Allah yang Berdaulat

Oleh: Yanny Kusumawaty

2 Tawarikh 20: 6

“… dan berkata: ‘Ya TUHAN, Allah nenek moyang kami, bukankah Engkau Allah di dalam sorga? Bukankah Engkau memerintah atas segenap kerajaan bangsa? Kuasa dan keperkasaan ada di dalam tangan-Mu, sehingga tidak ada orang yang dapat bertahan melawan Engkau.”

Di Alkitab, 2 Tawarikh 20 mengisahkan tentang Yosafat yang menerima kabar bahwa bani Moab dan bani Amon datang untuk berperang melawannya. Singkat cerita, Yosafat mengalami kemenangan dalam peperangan karena ada kedaulatan Allah atas kemenangan tersebut! Lewat kisah tersebut, kita jadi tahu bahwa pernyataan tentang kedaulatan Allah tidak berarti menggambarkan kehidupan seseorang selalu lancar dan baik-baik saja. Justru, kedaulatan Allah akan semakin nyata ketika kita berada dalam kondisi yang kurang nyaman, seperti mengalami kekalahan atau sakit.

Tentang kedaulatan Allah, saya ingin sharing sesuatu. Beberapa bulan yang lalu, tepatnya tanggal 30 September 2021, saya menerima kabar bahwa kakak mengalami pendarahan otak dan dalam kondisi koma. Saya sangat terkejut karena tidak pernah mendengar cerita kalau Cece—panggilan saya untuk kakak—mengidap penyakit apa pun.

Singkat cerita, saya berangkat ke Surabaya untuk menengok Cece yang dirawat di HCU. Saat itu, saya menyerahkan seluruh harapan untuk kesembuhan Cece kepada Tuhan sambil memohon belas kasih-Nya. Selama 11 hari Cece dalam keadaan koma, hingga akhirnya pada hari Senin, 11 Oktober 2021, Tuhan memanggil Cece pulang ke rumah Bapa.

Saya dilanda kesedihan yang luar biasa, melebihi ketika kehilangan papa dan mama. Harapan saya untuk kesembuhan Cece tidak terwujud. Pikiran saya mulai dipenuhi oleh pertanyaan: mengapa Cece harus pulang ke rumah Bapa secepat ini? Apakah saya tidak tahu tentang kedaulatan Tuhan? Saya sangat tahu, tetapi secara manusia, saya terus meronta dan mempertanyakan kenapa, kenapa, dan kenapa. Rasanya, saya tidak terima Cece pergi begitu cepat!

Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti mempertanyakan hal tersebut karena sadar, ketika membiarkan pertanyaan itu terus menguasai diri, lama-kelamaan saya bisa jadi tidak mengakui kedaulatan Tuhan. Saya mulai mengganti pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu dengan mengingat janji Tuhan di Mazmur 23: 4—Tuhan berjanji selalu menyertai, bahkan ketika kita berada di lembah kekelaman sekalipun!

Saya juga disadarkan bahwa kepergian Cece membuat saya merasakan kehadiran banyak orang yang begitu peduli dan menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menguatkan dan menghibur saya. Mereka melakukannya tanpa kata-kata penghiburan yang klise, tetapi tindakan nyata, yang saya maknai sebagai bagian dari penyertaan Tuhan. Saya tidak sendirian! Bukankah itu hal yang luar biasa? Imanuel!

Apakah setelah itu kesedihan di dalam hati menjadi hilang? Tidak, tetapi saya diingatkan bahwa selalu ada penyertaan Tuhan dalam hidup kita! Kedaulatan-Nya bukan digunakan secara semena-mena dan kejam terhadap manusia, karena semua yang ada di dalam hati dan pikiran Allah adalah kasih. Dalam keterbatasan manusia untuk memahami kedaulatan-Nya, yang kadang tidak menyenangkan dan tidak nyaman buat kita, mari berhenti untuk bertanya “mengapa” dan cobalah melihat lebih dalam tentang penyertaan-Nya di setiap musim kehidupan. Dengan demikian, kita akan dimampukan melewati dan menerima kejadian-kejadian tertentu, serta mengerti bahwa Tuhan selalu memegang kendali atas segala situasi yang kita hadapi!

