Berjalan dalam Kekudusan

Oleh: Yolanda, S.Th.

“Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu, sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” 1 Petrus 1:15-16

Ayat tersebut di atas dimaksudkan ketika Petrus berbicara mengenai panggilan orang Kristen untuk hidup kudus. Dia ingin mengajarkan doktrin Allah yang penting bagi kita semua, yaitu Allah yang kudus. Tema ini merupakan tema yang tidak pernah berubah dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru dan tetap berlaku bagi orang percaya sampai saat ini.

Berbicara mengenai kekudusan, dalam bahasa Ibrani, Kudus berasal dari kata “kadosh” yang berarti terpisah atau dipisahkan dari yang lain. Terpisah di sini maksudnya adalah seseorang harus berpisah, meninggalkan, pergi atau melangkah ke arah yang berlawanan, serta tidak ada relasi lagi atau berhenti berhubungan dengan hal yang jahat dan berdosa. Orang Kristen dipanggil untuk tidak lagi berkompromi dengan dunia ini serta terpisah dari yang lain (dari yang jahat).
1 Petrus 1:15-16 memiliki setidaknya tiga makna yang dalam untuk kita pelajari dan menjadi bagian bagi hidup kita.

1. Allah itu Kudus.
Allah yang kudus setidaknya menekankan dua hal utama. Pertama, Allah mau terus memperkenalkan diri-Nya kepada manusia sebagai Allah yang kudus. Kedua, Allah yang kudus berarti bahwa Ia tidak berkompromi dengan dosa.

Pada saat Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Tuhan langsung mengusir mereka dari Taman Eden karena dosa melanggar kekudusan-Nya. Yesaya berkata “celakalah aku” ketika Yesaya berhadapan dengan Allah, ia menyadari siapa dirinya yang sedang berhadapan dengan Allah yang kudus. Ketika Allah menjumpai Musa dalam bentuk lidah api di semak-semak, Allah juga berkata kepada Musa untuk melepaskan kasutnya. Ketika manusia jatuh dalam dosa, Allah harus mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menghapus dosa manusia sehingga manusia dapat ditemukan kembali kudus, tidak bercacat dan dapat kembali berelasi dengan Allah Bapa yang adalah Kudus.

Allah yang kudus, tidak dapat hidup bersama orang yang tidak kudus. Begitu pula orang-orang yang mengotori kehidupannya dengan ketidakkudusan tidak dapat melihat Allah, sebab Allah adalah kudus.

2. Karena Allah itu kudus, kita juga harus kudus.
Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia dituntut untuk hidup kudus, sama seperti Allah adalah kudus. Karena Allah tidak dapat berkompromi dengan ketidakkudusan, orang percaya pun seharusnya hidup kudus di hadapan Allah. Hanya dengan cara tetap hidup di dalam kekudusan Allah, akan membuat kita bisa menghayati keberadaan dan kehadiran Allah di dalam setiap langkah hidup yang kita jalani di dalam dunia ini sehingga apa pun yang terjadi dalam hidup ini, kita percaya bahwa Allah tetap bersama kita dan Ia tidak akan pernah meninggalkan kita. Apakah mungkin bagi orang percaya untuk hidup kudus di hadapan Allah? Jawabannya terletak pada makna ketiga dari poin di bawah ini.

3. Kita bisa kudus karena Dia kudus.

Makna ketiga ini mengandung unsur penguatan bagi orang percaya. Ketika kita percaya dan menerima Tuhan sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, saat itu juga kita telah “…di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu” (Efesus 1:13). Kita dikuduskan karena Kristus yang telah menebus kita. Roh Kudus yang menyertai kehidupan orang percaya akan senantiasa menuntun dan membimbing kita dalam kebenaran, untuk hidup kudus semakin serupa dengan-Nya.

