambar karakter yang harus digambar, seperti Hello Kitty, Winnie The Pooh, monyet, kura-kura, kucing, dan lain-lain. Sebagian besar siswa panti langsung mewarnai gambar-gambar tersebut dengan sangat tekun. Hasil kerja mereka juga ternyata sangat rapi. Selama proses mewarnai, para siswa Athalia mendampingi mereka dan sekaligus memberikan apresiasi dengan memberi stempel bergambar lucu bagi siswa panti yang sudah selesai mewarnai dengan baik.

Pada saat pendampingan itulah para siswa Athalia belajar tentang bersimpati, tentang pembimbingan, dan belajar mentransfer kasih kepada teman baru mereka. Sementara itu, para siswa panti, yang jarang mendapatkan kunjungan, menunjukkan ekspresi senang saat melakukan aktivitas bersama teman-teman baru mereka. Para siswa Athalia dengan telaten membantu merautkan pensil warna, mengarahkan goresan pensil warna, menuliskan nama, dan bahkan yang paling membuat saya bangga adalah ada seorang siswa Athalia membantu menghapus ingus salah satu siswa panti dengan tisu tanpa perasaan jijik.

Setelah semua kegiatan selesai, rombongan dari Sekolah Athalia pamit pulang. Saya melihat beberapa siswa panti menangis layaknya anak kecil yang ditinggal ibunya. Bagi mereka, kebersamaan itu terasa begitu singkat.

Sekembalinya di sekolah, para siswa diminta untuk menceritakan secara singkat dan menuliskan kesan mereka selama melakukan kegiatan di Panti Belaian Kasih. Salah satu siswa Athalia bercerita bahwa beberapa siswa panti sebenarnya ingin pulang kembali ke rumah untuk berkumpul bersama orang tuanya. Namun, kondisi orangtua yang tidak mampu membuat mereka terpaksa tinggal di panti. Mendengar cerita siswa panti itu, siswa Athalia tersebut merasa sangat bersyukur bahwa selama ini mereka masih dapat tinggal di kamar dan rumah mereka yang nyaman bersama keluarga, walaupun terkadang mereka merasa bosan dengan rumah, apalagi mendengarkan omelan orangtuanya. Pertemuan dengan siswa panti membuat siswa Athalia bersyukur atas kondisi mereka. Ada pula siswa Athalia yang awalnya merasa canggung dan takut untuk mendekat dan berbaur dengan siswa panti. Namun, perlahan dia bisa mengendalikan perasaan takutnya dan mereka bisa berinteraksi dengan hangat.

Sungguh para siswa Athalia juga mempraktikkan apa yang tertulis dalam Matius 22:39, “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

Mengucap Syukur

Oleh: Victor Sumua Sanga, M.Div., guru Agama Kristen SMA

“Mengucap syukurlah senantiasa.” Kalimat ini sering didengar dan diamini tanpa memahami alasan ucapan syukur itu.

Mengapa saya harus mengucap syukur kepada Tuhan sementara saya dapat hidup tanpa Dia?

Cobalah menjalani hari Anda, seminggu saja, tanpa berdoa, tanpa mengikuti ibadah, atau tanpa ritual keagamaan apa pun. Mungkin Anda akan mendapati diri Anda dapat tetap hidup, tidak kelaparan, dan tetap sehat. Jika Anda melakukan percobaan itu di akhir bulan, Anda akan mendapati diri Anda tetap menerima penghasilan atau gaji dari pekerjaan yang dilakukan. Jika Anda seorang pengusaha, Anda dapat tetap menghasilkan uang, Anda tetap dapat mempekerjakan orang, Anda tetap dapat membangun sistem kerja yang baik, tanpa melibatkan Tuhan di dalam semua hal yang Anda lakukan.

Bukankah itulah pola hidup orang-orang ateis, yang tidak memberikan tempat di hidupnya untuk Tuhan? Mereka tetap dapat bertahan hidup. Bahkan, sebagian dari mereka mendapatkan penghargaan tinggi. Namanya dikenang banyak orang karena telah memberikan sumbangsih besar bagi dunia. Jadi, mengapa kita harus mengucap syukur kepada-Nya, sementara kehidupan dapat tetap berjalan dengan baik tanpa-Nya?

