Mengasihi yang Sulit Dikasihi

Oleh: Natalia A. – Staf Karakter (PK3)

Mengasihi orang yang mengasihi kita adalah hal yang mudah dilakukan, tetapi bagaimana jika orang yang seharusnya mengasihi kita malah menyakiti kita? Dapatkah kita mengasihi mereka? Kata mengasihi yang awalnya terdengar manis menjadi tawar bahkan pahit. Namun, sebagai orang yang telah menerima kasih Kristus bahkan di saat masih menjadi seteru Allah, kita dimampukan untuk mengasihi di luar standar dunia. Bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi salah satu rekan kita ini sudah mengalami proses untuk mengasihi di saat sulit, loh. Siapakah dia dan bagaimanakah kisahnya?

Tirza Naftali, M.B.A.

Ibu Tirza yang saat ini melayani di Chaplain (Character and Parenting Learning Institute) pernah mengalami masa-masa disakiti oleh orang yang seharusnya mengasihinya, tetapi Tuhan beranugerah menolong dan membentuk beliau begitu rupa.

“Saya berasal dari keluarga hamba Tuhan, tetapi seperti tidak ada Tuhan di dalam rumah kami. Setiap hari Mama dan Papa berdebat yang saya sendiri pun tidak mengerti akar masalahnya. Sering kali Mama menghujani Papa dengan kata-kata hinaan dan juga mengeluarkan kata-kata kasar kepada kami berdua. Saya menghindar untuk menetap di rumah karena tidak menjadi tempat yang aman untuk pulang. Seperti tiada hari tanpa mendengar Mama dan Papa ribut, saya pun sering kali ribut dengan Mama. Saya pernah di titik mengalami yang namanya cherophobia (ketakutan yang berlebihan akan perasaan bahagia), saya tidak bisa menikmati jika rumah dalam keadaan tenang atau sedang dalam kondisi yang berbahagia, yang ada di pikiran saya adalah ‘pasti setelah ini akan ada masalah baru yang muncul’.

Sebagai seorang anak tunggal, saya dituntut Mama untuk berprestasi dan menjadi orang kaya di kemudian hari. Saya sempat berpikir untuk sekolah teologi, tetapi Mama tidak mengizinkan karena berpikir jika saya menjadi hamba Tuhan, hidup saya akan “miskin” seperti kondisi kami saat itu. Hal itu membentuk pandangan saya bahwa Mama saya akan menjadikan saya sebagai “ATM” di masa tuanya.

Kejadian yang paling mengerikan bagi saya adalah ketika saya masih duduk di kelas 1 SMP. Kami tinggal di pastori gereja dan di malam itu Mama dan Papa bertengkar hebat. Tidak tahan dengan kecurigaan Mama yang tidak berdasar, Papa membawa segala macam obat asma yang dimilikinya dan mengurung dirinya di ruang pastori. Dalam pikiran saya, Papa nekat mau mengakhiri hidupnya. Saya pun menggedor-gedor pintu sambil menangis dan berteriak ‘Pa.. jangan.. buka Pa…’ Tidak ada jawaban, saya hanya melihat dari lubang pintu Papa sedang mengeluarkan beberapa obat di tangannya. Saya kembali berteriak dan menangis. Di saat itu saya berkata dalam hati ‘Saat besar nanti saya harus menyingkirkan Mama dari hidup saya dan Papa’. Satu jam berlalu, akhirnya Papa keluar dari kamarnya tanpa berkata apa pun. Saya lega masih melihat Papa.

Waktu berlalu, Papa sempat masuk rumah sakit. Saya meminta Papa untuk menceraikan Mama, tetapi Papa menjawab ‘Papa sudah berjanji kepada Tuhan untuk mengasihi Mama dalam kondisi baik, buruk, sehat atau sakit’. Saat itu saya seperti menemukan oase. Saya memohon pengampunan Tuhan, tetapi saya belum bisa benar-benar memaafkan Mama. Pemahaman saya terhadap Tuhan pada saat itu pun tidak benar. Menurut saya melayani Tuhan merupakan bentuk dari menyogok Tuhan agar memaafkan dan menerima saya.