Perjalanan Panjang Mendampingi Anak Bertumbuh

Oleh: anonim

Keluarga kami terdiri dari enam orang, yaitu kami sebagai orang tua dengan empat anak. Awalnya, kami hanya berpikir untuk mempunyai dua orang anak laki-laki dengan selisih umur satu tahun. Selisih umur yang dekat ini membuat kami tercengang. Ketika anak pertama kami baru berusia enam bulan, saya kembali hamil. Bila anak pertama kami sambut dengan bahagia dan antusias, anak kedua ini kami sambut dengan sukacita bercampur kaget.

Saat tiba harus memilih sekolah, kami punya beberapa pertimbangan. Yang paling mendasar, yaitu dekat dengan rumah, berbahasa pengantar bahasa Inggris, dan menerapkan batas usia yang tidak terlalu ketat. Sepertinya waktu itu sedang populer pemikiran kalau anak bisa lancar berbahasa Inggris, sehari-hari bicaranya menggunakan bahasa Inggris, kelihatannya hebat sekali. Sungguh pemikiran yang sangat dangkal, yang pernah kami yakini sebagai orang tua muda.

Kami menyekolahkan anak pertama saat berusia dua tahun. Saat itu, kami memilih sekolah dekat rumah, dengan saya melakukan pendampingan selama di kelas. Ketika kami mendengar ada sekolah lain yang baru buka di daerah Serpong, kami—seperti orang tua yang lain—langsung memindahkan anak ke sekolah tersebut karena sepertinya sekolah tersebut mempunyai nilai-nilai pendidikan yang kurang lebih sama, tetapi dengan biaya yang lebih murah.

Perpindahan sekolah untuk anak kami yang pertama (di jenjang TK) menyebabkan pemilihan sekolah untuk adiknya juga mengikuti “yang dekat” dengan sekolah anak pertama. Sekolah untuk si adik adalah sekolah kecil yang menerapkan sistem montessori dan berbahasa pengantar Inggris. Beberapa nilai yang menjadi pertimbangan menyekolahkan anak-anak kami tersebut ternyata menimbulkan “kecelakaan besar” dalam pertumbuhan anak kedua kami. Dia sering tidak mau sekolah karena tidak menikmati lingkungannya. Sikap tersebut dipandang tidak apa-apa karena sepertinya sekolah juga mengikuti kemauan anak (anak-anak tidak boleh dipaksa).

Pada tahap berikutnya, kami memindahkan kembali anak pertama kami ke sekolah di dekat rumah sehingga otomatis adiknya pun ngikut. Kami menyangka semua upaya coba-coba ini sudah selesai dengan kembali bersekolah di sekolah dekat rumah, plus ini merupakan sekolah favorit.

Untuk anak pertama, proses belajar berjalan lancar. Kebetulan anak ini memang rajin dan mudah diarahkan. Selain itu, dia mengikuti jenjang TK B sebanyak dua kali di mana di sekolah keduanya sudah diajarkan membaca dan menulis. Jadi, saat kembali ke sekolah pertama, dia tidak mengalami hambatan belajar.

Masalah justru muncul pada anak kedua. Di sekolah, dia tidak diajari baca tulis di jenjang TK B, tetapi saat di SD 1 sudah harus lancar baca tulis. Kami tidak menyadari hal ini karena tidak ada masalah di anak pertama. Selain itu, komunikasi antara guru kelas dengan orang tua sangat kurang, khususnya mengenai ketidakmampuan anak ini. Ini menjadi isu yang cukup panjang sampai-sampai kami berkali-kali dipanggil oleh sekolah. Walau begitu, kami tidak pernah menemukan akar masalah dan solusinya. Kesan yang kami terima justru sekolah menganggap anak kami malas mengikuti pelajaran.