Menariknya, di dalam Bahasa Yunani, kata kudus, “hagios” mengandung arti yang berkorelasi dengan anugerah Tuhan semata-mata. Ini berarti bahwa kita hanya bisa hidup kudus hanya karena anugerah dan pertolongan Tuhan. Hanya Dialah yang memungkinkan kita hidup kudus. Hal ini dipertegas dengan kalimat “Dia yang kudus yang telah memanggil kamu….” (ay. 15) yang memiliki makna bahwa kita bisa menjadi kudus karena Allah yang kudus itu sendiri telah memanggil dan pasti akan menguduskan kita. Dan ketika Allah menguduskan manusia berarti Allah memilih manusia menjadi milik-Nya, dimana manusia itu “dikhususkan dan dipisahkan”. Orang kudus ialah orang yang dikuduskan oleh Roh Kudus sehingga mereka tidak lagi “dari dunia ini” (Yohanes 17:14-19).

Sebagai penutup, Ann Arbor dalam bukunya Rediscovering Holiness berkata, “Kekudusan merupakan obyek dari penciptaan baru kita. Kita dilahirkan kembali supaya kita dapat bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus. Kekudusan adalah tanda realitas iman dan pertobatan seseorang, serta penerimaan orang tersebut pada tujuan akhir Allah. Akhir kekudusan merupakan substansi kebahagiaan sejati. Orang yang mengejar kebahagiaan palsu akan kehilangan kekudusan dan orang yang mengejar kekudusan akan memperoleh kebahagiaan sejati dalam Kristus tanpa memintanya.”

Oleh karena itu, sebagai orang yang sudah lahir baru, kita harus menyadari dengan sungguh bahwa kekudusan hidup adalah kewajiban cara hidup orang percaya yang tidak dapat ditukar, diganti atau dibayar dengan apa pun juga dan akan mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

Dan pada akhirnya, hidup kudus adalah hidup yang memiliki hati dan pikiran Kristus, artinya kita harus sungguh-sungguh menyadari bahwa hidup kita tidak saja di dalam dunia ini dan juga tidak berdiri sendiri tetapi mutlak bergantung pada Allah yang Mahakuasa. Kita tidak sendirian dalam menjalani hidup yang kudus ini karena ada tangan Allah yang tidak terlihat yang terus menopang dan memampukan kita untuk hidup kudus.

Selamat berproses dalam hidup kudus!

Field Trip Kelas III

Semester satu ini, siswa kelas III mengikuti kegiatan field trip ke Jakarta Aquarium.  Tujuan diadakannya field trip ini, yaitu untuk mengenalkan anak tentang ekologi, konservasi biologi, dan kehidupan bawah laut. Para siswa terlihat sangat antusias ketika berinteraksi dengan hewan-hewan laut. Selama kunjungan ini, mereka juga diajak untuk bermain beberapa games dan menyaksikan Mermaid Show

Retret Kelas 10: “The End of Me”

Reggy Sebastian Sapetu

“Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Galatia 2:19-20).

The end of me” (Akhir dari ke-aku-anku) merupakan tema yang diangkat untuk menjawab tantangan hidup siswa saat ini. Kehidupan yang berporos pada si “aku” atau diri sendiri selalu menjadi jerat bagi seorang remaja untuk menjalani hidup yang semakin jauh dari Tuhan. Menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi menjadi kunci utama bagi setiap orang untuk mengalami kemenangan penuh dalam hidupnya. Setelah itu, dia akan dipimpin oleh Roh Kudus untuk menjalani hidup yang bertumbuh dan berbuah di dalam Kristus, baik melalui kehidupan doa, ketekunan dalam membaca dan merenungkan firman Tuhan, persekutuan dengan saudara seiman dan kemudian hidup bersaksi untuk kemuliaan Tuhan. Semuanya ini menjadi tujuan dan sasaran di dalam kegiatan retret tahun ini, yang disampaikan melalui berbagai sesi dan simulasi.

