Ingin Menang Bersaing..??

Kalah atau menang? Di depan atau di belakang? Unggul atau terbelakang? Persaingan adalah esensi hidup modern. Seakan arti hidup ini terletak pada hasil yang didapat dari persaingan. Apakah kita hidup di dunia ini memang untuk bersaing? Bersaing dengan apa? Lalu agar bisa bersaing, apa yang harus kita miliki sebagai modal? Intelektual? Uang? Kekuasaan? Kekuatan?

Sebenarnya dalam Matius 10:16 Tuhan Yesus sudah berkata bahwa kita diutus ke tengah-tengah kawanan serigala. Untuk bisa bertahan dan tak ‘dimangsa’ kawanan serigala, ada ‘rahasia’ yang Tuhan bukakan buat kita, yaitu kita harus “…cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Dalam bahasa Yunani untuk kata cerdik digunakan kata yang berarti ‘hati-hati, menghindari resiko, dan hal-hal yang belum jelas’ dan untuk kata tulus digunakan kata ‘tidak punya kecenderungan atau kemampuan untuk melukai atau melakukan tindakan kasar’. Kemenangan seekor domba untuk bisa bertahan di tengah serigala bukan lah dengan mengandalkan kekuatan fisik, melainkan karakter.

Karakter adalah hal yang sangat penting. Dalam hidup ini tak ada yang pasti karena Allah mengijinkan masa depan tersembunyi dari hadapan kita. Ketika para jutawan bahkan multijutawan Amerika, Eropa. bahkan Asia terpuruk karena kasus saham yang berguguran, apa yang terjadi? Banyak yang bunuh diri! Justru di saat sulit lah karakter berperan membentengi kita dari melakukan hal-hal yang salah dan menghancurkan diri sendiri. Krisis ekonomi dunia yang sekarang terjadi juga karena apa? Karena banyak orang cerdas yang tak punya karakter yang baik. bermain saham, mempermainkan uang orang tanpabertanggung jawab, akhirnya menimbulkan kerugian di mana-mana.

Orang yang cerdas, tanpa karakter baik, apa yang akan dicapainya? Akan menjadi apa dia? Tapi seorang yang kemampuan intelektualnya biasa-biasa saja, bila memiliki konsep yang benar dan karakternya terbangun dengan teguh, tak mungkin hidup hanya bermalas-malasan. Dia mengerti tentang tanggungjawab, dia berinisiatif, tidak menunda waktu, rajin, dll. Ini semua akan menolongnya untuk pada saatnya menemukan talenta yang memang sudah Allah berikan bagi tiap orang secara berbeda-beda sesuai anugerahNya.

Menerapkan di Rumah
Pembelajaran karakter tanggung jawab di Sekolah Athalia berlangsung selama semester I tahun ajaran 2007/2008. Selama sekitar enam bulan siswa dan orangtua telah belajar banyak hal mengenai pentingnya tanggung jawab. Sejak awal Sekolah Athalia memang tidak pernah merancang program karakter sebagai program sepihak. Orangtua harus terlibat, bekerjasama dengan Sekolah agar tiap karakter yang dipelajari bisa benar-benar dimengerti, tertanam dalam diri anak, dan pelan-pelan terbangun dalam keseharian anak.

Bulan lalu, kami telah mengundang orangtua untuk menyusun sendiri rencana penerapan karakter tanggung jawab ini di rumah. Kita bersyukur karena begitu banyak orangtua yang mau terlibat, mau menyediakan waktu untuk menyusun program, memberi reward, dan memperhatikan kemajuan karakter tanggung jawab dalam diri putra putrinya. Beberapa orangtua bersedia membagikan pengalaman mereka dalam menjalankan program ini di rumah.

Pengalaman saya membentuk karakter anak.
Membentuk karakter sepertinya mudah tetapi setelah saya jalani ternyata sulit. Contohnya, mengubah anak yang malas menjadi rajin. Sungguh tidak mudah. Sepertinya anak harus dibiasakan/diajari sedini mungkin untuk hidup mandiri. Saya melihat anak saya mulai ada tanggung jawab. Dia dapat menyusun buku sendiri setelah belajar tanpa disuruh. Bangun pagi pun, yang dulunya selalu menangis saat dibangunkan, sekarang tidak lagi. Dia pun sudah punya kesadaran untuk bersekolah, walaupun untuk mengerjakan PR dan tugas kadang-kadang masih harus diingatkan. (Orangtua dari siswa kelas IA)

Pengalaman saya membentuk karakter anak saya seperti pasang surut air di padang pasir. Kadang dia mau berusaha sendiri, tapi kadang juga selalu bergantung pada saya. Untuk masalah tidur sendiri, anak saya belum banyak kemajuannya. Saya sekarang sedang melatih agar dia bisa tidur awal karena dia selalu tidur larut malam. Untuk ke depannya, saya akan lebih berusaha melatih anak saya agar lebih mandiri. (Orangtua seorang siswa TKA)

