“Enggak Connect”

Beberapa orang tua mengeluhkan hubungan mereka dengan anak remajanya tak berjalan mulus. Rasanya, makin banyak perbedaan pendapat yang memicu konflik. Sebenarnya, ada apa dengan orang tua vs. remaja?

Hal inilah yang melatarbelakangi topik seminar parenting unit SMP, yaitu “Enggak Connect” yang diadakan Sekolah Athalia pada 19–21 Februari 2020. Seminar dibuka dengan review singkat mengenai seminar semester lalu dengan tema yang sama. Yang membedakan adalah seminar kali ini lebih berfokus pada diskusi dan studi kasus. Para peserta akan mendiskusikan dua pertanyaan dalam kelompok-kelompok kecil.

Dua pertanyaan diskusi kali ini, yaitu mengapa anak tidak mau bercerita kepada orang tuanya, dan mengapa anak tidak mau mendengar orang tuanya? Diskusi berlangsung menyenangkan. Para orang tua masuk dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok terdiri atas lima sampai enam orang, kemudian mendiskusikan dua pertanyaan tersebut. Mereka beragumen, sharing pengalaman pribadi, dan saling mendengarkan pendapat satu sama lain. Setelah itu, Bu Charlotte Priatna memimpin diskusi. Ada beberapa perwakilan dari kelompok-kelompok tersebut yang membagikan hasil sharing mereka.

Setelah itu, kesimpulan dari dua pertanyaan diskusi itu dirangkum. Anak-anak tidak mau bercerita pada orang tuanya karena papa dan mama terlalu cepat menghakimi atau menyimpulkan sebelum anak menyelesaikan ceritanya. Di sisi lain, anak remaja sulit mendengar perkataan orang tuanya karena orang tua terlalu sering mengulang ucapannya, berbicara dengan nada tinggi atau bahkan mengancam.

Bu Charlotte Priatna juga memaparkan bahwa hubungan orang tua dengan anak remaja menjadi salah satu kunci penting yang perlu disorot. Hubungan yang dimaksud adalah komunikasi. Orang tua diharapkan bisa menjadi pendengar yang aktif tanpa menghakimi. Salah satu saran yang menarik adalah sesekali orang tua perlu melakukan paraphrase ketika anak bercerita.

Paraphrase (parafrase) adalah keterampilan seseorang untuk mengulang kata-kata dan pemikiran yang disampaikan oleh anak. Pengulangan ini dilakukan tanpa mengubah makna kalimat sehingga anak merasa dipahami oleh orang tua.

Anak: Pa! Aku bad mood hari ini! Tadi ulangan Bahasa Inggris dibagiin dan aku nggak tuntas lagi!
Papa: Kamu lagi sebal karena nilai ulanganmu buruk ya, Nak.

Selain paraphrase, orang tua juga bisa menjadi pendengar aktif yang menggali masalah atau perasaan anak. Pertanyaan-pertanyaan kecil seperti, “Oh, begitu. Bagaimana perasaanmu?” “Apa responsmu?” mendorong anak semakin terbuka dengan orang tuanya.

Bu Charlotte juga membagikan kisah-kisah anak remaja yang punya hubungan buruk dengan kedua orang tuanya. Komunikasi mereka bermasalah sehingga anak lebih suka mengurung diri di kamar. Akibatnya, anak tidak mau bercerita tentang kesehariannya, apalagi mendengarkan orang tua. Padahal, enam tahun sebelum anak menginjak bangku kuliah adalah masa-masa yang harus dimanfaatkan orang tua untuk memenangkan hati anak dan menjalin relasi yang dekat.