Di hari pertama, siswa diajak untuk mengenali tantangan-tantangan hidup yang sedang mereka hadapi di zaman ini. Melalui berbagai games yang sangat menarik, siswa bisa belajar tentang nilai-nilai kehidupan dan kemudian dilihat dari perspektif Alkitab, yang dijelaskan melalui refleksi bersama. Pada hari berikutnya, siswa diajak untuk mengenal tentang beberapa konsep penting, yaitu tentang manusia dan dosa, serta tentang Kristus. Kemudian mereka diajak untuk masuk dalam beberapa simulasi pertumbuhan iman, yaitu berdoa, membaca Alkitab, persekutuan dan bersaksi. Setelah itu, mereka ditantang untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi, dan meneguhkan kembali iman mereka yang sudah percaya, melalui acara KKR. Sesi ini diakhiri dengan sharing di dalam kelompok tentang hal-hal yang sudah mereka alami dan yang menjadi komitmen mereka.

Setelah melakukan devosi bersama, di hari terakhir, peserta kembali melakukan berbagai macam simulasi yang memberikan gambaran tentang bagaimana mereka bisa menjawab tantangan hidup mereka, ketika mereka sudah mengalami hidup di dalam Tuhan. Ditutup dengan sesi tentang pentingnya sebuah kelompok untuk bertumbuh bersama, siswa diajak untuk bergabung di dalam KTB (Kelompok Tumbuh Bersama), di mana mereka akan dibimbing untuk semakin mengenal Tuhan, melalui persekutuan yang erat, belajar firman Tuhan dan belajar untuk mempraktikkan pola hidup yang Tuhan kehendaki.

Semua hanya karena kasih dan anugerah Tuhan, melihat berbagai respons dari para peserta retret tahun ini, yaitu mereka mau percaya pada Tuhan Yesus dan berkomitmen untuk bertobat dan memperbaiki diri dan mau ikut dalam KTB. Kesatuan hati dari para guru pendamping dan beberapa alumni SMA Athalia yang terlibat, yang selalu berdoa di setiap rangkaian kegiatan ini, serta kebersamaan dengan siswa yang tercipta dalamnya, menjadikan retret tahun ini sebagai sebuah pengalaman rohani tersendiri bagi semua. Kiranya Tuhan menolong setiap pribadi, khususnya para peserta, untuk menjalani hidup yang berkenan di hadapan Tuhan dan selalu mengandalkan Tuhan di dalam hidupnya.

Hari Pertama Masuk Sekolah: Mari Bertumbuh Bersama dan Benar Sejak Awal!

Selamat datang untuk siswa-siswa Sekolah Athalia! Selamat kembali beraktivitas di sekolah tercinta! Selamat datang juga untuk para orang tua siswa baru, selamat bergabung di Komunitas Sekolah Athalia. Kiranya sekolah ini menjadi tempat bagi para siswa belajar dan terus bertumbuh dalam hal keimanan.

Pada 10 Juli, anak-anak memulai kembali aktivitas bersekolah mereka. Sejak pukul setengah tujuh, para siswa sudah mulai berdatangan dan saling menyapa teman-temannya. Untuk anak-anak yang lebih besar, SMP dan SMA, kembali ke sekolah berarti kembali bertemu dengan teman-teman dekat dan bisa secara intens berbagi cerita dan sukacita. Beberapa siswa terlihat begitu bersemangat hingga suara riuh bergema di lorong-lorong.

Selama tiga hari pertama, mereka mengikuti serangkaian kegiatan. Kegiatan-kegiatan ini untuk mengingatkan kembali budaya Athalia. Khususnya para siswa baru di kelas 7 dan 10 yang membutuhkan adaptasi yang lebih dalam, mereka wajib mengikuti PLP untuk “memuluskan” proses adaptasi di jenjang dan lingkungan yang baru.

Para siswa SMP dan SMA dengan tertib mengikuti arahan di kelas masing-masing. Sesi ice breaking sangat mencairkan suasana. Selama tiga hari, mereka lebih didorong untuk mempererat relasi dengan teman dan guru. Di kelas, mereka diberikan pemaparan mengenai peraturan-peraturan kelas yang sudah disepakati bersama dan melakukan komitmen pribadi untuk tahun ajaran baru ini.