Saya menikah dalam kondisi emosi yang tidak stabil dan masih merasa kosong sehingga secara tidak sadar saya sering menuntut suami dan membentak anak saya berlebihan. Tak lama setelah Papa dipanggil Tuhan, saya putus hubungan dengan Mama. Saya merasa aman tetapi rasa kekosongan itu makin besar. Dalam suatu webinar yang dibawakan oleh Ibu Charlotte tentang luka masa lalu, saya disadarkan bahwa saya tidak membiarkan Tuhan mengasihi saya dan mengobati luka yang makin membesar. Seusai momen itu, entah dari mana asalnya, saya merasakan damai yang berlimpah. Saya mencoba menghubungi Mama kembali. Jauh dari perkiraan, saya dan Mama saling meminta maaf dan memaafkan, Mama banyak menceritakan tentang masa lalunya, dan kami berproses untuk sembuh bersama.

Penerimaan dan belas kasih-Nya yang tanpa syarat itu yang memulihkan pengenalan saya akan Tuhan, menolong saya juga untuk berelasi dengan Mama dalam belas kasih, alih-alih penghakiman. Saya bersyukur Tuhan memberikan saya seorang suami dan juga komunitas Athalia yang mau mendengar, mendoakan, dan membangun. Ternyata semua orang berproses dan memiliki “cacat”-nya masing-masing. Justru cacat itu hadir agar kita tetap datang dan memohon belas kasih-Nya tanpa ragu.”

Kasih Allah dan penerimaan-Nya yang utuh membuat kita mengalami anugerah kebaikan-Nya. Dia menerima kita dengan segala keburukan yang ada, bergumul bersama kita, dan menjadikan kita lebih baik. Sebelum kita mengalami kasih-Nya, kita tidak akan mampu mengasihi orang lain, bahkan mengasihi diri pun kita tidak mampu. (Charlotte Priatna)

Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
(1 Korintus 13:13)

Bahasa Ibu dan Identitas Bangsa

Oleh: Diah Lucky Natalia – Volunter Chaplain

Berdasarkan data Ethnologue, Indonesia merupakan negara kedua dengan bahasa terbanyak setelah Papua Nugini. Hingga 2018, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian pendidikan dan Kebudayaan telah memetakan dan memverifikasi sebanyak 652 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk dialek dan subdialek.

Selain bahasa daerah, sekitar 1.700-an suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa nasional yang mempermudah kita berkomunikasi dengan suku bangsa lainnya.

Bahasa daerah maupun bahasa Indonesia yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari di rumah inilah yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa ini diperkenalkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak dini dan akan berkembang menjadi bahasa pertama.

Mereka yang sudah lama tinggal di kota besar mungkin lebih nyaman menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi anak-anak mereka. Sementara itu, beberapa di antaranya masih mempergunakan bahasa daerah sambil mengajarkan bahasa Indonesia untuk kebutuhan pendidikan.

Memilih bahasa ibu bagi anak ini mungkin tidak pernah benar-benar didasarkan pada pengetahuan, tetapi hanya karena kebiasaan atau “agar tidak ketinggalan zaman”. Oleh karena itu, di tengah globalisasi, muncullah bahasa ibu ketiga, yaitu bahasa Inggris.

Banyak anak diperkenalkan dengan bahasa Inggris sejak dini dan tumbuh menjadi anak yang lebih fasih berbahasa asing ketimbang bahasa nasional dan bahasa daerahnya. Kondisi ini berangkat dari kekhawatiran orang tua bahwa anaknya akan tertinggal dalam pendidikan dan karier jika tidak menguasai bahasa asing.

Yang terjadi adalah anak memang memiliki kemampuan bahasa asing di atas rata-rata. Namun, di sisi lain, dia juga tumbuh dengan budaya Barat, mulai dari selera makan, musik, dan pola pikir. Globalisasi tidak hanya memajukan negara kita, tetapi juga mengubah karakter anak kita.

Bahasa dan identitas diri

Tidak banyak yang tahu bahwa bahasa merepresentasikan identitas seseorang. Di dalam sebuah bahasa tersemat ideologi dan nilai luhur sebuah bangsa. Dari bahasa muncullah corak peradaban suatu masyarakat. Terdapat perbedaan budaya antara suku Jawa, Batak, Manado, Toraja, dan Aceh karena bahasa yang digunakan berbeda. Begitu juga dari bahasa Indonesia terbentuklah sebuah identitas, yaitu budaya kebangsaan Indonesia.