Sejak anak saya masuk SD kelas 1 memang terpikir oleh saya untuk memberikan tanggung jawab tertentu yang dapat dia kerjakan. Ternyata sejalan dengan program karakter tanggung jawab di Sekolah Athalia. Karena itu saya sangat antusias mengikuti program karakter tanggung jawab. Suatu hari Sabtu pukul 11 kami mengadakan rapat kecil sekeluarga sambil makan serabi. Tugas dibagi untuk papa, mama, dan anak. Anak saya bertanggung jawab membereskan kamar sebelum ke sekolah, meletakkan sepatu di tempatnya, meletakkan piring setelah makan, dan merapikan mainan serta buku, meletakkan baju kotor di keranjang cucian. Saya membuat semacam jadual tiap hari dan dan memberi reward untuk 1 minggu dengan uang tabungan. Setelah lebih kurang 1 bulan berjalan saya tidak perlu lagi merinci tugasnya satu per satu. Saya hanya perlu mengingatkan: “…waktunya membereskan kamar.” Dan…sungguh luar biasa anak saya bisa merapikan kamarnya dengan baik. Saya sangat puas. Dalam hal meletakkan sepatu dan baju kotor masih belum sempurna. Ada beberapa kali yang perlu diingatkan, demikian juga meletakkan piring kotor dan mainan. Sekarang pekerjaan saya menjadi jauh lebih mudah, dan mengurangi ketegangan dengan anak karena tidak perlu lagi jadi mama bawel yang tiap hari mengulangi kata-kata yang sama. Terima kasih saya ucapkan pada Bapak dan Ibu Guru di Athalia yang sangat memperhatikan karakter anak. Kiranya Tuhan memberkati. (Orangtua seorang siswa kelas 1)

Dalam membentuk karakter anak, sejak dini telah saya terapkan agar anak dapat mandiri. Saya telah memulainya sejak anak berusia tiga tahun, dengan memberinya tanggung jawab pada hal-hal yang sederhana. Sebagai contoh, anak diajarkan untuk makan sendiri, dapat mengganti dan mengancingkan bajunya sendiri, dapat menyimpan sepatu atau sandalnya, serta barang-barang lain miliknya. Seiring dengan bertambahnya usia anak, dan untuk memberinya kepercayaan, maka tanggung jawab itu saya tambah sedikit demi sedikit. Apapun yang saya rasa bisa dia lakukan, maka saya memberinya kesempatan untuk melakukannya sendiri. Saat masuk SD, bila ada tugas anak saya dapat mengerjakannya tanpa perlu terus menerus saya dampingi. Saya hanya membantu saat dia mengalami kesulitan. Saat duduk di kelas III saya hanya bertugas memeriksa PR dan membantunya dalam persiapan menghadapi ulangan. Kini anak saya telah kelas IV. Saya sama sekali telah melepasnya. Hanya sesekali saja, bila benar-benar mengalami kesulitan, baru lah dia minta bantuan saya. Saya memberi dia kepercayaan penuh untuk mencapai nilai-nilai yang ia targertkan. Dan di luar dugaan saya, ia mampu menunjukkan hasil yang baik. (Orangtua seorang siswa kelas IV)

Kiranya pengalaman para orangtua ini bisa menolong kita untuk lebih peduli pada pembentukan karakter anak sejak dini.
Kecerdasan – karakter = tak bernilai.
Kecerdasan + karakter = tak ternilai.

Etika Profesional Guru

Profesi guru sungguh unik dan berat. Apalagi guru di sekolah Kristen. Tanggung jawab yang di embannya sungguh di atas rata-rata. Sedemikian seriusnya peran itu hingga Alkitab menulis “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru, sebab kita tahu bahwa sebagai guru kita akan dihakimi dengan ukuran yang lebih berat.” (Yakobus 3:1). Pernahkah kita mencoba merenungkan ayat itu dan menyadari kebenarannya?

Dokter juga adalah sebuah profesi mulia yang juga berat. Coba bayangkan, ada seorang dokter yang berkata pada pasiennya, “Kurangi merokok, paru-parumu sudah mulai kena flek.” Sang pasien yang perokok berat pun mulai berusaha berhenti. Lantas suatu hari di sebuah café si pasien melihat dokternya sedang menghisap kretek dalam-dalam sambil ngopi. Di sisi lain,  ada seorang guru yang menasehati muridnya yang kepergok sedang merokok. “Merokok itu tidak baik, kamu merusak tubuh pemberian Allah, dan menghamburkan uang anugerah Allah.” Kemudian pada malam harinya keduanya berpapasan di jalan dan si murid melihat sang guru asyik menghisap rokok sambil berjalan sendiri. Bandingkan reaksi dan pengaruh yang ditimbulkan perilaku guru pada murid, dan dokter pada pasiennya. Kemungkinan besar si murid akan terus merokok dan hilang rasa hormat dan kepercayaannya pada sang guru, sementara pasien mungkin tetap akan mengurangi kebiasaan merokok demi kesehatannya dan membiarkan dokter mengambil resiko atas perilakunya sendiri. Inilah yang membuat profesi guru menjadi tak biasa. Ketika memutuskan menjadi guru, kita terikat pada etika yang layak dijunjung tinggi.

Seorang guru sudah sepatutnya mendukung dan menaati semua peraturan dan tata tertib sekolah. Dengan bersikap demikian guru memberi pengaruh yang baik pada siswa-siswa, hingga mereka pun terdorong untuk taat pada peraturan. Guru tidak boleh menunjukkan atau membicarakan keraguannya atas peraturan maupun tata tertib sekolah kepada murid atau orangtua siswa. Apabila ada keraguan, sebaiknya hanya dibicarakan dengan Kepala Sekolah. Sekolah harus menunjukkan kesatuan. Seluruh pihak yang menjadi bagian dari sekolah harus menghargai kebijakan yang ditetapkan. Bila kita tidak menghargai diri sendiri, bagaimana orang lain akan menghargai kita?