Sementara itu, pada kelas yang lebih kecil, Batita hingga TK, anak-anak terlihat antusias menyambut kelas baru, khususnya siswa TK yang sudah lebih berani karena sudah pernah bersekolah sebelumnya. Pada kelas yang lebih kecil, Batita dan Pra-TK, orangtua dan siswa sama-sama antusias menghadapi hari pertama sekolah. Walau banyak juga yang merasakan separation anxiety karena berpisah dari orangtua. Untungnya, para ibu guru bisa dengan sigap menangani anak-anak tersebut dan mengajak mereka beraktivitas untuk mengalihkan rasa cemas yang dirasakan.

Hari-hari awal sekolah ini sebagai gerbang kehidupan baru anak-anak tersebut untuk menjalani hidup yang lebih mandiri dan bertumbuh bersama di Athalia dengan satu tujuan: memuliakan nama Tuhan. (dl)

“INITIATIVE DAY” SD ATHALIA

Inisiatif adalah karakter yang sangat penting dimiliki oleh seseorang. Inisiatif mendorong kita melakukan hal yang benar tanpa diperintah, disuruh, atau diharuskan oleh aturan semata. Karakter inilah yang diharapkan tumbuh dalam diri siswa-siswi kelas 5 SD Athalia. Selain pembinaan yang terus-menerus dilakukan dalam perjumpaan sehari-hari serta waktu-waktu yang dikhususkan seperti shepherding time, karakter inisiatif diperkenalkan melalui character camp di awal tahun pelajaran.

Character camp yang diadakan pada Jumat, 2 Agustus 2019, kali ini mengambil waktu satu hari penuh dari pagi hingga sore hari. Diawali dengan berfoto bersama, senam di lapangan, dan parade grup yang disertai yel-yel tiap kelompok, siswa-siswi memulai character camp dengan ceria dan semangat. Kegiatan dilanjutkan dengan pembukaan oleh Ibu Dewi Andrianti selaku kepala SD Athalia serta ibadah yang membahas firman Tuhan yang menjadi dasar dari karakter inisiatif. Setelah mengerti dasar dan definisi karakter inisiatif, siswa-siswi mulai berlatih mempraktikkannya. Mereka belajar berinisiatif dalam melakukan tanggung jawab pribadinya, menjaga ketertiban dan kebersihan lingkungan, dan memedulikan sesama.

Pembelajaran dikemas dalam bentuk permainan. Melaluinya, siswa-siswi menyadari bahwa berinisiatif perlu dilatih dan dibiasakan. Mulai dari hal sederhana setiap hari seperti berinisiatif bangun tidur dan mandi tanpa disuruh, tertib meletakkan tas dan sepatu pada tempatnya sepulang sekolah, mengembalikan barang pada tempatnya, tenang saat mengikuti pelajaran, dan sebagainya, inisiatif dapat berkembang kepada hal-hal yang berdampak baik bagi orang lain dan lingkungan. Meskipun banyak siswa yang belum berhasil berinisiatif, terlihat keinginan mereka untuk belajar dan menjadi lebih baik lagi. Selain permainan, para siswa dipaparkan video dan ilustrasi yang mengajarkan mereka contoh konkret berinisiatif terhadap lingkungan dan sesama dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian, para guru membuat sebuah simulasi yang mengondisikan mereka untuk berlatih berinisiatif. Karakter inisiatif mulai tampak pada diri beberapa anak; ada yang membereskan pensil warna dan spidol yang berserakan di ruang makan selagi teman-temannya bermain, ada yang membantu guru yang kesulitan membawa barang banyak, ada yang memperhatikan guru mereka yang terlihat pucat dan sakit dengan menanyakan keadaannya. Namun, tidak semua siswa sudah dapat langsung berinisiatif. Ada yang baru menyadari setelah sempat melewatinya begitu saja, bahkan ada juga yang tidak menyadari sama sekali bahwa mereka perlu berinisiatif memperhatikan sekitar mereka. Meskipun demikian, character camp ini memberikan pengalaman dan pelajaran bagi mereka mengenai apa itu inisiatif terhadap sesama dan bagaimana menerapkannya.