Mengapa saya harus mengucap syukur kepada Tuhan, sementara hidup bersama-Nya tidak meluputkan saya dari masalah dan kesulitan hidup?

Menjadikan Tuhan sebagai dasar hidup tidak membawa perbedaan apa pun secara jasmani. Hidup tetap dalam kesulitan, masalah tetap datang, konflik tetap terjadi. Bahkan semakin kita dekat dengan Tuhan, justru akan membuat kita mengalami lebih banyak kepelikan. Hidup beriman kepada Tuhan lebih mirip seperti melarikan diri dari masalah dan bersembunyi di balik kalimat-kalimat kitab suci, seperti “Tenanglah, ada maksud Tuhan di balik semua ini.”

Belum lagi, beberapa masalah justru timbul dari orang-orang yang dianggap memiliki kehidupan spiritual yang baik. Pemimpin-pemimpin rohani justru mempertontonkan perilaku hidup yang berbeda dari yang mereka ajarkan. Lantas, haruskah kita mengucap syukur kepada Tuhan yang tak dapat menyelesaikan masalah kita atau bahkan tak dapat menangani perilaku orang-orang yang berbicara atas nama-Nya?

Penghambat ucapan syukur
Kedua pandangan di atas, meskipun memiliki sudut pandang yang berbeda, memiliki kesepakatan bahwa pencapaian terbaik di dalam hidup adalah ketiadaan masalah—penderitaan, kesulitan, dan konflik. Tidak perlu mengucap syukur kepada Tuhan karena setiap pencapaian hidup dapat diraih tanpa bantuan Tuhan. Tidak perlu mengucap syukur kepada Tuhan karena kehadiran-Nya tidak cukup mampu menanggulangi masalah-masalah kehidupan.

Ironisnya, jika kita memiliki salah satu dari dua pandangan di atas, kita telah kehilangan satu kebenaran yang sangat penting di dalam kehidupan. Kebenaran bahwa keberadaan masalah justru membawa kita pada penemuan-penemuan berharga di dalam kehidupan kita.

Masalah menyingkapkan karakter sejati
Kita perlu mengucap syukur tatkala kita dirundung masalah karena melaluinya kita dapat melihat kualitas karakter kita dan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita mengucap syukur karena melalui masalah yang kita hadapi, kita dibawa pada penemuan dan pengenalan diri yang lebih dalam.

  • 1 Raja-raja 3: 16-28. Bagian Alkitab ini mengisahkan tentang dua orang perempuan yang menghadapi masalah di dalam hidupnya. Mereka tinggal dalam satu rumah dan masing-masing melahirkan anak dalam rentang waktu yang tidak lama. Anak dari salah satu mereka meninggal dunia, tetapi keduanya mengklaim bahwa anak yang masih hidup itu adalah anak mereka. Solusi yang ditawarkan Salomo bukankah solusi yang “baik”. Salomo justru memberikan mereka masalah baru: anak yang masih hidup itu akan dipenggal menjadi dua dan diberikan kepada masing-masing orang. Menariknya, masalah yang diberikan oleh Salomo menyingkapkan karakter sejati dari kedua perempuan itu. Perempuan yang merupakan ibu dari anak tersebut tidak menghendaki anaknya dibunuh, sebaliknya ia rela anak itu diberikan kepada perempuan lainnya asalkan anaknya tetap hidup. Sebaliknya, perempuan yang bukan merupakan ibu dari anak tersebut menginginkan anak itu dipenggal menjadi dua. Masalah yang hadir menyingkapkan karakter sejati yang dimiliki orang-orang yang ada di sekitar masalah itu.
  • Ayub 1:20-22, 2: 9-10. Masalah yang datang bertubi-tubi yang dialami oleh rumah tangga Ayub menyingkapkan karakter sejati Ayub dan istrinya. Ayub dan istrinya bukan hanya kehilangan harta benda mereka, mereka juga kehilangan anak-anak yang mereka kasihi. Tidak sampai di situ saja, Ayub bahkan menderita sakit borok di sekujur tubuhnya. Rentetan masalah ini menyingkapkan karakter sejati dari istrinya di mana ia melihat bahwa penderitaan yang mereka alami merupakan alasan untuk mengutuki Tuhan, sementara Ayub melihat bahwa Tuhan punya kedaulatan penuh atas hidupnya dan ia tidak berhak menyalahkan Tuhan atas kehilangan yang ia alami. Masalah menolong kita melihat bagaimana karakter sejati kita. Masalah merupakan ujian yang menyingkapkan siapa diri kita sebenarnya. Penderitaan, kesulitan, dan konflik membuka tabir karakter sejati dari orang-orang yang dirangkulnya.

