My Life, God’s Investment ICON Camp 2023

Oleh: Bella Kumalasari – Staf Karakter Sekolah Athalia

Life is a choice” adalah slogan yang sering kita dengar. Namun, seorang dosen pernah mengatakan, “Life is not a choice, Life is grace, the way you live is a choice”. Memang kalimat “Life is a choice” sering kali diartikan bahwa hidup ini suka-sukanya kita, tergantung maunya kita. Padahal, sesungguhnya hidup ini adalah anugerah yang Tuhan berikan. Maka, sudah selayaknya menjadi perenungan setiap kita, terutama anak-anak Tuhan, bagaimana kita memaknai hidup ini? SMA Athalia mengajak siswa untuk merefleksikan anugerah yang sudah Tuhan percayakan kepada setiap mereka melalui kegiatan kamp karakter di kelas XI dengan nama Influencing & Contributing (ICON) Camp 2023.
ICON Camp diikuti oleh murid-murid kelas XI SMA Athalia. Sesuai dengan profil SMA Athalia yaitu Influencing & Contributing, siswa SMA diajak untuk menjadi pribadi yang berdampak dan berpengaruh bagi sekitarnya. Pada tahun ini, ICON Camp mengangkat tema “My Life, God’s Investment”. Sepanjang acara murid diajak untuk berperan sebagai manajer investasi yang bertanggung jawab untuk mengelola modal yang mereka miliki. Menariknya, modal ini diberikan oleh Allah sebagai investor dan dimaknai sebagai gambar dan rupa Allah yang tercermin melalui karakter.
Menyadari keadaan manusia yang sudah jatuh dalam dosa tetapi telah ditebus oleh karya Kristus di kayu salib mendorong kita untuk terus bertumbuh di dalam karakter yang makin serupa Kristus. Modal itu harus terus dikembangkan agar mendatangkan “cuan” untuk dikembalikan lagi kepada “Sang Pemilik” modal, yaitu ketika kita dapat makin berdampak dan berpengaruh terhadap sekitar kita dan nama Tuhan dimuliakan. Tentu banyak keterbatasan di dalam ilustrasi yang digunakan, tetapi panitia berharap murid-murid dapat menangkap makna yang ingin disampaikan.
Sepanjang dua hari satu malam murid-murid menginap di alam terbuka dengan tenda. Mereka belajar sambil langsung mempraktikkan karakter-karakter yang dipelajari di dalam permainan maupun aktivitas yang ada. Mereka juga diteguhkan melalui sesi-sesi baik secara bersama-sama maupun dalam kelompok kecil. Mereka juga saling bekerja sama dan melayani. Murid-murid juga didorong mengambil komitmen untuk mau lebih berdampak dan berkontribusi terhadap orang-orang di sekitar mereka, mulai dari teman-teman mereka sebagai Angkatan 12 SMA Athalia.
Kiranya ICON Camp kali ini tidak berlalu begitu saja, tetapi dapat memberi kesan dalam hati setiap murid sehingga mereka memiliki semangat untuk terus berdampak dan berkontribusi, baik saat mereka masih di tingkat SMA maupun nanti ketika mereka sudah memasuki dunia kampus yang lebih luas.

Komunitas Pembelajar

Oleh: Sylvia Tiono Gunawan – Staf Kerohanian PK3

Amsal 1:5,7
baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan…Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.

Dalam dunia pendidikan yang formal, ada saatnya kita akan selesai dalam belajar. Namun dalam kehidupan, belajar adalah hal yang harus terus kita lakukan sampai akhir hidup kita. Alkitab menuliskan bahwa seseorang yang mau terus belajar, mendengar, menambah ilmu, mempertimbangkan segala sesuatu sebelum bertindak akan menjadi lebih bijak. Tentu yang dimaksud dengan belajar di sini bukan sekadar belajar secara intelektual saja. Namun, yang pertama dan terutama adalah mengenal Tuhan sebagai sumber hikmat dan menghormati Dia dalam keseluruhan hidup kita.