Character camp ditutup dengan mengumpulkan proyek berupa prakarya yang menjadi tanggung jawab mereka untuk diselesaikan di akhir hari itu. Para guru tidak memberi tahu secara langsung kapan mereka harus mengerjakan proyeknya, tetapi ternyata siswa-siswi cukup antusias menggunakan waktu-waktu kosong mereka untuk mengerjakan proyeknya.

Character camp kali ini telah berakhir, tetapi pembelajaran karakter terus berjalan dalam keseharian siswa-siswi. Guru maupun orang tua hanya dapat menabur dan menyiram–melakukan bagiannya, tetapi Tuhanlah yang memberi pertumbuhan. Kiranya apa yang telah ditanamkan akan berbuah kelak pada waktu-Nya. Tuhan, yang memulai pekerjaan yang baik di antara anak-anak kita, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus (Filipi 1:6). Sola gratia, Soli Deo gloria! (Bk)

Rekomendasi buku – Apa yang Dilakukan Orang Tua Hebat: 75 Strategi Sederhana untuk Membesarkan Anak-Anak yang Bertumbuh

Menjadi orangtua tak pernah ada sekolahnya. Sejak dulu, para orangtua mendidik dan mengasuh anak-anak mereka berdasarkan pengalaman mereka dididik orangtua mereka sebelumnya. Teknik ini memiliki banyak kelemahan, salah satunya karena banyak nilai yang diajarkan sudah terlalu “usang” untuk diajarkan ke anak-anak yang memiliki gap generasi yang cukup jauh dengan orangtuanya.


Oleh karena itu, ada baiknya orangtua untuk terus memperbarui ilmu mereka dalam hal mendidik dan mengasuh anak. Banyak ilmu bermanfaat yang dibagikan para ahli parenting dan psikolog melalui buku-buku mereka, salah satunya buku karangan Erica Reicher, Ph.D yang berjudul Apa yang Dilakukan Orang Tua Hebat: 75 Strategi Sederhana untuk Membesarkan Anak-Anak yang bertumbuh.


Buku ini merupakan buku terjemahan dari buku berjudul What Great Parents Do: 75 Simple Strategies for Raising Fantastic Kids. Dalam buku ini, Erica memaparkan berbagai contoh kasus dan rekomendasi solusi yang pernah dia terapkan selama melakukan konseling terhadap anak dan orangtua.


Buku ini terdiri atas 75 poin yang diulas dengan bahasa yang sederhana dan lugas. Format buku ini terinspirasi dari berbagai permintaan akan ringkasan praktik parenting terbaik yang berorientasi ada tindakan sehingga tiap poin dijabarkan tidak lebih dari tiga halaman dan disertai dengan sebuah solusi. Pembaca bisa menemukan berbagai ulasan ringkas mengenai cara menguasai perasaan, mengolah self awareness, menghindari frasa-frasa beracun, menunjukkan empati, dan lain sebagainya. Pembaca juga bisa menemukan trik untuk menghadapi perilaku-perilaku anak yang selama ini dianggap sulit.

Penulis: Erica Reischer, Ph.D
Jumlah halaman: 186
Tahun terbit: 2019
Penerbit: Grasindo

Kamp Karakter “JUJUR” kelas III SD Athalia

Kali ini, giliran anak-anak kelas III SD Athalia mengikuti kamp karakter. Tema kamp karakter kali ini adalah JUJUR, sesuai dengan karakter yang dipelajari di kelas III. Tujuan kamp karakter, yaitu melatih anak-anak untuk menanamkan karakter jujur dalam kehidupan sehari-hari. 

Beberapa kegiatan yang dilakukan, antara lain melakukan games bersama kelompok di mana kejujuran mereka diuji dalam melakukan tiap permainan. Mereka juga kemudian diajak untuk melakukan evaluasi dalam kelompok perihal aktivitas yang sudah mereka lakukan bersama. 

