Mempunyai Hati untuk Melakukan Hal Baik

Oleh: Elisa Christantio, Orang tua siswa.

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu baik-baik, sebab hatimu menentukan jalan hidupmu.” (BIS)

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (TB)

Firman Tuhan yang direnungkan pada Rabu, 6 Oktober 2021 diambil dari Amsal 4: 23. Ketika menyebut kata “menjaga” umumnya kita akan berpikir tentang hal-hal yang tampak, tetapi jarang terpikir akan hal yang tak kasatmata.

Jadi, ketika Alkitab berbicara tentang hati, tentu tidak berbicara tentang fisik. Hal ini lebih mengacu kepada pikiran, kehendak atau bahkan batiniah. Pikiran dan kemauan adalah tempat di mana kita membuat keputusan, setiap pilihan yang kita buat. Segala sesuatu yang kita putuskan untuk dilakukan berasal dari sana.

Mengapa penting untuk menjaga hati kita?

  • Karena kita mencintai Tuhan yang sudah lebih dulu mencintai kita.

Salah satu motivasi terbesar untuk menjaga hati karena kita mencintai Tuhan. Mengasihi Tuhan dan memelihara persekutuan yang erat dengan-Nya harus menjadi landasan utama dalam menjaga hati.

Sebelum pandemi, tugas dan pelayanan mengharuskan saya dan suami bepergian ke luar kota. Kami sudah sepakat walau melayani Tuhan, kami ingin selalu bersama dengan anak-anak. Akhirnya, kami memilih jadwal saat anak-anak libur sekolah agar mereka bisa ikut. Ini bukan keterpaksaan, tetapi hal yang dilakukan dengan sukacita. Kami memilih untuk melakukannya karena rasa sayang. Kami saling mengasihi sehingga kami menempatkan perlindungan untuk hati kami dengan cara seperti ini.

  • Rencana Tuhan

Ketika semua yang kita lakukan mengalir dari hati, mungkin saja rencana Tuhan sedang terjadi dalam hidup kita.

Tidak ada yang lebih memuaskan di bumi ini selain melakukan kehendak Tuhan.

  • Menyelesaikannya dengan baik

Banyak di antara kita yang memulai dengan baik, tetapi mengakhiri dengan buruk. Amsal mengingatkan agar kita memulai dan mengakhiri dengan baik pula.

Menjalani pekerjaan yang harus sering keluar kota, mewartakan kabar baik, dan melayani bersama-sama keluarga tentu tidak mudah. Namun, kami ingin menyelesaikannya dengan baik. Suatu kali, kami melayani di Desa Pulutan, Wonosari, Gunungkidul. Kami tidak memberi tahu anak-anak tentang kegiatan hari itu. Sesampainya di lokasi, anak kami yang besar bertanya, “Kenapa kita disambut seperti presiden?” Dia bingung karena kehadiran kami disambut meriah. Singkat cerita, kami beramah tamah. Anak kami yang besar waktu itu masih kelas 4 SD, ditanya oleh salah seorang murid lokal tentang bahasa yang dikuasai. Lalu anak kami berkata, “Aku bisa bahasa Mandarin. Wo jiào Nathanael. Nǐ jiào shénme míngzì?” Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa. Kemudian, anak kami berkata, “Kamu juga bisa, makanya kamu harus rajin belajar.” Lalu, semua orang di sana bertepuk tangan.

Hari itu, kami pulang dengan hati bersyukur karena yang kami mengalami liburan yang luar biasa. Anak-anak mengerti tentang menjaga sekaligus memberi hati untuk orang lain. Kami sekeluarga pun menyelesaikan misi/tujuan Tuhan dalam hidup kami, walau dengan cara yang sederhana.

Menjaga hati bahkan juga dialami tokoh misionaris terhebat sepanjang masa dalam Filipi 3: 12–14. Paulus menyadari bahwa pekerjaannya belum selesai dan dia ingin memastikan bisa menyelesaikannya dengan kuat.

Saya yakin Paulus pun menjaga hatinya. Saya dan kita semua harus melakukan hal yang sama.

Sebagai penutup, saya bagikan satu ayat yang merangkum cara menjaga hati: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”– Filipi 4: 8

Selamat merenung. Tuhan Yesus memberkati.

Pantang Menyerah

Oleh: Dwi Handayani, Orang Tua Siswa.

Anak adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Sebagai orang tua, kita pasti ingin menanamkan nilai-nilai kebaikan di hidupnya agar menjadi generasi yang tangguh dan mandiri di masa depannya.

Saya ingin berbagi cerita tentang putri pertama kami. Dia termasuk anak yang patuh, penyayang, tetapi dia anak yang pemalu dan manja. Ketika ada anak sebaya yang mengajaknya bermain, dia malah lari pulang ke rumah dan mau main jika saya temani. Daya juangnya juga masih kurang ketika ingin sesuatu, misalnya membuat benda dari origami. Saat hasilnya tidak bagus atau gagal, dia langsung menyerah dan tidak mau mencoba lagi.

Kami selalu membimbing dan menyemangati dia agar lebih percaya diri serta mau berusaha. Kami selalu mengingatkan dia bahwa tidak semua yang dia inginkan dapat terwujud. Ada saatnya dia harus berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Kami juga mengingatkan pentingnya rasa syukur atas nikmat yang sudah Tuhan berikan. Apa yang sudah tersedia dan sudah dia miliki harus disyukuri dan tidak meminta lebih karena masih banyak orang lain di luar sana yang kekurangan.