Melalui bahasa Indonesia, kita dapat mempelajari budaya melalui karya-karya sastranya. Dongeng-dongeng kedaerahan yang kita baca waktu kecil membentuk identitas kita sebagai orang Indonesia, mulai dari cara bertutur, berperilaku kepada orang yang lebih tua, dan lain sebagainya. Inilah yang membedakan kita dengan bangsa lainnya di dunia ini.

Jika sejak kecil anak dibiasakan menggunakan bahasa asing, dia akan terpapar dengan budaya asing melalui tontonan dan bacaan yang dikonsumsi setiap hari. Tentu dalam bahasa Inggris tidak ada kisah tentang Timun Mas, Roro Jonggrang, dan Malin Kundang. Mari tengok kembali konten-konten yang ada di YouTube dan Netflix, itulah yang akan diinternalisasi oleh anak kita menjadi identitas dan karakternya.

Bahasa Ibu bahasa Indonesia

Pilihan sekolah begitu beragam. Yang menawarkan bilingual bahkan trilingual pun makin banyak. Sebagai orang tua, kita perlu celik memilih apakah anak-anak kita perlu berada di sekolah trilingual? Kembali kepada tujuan menyekolahkan anak: membentuk anak yang berkarakter dan berintegritas atau anak-anak yang menguasai banyak bahasa?

Penyampaian ilmu, ideologi, dan pengajaran agama akan lebih kontekstual jika disampaikan dalam bahasa ibu–dalam konteks ini adalah bahasa Indonesia. Jadi, anak-anak tidak hanya memahami konsep secara verbal, melainkan dapat menyerap substansinya melalui cerita, penerapan dalam kehidupan sehari-hari, dan interaksinya dengan keluarga dan teman.

Selain sebagai upaya pelestarian, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa pengantar di sekolah membangkitkan kepekaan perasaan. Anak jadi terhubung dengan akar budayanya, memahami tradisi, dan menghargai nilai yang dianut oleh bangsa ini.

Jadi, memilih bahasa sebagai bahasa ibu anak bukan berdasarkan rasa takut ketinggalan zaman. Namun, lebih kepada identitas apa yang ingin kita berikan kepada anak? Sungguh baik jika kita masih menguasai bahasa daerah asal dan mengajarkannya kepada anak. Dengan begitu, anak akan tumbuh memiliki identitas kuat kedaerahannya. Ke mana pun dia pergi dan merantau, dia akan tetap memegang teguh identitasnya dan tidak akan terbawa dampak negatif pergaulan modern saat ini.

Setiap 21 Februari, dunia memperingati Hari Bahasa Ibu Sedunia. Hari yang digagas oleh UNESCO ini bertujuan untuk menggiatkan kembali penggunaan bahasa ibu di seluruh dunia agar terhindar dari kepunahan. Dari sudut pandang lain, peringatan ini dapat kita jadikan bahan refleksi: sampai mana saya sudah mengajarkan nilai luhur dan budaya bangsa ini kepada anak?

Tak perlu khawatir anak akan tertinggal hanya karena “masih” menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Dengan modernitas yang ada saat ini, anak dapat menjangkau ilmu pengetahuan tanpa batas, kapan pun dan di mana pun.

Hal lain yang juga penting, yaitu serahkan anak kita kepada Sang Empunya. Dialah yang merancangkan jalan hidup anak-anak kita sehingga biarlah Tuhan yang bekerja atas hidup mereka. Sebagai orang tua, tugas kita, yaitu membentuk anak ini memiliki identitas yang kuat, menginternalisasi karakter Kristus di dalam dirinya, dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sandaran hidup.

Menemukan Kasih Sejati dari Tuhan

Oleh: Tegar Juel Prakoso – Alumni Angkatan IV SMA Athalia

Halo, perkenalkan nama saya Tegar Juel Prakoso, biasa dipanggil “Tegar”. Saya adalah alumni SMA Athalia angkatan IV. Saat ini saya mengajar sebagai guru TIK di SMP Athalia kelas 7 dan 8, dan SD Pinus kelas 4-6. Saat ini saya juga sedang melanjutkan studi magister di STT Bethel Indonesia jurusan Pendidikan Agama Kristen. Dalam tulisan ini saya akan membagikan kisah bagaimana saya menemukan kasih sejati dari Tuhan.

Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari mencari makna dan tujuan hidup. Di Athalia saya diajarkan tentang kasih Tuhan ketika saya mencari kasih yang sejati ini. Bersyukur saya menemukan kasih sejati dari Tuhan yang menurut saya salah satu aspek yang penting bagi kehidupan orang percaya. Konsep kasih dalam kehidupan orang Kristen mengacu pada kasih Tuhan. Kasih Tuhan disebut kasih Agape. Kasih Agape ini bersifat tanpa pamrih dan tulus. Contoh konkret kasih Agape yang tulus berasal dari Tuhan dapat kita lihat dalam Yohanes 3:16, Tuhan mengasihi dunia ini dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus itu sendiri. Sebuah pengorbanan yang tiada ternilai harganya, tidak dapat dibandingkan dengan kasih mana pun di dunia ini.

Ketika menjalani kehidupan sebagai orang Kristen saya merasa bukan hal yang mudah. Banyak hal duniawi yang mengalihkan fokus saya dalam mencari kasih yang sejati itu. Sebagai salah satu anak muda yang hidup di era sekarang ini yang menggoda saya untuk berpaling dari jalur Tuhan. Lantas, bagaimana cara saya menemukan “Kasih Sejati” itu? Ada dua cara saya menemukan kasih yang sejati itu. Pertama, menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan Yesus. Dalam membangun sebuah hubungan, diperlukan sebuah komunikasi yang intens. Layaknya hubungan bapak dan anaknya. Ketika anak kerap kali menginginkan sesuatu dari bapaknya atau ketika anak tidak dianggap, tidak dipedulikan, bahkan tidak dikasihi di dunia ini, anak bisa mengadu pada Allah dalam doa. Saya memberikan waktu khusus secara teratur untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Ketika bangun pagi atau pun menjelang tidur, tidak lupa berdoa. Terkadang doa yang saya panjatkan berisi curhatan dan harapan yang ingin saya capai. Dan bersyukur, selama saya bersekolah dan mengajar di Athalia selalu diingatkan akan relasi dengan Tuhan. Dalam memulai hari dan menutup hari pasti diingatkan untuk selalu berdoa. Kedua, mencari kebenaran yang sejati dalam Alkitab. Alkitab adalah sebuah petunjuk bagi orang percaya. Alkitab adalah sumber utama tentang kasih sejati Tuhan Yesus. Hal yang telah Tuhan perbuat telah tertulis semua di dalam Alkitab. Dalam Alkitab kita dapat membaca dan memahami karakter Tuhan, rencana-Nya, dan segala ajaran-Nya. Di Athalia tidak pernah terlepas dari aktivitas devosi. Setiap memulai hari, baik sebagai murid maupun sebagai guru selalu memulai hari dengan devosi. Melalui devosi saya dapat merenungkan isi dari firman Tuhan bersama dengan rekan sesama guru maupun bersama dengan siswa.

Tuhan sudah mengasihi kita, apa yang dapat kita lakukan sebagai wujud mengasihi-Nya? Hal yang saya lakukan sebagai respons wujud kasih Tuhan adalah melayani sesama. Menemukan kasih sejati dari Tuhan tidak hanya sebatas pengalaman pribadi, tetapi juga melibatkan pelayanan kepada sesama. Tuhan senang jika kita dapat memanfaatkan segala talenta yang kita miliki untuk melayani-Nya di mana saja. Melayani sebagai worship leader dan bidang multimedia di GBI Anugerah adalah salah satu respons saya sebagai wujud kasih kepada sesama. Sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepada saya untuk dapat kembali lagi ke Athalia sebagai seorang pengajar. Dulu saya diajar, sekarang saya mengajar. Hal ini sebagai wujud kasih saya kepada Tuhan dan sesama. Sukacita saya mengajar murid-murid di Athalia dalam mata pelajaran TIK atau Informatika. Tidak mudah mengajar anak-anak yang telah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital saat ini. Saya mencoba mengajar dengan memberikan kasih yang pernah saya terima dari Tuhan. Lewat proses mengajar dengan kasih saya bisa mengajar murid dengan penuh sukacita. Inilah kisah saya sebagai alumni semoga menjadi berkat bagi kita sekalian.

