“MEMBAPTIS” KURIKULUM MERDEKA

Victor Sumua Sanga, S.T., M.Div. (Wakasis dan Guru Agama SMA Athalia)

Pendahuluan

Di tengah maraknya sosialisasi dan implementasi kurikulum merdeka oleh pemerintah, kontribusi sekolah Kristen sebagai bagian dari institusi pendidikan di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sangat dibutuhkan. Penerapan kurikulum merdeka di sekolah Kristen harus diimbangi dan mempertahankan keunikan dan panggilan sebagai lembaga pendidikan yang mengetengahkan wawasan dunia Kristen. Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah perspektif filsafat yang mendasarinya.

Ornstein & Hunkins (2009) menyatakan, filsafat adalah sentral dari sebuah kurikulum. Oleh karena itu, mempelajari filsafat di balik kurikulum akan membantu seseorang untuk memahami dan menyesuaikan dengan pandangan atau keyakinannya. Berdasarkan beberapa kajian, kurikulum merdeka didasari oleh beberapa filsafat, salah satunya progresivisme (Mustaghfiroh, 2020). Latar belakang filsafat progresivisme pada kurikulum merdeka juga diakui oleh Suparlan (2015) dalam artikelnya yang berjudul “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia”.

Pertanyaannya, bagaimanakah filsafat progresivisme diterapkan dalam dunia pendidikan? Bagaimana pula sekolah Kristen menyikapi filsafat tersebut berdasarkan natur pendidikan Kristen?

Filsafat Progresivisme dalam Pendidikan

Progresivisme merupakan paham tentang pedagogi, tujuan pendidikan, dan kurikulum yang dicirikan dengan ketidakpercayaan terhadap otoritas dalam pendidikan dan siswa sebagai pusat pedagogi. Salah satu tokoh kunci dalam filsafat ini adalah John Dewey (1859-1952). Dewey menyebut, siswa adalah pusat pendidikan sehingga tujuan dan masalah yang dihadapi siswa akan menjadi titik awal kegiatan pendidikan. Dewey juga menekankan pentingnya sistem sekolah sebagai lingkungan pendidikan untuk mendukung progres pertumbuhan komunitas yang terus berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan koneksi antar murid sehingga tidak ada individu yang diabaikan dalam konteks sosial sekolah (Winch & Gingell, 2002).

Beberapa prinsip yang ditekankan oleh filsafatprogresivisme adalah (Saragih dkk., 2021):

  1. Peserta didik merupakan awal sekaligus tujuan akhir dari proses pendidikan.
  2. Sekolah perlu membentuk ekosistem yang demokratis dan kooperatif dalam mendukung pembelajaran sehingga murid dapat berperan aktif dan guru sebagai fasilitator.
  3. Proses pembelajaran difokuskan pada pemecahan masalah yang dihadapi murid.

Dalam sumber lain, Winch & Gingell (2002) juga mengemukakan pendapatnya tentang prinsip-prinsip filsafatprogresivisme.

  1. Siswa bisa memilih mata pelajaran sesuai minatnya, karena materi pelajaran yang disajikan sekolah merupakan pilihan dan keputusan murid.
  2. Sekolah perlu menghindari metode pembelajaran yang dapat mengurangi otonomi murid, seperti hafalan.
  3. Kurikulum tidak boleh mengategorikan subjek pelajaran, tetapi menekankan pada integrasi subjek.

Sekalipun filsafat ini mengandung banyak kekuatan, tetapi ada kritik terhadap progresivisme. Pertama, penolakan terhadap otoritas. Padahal, otoritas adalah bagian penting dalam ajaran agama, nilai moral, struktur politik, serta keilmuan itu sendiri (Anwar, 2015). Kedua, keyakinan bahwa pertumbuhan (progres) adalah tujuan, juga dapat menimbulkan ancaman karena pertumbuhan dapat terjadi ke arah yang salah, misalnya menjadi seorang kriminal. Namun terkait kriminalitas, kaum progresivisme membantah dan menyatakan bahwa kriminalitas tidak dapat disebut sebagai pertumbuhan atau progres (Winch & Gingell, 2002).