Ketika kita belajar mengutamakan Tuhan dan memilih untuk menghormati Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita, Ia akan menuntun kita menjadi orang yang bijak. Ia akan menolong kita untuk melihat hal-hal besar atau kecil sebagai sesuatu yang dapat kita pelajari. Ia akan memampukan kita untuk rendah hati sehingga kita bisa belajar dari siapa saja, bahkan dari seorang anak kecil atau dari orang yang dianggap rendah oleh dunia. Keluwesan dan keluasan untuk terus belajar akan terus ditambahkan oleh Tuhan sehingga semakin hari kita menjadi makin bijak.

Bagaimana jika kita berhenti belajar atau tidak mau belajar? Amsal menuliskan bahwa mereka akan menjadi orang-orang yang bodoh. Sekalipun mereka pandai secara intelektual tetapi tidak akan pernah menjadi orang yang berhikmat. Sebab ketika seseorang merasa sudah tahu segalanya, ia menjadi sombong dan memilih mengandalkan kemampuan diri daripada Tuhan. Akibatnya, ia berhenti bertumbuh dan berbuah bagi kemuliaan Kristus.

Manakah yang akan kita pilih, menjadi orang yang bijak atau orang yang bodoh? Firman Tuhan mengingatkan kita untuk memilih yang benar. Hiduplah dalam takut akan Tuhan dan teruslah menjadi seorang pembelajar. Hanya dengan demikian, kita dapat bertumbuh dalam iman, pengetahuan dan dalam segala perbuatan baik yang nyata. Dengan belajar dan memusatkan hati pada Tuhan, kita akan dimampukan untuk melakukan pekerjaan di manapun kita berada sehingga kita terus bertumbuh makin bijak dan berbuah bagi kemuliaan nama Tuhan.

Menggandeng Remaja melalui Kamp Karakter

Oleh: Ni Putu Mustika Dewi – Staf Karakter Sekolah Athalia

Pada umumnya peran setiap manusia dalam menjalani kehidupan ini akan bertambah seiring pertambahan usia. Bertambahnya peran mengakibatkan bertambah pula tanggung jawab yang harus diemban. Pertambahan peran dan tanggung jawab ini secara signifikan terjadi saat usia transisi dari anak ke remaja. Saat memasuki usia remaja peran mereka bertambah terkhusus dalam mengatur dirinya sendiri, seperti menentukan waktu untuk belajar mandiri dan waktu hangout, memilih buku atau tontonan seperti apa yang akan dinikmati, hobi atau kesukaan yang akan ditekuni, dan masih banyak lainnya. Pada masa ini, orang tua tidak lagi mendominasi sebagaimana saat anak masih usia kanak-kanak. Remaja sudah diberi kepercayaan untuk menentukan pilihan meski masih di dalam pengawasan. Oleh sebab itu, tanggung jawab mereka untuk menjaga kepercayaan yang orang tua berikan pun bertambah dibanding pada usia sebelumnya.


Bukan hanya pertambahan peran dan tanggung jawab, remaja mengalami perubahan fisik dan mental, di tengah-tengah identitas diri yang belum ajek. Semua perubahan ini dapat menyebabkan remaja menghadapi tantangan terberat dalam hidup mereka. Oleh sebab itu, perlu sekali pendampingan orang yang lebih dewasa dalam menjalani proses perubahan ini. Sekolah Athalia berkomitmen untuk mendampingi murid saat memasuki masa ini. Program harian, mingguan, bahkan tahunan SMP Athalia dirancang untuk menjadi sarana bagi murid Athalia yang menginjak masa remaja agar makin paham identitas diri, peran, dan tanggung jawab mereka bahkan mulai peduli kepada orang lain.