Berdinamika dengan anak remaja sering dipandang sebagai tantangan bagi para orang tua. Mereka berada di masa transisi antara fase anak menuju dewasa. Banyak perubahan signifikan yang terjadi. Semoga, para orang tua berhasil menyesuaikan diri dengan fase anak dan mengusahakan relasi dekat antara keduanya. (SO)

Lebih Dekat dengan Siswa melalui “Parent’s Teaching”

Oleh: Elisa Christanto, Orang Tua Siswa

Saya selalu tertarik untuk berkontribusi lebih dalam dunia pendidikan, khususnya mendukung proses belajar mengajar di sekolah anak saya yang bungsu. Oleh karena itu, saya tak berpikir panjang lagi saat ditawari untuk menjadi relawan dalam program Parent’s Teaching di unit TK.

Parent’s teaching kali ini mengambil konsep story telling dengan tema “Kelinci”. Saya mulai mempelajari tema dan menyusun konsep cerita. Sembari jalan, saya memutuskan untuk mengamati karakter anak-anak di jenjang Pra-TK. Selain itu, saya juga membutuhkan bantuan orang tua lainnya untuk berperan sebagai singa dan kelinci. Puji Tuhan, banyak orang tua Athalia yang ringan tangan, mau memberikan bantuan dan kontribusi demi terwujudnya acara ini.

Kami melakukan beberapa pertemuan dan latihan sampai datanglah hari yang dinanti. Pada 11 Februari 2020, kami sudah bersiap untuk tampil di depan anak-anak, dengan persiapan yang cukup mepet dan seadanya. Namun, niat membara kami penuh, mengingat bahwa momen ini akan sangat berarti bagi anak-anak.

Kami membawakan cerita tentang singa dan kelinci dalam dua sesi, pagi dan siang. Pada sesi pagi, kami terkejut melihat anak-anak yang begitu manis, duduk di tempatnya dan menyimak dengan saksama. Saya amati, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak audio visual sehingga mendengarkan kisah dengan peraga menjadi hal yang sangat menarik bagi mereka. Saat diperbolehkan untuk berpartisipasi, mereka pun dengan antusias mendekati sumur tempat singa melompat. Luar biasa!

Sesi kedua, yaitu kelas siang, yang terdiri atas kelas Apple 1 dan Grape 1. Anak-anak di kelas siang sangat manis, cenderung kinestetik dan penuh antusiasme! Saat diminta untuk memanggil kelinci dan singa, mereka kompak berteriak memanggil “Kelinci…!” dan “Singa….!”

Peran singa yang dihayati dengan baik oleh salah satu orang tua siswa membuat para anak terbawa suasana. Mereka refleks memundurkan badan ketika singa mendekat. Begitu pula dengan kelinci, yang tingkah polahnya lucu, membuat anak-anak ingin menyapa kelinci.

Secara keseluruhan, acara ini sangat menyenangkan dan patut untuk dipertahankan. Tentu saja ada banyak manfaat yang bisa dipetik.

  • Melibatkan orang tua dalam proses belajar dan mengajar di sekolah dalam satu kesempatan, dapat menciptakan hubungan yang luwes dan hangat antara sekolah dan orang tua.
  • Orang tua dapat mendukung proses belajar dan mengajar di sekolah sesuai dengan talenta masing-masing.
  • Nyaman dan percaya. Ketika orang tua mengetahui bahwa proses belajar mengajar di sekolah anaknya baik sehingga orang tua pun merasa nyaman dan percaya kepada sekolah tersebut.
  • Sekolah juga akan senang jika ada orang tua yang peduli dengan proses belajar anaknya dan peduli dengan sekolah.

Manfaat lain yang tidak bisa diungkapkan adalah betapa bersyukurnya saya bisa menjadi pencerita dalam program Parent’s Teaching kali ini. Tak pernah membayangkan bisa sejenak menjadi seorang guru di sekolah formal.

Saya berharap akan ada banyak orang tua yang peduli dan rela hati saat diminta untuk terlibat dalam kegiatan sekolah. Karena itu semua bukan untuk kita, bukan untuk orang tua, tetapi untuk sekolah dan anak-anak.

Yuk… kita pakai talenta untuk menyenangkan hati Tuhan dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan orang lain.

Kehangatan yang Terjalin di Pra-event Temu Alumni

Oleh: Martin Manurung, konselor SMA.