Natur Pendidikan Kristen Menurut Wolterstorff

            Nicholas Paul Wolterstorff merupakan seorang tokoh pendidikan yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sekolah-sekolah Kristen dalam tradisi Reformed di Amerika Utara, bahkan seluruh dunia. Wolterstorff menyuarakan beberapa hal yang harus diperhatikan sekolah selain pengetahuan dan keterampilan (Wolterstorff, 2014). Menurut Wolterstorff, pendidik perlu menyadari bahwa perubahan yang dialami murid tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga kehidupan di luar kelas. Oleh karena itu, pendidikan harus mengarah pada cara hidup di dunia (di kelas maupun luar kelas), hari ini dan masa depan. Pendidikan merupakan medan pertempuran karena dalam pengarahan kepada cara hidup di dunia, kita menyentuh isu religius dalam masyarakat yang pluralis, sedangkan kita tidak sependapat dalam isu-isu religius tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua ideologi utama yang dominan dalam pendidikan: maturasi dan sosialisasi. Maturasi menekankan pada kebebasan individu, berpusat pada siswa, dan minat anak akan menentukan pelajarannya. Sosialisasi menitikberatkan pada disiplin dan tanggung jawab sosial untuk mempersiapkan anak memahami peran sosialnya, sehingga masyarakat yang menentukan pelajaran sekolah. Jadi, kaum maturasionis berfokus pada siswa, sosialisasionis berpusat pada masyarakat, sedangkan orang Kristen mengusulkan pendidikan yang bersumber pada Allah. Sasaran tertinggi pendidikan yang berakar pada Allah adalah membimbing anak untuk hidup dengan memelihara iman kepada Allah (Wolterstorff, 2014).

Jika dicermati, kaum maturasionis menganggap diri mereka mengasuh anak, kaum sosialisasionis merasa sedang membentuk anak. Pendidikan Kristen lebih dari itu: memimpin anak (mengasuh dan membentuk hanyalah unsurnya) untuk menuju cara hidup Kristen di dunia. Memimpin adalah suatu tindakan etis yang berlandaskan perhatian, kepedulian dan kasih kepada anak.

Dari beragam tipe tersebut, pendidikan tidak menjamin akan membentuk tindakan tertentu dari para murid, tetapi pendidikan mempunyai pengaruh atas mereka. Menurut Wolterstorff (2014), cara yang efektif dan bertanggung jawab untuk membentuk kecenderungan anak untuk bertindak adalah:

  1. Disiplin, yaitu mengaitkan tindakan dengan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.
  2. Memberikan teladan. Anak cenderung meniru perilaku orang yang dikasihinya, sehingga kita perlu bertindak benar secara konsisten. Perbuatan “berbicara” lebih lantang daripada perkataan.
  3. Pemberian alasan atas tindakan yang diharapkan juga akan memperbesar peluang suatu tindakan dilakukan, terutama alasan “pedulikan orang lain.”

Selain itu, terdapat tiga hal fundamental yang harus ada dalam kurikulum sekolah Kristen (Wolterstorff, 2014):

  1. Sekolah perlu membangkitkan kesadaran murid tentang ciri-ciri kehidupan dalam shalom Allah (sebagai tujuan/visi).
  2. Sekolah menolong siswa memahami struktur sosial masyarakat dan melakukan analisis sosial untuk menemukan tempat dalam mengerjakan panggilannya (realitas).
  3. Sekolah harus membandingkan realitas masyarakat dan ciri shalom Allah untuk menemukan panggilan unik murid dengan tujuan memperbaiki hal yang perlu diperbaiki.

Kesimpulan

            Jadi, dapatkah sekolah Kristen menerapkan kurikulum merdeka yang didasari oleh filsafat progresivisme? Tentu saja bisa, tetapi perlu terlebih dahulu memurnikannya (baca: “membaptisnya”) dari konsep yang tidak sesuai dengan iman Kristen. Pendidikan Kristen adalah pendidikan yang berpusat pada Allah dan membimbing murid untuk memelihara iman kepada-Nya. Guru berperan sebagai pemimpin (otoritatif, bukan otoriter atau sekadar fasilitator) untuk menolong para murid hidup dengan cara Kristen di dunia ini. Anak dilatih untuk bertindak dengan cara yang efektif dan bertanggung jawab melalui tiga hal, yaitu: disiplin, teladan, dan pemberian alasan. Selain itu, pendidikan Kristen memberi ruang bagi pembelajaran yang memfasilitasi kondisi dan minat anak yang berbeda-beda, sebagai upaya menemukan panggilan unik mereka dalam menjalani cara hidup Kristen.

Referensi

Anwar, M. (2015). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Mustaghfiroh, S. (2020). Konsep “Merdeka Belajar” Perspektif Aliran Progresivisme John Dewey. Jurnal Studi Guru Dan Pembelajaran, 3 (1), 141-147.

Ornstein, A.C., & Hunkins, F.P. (2009). Curriculum Foundations, Principles, and Issues. USA: Pearson Education.

Saragih, H., dkk. (2021). Filsafat Pendidikan. Medan: Yayasan Kita Menulis.

Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, 25 (1), 56-74.

Winch, C., & Gingell, J. (2002). Philosophy of Education: The Key Concepts. New York: Routledge.