SMP Athalia memiliki beberapa kegiatan yang berkaitan dengan proses belajar karakter, beberapa di antaranya MetCamp dan CaSCamp. Pertama, MetCamp yang merupakan akronim dari Metamorphosis Camp. Siswa kelas VII akan mengikuti MetCamp pada semester genap. Kegiatan ini digambarkan seperti sebuah “jembatan” antara pembelajaran karakter SD dengan SMP. Berbagai aktivitas yang dilakukan dalam MetCamp dirancang untuk mengingatkan,dan meneguhkan kembali karakter tanggung jawab yang sudah ditanamkan sejak SD, seperti arti tanggung jawab berdasarkan firman Tuhan, yaitu alasan kita hidup bertanggung jawab adalah sebagai respons akan kasih Tuhan yang sudah mengorbankan dirinya untuk menebus hidup kita. Selain itu, murid diajak untuk melihat perbedaan peran dan tanggung jawab saat duduk di bangku SD dengan kini saat di SMP, dan bagaimana seharusnya mereka merespons peran dan tanggung jawab yang sudah dipercayakan di hadapan-Nya.


Kedua, Caring & Sharing Camp (CaSCamp), yang digambarkan sebagai bengkel karakter. Kegiatan ini dirancang bagi murid-murid kelas VIII untuk membantu mereka mengevaluasi diri sendiri sudah sejauh mana mereka paham nilai-nilai kebenaran Caring & Sharing berdasarkan firman Tuhan, mengidentifikasi hal-hal penghambat dalam menghidupi karakter tersebut, serta memberi kesempatan kepada mereka untuk memikirkan upaya perbaikan yang dapat dilakukan di kemudian hari.


Pada tahun ajaran ini, CaSCamp sudah diadakan onsite di sekolah, pada 10-11 Februari 2023. Sebelumnya, diadakan PraCaSCamp selama seminggu penuh pada tanggal 1-7 Februari 2023. Para murid diajak untuk menantang diri dalam mewujudkan kasih mereka kepada diri sendiri, keluarga, dan sesama.


Kiranya melalui program tahunan yang sudah dirancang ini, murid-murid kelas VII dan VIII untuk dapat mengingat, mengevaluasi, serta makin bertumbuh menjadi remaja yang memiliki karakter Kristus. Kiranya Tuhan menolong.

Pembelajaran Karakter di Sekolah Athalia Tahun Pelajaran 2022-2023

Oleh: Ni Putu Mustika Dewi – staff pengembangan karakter Sekolah Athalia

Sekolah Athalia didirikan dengan sebuah visi “Siswa yang Menjadi Murid Tuhan”. Sesungguhnya visi ini bukan hanya ditujukan bagi siswa melainkan juga bagi seluruh anggota komunitas ini, yaitu orang tua, guru, staf, dan yayasan. Sebagaimana orang dapat saling mengenal melalui identitas atau karakteristik tertentu, demikian halnya dengan diri kita sebagai murid Tuhan. Dalam Yohanes 13:35 secara jelas Tuhan Yesus memaparkan bahwa semua orang akan tahu bahwa kita adalah murid Tuhan, kalau kita saling mengasihi. Dengan demikian, KASIH menjadi identitas hidup murid-murid-Nya.

Namun, kasih yang Kristus ajarkan sangat berbeda dengan kasih yang diajarkan oleh dunia ini. Berikut contoh kasih yang biasa kita temui, orang tua yang membesarkan anaknya dengan harapan nantinya sang anak bisa membalas budi. Seorang yang taat beribadah dan melakukan aturan-aturan agama memiliki tujuan mendapat berkat atau pahala. Seorang yang dengan murah hati memberi apa yang dimiliki kepada orang lain, didasarkan pada motif untuk mendapat kedamaian di hati. Masih banyak contoh lainnya yang membuktikan bahwa kasih manusia kepada sesama atau bahkan kepada Tuhan tidaklah tulus dan masih mengharapkan imbalan.

Lain halnya dengan kasih yang ditunjukkan dan diajarkan oleh Allah. Kasih ini adalah kasih tanpa pamrih dan tanpa syarat, yang sudah dibuktikan secara nyata di atas kayu salib, pada saat Ia menyerahkan diri-Nya untuk menebus hidup kita. Saat itu kita bukanlah manusia yang baik dan layak untuk dikasihi tetapi Tuhan Yesus mau mengorbankan diri-Nya bagi kita (Roma 5:8). Akibat dari karya penebusan yang diberikan-Nya, orang-orang pilihan-Nya dimampukan untuk mengasihi Tuhan dan sesama. Jadi, ada perbedaan besar antara kasih yang dilakukan oleh murid-murid Tuhan dengan yang bukan, yaitu pada motif atau alasan. Murid-murid Tuhan saling mengasihi didasarkan pada motif karena Kristus terlebih dahulu mengasihi kita, dan sebagai bentuk respons kita terhadap kasih Allah yang besar itu. Bukan didasarkan pada motif supaya mendapat imbalan, berkat, atau supaya hidup damai dan bahagia.