Sesungguhnya, kami berharap sekolah bisa bekerja sama dengan orang tua untuk menemukan akar masalah anak kami. Kami berpikir bimbingan konseling bisa membantu. Namun, saat bertemu konselor sekolah, beliau menyarankan anak kami untuk pindah sekolah karena dianggap tidak cocok bersekolah di sana. Kami tidak langsung percaya dengan saran itu. Kami tetap meyakini kalau anak kedua kami bisa terus bersekolah di sana—walau dalam hati tetap ada kekhawatiran.

Karena merasa tidak terbantu dengan saran sekolah, kami membawa anak untuk konseling ke Konselor Kristen. Seperti yang sudah-sudah, selagi anak menjalani konseling, kami sebagai orang tua juga harus menjalani sesi konseling. Menyatukan dua pribadi dengan latar belakang berbeda memang selalu ada pasang surutnya. Namun, kami sungguh bersyukur Tuhan bekerja melalui masalah anak kedua ini sehingga saat menjalani konseling, kami juga memulai masa pendewasaan dan pemulihan. Kami terus dibangun untuk memahami, menerima, dan menyeimbangkan perbedaan yang ada di dalam rencana Allah bagi keluarga kami.

Melalui konseling ini, diketahui bahwa anak kami mengalami keterlambatan motorik di dalam menulis yang tidak ditangani sejak dia masuk SD 1. Ini menjadi isu yang pelik ketika baru ditangani di SD 3. Proses yang kami lewati sungguh panjang. Kami terus menghadapi panggilan demi panggilan dari sekolah dengan keluhan yang hampir sama: anak kami malas menulis. Padahal, semua ujian diberikan secara tertulis yang berarti bila tidak dikerjakan, dia gagal ujian. Anak kami selalu menghitung angka kecukupan untuk dia bisa naik secara pas-pasan sehingga tidak perlu mengeluarkan usaha maksimal untuk naik kelas. Puji Tuhan dengan berbagai kesulitan yang ada, setiap tahun dia tetap naik kelas dengan nilai secukupnya. Semua guru di setiap jenjang selalu berkomentar anak ini pintar, tetapi tidak mau berusaha maksimal.

Saat dia duduk di SD 5, kami diberi Tuhan anugerah tambahan, yaitu kehamilan anak ketiga. Tentu saja kehadiran anak ketiga ini sangat mengubah ritme hidup kami. Hal ini juga mengubah banyak hal dalam diri kedua anak kami. Anak pertama, karena memang posisinya sebagai anak sulung, semakin mandiri apalagi memang sudah memasuki jenjang SMP. Namun, kondisinya berbeda bagi anak kedua kami, yang sebelumnya sempat menjadi anak bungsu dalam waktu lama. Dia yang tadinya masih sangat manja, tiba-tiba harus menjadi kakak dan menjadi lebih bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tidak bisa mengandalkan mamanya terus-menerus. Kehadiran anak ketiga juga mengubah kondisi ekonomi keluarga sehingga kami perlu menyesuaikan berbagai hal mengingat penambahan kebutuhan dengan kehadiran anak ketiga. Hal ini sangat memengaruhi ritme hidup anak kedua karena segala fasilitas yang tadinya bisa diberikan kepadanya—privilege sebagai anak bungsu—tak lagi dirasakan: dia harus berbagi dengan adiknya.

Kondisi kehamilan ketiga ini membuat anak pertama harus bersekolah di SMP dekat rumah agar saya tidak repot mengantar-jemput. Setahun kemudian, saat anak kedua masuk SMP, kami menyekolahkannya ke sekolah yang berbeda dengan kakaknya—mengingat pergumulannya di SD. Kami berpikir untuk memindahkannya ke Athalia. Namun, tiga kali kami mencoba mengontak sekolah ini, tidak pernah berhasil bertemu dengan bagian pendaftaran karena berbagai alasan. Saat itu, yang tebersit di pikiran kami, yaitu Tuhan tidak mengizinkan anak ini bersekolah di sini (sebuah pola pikir yang belakangan kami sadari kalau salah). Jadilah anak saya mendaftar ke sekolah lain.