Semoga kegiatan ini memberikan pengalaman luar biasa bagi tiap anak dan menumbuhkan karakter jujur yang melekat erat pada mereka dan menjadi karakter diri yang terus mereka bawa hingga dewasa nanti.

Dampak dari Ayah yang “Hilang”

Hubungan ayah dan anak merupakan hubungan yang kompleks. Tak seperti hubungan anak dengan ibunya, yang sudah terjalin bonding di antara keduanya sejak anak di dalam kandungan, hubungan ayah-anak memerlukan pemeliharaan jangka panjang dengan komitmen penuh.


Budaya Timur yang masih memegang teguh patriarki membuat ayah menjadi “The Provider Father” yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan begitu, fungsi ayah hanya berpusat pada fungsi secara ekonomi, mencukupkan kebutuhan finansial keluarganya.


Oleh sebab itu, konsep ayah atau kepala rumah tangga lebih banyak dipahami sebagai seorang provider, penyedia. Kesuksesan seorang ayah dilihat dari jabatannya di kantor dan seberapa banyak dia bisa memberikan penghidupan untuk keluarganya. Konsep ini membuat ayah-ayah berfokus pada pencapaian karier dan kondisi finansial dan menarik diri dari urusan rumah tangga.


Dampaknya, anak-anak mereka, khususnya anak laki-laki, merasakan kekosongan besar dalam dirinya akan sosok maskulin dalam perkembangan emosinya. Anak laki-laki, ketika beranjak remaja dan dewasa, sangat memerlukan seorang patron atau pembimbing yang mengawalnya memasuki fase pencarian jati diri. Anak-anak yang merasakan kekosongan ini pada akhirnya mencari sosok maskulin pada orang lain, entah itu pemusik yang diidolakannya atau gurunya di sekolah.


Ketidakhadiran ayah dalam hidup anak-anak mereka juga akan membuat relasi di antara mereka sulit terbangun dengan harmonis. Akan ada gap yang terjadi, yang membuat anak enggan untuk berbagi perasaannya dengan ayahnya. Begitu juga si ayah yang merasa tak perlu mengetahui seluk-beluk perasaan anaknya—karena mereka pun di masa remajanya tertempa untuk tumbuh sendiri dan menemukan maskulinitas dengan cara mereka sendiri.


Pemahaman-pemahaman inilah yang membuat banyak ayah tak memiliki emosi yang matang. Mereka cenderung memendam perasaan, tak banyak bicara, dan menjaga jarak dengan anggota keluarga lainnya—untuk membentuk kesan bahwa ayah adalah sosok superior yang perlu ditakuti.


Relasi di antara ayah dan anak pada akhirnya tumbuh menjadi sebuah hubungan berjarak yang membuat komunikasi akan sulit terjalin. Dampaknya, akan sering terjadi kesalahpahaman yang membuat ayah berpikir bahwa anaknya pembangkang, sementara sang anak berpikir bahwa ayahnya terlalu kolot dan tidak mau memahami perasaannya. Jika dibiarkan, anak akan semakin menjauh dan memilih untuk menghindari komunikasi dengan ayahnya. Anak pun akan merasa bahwa ayahnya tak mengasihinya, dan yang paling ekstrem, merasa tak diinginkan.


Pdt. Julianto Simanjuntak memaparkan dalam artikel “Absent Fathers, Lost Sons” dalam buku Mendidik Anak utuh Menuai Keluarga Tangguh bahwa dampak ketiadaan keintiman antara anak dengan ayah bisa sangat luas. Ketidakpercayaan akan kualitas dan kemampuan diri adalah salah satunya. Anak kehilangan kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri dan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan. Beberapa anak juga mengalami masa-masa remaja yang sangat sulit yang membuat mereka terjerumus ke dalam berbagai tindakan negatif, seperti menarik diri dari lingkungan sosial, mengonsumsi narkoba, merokok, gaya hidup seks bebas, serta kecanduan game online dan gadget. Dalam artikel ini, Pdt. Julianto menekankan bahwa para ayah harus mau mengambil inisiatif untuk meminta maaf kepada anak dan menambal luka yang sudah pernah ditabur agar terjadi rekonsiliasi di antara ayah-anak sehingga mereka bisa membangun kembali hubungan baru yang lebih berkualitas dan intim. (dl)

The Good Shepherd

Oleh: Februari Wati, S.E.,M.Div.