Selain kasih, ciri lain dari seorang murid Tuhan adalah hidup semakin serupa dengan-Nya yang ditampilkan melalui kualitas-kualitas karakter ilahi. Setiap pola pikir, sikap dan tindakan kita diarahkan atau ditujukan pada keserupaan dengan Kristus. Semakin hari kualitas-kualitas karakter Kristus semakin nyata terlihat melalui hidup kita. Berdasarkan pemaparan di atas, kita menyadari bahwa hidup menjadi seorang murid Tuhan bukanlah perkara yang mudah. Kita sangat membutuhkan pertolongan dari Allah Roh Kudus untuk memampukan, mengingatkan, menegur dan menuntun kita pada kebenaran. Layaknya dua sisi koin mata uang, selain ketergantungan akan pertolongan dari Allah Roh Kudus kita juga  harus berupaya dalam mendisiplinkan diri. Kita harus bersedia hidup taat pada kehendak-Nya. Jika kita tidak mau mendengarkan dan lebih memilih untuk mengikuti kedagingan, maka besar kemungkinan kita akan jatuh dalam dosa dan sulit untuk bertumbuh semakin serupa Kristus. Hal ini sependapat dengan Jerry Bridges, “Sebagaimana pesawat mustahil terbang dengan satu sayap, demikianlah kita pun mustahil berhasil mengejar kekudusan dengan bergantung saja atau disiplin saja. Kita mutlak harus memiliki keduanya.” (Disiplin Anugerah, hal.144)

Oleh sebab itu, ada sebuah upaya nyata yang dilakukan oleh Sekolah Athalia dalam mendidik siswa menjadi murid Tuhan yaitu dengan dirancangnya sebuah kurikulum karakter yang berkesinambungan dari TK hingga SMA. Bagi siswa yang berada pada masa kanak-kanak (usia 3-8 tahun) sampai pra-remaja (usia 8-12 tahun), diupayakan pembentukan pribadi yang kokoh (Steadfast Person), yang mampu berpikir, memilih, dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang benar. Selain itu, siswa juga didorong/dilatih untuk bertumbuh menjadi pengikut yang baik (Followership). Khusus bagi siswa TK tahapan yang akan diajarkan dalam kelas adalah pertumbuhan dalam karakter dasar (Growing), sedangkan bagi siswa SD difokuskan pada pembentukan karakternya (Shaping). Bagi siswa yang berada pada masa remaja (13-18 tahun) diupayakan pengembangan lebih lanjut untuk menjadi seorang pemimpin yang memiliki prinsip melayani (Servant Leader). Dengan berbagai karakter yang dibudayakan sampai kelas 6 SD, diharapkan sifat kepemimpinan (Leadership) akan relatif mudah ditanamkan dan dibentuk dalam pribadi siswa. Khusus bagi siswa SMP tahapan dalam proses pembelajaran mereka adalah peduli dan berbagi (Caring & Sharing). Selanjutnya, pada masa SMA siswa didorong untuk berkontribusi atau memiliki dampak positif (Influencing & Contributing).

