Kalah atau menang? Di depan atau di belakang? Unggul atau terbelakang? Persaingan adalah esensi hidup modern. Seakan arti hidup ini terletak pada hasil yang didapat dari persaingan. Apakah kita hidup di dunia ini memang untuk bersaing? Bersaing dengan apa? Lalu agar bisa bersaing, apa yang harus kita miliki sebagai modal? Intelektual? Uang? Kekuasaan? Kekuatan?
Sebenarnya dalam Matius 10:16 Tuhan Yesus sudah berkata bahwa kita diutus ke tengah-tengah kawanan serigala. Untuk bisa bertahan dan tak ‘dimangsa’ kawanan serigala, ada ‘rahasia’ yang Tuhan bukakan buat kita, yaitu kita harus “…cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Dalam bahasa Yunani untuk kata cerdik digunakan kata yang berarti ‘hati-hati, menghindari resiko, dan hal-hal yang belum jelas’ dan untuk kata tulus digunakan kata ‘tidak punya kecenderungan atau kemampuan untuk melukai atau melakukan tindakan kasar’. Kemenangan seekor domba untuk bisa bertahan di tengah serigala bukan lah dengan mengandalkan kekuatan fisik, melainkan karakter.
Karakter adalah hal yang sangat penting. Dalam hidup ini tak ada yang pasti karena Allah mengijinkan masa depan tersembunyi dari hadapan kita. Ketika para jutawan bahkan multijutawan Amerika, Eropa. bahkan Asia terpuruk karena kasus saham yang berguguran, apa yang terjadi? Banyak yang bunuh diri! Justru di saat sulit lah karakter berperan membentengi kita dari melakukan hal-hal yang salah dan menghancurkan diri sendiri. Krisis ekonomi dunia yang sekarang terjadi juga karena apa? Karena banyak orang cerdas yang tak punya karakter yang baik. bermain saham, mempermainkan uang orang tanpabertanggung jawab, akhirnya menimbulkan kerugian di mana-mana.
Orang yang cerdas, tanpa karakter baik, apa yang akan dicapainya? Akan menjadi apa dia? Tapi seorang yang kemampuan intelektualnya biasa-biasa saja, bila memiliki konsep yang benar dan karakternya terbangun dengan teguh, tak mungkin hidup hanya bermalas-malasan. Dia mengerti tentang tanggungjawab, dia berinisiatif, tidak menunda waktu, rajin, dll. Ini semua akan menolongnya untuk pada saatnya menemukan talenta yang memang sudah Allah berikan bagi tiap orang secara berbeda-beda sesuai anugerahNya.
Menerapkan di Rumah
Pembelajaran karakter tanggung jawab di Sekolah Athalia berlangsung selama semester I tahun ajaran 2007/2008. Selama sekitar enam bulan siswa dan orangtua telah belajar banyak hal mengenai pentingnya tanggung jawab. Sejak awal Sekolah Athalia memang tidak pernah merancang program karakter sebagai program sepihak. Orangtua harus terlibat, bekerjasama dengan Sekolah agar tiap karakter yang dipelajari bisa benar-benar dimengerti, tertanam dalam diri anak, dan pelan-pelan terbangun dalam keseharian anak.
Bulan lalu, kami telah mengundang orangtua untuk menyusun sendiri rencana penerapan karakter tanggung jawab ini di rumah. Kita bersyukur karena begitu banyak orangtua yang mau terlibat, mau menyediakan waktu untuk menyusun program, memberi reward, dan memperhatikan kemajuan karakter tanggung jawab dalam diri putra putrinya. Beberapa orangtua bersedia membagikan pengalaman mereka dalam menjalankan program ini di rumah.
Pengalaman saya membentuk karakter anak.