“Ketika kehilangan kekayaan, Anda tidak kehilangan apa-apa. Ketika kehilangan kesehatan, Anda kehilangan sesuatu. Ketika kehilangan karakter, Anda kehilangan segala-galanya.” – Billy Graham

“Sikap dan perilaku seseorang merupakan cerminan karakter dari orang tersebut. Manusia seharusnya memiliki karakter Kristus karena ia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Kejatuhan dalam dosa membuat manusia hidup dalam arus dunia yang menyesatkan, tetapi bagi orang percaya ia dimampukan untuk membedakan mana yang benar dan salah, serta tidak terlibat dalam arus dunia yang destruktif.


Setiap manusia termasuk anak-anak penting memiliki karakter Kristus. Anak-anak digambarkan seperti domba-domba yang lemah, sedangkan roh dunia digambarkan seperti serigala yang buas dan siap memangsa kawanan domba. Kamus Gambaran Alkitab mencatat bahwa Domba tanpa Gembala tidak dapat bertahan hidup lama. Domba dikenal sebagai hewan yang sangat lemah, yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri seperti hewan lain.


Pada zaman dulu, domba-domba tidak dipelihara di tempat berpagar. Mereka dibiarkan dan hidup berbaur dengan hewan lain (Yes. 65:25). Keselamatan para domba sangat terancam dari serangan serigala-serigala yang kelaparan. Domba juga digambarkan sebagai hewan yang sangat mudah tersesat dan tidak bisa menemukan jalan kembali ke kandang walaupun jaraknya sangat dekat. Ketidakberdayaan domba membuat mereka hidup bergantung sepenuhnya pada gembala. Ketidakberdayaan domba ini mencerminkan diri manusia yang lemah dan rapuh, yang sangat mudah digoda dan dibinasakan.


Yesaya 40:11 menggambarkan Allah sebagai Gembala yang menggendong anak domba di tangan-Nya untuk diberikan perlindungan, tempat berteduh bahkan mendapat perawatan saat sakit atau terluka.


Anak-anak diibaratkan sebagai kawanan domba yang mudah tersesat dan lemah, yang harus dituntun dan dilindungi. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tuntunan dari orang yang lebih dewasa untuk berproses dan bertumbuh hingga karakter Kristus terpancar dalam diri mereka. Namun, pertanyaannya, siapakah yang harus berperan menjadi gembala mereka?

Panggilan sebagai Gembala
Manusia adalah wakil Allah dalam dunia ciptaan-Nya. Semua pekerjaan yang diusahakan manusia dalam dunia bukan hanya memenuhi kebutuhan hidup semata melainkan menyadari adanya panggilan Allah. Panggilan Allah dijalankan lewat kehadiran diri kita sebagai gembala yang baik dalam setiap waktu dan tempat. Gembala yang dipanggil untuk membawa anak-anak dari gelap menuju terang. Dari kebutaan secara rohani kepada kecerahan rohani. Gembala membantu anak-anak yang terperangkap dalam dosa dan tersesat untuk berjumpa dengan kasih Anugerah Allah. Peran menjadi gembala bagi anak-anak merupakan respons dari hati kita yang mengasihi Allah dan panggilan untuk bersaksi dari amanat Agung yang kita imani.