Wolterstorff, N.P. (2014). Mendidik untuk Kehidupan: Refleksi mengenai Pengajaran dan Pembelajaran Kristen. Surabaya: Momentum.

Allah Mahatahu

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan (orang tua siswa)

… masakan Allah tidak akan menyelidikinya? Karena Ia mengetahui rahasia hati! ((Mazmur 44: 21)

Bapa kita adalah Allah yang Mahatahu. Sejak semula, Ia telah merencanakan kehadiran, menetapkan tujuan, dan mengenal setiap manusia ciptaan-Nya. Karakter Mahatahu-Nya juga tentang mengetahui yang terbaik bagi kita, sekalipun kadang kala cara-Nya tidak seperti yang diharapkan atau dipikirkan manusia. Terkait hal ini, saya ingin membagikan pengalaman pribadi.

Beberapa waktu lalu, saya dihubungi dan diminta untuk memimpin PIT (Parents in Touch) onsite. PIT adalah persekutuan doa orang tua dan guru Sekolah Athalia. Saat itu, saya tidak memiliki ART dan punya tiga anak. Kedua anak sudah sekolah online, sedangkan si bungsu masih berusia empat tahun. Saya pun berdiskusi ke koordinator PIT: kemungkinan saya akan terlambat tiba di sekolah untuk latihan karena harus menemani anak hingga selesai sekolah, dan datang ke PIT dengan membawa si bungsu. Saya menyampaikan permohonan maaf terkait kondisi tersebut.

Beberapa minggu sebelum hari pelayanan, saya terus berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, Engkau tahu isi hati saya. Saya mau melayani, tetapi kalau Tuhan belum izinkan karena situasi saat ini, maka saya akan menerimanya. Atau kalau boleh, Tuhan tolong supaya nantinya ketika saya melayani dengan membawa anak, kiranya anak saya bisa tenang, sehingga pelayanan tidak terganggu.”

Waktu itu bahkan sempat terpikir untuk mengundurkan diri saja. Namun ternyata, cara Tuhan di luar dugaan manusia. Hari-hari itu angka positif COVID-19 kembali meningkat sehingga PIT diadakan secara online. Kondisi itu membuat saya tetap bisa melayani dari rumah sembari menjaga anak-anak. Tentu saja, bukan berarti saya senang atas kasus COVID-19 yang kembali meningkat. Namun yang ingin saya sampaikan adalah Tuhan sungguh Mahatahu. Ia kenal kita satu per satu, termasuk pergumulan dan solusi terbaik bagi umat-Nya.

Melalui pengalaman ini saya belajar untuk terbuka di hadapan Allah, apa pun dan bagaimanapun kondisi kita. Mungkin di depan orang lain, kita bisa bilang, “I’m okay”, tetapi Tuhan selalu tahu kondisi kita yang sebenarnya—apakah memang benar sedang baik-baik saja atau tidak. Ia tahu sampai jauh ke kedalaman hati kita!

Mazmur 44: 21 mencatat, “… masakan Allah tidak akan menyelidikinya? Karena Ia mengetahui rahasia hati!” Oleh sebab itu mari kita belajar senantiasa jujur di hadapan Tuhan, seperti pemazmur yang jujur kepada-Nya ketika merasa senang, bersukacita, dan bersyukur. Ketika dalam keadaan kurang baik, merasa kehilangan atau khawatir, mari kita sampaikan dengan jujur di hadapan Tuhan dan menutupnya dengan permohonan, “Tuhan tolong saya yang lemah ini supaya tidak tenggelam dalam perasaan-perasaan itu, tetapi kembali memandang-Mu dan percaya sepenuhnya pada pengaturan rencana-Mu!” Allah yang Mahatahu akan mendengar, memahami, dan menyediakan hal terbaik sesuai kehendak-Nya, bukan keinginan kita!

Melanjutkan “Tongkat Estafet” Gary dan Anne Marie Ezzo

Oleh: Chandria Wening Krisnanda (Konselor Bina Karir Sekolah Athalia)

Perjalanan Gary dan Anne Marie Ezzo, sepasang suami istri penggagas kelas parenting GKGW dimulai pada tahun 1984. Mereka terpanggil untuk berbagi tentang hal-hal praktis dalam mendidik anak yang berfokus pada kemuliaan Tuhan. Keduanya mengawali pelayanan kelas parenting “Membesarkan Anak dengan Cara Allah” atau “Growing Kids God’s Way” kepada enam pasutri di Los Angles. Kini, konsep Growing Kids God’s Way (GKGW) telah dibagikan secara luas dan memberkati banyak pasangan, termasuk Komunitas Sekolah Athalia.

Sebenarnya, apa tujuan dari kelas parenting ini?