Acara Pra-Event Temu Alumni merupakan kegiatan yang diadakan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan HUT 25 tahun Sekolah Athalia dengan tema “We Are One”. Acara Temu Raya Alumni sendiri akan diadakan pada 8 Agustus 2020. Panitia menargetkan 350 alumnus dari delapan angkatan untuk hadir pada Acara Temu Raya Alumni. Mereka akan berkumpul, sharing, berdiskusi, dan dibina demi menyatukan gerak langkah alumni Sekolah Athalia.

Adalah hal yang luar biasa untuk bisa mengumpulkan delapan angkatan alumnus Athalia yang saat ini tersebar di berbagai kota, baik di dalam maupun luar negeri. Untuk itulah acara Pre-Event Temu Alumni diadakan dengan tujuan membangun gairah dan menggerakkan alumni melihat pentingnya acara Temu Raya Alumni dan mengusahakan berbagai cara untuk hadir dan terlibat di dalamnya.

Acara pra-event ini juga diadakan untuk mengumpulkan kembali semangat kebersamaan dan kekeluargaan para alumnus setelah beberapa tahun tidak bertemu satu sama lain, termasuk dengan para bapak/ibu guru. Adapun persiapan kegiatan pra-event ini dilakukan kurang lebih selama dua bulan dengan campur tangan langsung dari para alumni—Keia, Disa, Moses, Adit, Andy, Krishna, Andrew, Kenisha, Kezia Adelia, Fily, dan Marcella—serta beberapa siswa yang masih sekolah di SMA Athalia—Kelvin, Jordan, Victor. Acara pra-event ini dilaksanakan pada Sabtu, 29 Februari 2020 pukul 18.00–22.00.

Acara pra-event ini dipandu oleh Bapak Martin Manurung dan Ester Kumala Tantri (Angkatan 3) sebagai MC. Acara dimulai dengan kata sambutan dari Pak Presno dan dilanjutkan dengan permainan tebak lagu. Momen ini dipakai untuk sekaligus menanyakan kabar para alumnus, termasuk “status relasi”-nya. Acara diisi dengan kuis yang mengingatkan mereka akan masa SMA bahkan cerita pengalaman dari beberapa alumnus tentang “kenakalan” yang mereka lakukan saat SMA dahulu.

Sukacita malam itu dilanjutkan dengan pertunjukan musik dari alumni dan guru, yang semakin menambah kehangatan acara ini. Keseruan semakin terasa ketika para alumnus dibagi ke dalam kelompok angkatan untuk barbeque (BBQ) bersama sehingga komunikasi, canda, dan tawa terasa lepas malam itu. Di tengah keramaian, para alumnus terlihat mengobrol santai dengan bapak/ibu guru yang hadir.

Acara pra-event ini dibantu oleh perwakilan OSIS SMA Athalia dan Bapak/Ibu orang tua alumnus yang berkontribusi memberikan donasi dan konsumsi. Selain itu, tampak hadir pula beberapa guru SD dan SMP yang pernah mengajar para alumnus semasa SD dan SMP di Athalia. Adapun jumlah alumni yang hadir pada acara ini berjumlah 115 orang yang terdiri atas angkatan pertama sampai dengan angkatan ketujuh.

Secara keseluruhan, para alumnus dan bapak/ibu guru terlihat antusias dan menikmati acara ini. Semoga acara Temu Raya Alumni nanti bisa berjalan lancar dan lebih banyak alumnus yang hadir dan ikut berpartisipasi.

Marriage Oneness

Oleh: Jessica Jeanne P. Rossall

Salah satu seminar yang dikhususkan bagi pasangan suami istri dalam rangka kegiatan HUT 25 Sekolah Athalia mengambil tema Marriage Oneness dibawakan secara apik oleh Bapak Rizal dan Ibu Rina Badudu pada Sabtu, 22 Februari 2020. Seminar ini dihadiri oleh 51 pasangan yang terdiri atas orang tua Athalia dan Pinus, guru, staf, juga beberapa peserta dari luar komunitas Athalia.