Singkat cerita, di sekolah yang baru, konselor dan guru-guru sangat perhatian dan mencoba membantu kesulitan anak kami. Namun, cara belajar di sana berbeda dengan sekolah sebelumnya. Jadilah anak saya semakin malas, bukannya semangat. Dia terus menyalahkan kami karena sudah memindahkannya ke sana, bukan ke sekolah yang dia mau (sekolah lain dengan biaya yang jauh lebih mahal dan jarak yang lebih jauh).

Ketika anak-anak ini siap memasuki jenjang SMA, kami mengarahkan, tetapi juga memberikan mereka beberapa opsi, supaya tidak ada lagi cerita “dipaksa sekolah di sekolah pilihan orang tua”. Apakah masalah selesai? Ternyata tidak karena begitu mulai sekolah, mereka harus mengalami pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi. Anak pertama sempat bersekolah tatap muka, tetapi anak kedua memulai masa SMA-nya dengan PJJ penuh. Masa SMA, yang menuntut anak untuk bisa mandiri mengatur waktu dan menyelesaikan tugas tepat waktu, ternyata sulit dipenuhi oleh anak kedua kami. Lagi-lagi kami menghadapi panggilan guru dan nilai rapor yang tidak memuaskan yang membuat anak kami yang kedua ini hampir tinggal kelas.

Sepanjang proses ini, sebagai orang tua, kami jatuh bangun menghadapi setiap kondisi yang ada. Kami terus berpengharapan bahwa hanya Tuhanlah yang mampu mengubahkan anak kami. Kami juga terus memohon agar diberi hikmat untuk bisa mengembalikan anak kami ke “jalan yang benar”. Tuhan memang Mahapengasih, tetapi kami juga menyadari segala rencana Tuhan akan berjalan sesuai dengan waktu-Nya.

Akhirnya perubahan terjadi. Selama liburan sekolah, ketika kami banyak berbincang dengan kakaknya mengenai kelanjutan sekolah di universitas, rupa-rupanya sang adik ikut mendengarkan. Keinginan sang kakak untuk bersekolah di PTN membuat sang adik menyadari bahwa untuk masuk PTN membutuhkan nilai rapor yang bagus. Di sinilah kebangkitannya. Dia mulai rajin belajar dan mengumpulkan tugas tepat waktu. Yang tadinya jarang masuk kelas atau masuk kelas dengan mematikan kamera, sekarang sudah tidak lagi. Dia mulai mau ikut klub ekskul dengan kemauan sendiri.

Berdasarkan pengalaman dengan anak pertama dan kedua, kami tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan anak ketiga dan keempat. Bahasa utama yang harus dipelajari adalah bahasa ibu. Dengan demikian, anak kami akan jauh lebih mudah berkomunikasi dengan siapa pun sehingga perkembangannya juga lebih berkualitas. Anak ketiga dan keempat kemajuan berbahasanya lebih baik. Mereka mudah berbicara dan bercerita tentang apa saja. Sungguh kami bersyukur Tuhan membuka pikiran dan mengubah konsep berpikir kami. Sungguh semuanya hanya karena anugerah-Nya.

Saat tiba waktunya bagi anak ketiga dan keempat bersekolah, kami sudah memiliki prioritas yang berbeda dari sebelumnya. Kami mencari sekolah yang bisa mengajarkan anak untuk takut dan hormat akan Tuhan, mengenal Tuhan Allah, dan mempunyai karakter Kristus. Motto Athalia, yaitu right from the start, menarik perhatian kami. Maknanya sungguh dalam, membuat kami mengingat kembali kasus yang terjadi kepada anak kedua. Ketika langkah awalnya keliru, segala jalan ke depannya menjadi sangat-sangat terjal.