Membentuk anak untuk memuliakan Tuhan, bukan memuliakan manusia

Beberapa orang tua sering memosisikan anak sebagai objek yang sama sekali tidak memiliki hak. Orang tua cenderung sangat ingin dihormati dan dimuliakan oleh anak secara berlebihan dengan dalih pendisiplinan. Padahal, semua hormat dan kemuliaan sejatinya hanya untuk Tuhan.

Memberikan petunjuk praktis yang dapat menolong orang tua untuk memahami cara dan penerapan dalam mendidik anak secara alkitabiah

Setiap keluarga biasanya mempunyai cara untuk mendidik anak. Namun Gary dan Anne Marie Ezzo merumuskan dasar dan silabus yang terintegrasi sesuai dengan karakteristik iman Kristen, sehingga semua cara dan prinsip yang diterapkan di setiap keluarga tidak menjadi kesia-siaan di hadapan Allah Bapa.

Menumbuhkan rasa percaya diri orang tua

Apakah kita pernah ragu-ragu saat mendisiplin anak? Apakah kita gelisah ketika melihat anak menangis sambil meronta seolah-olah orang tua berada pada posisi yang salah? Apakah kita sulit mengucapkan kata “maaf”?

Banyak pasangan merasa ragu-ragu saat mendidik anak. Kelas parenting ini hadir untuk meneguhkan para orang tua dalam menjalani perannya. Gary dan Anne Marie Ezzo memberikan teladan dan membagikan pengalamannya untuk mendidik anak dengan percaya diri. Rasa percaya diri bersumber dari Firman Tuhan yang menyatakan kebenaran dan penerapannya secara memadai. Perasaan percaya diri akan membantu orang tua mengembangkan kemampuan berkualitas untuk menjalankan perannya saat ini!

Menolong orang tua untuk melihat masa remaja anak mereka dengan cara pandang yang positif

“Anakku sudah ABG dan mulai sulit diatur, nih…”

Keluhan tersebut mungkin sering kita dengar. Menginjak remaja, biasanya konflik dengan anak lebih sering terjadi. Namun jangan khawatir. Gary dan Anne Marie Ezzo meyakinkan para orang tua bahwa mendidik anak remaja dapat menjadi salah satu hal paling menyenangkan jika kita terus berpegang pada standar Tuhan.

Menjangkau hati dan pikiran generasi yang akan datang

Kita membutuhkan dua generasi untuk mewujudkan dampak dari suatu perubahan. Gary dan Anne Marie Ezzo rindu untuk membentuk cara pikir yang alkitabiah dalam diri setiap orang tua agar mereka dapat meneruskannya bagi generasi selanjutnya. Pola pikir generasi masa kini dapat dijangkau jika pola pikir orang tua diperbaharui terlebih dahulu.

Lima tujuan tersebut menjadi pendorong bagi Sekolah Athalia untuk menyelenggarakan kelas parenting GKGW beberapa tahun lalu. Banyak pasangan sangat terberkati dan belajar hal baru. Apa kata mereka setelah mengikuti kelas GKGW?

Kami mengikuti GKGW karena ingin mendidik anak dengan benar. Banyak prinsip baru yang kami pelajari di pertemuan GKGW. Kini, kami memiliki relasi yang hangat dengan anak yang sudah berusia remaja berkat penerapan nilai-nilai GKGW. Kami juga rindu kelas ini dapat memberkati keluarga besar, sehingga pola asuh yang benar dapat diterapkan di dalam keluarga besar dan orang-orang terdekat kami!

(Beryl & Anita)

Saat saya dan suami memutuskan untuk taat melakukan apa yang telah diajarkan dalam GKGW, kami sekeluarga dapat melihat perubahan dalam relasi kami sebagai orang tua dengan anak-anak. Tentu, semua ini butuh proses yang cukup lama: bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang pun saat anak-anak sudah dewasa, kami terus menerapkan ajaran GKGW. Harapan kami, nantinya anak-anak juga mau belajar GKGW ketika mereka sudah berkeluarga.

(Djulia)

Semoga Komunitas Sekolah Athalia dapat melanjutkan “tongkat estafet” Gary dan Anne Marie Ezzo sehingga bisa melahirkan generasi masa depan yang benar sejak awal!

Sumber:

Ezzo, G., & Ezzo, A.M. (2001). Let The Children Come-Along The Virtuous Way: Membesarkan Anak dengan Cara Allah. Bogor: Yayasan Bina Keluarga Indonesia.