Secara khusus pada tahun pelajaran 2022-2023 ini, kurikulum karakter diwujudkan dalam berbagai kegiatan dan proses pembelajaran baik di dalam maupun luar kelas. Salah satunya adalah disediakan sebuah ruang perjumpaan antara guru (Wali Kelas dan Pendamping Wali Kelas) bersama dengan siswa yang diberi nama “kelas Shepherding”. Kelas ini dirancang khusus untuk memperkenalkan dan membudayakan karakter ilahi. Adapun strategi yang digunakan dalam kelas ini agar pembelajaran karakter tidak berujung hanya pada ranah kognitif semata adalah dengan adanya sharing life guru (WK dan PWK) sebagai gembala serta sharing life siswa sebagai pribadi yang digembalakan. Kiranya melalui sharing life yang akan dibagikan itu baik guru maupun siswa dapat memaknai bahwa perjalanan menjadi murid Tuhan, yang berujung pada keserupaan dengan Kristus adalah perjalanan yang dilalui bersama. Meski prosesnya panjang dan tidak mudah, guru dan siswa dapat saling mengingatkan bahwa ada kasih Tuhan yang menyelamatkan dan yang menjadi dasar dari segala tindakan.

Sumber:

Bridges, J. 2009. Disiplin Anugerah: Peran Allah dan Peran Kita dalam Mengejar Kekudusan. Bandung: Pionir Jaya.

Badudu, R, dkk. 2021 (Versi 1). Manual Kurikulum Karakter Sekolah Athalia. Jakarta.

Icon Camp SMA Athalia 2022

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia

Pendidikan karakter di Sekolah Athalia dimulai sejak dini. Siswa dibentuk untuk menjadi pribadi yang bersukacita, bertanggung jawab atas kewajibannya, serta peduli dengan sekitar. Semua itu bertujuan mempersiapkan siswa agar dapat memberi dampak dan berkontribusi secara lebih luas bagi masyarakat, seiring mereka memasuki dunia perguruan tinggi. Oleh sebab itu, profil karakter siswa SMA Athalia adalah Influencing and Contributing.

ICON Camp (Influencing and Contributing Camp) menjadi salah satu sarana pembentukan karakter siswa SMA Athalia yang diadakan secara khusus di kelas 11. Melalui kamp ini, siswa diingatkan kembali mengenai karakter yang mereka pelajari selama di jenjang SMA. Mereka diberi ruang untuk mengevaluasi diri—sudah sejauh mana belajar dan menghidupi karakter-karakter yang dibinakan—dan mengembangkan karakter-karakter tersebut di masa mendatang dengan lebih baik.

ICON Camp SMA Athalia tahun ini mengangkat tema “Be You Till Full”. Para guru mencermati, pembelajaran di masa pandemi memang dilakukan secara terbatas, tetapi di sisi lain siswa memiliki ruang yang luas untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya. Bukankah hal ini dapat menjadi kesempatan untuk mendorong siswa memaksimalkan minat dan bakatnya untuk berdampak dan berkontribusi secara lebih luas?

Sebelum pelaksanaan ICON Camp, siswa menjalani tes psikologi untuk mengenal bakat dan minatnya, kemudian dibagi ke dalam kelompok dengan anggota yang memiliki kecerdasan berbeda-beda. Mereka diminta untuk merancang sebuah proyek ICON yang akan disayembarakan pada hari H. Di sini, setiap siswa belajar untuk bekerja sama dan mengambil bagian dalam melakukan proyek ICON.

Ketika hari ICON Camp tiba, siswa mengikuti acara selama dua hari. Di hari pertama mereka dipandu untuk mengenal diri dan memaksimalkan kelebihan untuk menjadi berkat bagi orang lain melalui materi, permainan, dan diskusi. Di hari kedua, siswa diberi kesempatan untuk mendengarkan pemaparan dari beberapa narasumber yang sudah menunjukkan influencing and contributing dalam hidupnya, seperti mendirikan rumah baca di daerah terpencil serta membuka usaha pengolahan sampah.

Kisah ICON dari para narasumber ditutup dengan presentasi siswa mengenai proyek ICON yang sudah mereka rancang. Dari lima belas kelompok, terpilih tiga kelompok dengan rancangan proyek terbaik. Proyek terbaik pertama adalah Thrift It, yaitu penjualan baju bekas layak pakai ataupun baju-baju sisa ekspor sebagai salah satu cara mencari dana untuk nantinya didonasikan kepada orang yang membutuhkan. Proyek terbaik kedua adalah Ecomplex, yaitu pengolahan sampah dapur (sisa kulit buah dan sayuran busuk)  atau sampah organik menjadi produk daur ulang berupa pupuk cair. Proyek terbaik ketiga, Maskerin (masker kain), merupakan proyek mengampanyekan gerakan memakai masker kain daripada masker sekali pakai.