Kenangan tak Terduga

Oleh: Ratu Putri Hiemawan – Kelas 12 IPS 1

Live In merupakan kegiatan yang wajib diikuti siswa-siswi SMA Athalia pada tahun ketiga masa studinya. Setelah absen beberapa tahun karena wabah Covid-19, tahun ini Live In kembali diadakan pada 14-19 Januari di Dusun Ngringin, Kecamatan Getasan, Semarang. Berikut merupakan sedikit pengalaman saya dalam kegiatan Live In 2024.

Pada kegiatan Live In ini, puji Tuhan saya diberi kepercayaan untuk menjadi PIC atau ketua dari salah satu bidang, yaitu PAUD/SD. Sebuah tanggung jawab yang baru, menegangkan, dan berat bagi saya karena harus merancang kegiatan untuk 3 hari di PAUD dan SD, sedangkan saya belum memiliki gambaran sedikit pun tentang kondisi di lapangan. Belum lagi kegiatan penggalangan dana menjual botol dan kardus bekas, serta mengadakan mini konser yang lumayan menyita waktu dan pikiran di tengah gempuran kesibukan sebagai siswi kelas 12. Huru-hara dan ketegangan bertambah karena persiapan barang pribadi dan barang bidang yang cukup memusingkan. Untung saja semua persiapan dapat selesai tepat waktu dan kami dapat berangkat pada Minggu malam.

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya kami sampai di Dusun Ngringin pada Senin pagi. Semua rasa lelah terasa terbayarkan begitu bertemu dengan orang tua asuh yang menyambut kami dengan hangat dan ceria. Saya ditempatkan di rumah Bu Supri yang hanya tinggal berdua dengan anaknya, Ayu yang duduk di kelas 2 SMA. Kedatangan kami membuat Bu Supri senang dan bersemangat karena rumahnya menjadi ramai. Di sebuah rumah beralaskan semen dan tanah liat serta atap dan dinding kumuh, kehangatan dapat kami rasakan dari Bu Supri yang dengan semangat bercerita kepada kami mengenai kehidupannya. Aneh rasanya, mengalami ikatan emosional dengan seseorang yang baru saja kami temui.

Hari-hari selanjutnya saya jalani dengan gembira. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan dari kegiatan di PAUD/SD, mulai dari melatih kesabaran untuk mengajar dan menghadapi anak kecil, latihan fisik karena harus mengejar anak-anak yang berlarian ke berbagai arah, menghadapi pukulan-pukulan yang mereka layangkan, bahkan mempelajari sedikit demi sedikit bahasa Jawa. Lagi-lagi terasa aneh, karena saya sendiri tidak menyangka saya akan menikmati setiap momen di Dusun Ngringin ini. Nyaman sekali rasanya ketika dapat disapa dan diberikan perhatian oleh setiap warga yang kami jumpai. “Mau ke mana, Kak?”, “Makan di sini saja, Kak”, “Tinggalnya di rumah siapa, Kak?”, “Mau ikut ke ladang tidak, Kak?”, merupakan sapaan-sapaan yang sering dilayangkan oleh warga setempat ketika berjumpa dengan kami.

Kebersamaan juga kami rasakan dengan Ayu yang kebetulan seumuran dengan kami. Canda tawa kami layangkan sembari mendengar kisah-kisah tentang warga setempat oleh Bu Supri dan Ayu, bahkan dengan tetangga yang kebetulan mampir ke rumah Bu Supri untuk ikut berbincang dengan kami. Teh manis hangat, susu coklat, dan kue-kue kering selalu menjadi teman berbincang kami hingga larut tiap malam.