Icon Camp SMA Athalia 2022

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia

Pendidikan karakter di Sekolah Athalia dimulai sejak dini. Siswa dibentuk untuk menjadi pribadi yang bersukacita, bertanggung jawab atas kewajibannya, serta peduli dengan sekitar. Semua itu bertujuan mempersiapkan siswa agar dapat memberi dampak dan berkontribusi secara lebih luas bagi masyarakat, seiring mereka memasuki dunia perguruan tinggi. Oleh sebab itu, profil karakter siswa SMA Athalia adalah Influencing and Contributing.

ICON Camp (Influencing and Contributing Camp) menjadi salah satu sarana pembentukan karakter siswa SMA Athalia yang diadakan secara khusus di kelas 11. Melalui kamp ini, siswa diingatkan kembali mengenai karakter yang mereka pelajari selama di jenjang SMA. Mereka diberi ruang untuk mengevaluasi diri—sudah sejauh mana belajar dan menghidupi karakter-karakter yang dibinakan—dan mengembangkan karakter-karakter tersebut di masa mendatang dengan lebih baik.

ICON Camp SMA Athalia tahun ini mengangkat tema “Be You Till Full”. Para guru mencermati, pembelajaran di masa pandemi memang dilakukan secara terbatas, tetapi di sisi lain siswa memiliki ruang yang luas untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya. Bukankah hal ini dapat menjadi kesempatan untuk mendorong siswa memaksimalkan minat dan bakatnya untuk berdampak dan berkontribusi secara lebih luas?

Sebelum pelaksanaan ICON Camp, siswa menjalani tes psikologi untuk mengenal bakat dan minatnya, kemudian dibagi ke dalam kelompok dengan anggota yang memiliki kecerdasan berbeda-beda. Mereka diminta untuk merancang sebuah proyek ICON yang akan disayembarakan pada hari H. Di sini, setiap siswa belajar untuk bekerja sama dan mengambil bagian dalam melakukan proyek ICON.

Ketika hari ICON Camp tiba, siswa mengikuti acara selama dua hari. Di hari pertama mereka dipandu untuk mengenal diri dan memaksimalkan kelebihan untuk menjadi berkat bagi orang lain melalui materi, permainan, dan diskusi. Di hari kedua, siswa diberi kesempatan untuk mendengarkan pemaparan dari beberapa narasumber yang sudah menunjukkan influencing and contributing dalam hidupnya, seperti mendirikan rumah baca di daerah terpencil serta membuka usaha pengolahan sampah.

Kisah ICON dari para narasumber ditutup dengan presentasi siswa mengenai proyek ICON yang sudah mereka rancang. Dari lima belas kelompok, terpilih tiga kelompok dengan rancangan proyek terbaik. Proyek terbaik pertama adalah Thrift It, yaitu penjualan baju bekas layak pakai ataupun baju-baju sisa ekspor sebagai salah satu cara mencari dana untuk nantinya didonasikan kepada orang yang membutuhkan. Proyek terbaik kedua adalah Ecomplex, yaitu pengolahan sampah dapur (sisa kulit buah dan sayuran busuk)  atau sampah organik menjadi produk daur ulang berupa pupuk cair. Proyek terbaik ketiga, Maskerin (masker kain), merupakan proyek mengampanyekan gerakan memakai masker kain daripada masker sekali pakai.

Kiranya melalui proyek-proyek yang akan direalisasikan ini, siswa dapat berlatih untuk merencanakan, mengelola, serta memperjuangkan sesuatu yang dapat membawa pengaruh dan dampak bagi sesama dan lingkungan. Proyek ICON menjadi miniatur proyek-proyek nyata yang dapat dilakukan oleh siswa di masa yang akan datang dalam lingkup yang lebih luas. Karena sesungguhnya setiap siswa dipanggil untuk menjadi murid Tuhan yang menjadi terang dan garam bagi dunia (Matius 5:13-16).

Tips Mendampingi Anak TK dan SD Kembali Sekolah Onsite

Oleh: Chandria Wening Krisnanda (Konselor Bina Karir Sekolah Athalia)

Belakangan, kasus harian orang yang terpapar COVID-19 tidak sebanyak dulu. Bahkan, per 17 Mei 2022 Jokowi mengumumkan bahwa masyarakat diperbolehkan tidak menggunakan masker ketika berkegiatan di luar ruangan atau di area terbuka yang tidak padat orang (Nugraheny, 2022). Kondisi ini mendorong sekolah-sekolah mulai memberlakukan sistem pembelajaran onsite di semester depan.

Bagi beberapa anak TK dan SD, kembali belajar di sekolah setelah lebih dari dua tahun menjalani PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) membutuhkan proses penyesuaian. Orang tua perlu membantu anak agar merasa nyaman ketika menjalani masa transisi ini. Bagaimana caranya? Dalam laman resminya, UNICEF menyebutkan beberapa tips yang dapat dilakukan orang tua.

