Oleh: anonim
Keluarga kami terdiri dari enam
orang, yaitu kami sebagai orang tua dengan empat anak. Awalnya, kami hanya
berpikir untuk mempunyai dua orang anak laki-laki dengan selisih umur satu
tahun. Selisih umur yang dekat ini membuat kami tercengang. Ketika anak pertama
kami baru berusia enam bulan, saya kembali hamil. Bila anak pertama kami sambut
dengan bahagia dan antusias, anak kedua ini kami sambut dengan sukacita
bercampur kaget.
Saat tiba harus memilih sekolah,
kami punya beberapa pertimbangan. Yang paling mendasar, yaitu dekat dengan
rumah, berbahasa pengantar bahasa Inggris, dan menerapkan batas usia yang tidak
terlalu ketat. Sepertinya waktu itu sedang populer pemikiran kalau anak bisa
lancar berbahasa Inggris, sehari-hari bicaranya menggunakan bahasa Inggris,
kelihatannya hebat sekali. Sungguh pemikiran yang sangat dangkal, yang pernah
kami yakini sebagai orang tua muda.
Kami menyekolahkan anak pertama
saat berusia dua tahun. Saat itu, kami memilih sekolah dekat rumah, dengan saya
melakukan pendampingan selama di kelas. Ketika kami mendengar ada sekolah lain
yang baru buka di daerah Serpong, kami—seperti orang tua yang lain—langsung
memindahkan anak ke sekolah tersebut karena sepertinya sekolah tersebut
mempunyai nilai-nilai pendidikan yang kurang lebih sama, tetapi dengan biaya
yang lebih murah.
Perpindahan sekolah untuk anak
kami yang pertama (di jenjang TK) menyebabkan pemilihan sekolah untuk adiknya
juga mengikuti “yang dekat” dengan sekolah anak pertama. Sekolah untuk si adik
adalah sekolah kecil yang menerapkan sistem montessori dan berbahasa pengantar
Inggris. Beberapa nilai yang menjadi pertimbangan menyekolahkan anak-anak kami
tersebut ternyata menimbulkan “kecelakaan besar” dalam pertumbuhan anak kedua
kami. Dia sering tidak mau sekolah karena tidak menikmati lingkungannya. Sikap
tersebut dipandang tidak apa-apa karena sepertinya sekolah juga mengikuti
kemauan anak (anak-anak tidak boleh dipaksa).
Pada tahap berikutnya, kami
memindahkan kembali anak pertama kami ke sekolah di dekat rumah sehingga otomatis
adiknya pun ngikut. Kami menyangka
semua upaya coba-coba ini sudah selesai dengan kembali bersekolah di sekolah
dekat rumah, plus ini merupakan sekolah favorit.
Untuk anak pertama, proses
belajar berjalan lancar. Kebetulan anak ini memang rajin dan mudah diarahkan.
Selain itu, dia mengikuti jenjang TK B sebanyak dua kali di mana di sekolah
keduanya sudah diajarkan membaca dan menulis. Jadi, saat kembali ke sekolah
pertama, dia tidak mengalami hambatan belajar.
Masalah justru muncul pada anak
kedua. Di sekolah, dia tidak diajari baca tulis di jenjang TK B, tetapi saat di
SD 1 sudah harus lancar baca tulis. Kami tidak menyadari hal ini karena tidak
ada masalah di anak pertama. Selain itu, komunikasi antara guru kelas dengan
orang tua sangat kurang, khususnya mengenai ketidakmampuan anak ini. Ini
menjadi isu yang cukup panjang sampai-sampai kami berkali-kali dipanggil oleh
sekolah. Walau begitu, kami tidak pernah menemukan akar masalah dan solusinya.
Kesan yang kami terima justru sekolah menganggap anak kami malas mengikuti
pelajaran.
Sesungguhnya, kami berharap
sekolah bisa bekerja sama dengan orang tua untuk menemukan akar masalah anak
kami. Kami berpikir bimbingan konseling bisa membantu. Namun, saat bertemu
konselor sekolah, beliau menyarankan anak kami untuk pindah sekolah karena
dianggap tidak cocok bersekolah di sana. Kami tidak langsung percaya dengan
saran itu. Kami tetap meyakini kalau anak kedua kami bisa terus bersekolah di
sana—walau dalam hati tetap ada kekhawatiran.