Tak terasa, tibalah kami di hari terakhir, saat kami harus pulang. Malam sebelumnya seperti biasa, kami kembali berbincang hingga larut malam, saat itu hujan deras dan mati lampu. Bu Supri berkata (mungkin sekaligus mendoakan) “Besok pasti telat ini, Kak, hujan gede”, seakan tidak mau berpisah. Dan benar saja, hujan bertahan hingga besok paginya sehingga kami memiliki waktu lebih lama untuk perpisahan. Kami yang awalnya mengira tidak akan kerasan dan akan rindu rumah, sekarang malah tidak ingin pulang. Derai tangis serta janji bahwa kami akan kembali ke sana mengiringi perpisahan kami. Sungguh berat rasanya, mengingat Bu Supri juga berkata bahwa ia sering kesepian di rumah dan ia senang karena kami membuat rumahnya ramai. Namun, tentunya setiap perjumpaan akan menemui perpisahan. Hujan mengiringi kepulangan kami, seakan ikut menangis menyaksikan perpisahan yang terjadi.

Begitulah pengalaman Live In saya. Dari yang awalnya malas dan tidak memiliki minat sedikit pun, hingga menjadi salah satu orang yang paling merindukan Dusun Ngringin. Saya belajar bahwa tidak perlu memiliki segalanya untuk bisa memberikan yang terbaik, ketulusan merupakan yang utama. Kegiatan ini benar-benar mengajarkan saya keindahan dari kesederhanaan dan pentingnya orang-orang yang kita sayangi. Kesimpulannya adalah, Live In 2024 terbaik!

Kasih Sejati

Oleh : Lili Irene – Plt. Kabag PK3

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Secuplik bait lagu,”Belum pernah ada kasih di dunia sanggup mengubahkan hidupku, selain kasih-Mu Yesus …” Sungguh sebuah pernyataan iman yang besar bahwa di dunia ini kita sulit menemukan kasih yang sejati selain di dalam Tuhan Yesus.

Berbagai kisah tentang kasih yang mungkin pernah kita dengar baik kasih antara orang tua kepada anak, suami kepada istri, kakak kepada adik, sahabat kepada sahabat selalu membuat kita terharu bukan? Di dalam kasih yang dinyatakan selalu ada pengorbanan. Namun, dalam kenyataannya tidak sedikit pula kasih yang ditunjukkan ada alasan atau pamrih di baliknya, sehingga sering timbul pertanyaan kenapa begitu sulit sekali untuk menemukan kasih tanpa pamrih di dunia ini.

Kita mungkin pernah mendengar banyak orang tua yang katanya mengasihi anaknya tetapi menuntut anaknya untuk melakukan apa yang diingini orang tuanya. Suami yang katanya mengasihi tetapi menuntut seorang istri tampil sempurna. Seorang kakak yang mengasihi adiknya, tetapi meminta balasan atas apa yang dilakukan. Seorang teman yang berkata mengasihi temannya tetapi meminta ia untuk setuju dengan semua yang dilakukan. Seorang guru yang hanya akan mengasihi muridnya jika muridnya bersikap baik. Sungguh ironis berbagai kisah kasih di dunia ini pada akhirnya berujung dengan kisah sedih di mana setiap orang yang terlibat di dalamnya terlibat konflik berkepanjangan. Kenapa? Karena kasih manusia selalu menuntut dan ada pamrihnya.

Berbeda sekali dengan kasih Allah. Kasih yang tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan atau balasan. Dalam Alkitab ada istilah yang dipakai untuk menunjukkan kasih yang tanpa pamrih, yaitu kasih Agape. Kasih ini adalah kasih Allah kepada manusia. Kasih yang memberi tanpa meminta balasan. Kasih yang rela memberikan nyawa kepada orang yang dikasihi. Yohanes 3:16 mengatakan bahwa Allah bahkan memberikan anak-Nya yang Tunggal untuk mati di atas kayu salib bagi kita manusia. Ada banyak orang yang bersedia mati untuk orang baik tetapi untuk orang tidak baik dan berdosa, siapa yang mau mati? Hanya Allah yang mau melakukannya bagi kita orang berdosa ini. Inilah “kasih sejati” itu. Allah mengasihi kita sebagaimana kita apa adanya. Kasih Allah tidak memandang status atau kedudukan kita. Kasih Allah hadir setiap musim kehidupan kita suka maupun duka. Kasih Sejati-Nya merangkul dan memeluk kita. Kiranya kita melekat kepada kasih sejati Allah dalam menempuh hidup di dunia dan terus-menerus belajar untuk membagikan kasih sejati itu kepada orang-orang yang membutuhkan. Tuhan memberkati.

No Matter what storm you face
You need to know that God loves you.
He has not abandoned you

Franklin Graham