1. Dengarkan anak

Dengarkan dengan saksama ketika anak bercerita tentang kekhawatirannya. Untuk anak yang berusia lebih kecil, kita dapat melakukan role play di rumah yang menggambarkan situasi “back to school”. Orang tua juga bisa mengajak anak menggambar bersama untuk setiap tahapan yang harus mereka lakukan nantinya saat kembali ke sekolah.

2. Membantu anak membuat persiapan

Dampingi anak untuk mempelajari aturan-aturan baru saat mereka kembali ke sekolah. Jangan lupa untuk mendiskusikan tentang apa yang mereka rasakan. Jika ada hal penting yang diceritakan anak, maka kita dapat mengomunikasikannya dengan guru mereka.

3. Tetap tenang

Ingatlah bila anak usia TK dan SD sangat mudah menyerap dan meniru respons orang tuanya terhadap suatu peristiwa. Kita perlu tetap bersikap tenang agar anak dapat merasa lebih nyaman dan aman.

4. Buatlah rencana perpisahan

Untuk anak yang berusia lebih besar, kita dapat mencoba beberapa cara berikut jika ia kesulitan menghadapi perpisahan dengan orang tua.

●        Berikan kesan perpisahan yang positif.

●        Beri tahu anak bahwa akan ada momen “perpisahan sementara”.

●        Ceritakan dengan kata-kata yang jelas dan mudah dipahami.

●        Ingatkan ke anak bahwa kita akan bertemu kembali dengan mereka.

●        Jangan terlihat ragu-ragu saat melakukan perpisahan.

●        Jemput mereka tepat waktu dan sesuai dengan rencana.

●        Lakukan kebiasaan yang sama setiap kali akan mengantar dan menjemput anak.

Kita bisa menjadikan momen kembali ke sekolah sebagai proses belajar bagi anak untuk lebih dewasa dalam menghadapi “perpisahan”. Yang perlu diperhatikan orang tua adalah cara berkomunikasi dengan anak sesuai dengan usianya. Jika anak berhasil melalui proses ini, maka ia akan belajar lebih mandiri dan cepat beradaptasi untuk hal atau kebiasaan baru lainnya.

Referensi:

Nugraheny. (2022). Jokowi Bolehkan Warga Lepas Masker di Area Terbuka. Diakses pada tanggal 19 Mei 2022, https://nasional.kompas.com/read/2022/05/17/17235791/jokowi-bolehkan-warga-lepas-masker-di-area-terbuka.

UNICEF.  (n.d.). How to Support Your Child through Reopening. Diakses pada tanggal 10 Mei 2022, https://www.unicef.org/coronavirus/support-child-covid-reopening.

Allah Tidak Berubah

Oleh: Ngatmiati, Staf Kerohanian Sekolah Athalia.

Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian, seperti jubah Engkau akan mengubah mereka, dan mereka berubah; tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan. Anak hamba-hamba-Mu akan diam dengan tenteram, dan anak cucu mereka akan tetap ada di hadapan-Mu. (Mazmur 102:26-28)

Tidak berubah adalah salah satu atribut Allah. Sifat, kuasa, dan otoritas-Nya tetap sama dari tahun ke tahun. Jika barang-barang di dunia ini akan menjadi usang seiring berjalannya waktu, tidaklah demikian dengan Allah. Ia tetap Allah yang sama! Bukankah kesadaran ini akan memberikan ketenteraman di hati orang percaya? Fakta ini juga yang akan memampukan manusia untuk bertahan dalam berbagai tantangan kehidupan.

            Tentang hal ini, ada sebuah refleksi yang saya dapatkan saat berlibur ke rumah keponakan akhir tahun lalu. Hari terakhir tahun itu—31 Desember 2021—saya menemani cucu (anak keponakan) bermain di pantai. Suasana pagi itu agak mendung. Benar saja, tidak lama kemudian, hujan turun. Saya sempat merasa dilema: mau tetap melanjutkan main di pantai sambil hujan-hujanan atau kembali ke rumah? Namun akhirnya, saya dan cucu keponakan memutuskan untuk tetap bermain di pantai. Ternyata, hujan tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, matahari kembali bersinar. Tiba-tiba, cucu saya berteriak, “Pelangi! Pelangi!”

Saya mendongak ke langit dan melihat pelangi. Rasanya, seperti mendapat sebuah pesan pribadi di akhir tahun, bahwa saya akan menjalani tahun 2022 bersama Allah yang setia pada janji-Nya. Hal ini memberikan rasa tenang di hati karena tahu bahwa kasih setia dan kuasa Allah tidak pernah berubah. Seperti Ia menyertai, mengasihi, dan menolong saya di tahun-tahun lalu, anugerah-Nya akan tetap sama di tahun yang baru.