Saat ini, kami masih terus berproses dalam mendidik anak-anak. Yang pertama dan kedua sudah remaja dan akan mulai kuliah. Segalanya terus berjalan, naik turun. Ada masa-masa di mana muncul masalah di dalam komunikasi sehari-hari. Terjadi pergesekan antara anak kedua dan anak ketiga sehingga kami harus terus mengawasi dan menjaga agar kondisi dan relasi mereka tetap terjaga. Namun, satu hal yang pasti, kami percaya bahwa Tuhan terus berbelas kasihan dan memimpin perjalanan kami. Saat liburan Natal 2021 lalu, kami melihat komunikasi anak kedua dan ketiga terus membaik. Pekerjaan rumah kami masih banyak, seperti membawa anak-anak berjalan bersama Tuhan, kembali kepada Tuhan, dan mau ke gereja untuk beribadah setiap Minggu. Kami terus belajar dan mengalami jatuh bangun. Hanya dengan mengandalkan Tuhan, menyandarkan diri kepada-Nya, dan terus-menerus memohon kepada Tuhan agar Tuhan beranugerah membentuk dan keempat anak kami untuk dipakai seturut dengan rencana dan kehendak-Nya. Soli Deo Gloria.

Pendidikan Karakter = Menghasilkan Anak “Baik”?

Sebuah refleksi dari buku Emotionally Healthy Spirituality.

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia.

Baru-baru ini saya membaca buku Emotionally Healthy Spirituality karangan Peter Scazzero. Salah satu babnya yang berjudul “Mengenal Diri Sendiri untuk Mengenal Allah – Menjadi Diri Sendiri yang Autentik” menarik perhatian saya untuk merenungkannya lebih jauh tentang pembelajaran karakter yang sering kita dengar. Di dalam bab tersebut, Peter mengangkat kisah Joe DiMaggio, seorang pemain baseball terbesar yang pernah ada pada abad ke-20 dan sering dipuja sebagai pahlawan olahraga Amerika. Ia menikahi Marilyn Monroe yang dikenal sebagai wanita tercantik pada masa itu. Namun setelah Joe meninggal, biografinya yang ditulis oleh Richard Ben Cramer mengungkap kenyataan yang mengejutkan: Joe secara sengaja hanya menunjukkan sisi yang baik saja dalam hidup dan menutupi banyak hal yang sebenarnya. “Kisah Joe DiMaggio sang ikon sangatlah terkenal. Kisah DiMaggio yang sebenarnya telah dikubur.”

Ironis sekali membaca kisah ini. Namun sebenarnya, menggunakan “topeng” bukanlah hal yang asing, bahkan dalam hidup orang-orang Kristen. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya rasa, banyak faktor yang membentuk manusia menjadi pribadi yang tidak otentik. Salah satunya yaitu pola pikir yang ditanamkan, baik secara langsung atau tidak langsung. Misalnya, ketika anak menangis karena mainannya rusak, tidak jarang orang tua langsung berkata “Sudah, enggak usah nangis, nanti diperbaiki.” Tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak selalu tepat karena belum tentu itu yang dibutuhkan anak. Jika hal tersebut terjadi berulang kali, bisa jadi anak akan berpikir, “Ketika bersedih, aku tidak perlu menangis karena lebih penting mencari solusi untuk menyelesaikan masalahku!