Beberapa hal perlu kita perhatikan untuk menjaga profesi guru tetap berada di tempat bermartabat, demi pengaruh baik yang kita sebarkan ke murid-murid, antara lain :
1. Guru harus memiliki sikap yang mencerminkan suatu kepribadian dengan standar yang tinggi, setiap saat. Sikap seorang guru terhadap wali murid, sesama guru, dan pimpinan, sebaiknya selalu menyenangkan, ramah, penuh pertimbangan, dan hormat.
2. Guru harus dapat dipercaya untuk menyimpan rahasia. Dalam situasi apa pun hal-hal yang dirahasiakan tidak boleh dibocorkan pada siapa pun.
3. Informasi yang bersifat rahasia sebaiknya tetap dipegang teguh sesuai aturan. Guru seharusnya tidak asal bicara. Perlu menunjukkan rasa hormat yang tinggi kepada Kepala Sekolah dan sesama guru setiap saat. Jangan menyapa dengan nama panggilan di depan orang lain.
4. Apabila ada siswa yang melanggar peraturan sekolah, guru boleh menangani sendiri atau membawa ke Kepala Sekolah atau staf. Ini bukan masalah yang perlu dirahasiakan.
5. Pergunakan waktu kerja dengan baik, dan jangan mencuri waktu orang lain dengan melakukan kunjungan yang tidak perlu. Kemana pun ia pergi, seorang guru Kristen mewakili sekolah milik Yesus Kristus. Sikap dan tindakan-tindakannya hendak lah jauh dari celaan, agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Ada orang yang beranggapan, setelah jam sekolah usai, dan setelah guru berada di luar lingkungan sekolah, dia bebas melakukan apa yang diinginkannya. Namun, tentu lah sulit bagi guru untuk bisa mengajar murid-murid tentang prinsip hidup yang baik bila dia sendiri melanggar prinsip tersebut.

*ditulis ulang berdasarkan buku “Panduan untuk Guru-guru Sekolah*

Membangun Daya Juang Remaja

Mungkin lebih tepat bila judul di atas dibaca sebagai sebuah pertanyaan skeptis. Masih ada kah daya juang remaja kita? Remaja sekarang lebih terkesan memble alias melempem. Dimana api roh atau kobaran spirit mereka? Nyaris tak bersinar? Apa yang menyebabkan keadaan mereka seperti itu? Lain dengan remaja dan pemuda tempo dulu yang menyingsingkan lengan baju untuk turut berjuang memperebutkan kemerdekaan dari tangan penjajah. Masih jelas dalam ingatan kita sejarah bangsa yang diwarnai oleh gelora semangat kaum muda.

Tentu saja pergeseran yang terjadi sekarang ini bukan tanpa sebab. Pola atau gaya hidup masyarakat berubah, ditambah lagi fenomena tantangan hidup sekarang berbeda dari masa lalu. Semua ini perlu diantisipasi dan disikapi dengan cara yang berbeda namun bijak.

I. Mengapa remaja sekarang kehilangan daya juang ?
1. Kondisi Jaman

Tantangan hidup sekarang ini berbeda. Kesulitan yang ada bukan yang terlihat tapi lebih banyak yang tidak terlihat. Secara faktual hidup sekarang jauh lebih mudah dibanding prakemerdekaan. Tidak ada himpitan penjajah yang memaksa kita untuk berjuang lebih keras, tidak ada ancaman terhadap keselamatan jiwa, tak perlu mengungsi, hukum pun berlaku dengan jelas. Berbagai fasilitas kian menyerbu, apa pun mudah didapat, asal punya uang. Berbagai perangkat elektronik canggih, hiburan, bahkan mainan pun tidak ketinggalan. Para pencipta mainan seolah berlomba mengisi waktu luang anak, memanfaatkan sekaligus merogoh kocek orang tua yang rela menyenangkan hati anak sebagai ganti waktu yang terhilang akibat kesibukan mengejar tuntutan karir. Tantangan yang tak kelihatan itu membuat remaja tidak sadar bahwa mereka juga sedang di bawah penjajahan, dikuasai berbagai keinginan yang membuat mereka menyimpang dari fokus hidup yang seharusnya.

Gaya hidup hedonis yang mengacu kepada materialisme juga turut memberi andil dalam mereduksi daya juang remaja saat ini. Segala sesuatu tidak lagi dinilai dari sebuah perjuangan. Usaha yang ditunjukkan seseorang tidak dihargai, bahkan dianggap absurd. Otak dan uang menjadi prioritas dalam ”membeli” harga diri. Seseorang yang pandai, kaya, cantik akan lebih dihargai dari pada yang sederhana, rajin, tekun tapi jujur! Demi uang remaja rela melakukan apa pun, bahkan menjual dirinya sekali pun.

2. Kondisi Orang Tua
Orang tua makin fokus pada karir demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Makin banyak remaja yang tumbuh dalam asuhan babysitter/pembantu rumah tangga. Anak tidak diajar mandiri, semua dilakukan oleh pembantu. Orang tua jarang berada di rumah, tidak cukup memberi arahan dan didikan, baik pada pembantu maupun si anak, sehingga semua hal dikerjakan pembantu. Anak tidak dilatih untuk melakukan sesuatu sesuai usia dan kekuatannya.

Tuntutan karir dan ekonomi mengkondisikan orang tua untuk tidak memiliki banyak anak. Makin banyak keluarga yang hanya punya satu atau dua anak. Kondisi ini memicu orang tua memiliki sayang yang berlebihan pada anak. Namun karena orang tua harus fokus pada karir, rasa sayang digantikan dengan hal lain. Anak diberi kemudahan dan berbagai fasilitas. Orang tua berusaha semaksimal mungkin agar anak tidak mengeluarkan keringat maupun air mata. Anak tidak lagi memiliki rasa lapar, karena belum sempat lapar mereka sudah dijejali dengan berbagai hal yang mengenyangkan, bahkan sampai berlebih hingga ”luber”. Sebenarnya kondisi ini membuat anak kehilangan ”nafsu”, tidak mengenal rasa nikmat dan puas karena segala sesuatu diperoleh tanpa perjuangan, bahkan tanpa perlu meminta. Anak tidak dapat lagi membedakan antara keinginan dan kebutuhan.