Waktu itu saya sedang bersantai di pantai. Tiba-tiba, seekor anak kucing mendekat dan duduk di pangkuan saya. Tidak lama, dia tertidur dengan sangat nyaman. Bahkan, ketika saya berusaha mengangkat tangan, anak kucing itu menarik-narik tangan saya kembali, seolah takut kehilangan. Hal ini membuat saya berpikir, apakah saya pun seperti itu terhadap Allah? Apakah saya juga tidak ingin jauh dari Allah? Karena bersama dengan-Nya yang tidak berubah akan memampukan saya menghadapi setiap tantangan atau kesulitan yang terjadi di depan. Kasih setia dan kuasa Allah tidak akan lekang oleh waktu!

Allah Yang Mahakuasa

Susiana, Orang Tua Siswa.

Aku percaya Tuhanku Mahakuasa. Dia mampu melakukan apa pun yang kadang tidak terpikirkan oleh manusia.

Enam tahun lalu, anak sulungku—Ariel—yang waktu itu duduk di kelas 12, sakit DBD. Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, kondisinya membaik. Dokter bilang, besok ia boleh pulang ke rumah. Namun, saat dokter melakukan pemeriksaan hari itu, ditemukan bahwa ada kuman yang menyerang separuh dari paru-parunya sehingga Ariel harus dirawat di HICU.

Selama empat hari pertama di HICU, ia berada dalam masa kritis. Empat hari itu pula, hatiku menangis melihat banyak selang di tubuh Ariel. Warna tubuhnya juga berubah menjadi kuning pekat sebagai efek dari sakit paru-paru yang sudah merembet ke hati. Sebagai ibu, aku terus memohon belas kasihan Tuhan karena hanya Dia yang sanggup menyembuhkan Ariel. Kiranya, dokter dan obat-obatan menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk menolong Ariel kembali pulih.

Selama Ariel dirawat di HICU, ada sesuatu yang membuatku heran. Setiap kali makan, anakku minta disuapi oleh papanya. Padahal, selama ini dia hanya dekat denganku. Aku melihat mereka bisa mengobrol, bercanda, dan berdoa bersama meskipun Ariel masih kesulitan bicara karena sesak napas.

Di hari keenam Ariel dirawat di HICU, ia mengajak kami berdoa. Aku dan suamiku merasa kaget sekaligus senang karena biasanya kamilah yang mengajaknya berdoa. Kali ini, dia yang memimpin doa. Ariel memegang tanganku dan suami, kemudian menyatukannya. Dengan suara tersengal-sengal karena sesak napas, dia mulai berdoa.

“Tuhan, Ariel percaya bahwa sakit ini bukan untuk membuat Ariel menderita, tapi Tuhan mau membuat keluarga Ariel lebih baik lagi.”

Mendengar itu, aku dan suamiku kaget. Kami berdua menangis. Seketika itu pula, aku merasa Tuhan membukakan mata dan hatiku sambil berkata, “Inilah Aku yang penuh kuasa.” Aku tidak bisa berkata-kata selain mengucap syukur di dalam hati. Tuhan sudah menjamah hati anakku sedemikian rupa hingga dalam kondisi sakit pun dia bisa melihat rencana indah yang Tuhan siapkan untuk keluarga kami.

Selama sakit sampai harus dirawat di HICU, Ariel menjalani semua rangkaian pengobatan tanpa mengeluh. Namun, aku tidak pernah menyangka, anakku punya pemikiran seperti dalam doanya itu. Tuhan sungguh menjamah dia!

Setelah melalui berbagai proses, akhirnya kondisi Ariel membaik sehingga dipindahkan ke kamar biasa. Setelah dirawat selama hampir satu bulan di rumah sakit, akhirnya dia diizinkan pulang! Sejak saat itu, Ariel menjadi lebih dekat dengan kami, terlebih papanya. Lagi-lagi, aku diingatkan bahwa Allah yang Mahakuasa bisa memakai peristiwa apa pun untuk membuat hubungan ayah dan anak menjadi lebih dekat. Aku percaya, semua rancangan-Nya indah karena Ia sangat mengasihi kita.

Caring and Sharing

Caring and Sharing merupakan profil karakter SMP Athalia. Untuk menolong siswa semakin menghidupi karakter ini, Sekolah Athalia mengadakan CaS-Camp (Caring and Sharing Camp) untuk siswa kelas 8. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Jumat, 11 Maret 2022 yang lalu. Namun, beberapa hari sebelum acara puncak, para siswa sudah memulai rangkaian acara CaS-camp dengan melakukan beberapa challenge caring and sharing di rumah, misalnya dengan membantu anggota keluarga atau menunjukkan kepedulian kepada orang di sekitar. Saat acara puncak, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masuk ke dalam break out room ZOOM, dan memainkan beberapa games untuk melatih karakter caring and sharing bersama teman sekelompok. Di akhir kegiatan, siswa diteguhkan dengan kebenaran Firman Tuhan yang menjadi landasan dalam menghidupi profil karakter caring and sharing. Sesi ini dibawakan oleh Lao Shi Wendy, seorang youth pastor.