Tak bisa dipungkiri bahwa kadang kala, pengajaran di dalam gereja pun menyiratkan bahwa tidak baik jika seseorang merasakan emosi-emosi tertentu, seperti marah, kesal, atau benci. Tuhan tidak suka! Atau bahkan yang lebih keras: itu dosa. Akibatnya, kita mengabaikan banyak emosi dalam diri. Rasanya, tidak berani menilik hasrat, mimpi, kesenangan, dan ketidaksukaan kita karena khawatir hal tersebut akan “menempatkan diri saya terlalu tinggi dan menjauhkan saya dari mengutamakan Allah”. Apa dampaknya? Kita berusaha menghindar dan mengabaikan perasaan, berjuang untuk terlihat baik-baik saja, dan ingin selalu menampilkan diri yang baik, ideal, dan saleh.

Saya jadi berpikir, jangan-jangan pendidikan karakter yang selama ini kita dengar juga memiliki gambaran yang sama. Kita melihat karakter sebagai tampilan luar, perilaku, atau kebaikan yang terlihat hingga muncul berbagai stigma. “Orang yang sabar itu tidak pernah marah. Orang yang rajin akan selalu bersemangat mengerjakan tugas, apa pun kondisinya. Orang yang dapat mengendalikan diri tidak pernah tergoda melakukan sesuatu untuk memuaskan keinginan diri…” dan masih banyak stigma lainnya. Akibatnya, kita hanya mengenakan tampilan luar atau perilaku yang palsu supaya terlihat baik. Hal yang sama juga kita terapkan ketika mendidik anak-anak untuk memiliki “karakter yang baik”.

Menurut saya, pendidikan karakter tidak sesederhana itu. Pendidikan karakter bukan hanya soal moralitas yang harus dijaga demi nama baik diri, keluarga, maupun sekolah. Pendidikan karakter Kristus seharusnya memanusiakan manusia sebagaimana Kristus sendiri pernah hidup sebagai manusia yang sejati. Pendidikan karakter semestinya menilik lebih dalam ke dalam diri, menyingkap hati, motivasi, dan emosi yang bergejolak, berani melihat keberadaan diri yang sesungguhnya, yang hancur di hadapan Allah.

Peter menulis dalam bukunya:

“Ketika kita mengabaikan penderitaan, kehilangan, dan semua perasaan kita selama bertahun-tahun, kemanusiaan kita menjadi semakin berkurang. Kita pelan-pelan berubah menjadi cangkang kosong yang diberi lukisan senyuman di depannya. … Kegagalan untuk menghargai perasaan seperti yang Alkitab lakukan dalam kehidupan Kristen kita yang lebih luas telah menghasilkan kerusakan yang besar, dan membuat manusia yang harusnya bebas dalam Kristus tetap dalam perbudakan.”

Tentu hal ini bukan berarti kita menyerahkan diri kepada perasaan sepenuhnya dan mengikuti ke mana diri ini dibawa—mengingat bahwa kita adalah manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Namun, usaha membuka diri untuk merasakan emosi dan jujur kepada diri sendiri adalah langkah awal agar kita bisa merespons dengan benar di hadapan Allah. Justru hal itu mungkin menjadi cara Allah berbicara, merengkuh manusia dengan kasih-Nya, serta membentuk kita makin serupa dengan-Nya. Ia menyingkap diri kita dan berbicara dengan lembut “It’s okay, Aku mengenalmu, Aku mau berjalan bersamamu.

Apakah kita memiliki pesan yang sama untuk disampaikan kepada anak-anak ketika melihat hal yang kurang tepat, kesalahan, kegagalan, atau bahkan “kebobrokan” mereka? Ataukah kita mengabaikan dan menghindari hal itu, lalu memaksa mereka untuk menampilkan yang baik-baik saja? Apakah kita mengatakan, “Mari berproses bersama” alih-alih “Kamu tidak seharusnya begitu. Kamu seharusnya begini”?

Karakter bukanlah suatu tempelan ataupun fenomena semata. Membentuk karakter adalah membentuk hati. Pembentukan karakter Kristus adalah bagian dari perjalanan iman; sebuah proses yang berlangsung seumur hidup, yang seharusnya dijalani dengan sukacita di dalam dasar penerimaan dan penebusan Kristus yang sempurna.