Orang tua juga merasa bersalah jika anaknya ”menderita”. Ada sebagian orang tua yang ingin balas dendam akan kehidupannya yang susah di masa lampau, tanpa menyadari bahwa berbagai kesulitan itu lah yang membuatnya berhasil mencapai apa yang dicapainya sekarang.

Ada juga yang ingin menaikkan gengsinya di mata orang lain melalui keberadaan si anak. Maka anak menjadi simbol gengsi orang tua, hanya menjadi ”boneka pajangan” yang siap didandani tanpa memiliki otoritas atas dirinya. Orang tua lebih menekankan pada prestasi akademis anak, dan mengabaikan sisi keahlian hidup anak, yang menyangkut cara anak menghadapi masalah, menghindari godaan, menyelesaikan perselisihan, meredam nafsu, dll.

3. Kondisi Anak
Bisa juga kondisi anak stress dan tertekan karena tuntutan jaman yang kian hari kian memaksa anak-anak kita menjadi idola atau sang juara dalam berbagai perlombaan, turnamen, dan olimpiade. Orang tua rela merogoh kocek mereka untuk mengikutsertakan anaknya dalam berbagai kegiatan perlombaan dimana-mana setiap minggunya. Piala dan piagam seolah menumpuk hanya untuk membeli sebuah prestise atau harga diri.

Anak-anak pun mudah mendapat apa yang diinginkan, tanpa perlu bersusah payah untuk mendapatkannya. Hal ini pula yang memicu anak untuk kurang menghargai apa yang dimilikinya. Anak kurang merawat barang-barangnya, tidak menghargai kepemilikan orang lain, bahkan tidak menghargai orang lain! Easy come, easy go kata orang. Anak tidak terganggu bila barang miliknya ada yang rusak, apakah itu pensil yang hanya ribuan perak hingga handphone jutaan rupiah. Apa pun bisa dengan mudahnya raib dari tangan atau tas miliknya, dan tragisnya, mudah pula memperoleh kembali (yang baru tentunya) ketika mereka mengeluarkan jurus rengek memelas kepada orang tua mereka yang hatinya lembek alias gampang dimanipulasi.

Tidak memiliki goal, tujuan dan cita-cita. Kalau pun ada, selalu dilihat dari sisi keuntungannya. Berapa banyak yang bisa diperoleh? Hukum ekonomi pun berlaku: mengeluarkan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Nilai-nilai hidup dianggap usang. Budi pekerti dan karakter pun terbuang. Orang tua dan anak remajanya sudah tergerus oleh gaya hidup seperti sekarang ini.
Pola hidup instant. Pentas ’idola’ marak di mana-mana dan menjadi jalan pintas untuk cepat kaya dan terkenal. Bagaimana cara cepat jadi pintar? Bagaimana cara mudah bisa lulus? Bagaimana cara cepat banyak uang? Dan lain sebagainya. Proses tidak lagi menjadi unsur yang dipentingkan. Itu lah yang dunia tawarkan pada remaja kita. Yang penting ada duitnya. Hal ini juga berkaitan dengan orang tua yang berpikir bahwa anak adalah investasi, jadi yang penting anak bisa cari duit. Mau jadi apa terserah.

II. Apakah benar remaja sudah kehilangan daya juang atau justru mereka sedang memperjuangkan hal lain ?
Tentu saja gaya hidup mengubah tujuan dan sasaran perjuangan remaja. Sering kita dengar ”Hidup enjoy aja lageee…” (sukses=enjoy, kegagalan adalah enjoy yang tertunda). Buat apa susah? Hidup untuk kesenangan dan kesenangan untuk hidup. Kesuksesan hidup tidak lagi dilihat sebagai perjuangan tapi kenikmatan. Asal nikmat, itu sudah pasti sukses. Jadi anak-anak kita sedang berjuang mencari kenikmatan, hiburan, just for fun, entertainment, game dll.
Berjuang tapi sambil jalan santai. Kalau dapat ya syukur, kalau tidak juga tidak apa-apa. Tentu saja ini bukan berserah seperti yang Tuhan inginkan tapi lebih kepada menyerah.

III. Bagaimana supaya remaja memiliki daya juang ? Filipi 3 : 14
• Berlari, bukan berjalan apalagi merangkak. Kaki mereka sudah kuat untuk berlari. Tubuhnya pun sudah cukup mampu untuk diajak berlari
• Memiliki tujuan, dan fokus pada tujuan itu. Sekarang ini ada terlalu banyak fokus sehingga remaja kita kehilangan fokus yang sesungguhnya
• Bukan kemudahan yang diberikan pada remaja, tapi latihan yang keras supaya ”tubuh” siap untuk diajak berlari. Untuk hidup senang dan enak tidak perlu latihan, tapi untuk sanggup hidup susah remaja perlu dilatih dan dipersiapkan. Supaya, jika mengalami kesulitan, mereka justru tambah kuat, bukan bunuh diri!
• Hidup adalah perlombaan, hidup adalah perjuangan. Harus diselesaikan hingga tuntas. Setiap orang tanpa kecuali. Mau tidak mau. Tidak ada kata mundur, yang ada hanya maju.
1 Yoh 2 : 15 – 17 menjelaskan kepada kita bahwa dunia menawari kita, dan remaja – remaja kita khususnya, pemenuhan atas segala keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup. Padahal dunia ini sedang lenyap dengan segala keinginannya.