Sebelum Firman disampaikan, para siswa diminta untuk berdiskusi tentang pandangan dan pemikirannya terhadap fenomena mengasihi diri dan mengasihi sesama. Dunia mengenal beberapa perilaku mengasihi diri yang salah, seperti operasi plastik, menikah dengan diri sendiri atau menunjukkan kekurangan fisik demi mendapatkan pengakuan. Belakangan juga semakin marak diberitakan cara mengasihi sesama yang keliru, misalnya menikah dengan sesama jenis atau hologram tokoh anime, bahkan mengadopsi boneka sebagai anak.

Setelah mendengarkan diskusi dari para siswa, Lao Shi Wendy membahas isu-isu tersebut dari sudut pandang Alkitab. Beliau mengupas dua prinsip caring and sharing berdasarkan ayat Alkitab yang terambil dalam Lukas 7: 36-47. Dalam Lukas 7: 36-47, diceritakan tentang seorang perempuan berdosa yang melayani Yesus: membasahi kaki-Nya dengan air mata lalu menyeka dengan rambutnya, meminyaki kaki Yesus, bahkan rela dipandang najis karena menyeka dan mencium kaki Yesus. Dia melakukan itu semua karena sadar betapa ia amat berdosa dan membutuhkan pengampunan. Dan ya, Yesus mengasihi dan mengampuninya! Inilah yang menjadi prinsip pertama dalam melakukan tindakan caring and sharing.

Prinsip kedua dijelaskan dengan kisah Simon yang mendapat teguran dari Yesus karena ia tidak melayani-Nya saat Yesus datang ke rumahnya. Yesus menanyakan tentang perumpamaan orang yang berutang 500 dan 50 dinar. Jika keduanya dibebaskan dari utang, siapakah yang lebih mengasihi si pembebas utang? Simon menjawab, yang berhutang lebih besar—500 dinar. Lewat kisah ini, Lao Shi Wendy ingin menekankan bahwa orang yang merasa sedikit diampuni, akan sedikit juga berbuat kasih. Semakin besar seseorang menyadari pengampunan yang diberikan baginya, ketidaklayakannya menerima pengampunan tersebut, maka akan semakin besar kasih yang ditunjukkan bagi Yesus, bahkan sesama!

Selanjutnya, Lao Shi Wendy juga mengingatkan bahwa CaS (Caring and Sharing) bukanlah:

  1. Keselamatan
  2. Penerimaan
  3. Pencitraan
  4. Kompromi.

Lebih dari itu, sebagai anak Tuhan yang sudah diselamatkan, kita harus melakukan tindakan caring and sharing dengan tulus karena Yesus telah lebih dulu mengasihi dan menerima kita apa adanya. Yang menjadi pertanyaan refleksi: sudahkan kita secara pribadi merasakan kasih Allah yang begitu besar? Bukan hanya sebagai bahan perenungan, tetapi para siswa juga didorong untuk terus mempraktikkan beberapa hal untuk menunjukkan caring and sharing, yaitu:

-Kasihilah sesamamu manusia; segala prioritas terhadap diri sendiri perlu diarahkan untuk kebutuhan orang lain.

Berikan perhatian; secara intentional, menghubungi teman-teman yang ada di sekitar, menanyakan kabar, dan mendoakan mereka.

Berikan pertolongan; mendiskusikan dengan orang tua untuk memberikan bantuan kepada orang di sekitar yang sedang membutuhkan.

Berikan kebenaran; jika ada orang di sekitar kita yang belum mengenal Tuhan, jangan mengosip, mencibir, atau mem-bully. Namun, kasihi mereka sebagai sesama manusia, perkenalkan kepada Kristus, dan ajak ke gereja. Share your life!

Kiranya melalui kegiatan CaS-Camp ini, para siswa kelas 8 dapat mengingat, mengevaluasi, serta semakin bertumbuh dalam karakter tanggung jawab dan berkontribusi lebih luas kepada sesama melalui tindakan caring and sharing. Tentu saja, pertumbuhan karakter membutuhkan waktu dan proses sepanjang hidup. Oleh karena itu, siswa membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, yaitu orang tua, guru, dan komunitas yang sehat untuk berjalan bersama! (MRT)