Tiga Prinsip dalam Penggembalaan
A. Transformasi Hidup
Gembala secara pribadi perlu mengalami terlebih dahulu transformasi hidup di dalam Kristus. Sebab tidak mungkin orang buta menuntun orang buta menuju kecerahan rohani. Paulus memaparkan transformasi hidup meliputi pengudusan, pembaharuan, dan pemuliaan diri di dalam Kristus. Segala usaha atau tindakan berpegang pada kebenaran Allah yang bekerja dalam diri kita untuk menjadi manusia segambar dan serupa dengan Allah (2 Petrus 1:3-9). Dalam transformasi hidup, seorang gembala juga harus membangun spiritualitas yang benar dalam melihat dan menghadapi berbagai kebingungan dan kondisi keruntuhan moral yang terus mencuat dalam kehidupan manusia. Kondisi yang membingungkan dan demoralisasi yang ada terkadang memerlukan pemikiran dan tindakan yang cepat dan tepat. Kondisi demikian diharapkan dari diri seorang gembala memiliki kehidupan spiritualitas yang baik di dalam kebenaran Allah yang terintegrasi dalam kehidupan secara holistik (heads, hearts, hands).

B. Tongkat dan Gada (Maz. 23:4)
Para gembala, dalam menjalankan otoritas dan tanggung jawabnya, harus selalu menyiapkan segala kebutuhan, yaitu sebagai penuntun, pelindung, dan pendamping setia bagi domba-dombanya. Dalam hal ini, tongkat dan gada menjadi alat yang dibutuhkan gembala dalam menjalankan tugasnya. Tongkat (dari kayu) menjadi lambang dari bimbingan Allah, yang biasanya dipakai gembala untuk menuntun domba ke jalan yang benar. Sementara itu, gada (dari besi) melambangkan kekuatan, kuasa, dan wibawa, yang menunjukkan bahwa Allah menjamin dengan kasih dan kekuatan-Nya untuk melindungi umat-Nya dari ancaman bahaya. Seperti Allah yang memegang tongkat ke atas domba ketika mereka memasuki kandang, memperhatikan satu demi satu yang lewat untuk memastikan bahwa semua domba telah ada di sana dalam keadaan aman (Yeh. 20:37). Dari paparan tersebut, kita dapat memahami bahwa sebagai seorang gembala yang baik, kita perlu memakai kuasa dan kekuatan Allah dalam membimbing anak-anak domba kita.

C. Menjadi Teladan
Teladan atas kasih yang Kristiani dan buah roh haruslah tecermin dalam diri seorang gembala yang baik. Yesus Kristus adalah teladan gembala yang baik. Dalam beberapa bagian Alkitab, Yesus diberi gelar sebagai “Gembala Agung segala domba” (Ibr.13:20); “Gembala dan Pemelihara Jiwa” (1 Ptr. 2:25); “Gembala bagi orang-orang terbuang” (Mat. 6:34; 9:36; 15:24; Luk 19:10). Yesus Kristus adalah gembala yang baik (Yoh 10:3-30) yang tidak memperhatikan diri sendiri, tetapi terus mencari domba yang hilang atau tersesat, menguatkan mereka yang lemah, membalut yang terluka, menyembuhkan yang sakit, menuntun dengan kelemahlembutan, dan melayani dengan rela berkorban tanpa mengharapkan imbalan. Bahkan, 1 Ptr. 5:3-4 menekankan hendaknya setiap gembala tetap menjadi teladan bagi kawanan domba dan bukan sebagai penguasa atas kawanan domba itu.
Apabila teladan karakter Kristus tidak tecermin atau ditemui dari diri gembala, anak-anak pun akan sulit mempraktikkannya dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang menjadi model untuk diteladani. Di sekolah, bersama para siswa, guru perlu menerapkan gambaran diri Tuhan dan karakteristik kasih Tuhan dalam berbagai situasi di sekolah. Kelas bisa menjadi semacam “laboratorium” tempat guru dan anak-anak mempraktikkan karakter Kristen.
Sementara itu, di rumah, orang tualah yang memegang peranan untuk menjadi teladan bagi anak. Orang tua menjadi sosok yang mencerminkan kasih Allah, mentransfer nilai kebenaran firman Tuhan, dan terus memberikan motivasi kuat kepada anak-anaknya ketika mengalami kesulitan.