Sore itu, hujan baru saja berhenti. Menyisakan butiran-butiran air hujan di jendela kaca. Satu-persatu butiran-butiran itu terjatuh dan menetes. Suasana senja ini mengingatkanku pada sore dengan suasana yang sama sekitar empat belas tahun yang lalu. Saat itu, Indonesia tengah dilanda krisis yang sangat hebat, kerusuhan, pembakaran, kebrutalan, dan anarkisme yang mengerikan terjadi di mana-mana. Sore itu, kakek tampak berdiri termangu memandangi butiran-bituran air hujan di jendela kaca itu. Beliau tetap berdiri di sana, tak bergeming sedikit pun meskipun langkah kakiku yang berisik berjalan melangkah ke sampingnya. “Kakek lagi mikirin apa? apa sih yang lagi kakek liat?”, tanyaku waktu itu. “Ngga mikir apa-apa…”, jawab kakek tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Untuk beberapa menit aku ikut terdiam dan termangu di samping tubuh renta kakek yang masih berdiri tegap menatapi butiran air yang masih terus menetes di jendela kaca. Mungkin aku bertanya seperti itu, tetapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu betul apa yang sedang kakek rasakan dan pikirkan. Tetes-tetes air hujan ini adalah representasi air mata kakek yang tertahan. Titik-titik air ini adalah lambang tiap tetesan darah dari luka-luka yang mengganga yang telah kakek rasakan saat berjuang. Mendung dan awan yang kelam ini sekelam dan seduka hatinya, duka yang terpendam mengingat betapa hasil perjuangannya, yaitu kemerdekaan bangsa ini diisi dengan berbagai-bagai penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan kewenangan, dan penjajahan versi baru yang dilakukan oleh orang-orang terhadap bangsanya sendiri. Mendung semakin menghitam dan sore semakin gelap. Butiran-butiran air hujan tampak masih menetes di sana. Terus menetes dan masih terus menetes…
***
Liburan sekolah menjadi momen yang paling menyenangkan karena dapat pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarga, mengunjungi saudara atau berkunjung ke rumah kakek. Salah satu hal yang paling menarik saat bertemu dengan kakek adalah mendengarkan kisah perjuangan kakek di masa perang, dan bagaimana kakek berjuang. Kisah yang seru dan menyeramkan. Pengalaman antara hidup dan mati di bawah suara dentuman meriam. Keluar masuk hutan, naik turun gunung, menyeberangi rawa-rawa, bermalam di goa-goa, merayap di atas lumpur, menerjang semak berduri, menempuh perjalanan dengan berjalan kaki di bawah sengatan matahari atau bergerilya di bawah guyuran air hujan yang lebat dan dingin menggigilkan. Bertaruh nyawa memimpin pasukan di garis depan, terseret-seret penuh luka dan bersedih karena harus kehilangan teman-teman seperjuangan saat peluru musuh menembus tubuh mereka, atau karena digigit ular berbisa atau terkena malaria saat tinggal dalam kamp persembunyian, dan berjuta kisah heroik lainnya. Persahatan, kesetiakawanan, bahkan penghianatan oleh rekan sesama pejuang adalah kisah-kisah yang tak terlupakan. Berjuta kisah yang tak pernah bosan aku dengar.
***
Gejolak perjuangan reformasi masih membahana. Di tengah kegalauan menatap kenyataan bahwa segalanya begitu berbeda, antara dahulu dan sekarang, tubuh kakek semakin terkulai di usianya yang semakin senja. Dulu kala, para pemimpin rela mempertaruhkan jiwa, raga, dan nyawa demi bangsa dan rakyatnya, tetapi sekarang, para pemimpin dan penguasa justru rela mempertaruhkan rakyatnya demi kepentingan pribadi mereka, dengan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan, pelanggaran HAM, dan sebagainya.
Pagi itu, tubuh kakek yang dingin dan kaku, telah berbaring di dalam sebuah peti kayu dengan selembar bendera merah putih terbentang di atas peti itu. Diusung oleh pasukan berseragam hijau bertopi baret, dengan tubuh tegap mereka, perlahan-perlahan melangkah mengantarkan kakek ke peristirahatan terakhirnya. Sebuah hamparan tanah hijau yang lengang dan sepi dengan deretan batu-batu yang berjejer rapi dan bertuliskan nama-nama yang terpatri di atasnya. Sebuah tembakan salvo menggelegar sebagai tanda penghormatan terakhir yang mengantarkan kepergian kakek ke perjalanan menuju ke keabadian.
***
Saat butiran air hujan menetes di jendela kaca, aku merasa kakek masih berdiri di sana. Menatapi tetesan air yang sama. Menangisi hal yang sama. Saat ini aku hanya berharap, di 66 tahun kemerdekaan bangsa ini, perjuangan dan penderitaan para pendahulu bangsa mudah-mudahan tidak lagi berakhir dalam kesia-siaan dan kehancuran oleh keserakahan korupsi dan kejahatan lainnya yang hanya akan semakin mengantarkan bangsa ini ke dalam keterpurukan yang tak jauh lebih buruknya seperti saat penjajahan. Semoga keadilan hukum dan HAM dapat ditegakkan, korupsi diberantas habis, tidak ada lagi orang-orang sendiri yang membom dan membumi hanguskan saudara sebangsa dan setanah airnya sendiri dengan kedok agama yang terejawantahkan dalam bentuk yang keji bernama terorisme. Kebebasan dari rasa takut yang telah dibelenggu dapat berakhir dengan hadirnya rasa aman bagi segenap penduduk bumi pertiwi, kerukunan hidup berbangsa dan kebebasan berkeyakinan dapat sepenuhnya diraih, dan hal-hal lainnya yang masih jauh dari cita-cita dan perjuangan para pendahulu bangsa ini dapat tercapai demi Indonesia yang lebih baik.
Butiran air hujan menetes di jendela kaca, semoga akan berubah menjadi representasi dari tangis kebahagiaan dari para pejuang negeri ini, pendiri bangsa, dan tangis bahagia seluruh anak bangsa dan generasi penerusnya…karena kemerdekaan yang sebenarnya telah ada dalam genggaman mereka…
Selamat jalan pahlawan…semoga dapat beristirahat dalam tenang dan damai dalam dekapan tangan sang Maha Pencipta. (Ind)