Jadi, untuk membuat remaja memiliki daya juang, harus dimulai dari Anda sebagai orang tuanya. Anda bisa memilih, mau bayar di muka atau bayar di belakang. Pikirkan lah itu!

Oleh : CHarlotte Priatna

Pengendalian Diri (2)

Menolak yang salah dan memilih melakukan yang benar..

Dudu tahu minuman cola mengandung soda dan kadar gula yang sangat tinggi, dan itu tak baik untuk kesehatannya. Dokter sudah mewanti-wanti berat badannya yang berlebih dan kadar gula di darahnya sudah di batas kritis. Namun udara begitu panas dan bayangan segelas cola dengan beberapa potong es batu begitu menggoda… Ah, segelas saja tak apa lah…

Neno tahu sarapan sangat penting. Kalau tidak sarapan, kepalanya pusing, dia akan masuk angin, dan bahkan maagnya bisa kumat seperti dua hari lalu. Dia jadi tak bisa mengikuti pelajaran karena perutnya begitu sakit tak tertahan…Tapi Neno begitu malas bangun. Dia tahu bila tak bangun sekarang, tak akan cukup waktu untuk sarapan…Tapi mata ini berat sekali, dan selimut begitu hangat…Tidur sebentar lagi lah…

Rori marah sekali karena bukunya yang dipinjam Tude robek sampulnya. Memang robeknya hanya kecil, tapi Rori tidak senang. Sebenarnya Tude teman yang baik dan mungkin dia tak sengaja, mungkin sebaiknya ditanya dulu mengapa buku itu bisa robek…Tapi Rori membiarkan kemarahan menguasai dirinya, dan dengan berlari dia menuju ke meja Tude dan sreeeeet…dirobeknya buku pertama yang sempat dipegangnya. Ternyata itu buku pinjaman perpustakaan sekolah. Tude hanya diam terpana. Setelah emosinya mengendap, Rori menghadapi masalah bertumpuk: bukunya tetap robek, buku perpustakaan harus diganti, pertemanan dengan Tude jadi runyam…

Ada banyak definisi tentang kekuatan dan kejayaan seseorang. Namun seorang bijak berkata, yang benar-benar kuat adalah mereka yang bisa mengendalikan diri sendiri.
Mengendalikan diri tidak berarti bersikap pasif secara negatif, namun justru secara positif mengatur diri sendiri agar hidup tidak terfokus pada diri sendiri. Pengendalian diri akan menolong anak-anak –bahkan juga mereka yang sudah berusia dewasa—untuk memenangkan pertempuran yang paling penting sepanjang hayat: pertempuran untuk menguasai diri sendiri!

Tindakan sesuka hati bisa mengakibatkan kegemukan, keborosan, kemarahan, kemabukan, dan tindakan anti-sosial lainnya yang akan merugikan diri sendiri dan pihak lain.

Bagaimana agar seseorang bisa menguasai dirinya sendiri? Kunci utama ada pada fokus hidup. Seseorang yang memfokuskan hidupnya pada diri sendiri akan berupaya untuk memenuhi kesenangannya sendiri. Maka segala tindakan dan nilai-nilai hidupnya akan menjadi sangat kecil dan terbatas pada diri sendiri. Betapa dangkal. Adakah kepuasan hidup yang sejati bisa diperoleh? Hidup yang demikian niscaya bukan lah hidup yang direncanakan Allah ketika menciptakan manusia. Manusia perlu menaruh fokus hidup di luar dirinya agar dapat mencapai tujuan yang lebih besar dan bernilai.

Dasar pengendalian diri adalah kemampuan untuk mengendalikan pikiran, tindakan, sikap, dan perasaan. Tidak mau berpikir panjang dan sekedar mencari pemuasan diri hanya akan membawa pada kekacauan hidup, sementara pengendalian diri memungkinkan seseorang memenangkan pertempuran terpenting itu, menang melawan diri sendiri.

Pengendalian diri adalah karakter yang akan akan dipelajari bersama di Sekolah Athalia pada semester ini. Teladan karakter pengendalian diri di alam adalah Beruang Hitam.

Ada lima aspek penting dari penguasaan drii yang bisa kita pelajari dengan mengamati beruang ini :
1.Fokus. Beruang hitam memiliki fokus yang jelas. Kelangsungan hidup anak beruang bergantung pada kemampuan induknya menguasai diri, lebih mementingkan anaknya daripada diri sendiri. Seorang induk beruang harus membatasi makannya sedemikian rupa agar selama hibernasi musim dingin yang panjangnya berbulan-bulan itu, anaknya tetap bisa mendapat cukup makanan. Induk beruang juga harus mempersiapkan sarang bagi anaknya jauh sebelum sang anak lahir.
2.Cermat. Banyak orang berusaha menjinakkan beruang dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Namun bagaimana pun jinaknya seekor beruang, pada titik tertentu instink alamiah mereka akan mengembalikan sifat asli mereka yang liar. Agar bisa mengendalikan diri dengan baik seseorang harus lah mengenal kelemahannya dan dengan cermat menjaga cara berpikir dan tindakannya agar tidak jatuh dalam kelemahan tersebut.
3.Menahan diri. Beruang hitam memang bukan boneka Teddy Bear yang bisa dipeluk dan disayang-sayang. Beruang hitam tetaplah beruang, binatang liar yang tak bisa dijadikan hewan peliharaan. Namun, dibanding beruang lain, beruang hitam lebih tenang, lebih menahan diri. Beruang hitam selalu berusaha menghindari konflik selama masih memungkinkan.
4.Mengalihkan perhatian. Di musim dingin makanan sulit didapat. Maka sang beruang hitam pun masuk ke dalam sarangnya, melingkar di sudut yang hangat, dan tidur pulas selama sekitar tujuh bulan lamanya. Kemampuan beruang untuk mengendalikan nafsu makannya yang besar membuatnya bisa tidur lelap tanpa terbangun oleh rasa lapar. Ketika musim dingin berlalu, dan makanan mulai mudah didapat, barulah beruang ini bangun.
5.Dukungan. Anak-anak beruang lahir di tengah musim dingin. Mereka tinggal di dalam liang induknya hingga musim semi tiba. Selama itu sang induk harus membatasi dirinya agar sang anak bisa mendapat makanan yang cukup untuk bisa bertahan hidup. Induk beruang tinggal bersama anakanya selama dua tahun pertama untuk mengajarinya bagaimana berburu dan bertahan hidup di tengah alam yang liar. Dengan dukungan dan instruksi sang induk, para beruang kecil ini belajar pengendalian diri yang sanagt mereka butuhkan untuk bisa bertahan hidup.