Karena merasa tidak terbantu
dengan saran sekolah, kami membawa anak untuk konseling ke Konselor Kristen.
Seperti yang sudah-sudah, selagi anak menjalani konseling, kami sebagai orang
tua juga harus menjalani sesi konseling. Menyatukan dua pribadi dengan latar
belakang berbeda memang selalu ada pasang surutnya. Namun, kami sungguh
bersyukur Tuhan bekerja melalui masalah anak kedua ini sehingga saat menjalani
konseling, kami juga memulai masa pendewasaan dan pemulihan. Kami terus
dibangun untuk memahami, menerima, dan menyeimbangkan perbedaan yang ada di
dalam rencana Allah bagi keluarga kami.
Melalui konseling ini, diketahui
bahwa anak kami mengalami keterlambatan motorik di dalam menulis yang tidak
ditangani sejak dia masuk SD 1. Ini menjadi isu yang pelik ketika baru
ditangani di SD 3. Proses yang kami lewati sungguh panjang. Kami terus
menghadapi panggilan demi panggilan dari sekolah dengan keluhan yang hampir
sama: anak kami malas menulis. Padahal, semua ujian diberikan secara tertulis
yang berarti bila tidak dikerjakan, dia gagal ujian. Anak kami selalu
menghitung angka kecukupan untuk dia bisa naik secara pas-pasan sehingga tidak
perlu mengeluarkan usaha maksimal untuk naik kelas. Puji Tuhan dengan berbagai
kesulitan yang ada, setiap tahun dia tetap naik kelas dengan nilai secukupnya.
Semua guru di setiap jenjang selalu berkomentar anak ini pintar, tetapi tidak
mau berusaha maksimal.
Saat dia duduk di SD 5, kami
diberi Tuhan anugerah tambahan, yaitu kehamilan anak ketiga. Tentu saja
kehadiran anak ketiga ini sangat mengubah ritme hidup kami. Hal ini juga
mengubah banyak hal dalam diri kedua anak kami. Anak pertama, karena memang
posisinya sebagai anak sulung, semakin mandiri apalagi memang sudah memasuki
jenjang SMP. Namun, kondisinya berbeda bagi anak kedua kami, yang sebelumnya
sempat menjadi anak bungsu dalam waktu lama. Dia yang tadinya masih sangat
manja, tiba-tiba harus menjadi kakak dan menjadi lebih bertanggung jawab atas
dirinya sendiri, tidak bisa mengandalkan mamanya terus-menerus. Kehadiran anak
ketiga juga mengubah kondisi ekonomi keluarga sehingga kami perlu menyesuaikan
berbagai hal mengingat penambahan kebutuhan dengan kehadiran anak ketiga. Hal
ini sangat memengaruhi ritme hidup anak kedua karena segala fasilitas yang
tadinya bisa diberikan kepadanya—privilege
sebagai anak bungsu—tak lagi dirasakan: dia harus berbagi dengan adiknya.
Kondisi kehamilan ketiga ini
membuat anak pertama harus bersekolah di SMP dekat rumah agar saya tidak repot
mengantar-jemput. Setahun kemudian, saat anak kedua masuk SMP, kami menyekolahkannya
ke sekolah yang berbeda dengan kakaknya—mengingat pergumulannya di SD. Kami
berpikir untuk memindahkannya ke Athalia. Namun, tiga kali kami mencoba
mengontak sekolah ini, tidak pernah berhasil bertemu dengan bagian pendaftaran
karena berbagai alasan. Saat itu, yang tebersit di pikiran kami, yaitu Tuhan
tidak mengizinkan anak ini bersekolah di sini (sebuah pola pikir yang
belakangan kami sadari kalau salah). Jadilah anak saya mendaftar ke sekolah
lain.
Singkat cerita, di sekolah yang
baru, konselor dan guru-guru sangat perhatian dan mencoba membantu kesulitan
anak kami. Namun, cara belajar di sana berbeda dengan sekolah sebelumnya.
Jadilah anak saya semakin malas, bukannya semangat. Dia terus menyalahkan kami
karena sudah memindahkannya ke sana, bukan ke sekolah yang dia mau (sekolah
lain dengan biaya yang jauh lebih mahal dan jarak yang lebih jauh).