Sejak awal, seminar ini dirancang berbeda dari seminar lain yang umumnya diadakan oleh APC maupun sekolah. Berbagai ide dicetuskan demi memberikan peserta pengalaman yang unik dan istimewa. Kreativitas pun digali untuk menyempurnakan acara ini.

Pada hari pelaksanaan, peserta disambut dengan tatanan meja dan kursi yang tidak biasa. Setiap pasangan akan menemukan nama mereka di meja yang telah ditentukan. Namun, sebelum mereka duduk manis, mereka akan diminta untuk berfoto terlebih dulu. Tim dokumentasi—yang adalah beberapa siswa yang bersedia membantu panitia—membantu mengarahkan gaya agar setiap pasangan dapat difoto dengan pose terbaiknya.

Acara hari itu dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu sesi seminar dan sesi intimate moment.

Sesi seminar dibawakan secara bergantian oleh Bapak Rizal dan Ibu Rina. Penjelasan dasar firman Tuhan tentang pernikahan mengingatkan sekaligus membawa setiap pasangan masuk dalam pemahaman yang lebih dalam. Peserta juga diajak melihat tantangan nyata dalam pernikahan yang sering kali disebabkan kurangnya skill problem solving sehingga membuat pola konflik yang sama terjadi berulang kali. Tidak sampai di situ, peserta juga diajak untuk mempelajari teknik mencari solusi bersama atas permasalahan yang sering mereka hadapi.

Analogi Ballroom Dancing menutup sesi seminar diiringi sedikit praktek yang dipimpin langsung oleh kedua pembicara. Bagi banyak pasangan yang hadir saat itu, bisa jadi ini pertama kalinya mereka belajar ballroom dancing.

Tidak ingin para peserta hanya duduk diam mendengarkan, panitia merangkai beberapa kegiatan yang membuat para peserta ikut berperan aktif. Dimulai dengan kegiatan makan di mana para istri ditutup matanya dan belajar percaya penuh kepada suaminya, mulai dari mengambil makanan hingga dituntun kembali ke tempat duduk. Para suami diberi kesempatan untuk melayani istrinya dengan mengambilkan makanan yang disukai istrinya, serta menyuapi.

Selesai mengisi perut, sie acara mengajak peserta untuk bermain games yang bertema “I Know You”. Setiap pasangan duduk saling membelakangi dan menuliskan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Setelah itu, mereka diminta untuk mencocokkan jawaban yang ditulis. Kegiatan ini menjadi momen grrrrr… bagi para peserta.

Namun, masih ada satu momen yang dipersiapkan bagi para pasangan suami istri untuk betul-betul mengalami hal istimewa lewat acara ini. Satu hal yang bahkan mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya. Setiap pasangan diberi waktu untuk berdansa diiringi lagu yang lembut. Pastinya, ini menjadi salah satu momen yang berarti bagi setiap pasangan.

Bu Charlotte menutup seluruh rangkaian acara hari itu dengan doa. Harapannya, setiap pasangan diberkati dan semakin dimampukan untuk menjaga kesatuan dalam pernikahannya.

Mengasihi Walau Terluka

Oleh: Nostagia Pax Nikijuluw, M.Div.

Mungkinkah seseorang mengasihi walau terluka? Jika mengasihi walau terluka adalah pilihan, rasanya tidak banyak orang yang memilihnya. Kasih biasanya dinyatakan melalui sesuatu yang indah, menghibur, menyenangkan bahkan membahagiakan. Sangat jarang kasih diekspresikan melalui bentuk yang menyakitkan atau menyedihkan. Sebuah fenomena yang paradoks, mengasihi sekaligus terluka.


Kisah paradoks ini, menjadi kisah yang spektakuler, kisah kasih yang berkorban dan menyelamatkan dunia. Kisah hidup Kristus Sang Guru Agung.