Secara garis besar, ada tiga hal yang menonjol dari seekor beruang hitam. Mereka cenderung menghindari konflik, mereka bisa menguasai nafsu makannya, dan mereka sangat disiplin. Walau sedang tidur nyenyak, bila ada gangguan mereka bisa segera terjaga tanpa bermalas-malasan lagi. Banyak hal yang dilakukan beruang hitam yang menunjukkan pengendalian diri yang hebat. Manusia perlu belajar dari beruang hitam, dalam hal yang satu ini.

Pengendalian Diri (1)

A happy person is not a person in a certain set of circumstances, but rather a person with a certain set of attitudes. Demikian kata bijak yang diucapkan seseorang bernama Hugh Downs.

Hidup ini menyenangkan atau tidak bukan ditentukan oleh kondisi di sekitar. Kita sendiri lah, bagaimana cara kita menghadapi hidup, itu yang menentukan hidup ini akan indah atau begitu melelahkan hingga titik tanpa harapan. Kemampuan mengendalikan diri adalah salah satu karakter, sekaligus juga keterampilan hidup, yang sangat bermanfaat.

Ketika kita mengendalikan diri, kita bukan sedang membatasi diri secara pasif. Justru secara aktif kita mengatur hidup. Hidup ini harus memiliki tujuan yang lebih besar daripada sekedar memuaskan keinginan diri sendiri. Dengan mengendalikan diri, kita sebenarnya sedang menundukkan keinginan kita yang egois agar bisa mencapai tujuan yang jauh lebih besar dan berarti.

Lima Konsep Kunci Pengendalian Diri
Pengendalian diri adalah kebalikan dari pemuasan diri. Tentu tak salah bila kita melakukan hal yang menyenangkan diri. Ada banyak hal positif yang bisa kita lakukan yang akan membuat diri kita puas. Misalnya mencapai nilai maksimal di pelajaran yang selama ini jadi momok setiap siswa atau mencetak gol terbanyak dalam pertandingan antarkelas. Namun ketika hidup kita hanya terfokus pada diri sendiri, kita akan menjadi egois, sangat mudah terbawa suasana dan akhirnya kehilangan kendali diri. Agar dapat mengendalikan diri dengan baik kita perlu memberi perhatian pada orang lain. Kita akan terhindar dari keinginan untuk terus-menerus memuaskan diri sendiri dan terhindar dari kehilangan kendali diri. Fokus pada orang lain adalah konsep pertama dalam mengendalikan diri.

Ketika riak air sungai menerpa tepian sungai, kita akan berpikir air sungai dibatasi oleh tepian sungai itu. Air tak berdaya keluar dari batas yang ditetapkan tepian sungai. Namun ketika riak air terus-menerus menerpa, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Tepian sungai mulai tergerus dan berubah bentuk, mengikuti gerakan air. Kita semua memiliki kelemahan. Bila tak dikendalikan, kelemahan itu akan mengikis konsep-konsep baik yang selama ini telah kita miliki. Seorang siswa tahu bahwa bila dia mulai bermain game, dia akan lupa waktu. Padahal sekarang sedang minggu ujian dan dia tahu harus belajar. Ketika dia tetap memutuskan untuk bermain game, dan akhirnya tak siap untuk ujian, konsep baik yang sebenarnya telah dia miliki yaitu tidak boleh mencontek, bisa berubah. Dia berpikir, sekali ini saja lah aku membuat contekan, sebab nilai kali ini akan sangat menentukan. Maka mulai lah terjadi ‘pengikisan dinding sungai’. Karena itu, kenali lah kelemahan kita, dan jaga diri baik-baik agar tak tersandung oleh kelemahan itu. Ini konsep kedua pengendalian diri.

Konsep ketiga adalah membatasi diri. Makan secukupnya, tidur secukupnya, gunakan uang secukupnya. Jangan menunggu hingga ada faktor dari luar, misalnya penyakit, ancaman sanksi, atau kebangkrutan, memaksa kita untuk mau tak mau harus mengatur diri.

Seorang yang bijak akan mengetahui kapan godaan menjadi terlalu besar untuk bisa dihadapi. Kisah Yusuf dan istri Potifar adalah cerita nyata yang tak pernah usang, contoh yang sangat baik dalam hal pengendalian diri. Yusuf pergi meninggalkan godaan istri Potifar. Dia tidak tetap tinggal di ruangan itu dan berusaha menyadarkan perempuan itu atas kesalahannya. Di saat seperti itu, daripada kalah, lebih baik menghindar. Inilah konsep keempat, berpaling dan tinggalkan godaan!