Ketika anak-anak ini siap
memasuki jenjang SMA, kami mengarahkan, tetapi juga memberikan mereka beberapa
opsi, supaya tidak ada lagi cerita “dipaksa sekolah di sekolah pilihan orang
tua”. Apakah masalah selesai? Ternyata tidak karena begitu mulai sekolah,
mereka harus mengalami pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi. Anak
pertama sempat bersekolah tatap muka, tetapi anak kedua memulai masa SMA-nya dengan
PJJ penuh. Masa SMA, yang menuntut anak untuk bisa mandiri mengatur waktu dan
menyelesaikan tugas tepat waktu, ternyata sulit dipenuhi oleh anak kedua kami.
Lagi-lagi kami menghadapi panggilan guru dan nilai rapor yang tidak memuaskan
yang membuat anak kami yang kedua ini hampir tinggal kelas.
Sepanjang proses ini, sebagai
orang tua, kami jatuh bangun menghadapi setiap kondisi yang ada. Kami terus
berpengharapan bahwa hanya Tuhanlah yang mampu mengubahkan anak kami. Kami juga
terus memohon agar diberi hikmat untuk bisa mengembalikan anak kami ke “jalan
yang benar”. Tuhan memang Mahapengasih, tetapi kami juga menyadari segala
rencana Tuhan akan berjalan sesuai dengan waktu-Nya.
Akhirnya perubahan terjadi.
Selama liburan sekolah, ketika kami banyak berbincang dengan kakaknya mengenai
kelanjutan sekolah di universitas, rupa-rupanya sang adik ikut mendengarkan.
Keinginan sang kakak untuk bersekolah di PTN membuat sang adik menyadari bahwa
untuk masuk PTN membutuhkan nilai rapor yang bagus. Di sinilah kebangkitannya.
Dia mulai rajin belajar dan mengumpulkan tugas tepat waktu. Yang tadinya jarang
masuk kelas atau masuk kelas dengan mematikan kamera, sekarang sudah tidak
lagi. Dia mulai mau ikut klub ekskul dengan kemauan sendiri.
Berdasarkan pengalaman dengan
anak pertama dan kedua, kami tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan
anak ketiga dan keempat. Bahasa utama yang harus dipelajari adalah bahasa ibu.
Dengan demikian, anak kami akan jauh lebih mudah berkomunikasi dengan siapa pun
sehingga perkembangannya juga lebih berkualitas. Anak ketiga dan keempat
kemajuan berbahasanya lebih baik. Mereka mudah berbicara dan bercerita tentang
apa saja. Sungguh kami bersyukur Tuhan membuka pikiran dan mengubah konsep
berpikir kami. Sungguh semuanya hanya karena anugerah-Nya.
Saat tiba waktunya bagi anak
ketiga dan keempat bersekolah, kami sudah memiliki prioritas yang berbeda dari
sebelumnya. Kami mencari sekolah yang bisa mengajarkan anak untuk takut dan
hormat akan Tuhan, mengenal Tuhan Allah, dan mempunyai karakter Kristus. Motto
Athalia, yaitu right from the start,
menarik perhatian kami. Maknanya sungguh dalam, membuat kami mengingat kembali
kasus yang terjadi kepada anak kedua. Ketika langkah awalnya keliru, segala
jalan ke depannya menjadi sangat-sangat terjal.
Saat ini, kami masih terus
berproses dalam mendidik anak-anak. Yang pertama dan kedua sudah remaja dan
akan mulai kuliah. Segalanya terus berjalan, naik turun. Ada masa-masa di mana
muncul masalah di dalam komunikasi sehari-hari. Terjadi pergesekan antara anak
kedua dan anak ketiga sehingga kami harus terus mengawasi dan menjaga agar
kondisi dan relasi mereka tetap terjaga. Namun, satu hal yang pasti, kami
percaya bahwa Tuhan terus berbelas kasihan dan memimpin perjalanan kami. Saat
liburan Natal 2021 lalu, kami melihat komunikasi anak kedua dan ketiga terus
membaik. Pekerjaan rumah kami masih banyak, seperti membawa anak-anak berjalan
bersama Tuhan, kembali kepada Tuhan, dan mau ke gereja untuk beribadah setiap
Minggu. Kami terus belajar dan mengalami jatuh bangun. Hanya dengan
mengandalkan Tuhan, menyandarkan diri kepada-Nya, dan terus-menerus memohon
kepada Tuhan agar Tuhan beranugerah membentuk dan keempat anak kami untuk
dipakai seturut dengan rencana dan kehendak-Nya. Soli Deo Gloria.