Tema di atas menjadi pilihan kami ketika kami melihat fenomena adanya penurunan daya juang pada anak-anak zaman now. Kenyamanan hidup yang mereka rasanya membuat mereka tak lagi merasakan keterdesakan untuk “bertahan” dalam situasi sulit. Mereka cenderung pasif, pasrah, dan mudah putus asa.
Sebagai orang tua, kita kerap berpikir bahwa kita harus memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Ketika kita pernah mengalami kesulitan hidup di masa lalu, kita merasa bahwa itu adalah hal yang menyedihkan dan tidak ingin anak kita mengalami apa yang pernah kita alami. Berbagai cara kita lakukan untuk membahagiakan anak. Segala fasilitas kita sediakan. Anak kita pun tumbuh dengan segala kenyamanan, di tengah sangkar emas yang sudah kita bangun dengan bilur-bilur keringat kita.
Apakah hal ini salah? Tentu setiap orang tua ingin anaknya merasakan kenyamanan. Namun, jangan lupakan bahwa anak kita, saat mereka terjun ke dunia yang sebenarnya, pasti akan mengalami sandungan-sandungan, akan mengalami kekecewaan, akan mengalami kejatuhan. Saat anak dewasa nanti dan mengalami kondisi-kondisi ini, mungkin kita sudah tak lagi bisa mendampinginya setiap saat.
Mengasihi anak yang sebenarnya berarti memberikan segala yang mereka butuhkan untuk menghadapi hidup ke depan. Mengasihi anak berarti membentuk mereka untuk menjadi individu-individu tangguh yang sanggup berdiri tegak di tengah berbagai ujian hidup. Dan daya juang itu merupakan skill yang harus dimiliki oleh anak-anak kita dalam menjalani masa depannya.
Lalu, bagaimana cara untuk membuat anak-anak kita memiliki daya juang dan mampu berdiri di atas kakinya kelak? Kita perlu berani melakukan beberapa hal yang mungkin akan sangat bertentangan dengan hati kita, tetapi dampaknya akan sangat bermanfaat bagi anak.
- Berani menanggung risiko. Untuk membuat anak-anak kita mandiri, kita perlu melepaskan mereka sedikit demi sedikit dan berani menanggung risiko jika dalam proses pembelajaran tersebut, anak akan mengalami sandungan dan rintangan. Misalnya, membiarkan anak berlatih sepeda roda dua. Saat belajar, risiko jatuh pasti sangat besar. Sebagai orang tua, kita perlu menyadari bahwa hal tersebut merupakan hal yang wajar terjadi pada anak yang sedang belajar. Jadi, biarkan anak terjatuh satu, dua, hingga sepuluh kali. Berikan dukungan bahwa ketika dia sudah lancar mengendarai sepeda, dia tidak akan lagi merasakan sakit akibat tergores aspal, dan lain sebagainya.
- Berani direpotkan. Untuk mengajari anak, tentunya kita akan kerepotan. Misalnya, mengajari seorang bayi untuk makan sendiri. Kita tentu akan kerepotan setelahnya membersihkan remahan makanan yang mungkin tak hanya menempel di tubuh si anak, tetapi juga di lantai, kursi, meja, dan alat makan lain. Namun, ketika kita sudah berkomitmen untuk membiasakan anak makan sendiri sejak dini—yang juga sangat bermanfaat untuk perkembangan motoriknya, kita harus rela untuk lebih repot dan susah demi perkembangan si anak.
- Berani malu. Untuk mengajarkan anak bangkit dan memiliki daya juang lebih besar, terkadang orang tua harus membiarkan anak mengalami kegagalan. Bagaimana jika si anak terancam tidak naik kelas? Apakah kita harus membiarkannya? Sebagai orang tua, tentu kita harus terus mendukung anak untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Namun, ketika memang hasil akhirnya tak juga bisa membuatnya naik kelas, orang tua harus lapang dada menerima hal tersebut. Ingatlah, di sini yang sedang belajar adalah anak sehingga kita perlu menekan ego serendah-rendahnya dan membiarkan anak mengalami kegagalan dan menanggung konsekuensinya.
Jadi, mana yang baik: mengasihani atau mengasihi? Pity atau compassion? Ada banyak peristiwa sehari-hari yang bisa kita jadikan bahan pembelajaran bagi anak tentang konsekuensi. Dari kejadian-kejadian tersebut anak juga bisa belajar tentang problem solving. Ketika seorang anak menguasai keterampilan memecahkan masalah, dia akan menjadi anak yang lebih mandiri, mampu menjadi solusi dari hambatan yang dihadapinya, dan mampu mengintrospeksi diri untuk tidak mengulangi kesalahannya. (dln)
*tulisan ini disarikan dari materi Seminar Parenting SD Kelas 4-6 Sekolah Athalia dengan tema “Kasih atau Kasihan?”