Akhirnya, konsep kelima adalah mencari dukungan. Manfaatkan kekuatan kelompok untuk menghadapi tantangan. Temukan orang yang dapat dipercaya, yang memiliki kekuatan justru di wilayah yang menjadi kelemahan kita. Mereka yang sulit mengendalikan nafsu belanja perlu menemukan seseorang yang bisa dipercaya dan biarkan dia mengontrol budget. Mereka yang kesulitan mengatur makan harus memberi kepercyan pada orang lain untuk menyusunkan menu dan memantau tiap kali waktu makan. Tentu butuh kerendahan hati untuk membiarkan orang lain ikut mengendalikan hidup kita. Namun ini cara yang jauh lebih bermartabat daripa mengisolasi diri dan membiarkan diri terus-menerus kalah.

Rantai Internal Pengendalian Diri
Agar bisa mengendalikan diri, seseorang harus bisa menjadi manajer bagi dirinya sendiri, menjaga segala aspek dalam dirinya agar berjalan seimbang dan sesuai porsi masing-masing. “Emosi” harus berada dalam kendali “kemauan diri” (aspek pembuat keputusan yang mempelajari pilihan-pilihan yang ada dan memutuskan pilihan terbaik). “Kemauan diri” itu sendiri harus tunduk pada “akal sehat” (aspek yang melakukan pemikiran, analisis, dan aplikasi atas tiap pengetahuan yang dimiliki). Dan tentu saja “akal sehat” itu harus bereaksi secara benar terhadap “hati nurani” yang semestinya telah dibentengi oleh prinsip-prinsip karakter yang baik. Orang yang mengembangkan manajemen diri yang semacam ini pasti lah seseorang yang seimbang, dan bahagia.

Jemi duduk dengan malas di depan meja belajarnya, memandang setumpuk tugas yang harus dia kerjakan. Aduhhh…kapan semua tugas ini selesai, keluhnya. Rasanya dia ingin segera terbang ke lantai bawah, menyalakan TV dan memainkan game PS terbarunya. Namun akhirnya dia memantapkan hati, membuka buku pertama, dan mulai mengerjakan tugasnya. Hati nuraninya bicara: kamu tahu yang baik. Lakukan lah yang baik, jangan tunda-tunda. Akal sehatnya membenarkan, karena dia tahu dua hari lagi tugas harus dikumpulkan bila dia ingin mendapat nilai yang baik. Jemi pun menundukkan kemauan dirinya di bawah kendali akal sehat, dan memutuskan untuk mengerjakan tugas. Rasa malas dan emosi lain pun dia taruh di bawah kendali keputusan yang telah dibuat. Jemi menyingkirkan playstation dari pikirannya dan mulai bekerja.

Keterampilan untuk menjaga keseimbangan antara emosi, kemauan diri, dan akal sehat harus dilatih terus menerus. Ini lah perang utama yang kita hadapi setiap saat agar bisa mengatakan “TIDAK!” pada keinginan untuk memuaskan diri sendiri dan memilih melakukan yang benar.

Great eaters and great sleepers are incapable of anything else that is great.
~Henry IV of France~

Ayo Kumpulkan Minyak Jelantah

Himbauan untuk menghemat energi telah seringkali digaungkan oleh Pemerintah kita melalui banyak media. Upaya-upaya yang mengacu pada penghematan energi pun telah sering diuji-cobakan. Bahkan Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2005 tentang penghematan energi yang mengingatkan kita untuk lebih bijaksana dan efisien dalam menggunakan sumber-sumber energi yang kian terbatas.

Sumber energi yang saat ini dirasa sangat terbatas ketersediaannya dan harganya mempengaruhi berbagai sektor kehidupan masyarakat adalah BBM. Keterbatasan inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi berbagai macam produsen untuk meluncurkan produk yang berorientasi hemat energi dan ramah lingkungan. Saat ini misalnya banyak dari produsen perangkat elektronik menawarkan peralatan rumah tangga yang dapat melakukan fungsinya secara optimal namun hemat listrik, kemudian di dunia otomotif para ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) melakukan gerakan penghematan energi dengan memproduksi mobil yang tidak hanya ramah lingkungan namun juga efisien dalam mengonsumsi bahan bakar, para ilmuwan juga tidak ketinggalan dalam gerakan ini dengan berusaha mencari sumber energi baru dari bahan baku yang kita miliki sekarang.

Upaya untuk mencari pengganti BBM terus berlangsung dan salah satu penemuan yang dihasilkan adalah Biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang berasal dari sumber hayati dan relatif ramah lingkungan. Teknologi untuk memproduksi Biodiesel ini sebenarnya telah lama ditemukan, bahkan beberapa daerah di Indonesia telah menggunakannya sebagai altenatif pengganti bahan bakar yang makin hari makin menjulang harganya. Biodiesel di pedesaan ini menggunakan minyak yang disuling dari tanaman jarak pagar yang teknologinya telah dikenal masyarakat sejak jaman penjajahan Jepang. Namun sayangnya entah mengapa bahan bakar dari sumber hayati ini kurang dikenal dan diterima masyarakat.

Seiring dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 2006 tentang percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar alami (Biofuel) sebagai bahan bakar lain, saat ini BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Serpong juga meluncurkan program untuk memproduksi Bio Diesel dari minyak jelantah atau minyak goreng bekas pakai. Minyak bekas pakai ini sebaiknya jangan terus digunakan untuk mengoreng dan menggoreng lagi karena dapat mengendap pada pembuluh darah kita hingga mengakibatkan penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah, serangan stroke, bahkan serangan jantung. Namun minyak jelantah juga tidak bisa dibuang sembrangan karena dapat mencemari lingkungan. Lebih baik bila minyak jelantah ini kita salurkan pada BPPT untuk diolah kembali menjadi Bio Diesel. Biodiesel ini diharapkan dapat menjadi bahan bakar alternatif menjawab kebutuhan BBM yang makin meningkat dari sisi supply karena teknologi proses-nya dikuasai akademisi dalam negeri serta teknologi manufakturing dan konstruksinya juga dikuasai perusahaan dalam negeri. Dan dengan demikian juga dapat bersaing dari sisi harga sehingga diharapkan dapat menciptakan ekonomi kerakyatan.