Suatu hari, saat usia anak kami lima tahun, dia minta dibelikan mainan yang cukup mahal bagi kami, yaitu satu set mainan Plants vs Zombies. Kami pun tidak membelikannya karena mainannya sudah cukup banyak di rumah. 

Beberapa hari kemudian, saat sedang sekolah daring, dia memanggil saya dan menunjuk ke arah layar laptop. Ternyata ada teman laki-lakinya yang sedang memegang salah satu mainan yang dia suka. Saat itu dia mengeluh lagi dan berkata ingin dibelikan mainan tersebut. Namun, tetap saya katakan tidak dengan memberi penjelasan yang sama.

Beberapa minggu setelahnya, terjadi peristiwa yang cukup membekas di hati saya. Di suatu siang yang panas, anak saya bilang bahwa dia mau jualan. Saya mengiyakan saja karena dia suka mainan jual-jualan dan mama papanya disuruh menjadi pembeli. Namun, ternyata kali ini berbeda. Dia meminta tolong kepada saya agar membawakan meja belajar kecilnya ke teras depan rumah. Lalu, saya lihat dia juga membawa kertas HVS yang bertuliskan “Mainan ini dijual, ya!” dengan disertai hiasan spidol warna-warni. Saya bertanya, “Memang kamu mau ngapain?” Dia menjawab sembari menempelkan kertas HVS di pinggir meja bagian depan, “Aku mau jualan karena aku mau dapet duit biar bisa beli mainan Zombie.”

Dia masuk ke dalam rumah sebentar kemudian kembali keluar sambil membawa sekantong mainan dan segenggam cemilan yang diambil dari rak makanan. Dia letakkan berbagai cemilan tersebut, kemudian dia mengambil kertas, gunting, dan selotip. Dia menuliskan harga dan menempelkannya ke bungkus cemilan. Saat dia meletakkan cemilan ke meja, saya lihat harga satu Beng-Beng Rp1.000.000 dan Nyam-Nyam Rp1.000.000.000. Hampir semua cemilan dia kasih harga fantastis. Saya hanya tertawa dalam hati. Ya… tentunya dia belum paham arti nol sebanyak itu. Walau geli melihat hal itu, saya terharu sekali. Saya tidak menyangka dia akan seniat itu untuk berjualan demi mendapatkan mainan yang dia mau. Entah dari mana asal ide itu, yang pasti saya dan suami cukup kaget melihatnya.

Saat itu, saya mengelus rambutnya sambil berkata, “Jadi kamu mau jualan beneran, ya??”

Dia pun menjawab dengan semangat, “Iyaa… nih aku udah tulis harga makanannya, terus aku juga mau jualin mainan yang di kantong yang udah nggak aku suka.”

“Ya sudah. Mama bantuin yah, tapi ini kan masih siang dan panas. Mana ada yang mau beli mainan. Nanti sore aja. Sekarang masuk dulu, istirahat.”

Dia pun bersikeras tetap tidak mau masuk ke dalam rumah. Dia membuka pagar rumah selebar-lebarnya dan meja pun digeser ke depan. Alhasil sebagian makanan terkena sinar matahari panas. Dia pun sudah beratribut lengkap dengan memakai topi sambil membawa waist bag dikalungkan ke leher dan satu pundaknya. Dia duduk menunggu pembeli datang. Beberapa kali saya bujuk agar masuk ke dalam rumah sambil menunggu pembeli datang, tetapi dia tetap tidak mau. Saya hanya mengawasi dari dalam rumah dan tidak mau mengganggunya walau sebenarnya kasihan melihatnya kepanasan.

Setelah 15 menit berlalu, belum juga ada yang beli. Dia tetap duduk diam. Entah apa yang dipikirkannya: sedih karena tidak ada yang beli atau semangat menunggu pembeli. Setelah 20 menit lebih, akhirnya saya bujuk baik-baik dan dia mau masuk ke dalam dan kembali berjualan sore nanti.

Sore hari pun tiba. Sekitar pukul 4 sore dia semangat untuk kembali berjualan. Sebelumnya, kami sudah berdiskusi tentang harga makanan yang dijual dan memilih mainan apa saja yang layak dijual. Mainan ada yang dijual dengan harga seribu dan dua ribu karena ukurannya yang imut dan sengaja diberi harga murah agar ada yang mau beli. Kebetulan dekat rumah ada musala dan sore hari biasanya ramai anak-anak yang mengaji. Jadi, kami berharap ada 1–2 anak yang mampir ke “lapak” kami saat perjalanan pulang.

Setelah mencoba berjualan selama tiga hari, uang yang terkumpul sebanyak 22 ribu rupiah. Dia senang bukan main. Kami berniat mau menambahkan uang untuk membelikan mainan yang dia mau.

Saya pun bertanya, “Kamu jadi mau beli mainan Plants vs Zombies?”

Secara mengejutkan, dia menjawab, “Enggak jadi. Aku mau beli mainan makeup-makeupan aja!” sambil menunjukkan gambarnya di Tokopedia.

Apa pun akhirnya, kami salut atas usahanya, kami pun bersyukur karena anak kami akhirnya dapat memahami jika ingin mendapatkan sesuatu harus berusaha dan tidak mudah menyerah. Oiya ternyata dari hasil usaha berjualannya itu pula dia akhirnya belajar bersosialisasi dan lebih percaya diri, bahkan akhirnya mendapatkan teman baru untuk bermain setiap sore hari. Terima kasih.