Masalah menunjukkan Kekuasaan Tuhan
Kita perlu mengucap syukur tatkala kita menghadapi masalah karena melaluinya kita melihat kemahakuasaan Allah. Kita mengucap syukur karena melalui masalah yang kita hadapi kita melihat karya-karya Allah yang luar biasa.

  • Yohanes 9: 2-3. Ayat ini mengemukakan pertanyaan para murid tentang keberadaan seorang yang mengalami masalah kebutaan sejak lahir. Tuhan Yesus menyatakan bahwa kebutaan orang tersebut akan menyatakan karya Allah. Di bagian selanjutnya kita melihat bagaimana Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta tersebut, dan orang tersebut memberikan kesaksian tentang karya Allah kepada orang-orang di sekitarnya. Beberapa masalah yang kita hadapi pada waktunya akan menunjukkan kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak terbatas, kekuasaan-Nya melampaui keterbatasan kita. Melalui masalah-masalah yang kita hadapi kekuasaan Tuhan dinyatakan dan itu menjadi kesaksian yang indah bagi nama Tuhan dalam hidup kita dan orang-orang di sekitar kita. Keberadaan Allah di dalam hidup kita tidak membuat masalah sirna, melainkan masalah-masalah itu menunjukkan kepada kita kemahakuasaan Tuhan.
  • 2 Korintus 12: 7-10. Paulus adalah satu dari sekian orang yang melihat masalah sebagai wadah untuk mengecap kuasa Kristus dalam hidupnya. Dalam bagian firman Tuhan ini dinyatakan Paulus punya masalah yang didefinisikan sebagai “duri dalam daging”. Paulus sudah memohon supaya masalah ini diangkat dari padanya, tetapi firman Tuhan menyadarkan dia kebenaran bahwa justru di dalam masalah itu kuasa Tuhan menjadi dinyatakan, “Justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Melalui masalah yang kita hadapi, kita akan merasakan kuasa Tuhan yang memenuhi hidup kita. Masalah menghantar kita pada perjumpaan dengan kemahakuasaan Tuhan.

Konklusi
Sebagai sebuah komunitas, komunitas Athalia, sekali lagi, dapat melewati satu tahun pelajaran lagi. Apa yang kita syukuri pada titik ini? Kita bersyukur karena satu tahun pelajaran ini kita makin mengenal diri kita, sebagai suatu komunitas, dan kita melihat kuasa Tuhan yang berulang kali dinyatakan dalam tahun pelajaran ini. Kita bersyukur semakin mengenal Tuhan justru melalui berbagai masalah: penderitaan, kesulitan, dan konflik, yang terjadi dalam komunitas ini.

Berada dalam satu komunitas yang terdiri dari banyak orang di dalamnya dengan berbagai kontribusi peran (yayasan, staf, guru, orang tua, siswa, OB, petugas keamanan, petugas kebersihan), dalam satu tahun ajaran ini kita telah mengalami berbagai peristiwa, masalah, dalam lingkup pribadi, satu keluarga, dalam kepanitiaan, ataupun dalam unit kerja yang ada. Beberapa dari kita bergumul dengan kesehatan, mengalami kedukaan, mencari pasangan hidup, relasi suami-istri, kesulitan dalam pengasuhan anak atau penanganan siswa, konflik dalam relasi dengan orang tua, teman atau rekan kerja. Ada yang bergumul dengan target atau tuntutan kerja, yang lain bermasalah dengan loyalitas dan karakter sebagai karyawan. Apa pun masalahnya, seberapa pun penderitaan itu, sedalam apa pun kesulitan itu, seluas apa pun konflik itu, melaluinya kita makin mengenal karakter diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Melaluinya kita melihat kekuasaan Tuhan dinyatakan. Kuasa-Nya telah menyelamatkan kita. Bukankah karena itu kita harus bersyukur?

Susah itu ada gunanya – Yohan Candawasa