1 Yohanes 3:16: demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.

Melalui kematian-Nya, manusia dapat mengetahui kualitas kasih-Nya. Rasul Yohanes mengingatkan para pengikut Kristus untuk hidup meneladani Sang Guru. Menyatakan kasih kepada sesama sampai menyerahkan nyawanya. Apa artinya hal ini bagi kita? Artinya, jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi, akan ada pembuktian atas perasaan kasih tersebut. Karena kasih tidak berhenti pada perasaan, tetapi kasih dibuktikan melalui tindakan nyata dan pengorbanan diri.

Mengikuti teladan Kristus yang menyerahkan nyawanya bagi orang lain adalah tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri, tindakan rela berkorban bagi orang lain. Untuk hal inilah kita, para pengikut-Nya, dipanggil. Adakah kerelaan untuk tidak selalu mengutamakan diri sendiri? Jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi sesama kita, mengasihi orang-orang di sekitar kita, adakah kepedulian terhadap orang lain tampak dalam tindakan? Jika kita katakan bahwa kita mengasihi orang lain, adakah kita memiliki kerelaan untuk membantu, mendampingi, bahkan ikut menanggung kesulitan yang sedang dihadapi orang lain? Jika kita berjuang untuk menghidupi kebenaran ini dalam diri, demikian kita dapat mengatakan bahwa kasih bukanlah sekadar perasaan, mengasihi adalah tindakan.

Namun demikian, tidak semua tindakan baik kepada orang lain didasari oleh kasih. Untuk dapat mengetahuinya kita perlu merenungkan motivasi kita dalam bertindak. Apakah sesuatu yang kita perbuat adalah tindakan yang disertai kasih, ataukah tindakan karena mementingkan kepentingan diri?

1 Korintus 13:3: “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.”

Rasul Paulus mengingatkan untuk memperhatikan dasar dari tindakan kita. Manusia memiliki potensi untuk bisa melakukan sesuatu yang terlihat baik, tetapi tidak didasari oleh kasih. Manusia mudah melihat rupa. Ada orang yang sepertinya mengasihi, memberi dirinya untuk orang lain, tetapi dasar tindakan itu belum tentu berasal dari kasih. Kasih yang sejati tidak berpusat pada cinta akan diri sendiri. Kasih yang sejati adalah tindakan yang rela mengorbankan diri dan tidak mengambil keuntungan dari orang lain.

Seorang ayah yang mengasihi anggota keluarganya akan membuktikan kasihnya melalui tindakan merawat dan melindungi seluruh anggota keluarganya dan bukan sebaliknya. Para orang tua akan bekerja keras demi keluarganya, melakukan tanggung jawabnya demi kesejahteraan anggota keluarganya. Namun, jika tidak disertai kasih kepada seluruh anggota keluarganya, misalnya tidak memberikan diri untuk relasi yang yang intim dengan keluarganya, dan hadir dalam kehidupan mereka, apakah mereka melakukan seluruh tanggung jawab tersebut karena kasih? Marilah kita merenungi adakah kasih itu hidup dalam diri dan apakah kehidupan kita meneladani kasih Kristus yang rela menyerahkan nyawa bagi orang lain?

Bagi tenaga kependidikan, yang telah bekerja keras dan rela berkorban demi pendidikan para murid, adakah kasih dalam diri, memiliki kerinduan untuk membangun relasi dengan para murid, dan mendasari seluruh tindakannya atas dasar kasih?

Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan, jika kita tidak berupaya keras mewujudkan kasih kepada Tuhan melalui seluruh aspek dalam hidup kita. Kasih sejati akan mengampuni walau dilukai, kasih sejati akan dengan sabar memberi kesempatan, kasih sejati akan bertahan dalam kesulitan, kasih sejati akan memampukan seseorang tetap mengasihi orang yang melukainya. Kasih sejati tampak dalam perkataan, tindakan, bahkan setiap motif dalam diri yang mendasari setiap perilaku. Kasih sejati hanya bersumber pada Dia yang telah menjalaninya terlebih dahulu. Kasih sejati akan memberikan fondasi yang kuat dan tahan uji untuk dapat mengasihi walau terluka.