Membentuk karakter sepertinya mudah tetapi setelah saya jalani ternyata sulit. Contohnya, mengubah anak yang malas menjadi rajin. Sungguh tidak mudah. Sepertinya anak harus dibiasakan/diajari sedini mungkin untuk hidup mandiri. Saya melihat anak saya mulai ada tanggung jawab. Dia dapat menyusun buku sendiri setelah belajar tanpa disuruh. Bangun pagi pun, yang dulunya selalu menangis saat dibangunkan, sekarang tidak lagi. Dia pun sudah punya kesadaran untuk bersekolah, walaupun untuk mengerjakan PR dan tugas kadang-kadang masih harus diingatkan. (Orangtua dari siswa kelas IA)
Pengalaman saya membentuk karakter anak saya seperti pasang surut air di padang pasir. Kadang dia mau berusaha sendiri, tapi kadang juga selalu bergantung pada saya. Untuk masalah tidur sendiri, anak saya belum banyak kemajuannya. Saya sekarang sedang melatih agar dia bisa tidur awal karena dia selalu tidur larut malam. Untuk ke depannya, saya akan lebih berusaha melatih anak saya agar lebih mandiri. (Orangtua seorang siswa TKA)
Sejak anak saya masuk SD kelas 1 memang terpikir oleh saya untuk memberikan tanggung jawab tertentu yang dapat dia kerjakan. Ternyata sejalan dengan program karakter tanggung jawab di Sekolah Athalia. Karena itu saya sangat antusias mengikuti program karakter tanggung jawab. Suatu hari Sabtu pukul 11 kami mengadakan rapat kecil sekeluarga sambil makan serabi. Tugas dibagi untuk papa, mama, dan anak. Anak saya bertanggung jawab membereskan kamar sebelum ke sekolah, meletakkan sepatu di tempatnya, meletakkan piring setelah makan, dan merapikan mainan serta buku, meletakkan baju kotor di keranjang cucian. Saya membuat semacam jadual tiap hari dan dan memberi reward untuk 1 minggu dengan uang tabungan. Setelah lebih kurang 1 bulan berjalan saya tidak perlu lagi merinci tugasnya satu per satu. Saya hanya perlu mengingatkan: “…waktunya membereskan kamar.” Dan…sungguh luar biasa anak saya bisa merapikan kamarnya dengan baik. Saya sangat puas. Dalam hal meletakkan sepatu dan baju kotor masih belum sempurna. Ada beberapa kali yang perlu diingatkan, demikian juga meletakkan piring kotor dan mainan. Sekarang pekerjaan saya menjadi jauh lebih mudah, dan mengurangi ketegangan dengan anak karena tidak perlu lagi jadi mama bawel yang tiap hari mengulangi kata-kata yang sama. Terima kasih saya ucapkan pada Bapak dan Ibu Guru di Athalia yang sangat memperhatikan karakter anak. Kiranya Tuhan memberkati. (Orangtua seorang siswa kelas 1)
Dalam membentuk karakter anak, sejak dini telah saya terapkan agar anak dapat mandiri. Saya telah memulainya sejak anak berusia tiga tahun, dengan memberinya tanggung jawab pada hal-hal yang sederhana. Sebagai contoh, anak diajarkan untuk makan sendiri, dapat mengganti dan mengancingkan bajunya sendiri, dapat menyimpan sepatu atau sandalnya, serta barang-barang lain miliknya. Seiring dengan bertambahnya usia anak, dan untuk memberinya kepercayaan, maka tanggung jawab itu saya tambah sedikit demi sedikit. Apapun yang saya rasa bisa dia lakukan, maka saya memberinya kesempatan untuk melakukannya sendiri. Saat masuk SD, bila ada tugas anak saya dapat mengerjakannya tanpa perlu terus menerus saya dampingi. Saya hanya membantu saat dia mengalami kesulitan. Saat duduk di kelas III saya hanya bertugas memeriksa PR dan membantunya dalam persiapan menghadapi ulangan. Kini anak saya telah kelas IV. Saya sama sekali telah melepasnya. Hanya sesekali saja, bila benar-benar mengalami kesulitan, baru lah dia minta bantuan saya. Saya memberi dia kepercayaan penuh untuk mencapai nilai-nilai yang ia targertkan. Dan di luar dugaan saya, ia mampu menunjukkan hasil yang baik. (Orangtua seorang siswa kelas IV)
Kiranya pengalaman para orangtua ini bisa menolong kita untuk lebih peduli pada pembentukan karakter anak sejak dini.
Kecerdasan – karakter = tak bernilai.
Kecerdasan + karakter = tak ternilai.