Namun demikian upaya-upaya untuk melakukan penghematan energi sebagai wujud kepedulian pada lingkungan ini tidak akan terlaksana kalau tidak ada kesadaran dari dalam diri kita sendiri untuk mendukungnya.. Khusus untuk program Biodiesel ini, APC menunjukkan dukungannya dengan mengatur pengumpulan minyak goreng bekas pakai atau minyak jelantah dari orang tua murid untuk kemudian disalurkan kepada BPPT untuk diolah menjadi Biodiesel. Program ini akan kami laksanakan mulai tahun ajaran 2008/09 ini. Setiap hari Anda dapat mengantarkan minyak jelantah ke Sekolah sambil mengantar anak. Akan kah Anda, anggota komunitas Athalia, mendukung program ini? Akankah Anda memilih terlibat langsung dalam menjaga lingkungan dan memelihara sumber daya alam?

Minyak Jelantah….
Dibuang, merusak lingkungan
Dimakan, merusak kesehatan
Jadi…
bawa saja ke Sekolah Athalia….

Naomy Herdhianti
Pengurus APC 2006/08.

Ayo Main..!!

Anak mana yang tak akan melompat dengan antusias lantas memberi seluruh perhatiannya ketika mendengar ajakan di atas? Rasanya semua orang senang bermain, dan ini bisa dimanfaatkan untuk membantu anak memahami berbagai konsep dalam kurikulum.

Ada banyak permainan yang dijual di pasar yang dapat dipakai di ruang kelas. Lewat pengujian yang teliti, seorang guru dapat mengevaluasi permainan mana yang paling cocok untuk dipakai, yang dapat membantunya mencapai target kurikulum.

Guru dapat melibatkan orangtua atau siswa untuk menyiapkan permainan. Kadang sebuah permainan jadi lebih efektif bila siswa dilibatkan untuk membuatnya sendiri dengan bantuan orangtua.

“Pentas permainan” adalah salah satu konsep yang akan menyedot antusiasme anak-anak. Tiap anak membawa mainan yang telah disetujui oleh guru, dan menceritakan tentang permainan itu di hadapan teman-temannya.

Untuk kelas yang lebih kecil, permainan-permainan yang dipilih tentu lah lebih sederhana. Anak diminta menjelaskan garis besar permainan itu, bagaimana dia memainkannya, dan mengapa dia menyukainya. Kemudian guru bisa menambahkan tentang manfaat permainan itu, sambil memasukkan materi pelajaran yang memang ingin dicapai, sesuai kurikulum. Pentas permainan bisa diakhiri dengan memainkan bersama-sama permainan-permainan yang telah “dipentaskan”.

Untuk kelas yang lebih besar, permainan yang dipilih bisa disesuaikan dengan tingkat kelas dan minat siswa. Tentu saja sebelumnya tiap siswa harus meminta persetujuan guru atas mainan yang dipilihnya. Ini juga bisa dijadikan tugas kelompok. Siswa bukan sekedar memperkenalkan permainan itu, tapi juga harus mempresentasikan manfaat permainan tersebut. Misalnya, dia memilih permainan sudoku. Selain menjelaskan apa itu sudoku, siswa (atau kelompok siswa) menerangkan juga bahwa sudoku mengajar siswa tentang mengatur strategi, membaca suasana, melihat berbagai probabilita, selain tentunya mengasah kemampuan berhitung.

Untuk menambah antusiasme, kelas bisa memilih permainan yang dianggap paling bermanfaat dan paling menyenangkan. Kemudian, permainan yang terpilih itu diperlombakan, diikuti seluruh siswa kelas tersebut. Sang pemenang (atau kelompoknya) boleh memiliki permainan itu sebagai hadiah.

Pentas permainan bukan hanya bermanfaat bagi anak-anak. Ini penting juga dilakukan untuk orangtua. Kegiatan semacam ini bukan hanya akan menyadarkan orangtua tentang manfaat permainan yang baik bagi pendidikan anak mereka, tapi juga bisa menolong mereka memahami pentingnya menyediakan waktu untuk bermain-main dengan anak mereka di rumah.

Berikut beberapa contoh permainan yang mudah ditemui di pasaran, dan manfaatnya :
1. Untuk membangun persepsi visual dan ingatan: Domino, Jigsaw Puzzle, Dot-to-dot, dll.
2. Untuk membangun kemampuan bahasa dan membaca: Scrabble, Teka teki silang, dll.
3. Untuk membangun kemampuan logika dan berpikir: Monopoli, halma, bridge, catur, otelo, kartu remi, dll.
4. Untuk membangun kemampuan matematika: Bingo, dakon, monopoli, sudoku, main pasar-pasaran, dll
5. Untuk membangun koordinasi motorik halus dan motorik visual: Balok-balok, Clay (tanah liat), Origami, Lego, Play dough (malam), bekel, dll.
6. Untuk membangun koordinasi motorik besar: Lompat tali, hula hoop, Frisbee, bowling, tarik tambang, engklek, trampoline, sepak bola, sepatu roda, dll.
7. Untuk membangun kemampuan memecahkan masalah dan sosial: Bridge, catur, sudoku, monopoli, dll.