Kiranya melalui proyek-proyek yang akan direalisasikan ini, siswa dapat berlatih untuk merencanakan, mengelola, serta memperjuangkan sesuatu yang dapat membawa pengaruh dan dampak bagi sesama dan lingkungan. Proyek ICON menjadi miniatur proyek-proyek nyata yang dapat dilakukan oleh siswa di masa yang akan datang dalam lingkup yang lebih luas. Karena sesungguhnya setiap siswa dipanggil untuk menjadi murid Tuhan yang menjadi terang dan garam bagi dunia (Matius 5:13-16).

Caring and Sharing

Caring and Sharing merupakan profil karakter SMP Athalia. Untuk menolong siswa semakin menghidupi karakter ini, Sekolah Athalia mengadakan CaS-Camp (Caring and Sharing Camp) untuk siswa kelas 8. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Jumat, 11 Maret 2022 yang lalu. Namun, beberapa hari sebelum acara puncak, para siswa sudah memulai rangkaian acara CaS-camp dengan melakukan beberapa challenge caring and sharing di rumah, misalnya dengan membantu anggota keluarga atau menunjukkan kepedulian kepada orang di sekitar. Saat acara puncak, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masuk ke dalam break out room ZOOM, dan memainkan beberapa games untuk melatih karakter caring and sharing bersama teman sekelompok. Di akhir kegiatan, siswa diteguhkan dengan kebenaran Firman Tuhan yang menjadi landasan dalam menghidupi profil karakter caring and sharing. Sesi ini dibawakan oleh Lao Shi Wendy, seorang youth pastor.

Sebelum Firman disampaikan, para siswa diminta untuk berdiskusi tentang pandangan dan pemikirannya terhadap fenomena mengasihi diri dan mengasihi sesama. Dunia mengenal beberapa perilaku mengasihi diri yang salah, seperti operasi plastik, menikah dengan diri sendiri atau menunjukkan kekurangan fisik demi mendapatkan pengakuan. Belakangan juga semakin marak diberitakan cara mengasihi sesama yang keliru, misalnya menikah dengan sesama jenis atau hologram tokoh anime, bahkan mengadopsi boneka sebagai anak.

Setelah mendengarkan diskusi dari para siswa, Lao Shi Wendy membahas isu-isu tersebut dari sudut pandang Alkitab. Beliau mengupas dua prinsip caring and sharing berdasarkan ayat Alkitab yang terambil dalam Lukas 7: 36-47. Dalam Lukas 7: 36-47, diceritakan tentang seorang perempuan berdosa yang melayani Yesus: membasahi kaki-Nya dengan air mata lalu menyeka dengan rambutnya, meminyaki kaki Yesus, bahkan rela dipandang najis karena menyeka dan mencium kaki Yesus. Dia melakukan itu semua karena sadar betapa ia amat berdosa dan membutuhkan pengampunan. Dan ya, Yesus mengasihi dan mengampuninya! Inilah yang menjadi prinsip pertama dalam melakukan tindakan caring and sharing.

Prinsip kedua dijelaskan dengan kisah Simon yang mendapat teguran dari Yesus karena ia tidak melayani-Nya saat Yesus datang ke rumahnya. Yesus menanyakan tentang perumpamaan orang yang berutang 500 dan 50 dinar. Jika keduanya dibebaskan dari utang, siapakah yang lebih mengasihi si pembebas utang? Simon menjawab, yang berhutang lebih besar—500 dinar. Lewat kisah ini, Lao Shi Wendy ingin menekankan bahwa orang yang merasa sedikit diampuni, akan sedikit juga berbuat kasih. Semakin besar seseorang menyadari pengampunan yang diberikan baginya, ketidaklayakannya menerima pengampunan tersebut, maka akan semakin besar kasih yang ditunjukkan bagi Yesus, bahkan sesama!

Selanjutnya, Lao Shi Wendy juga mengingatkan bahwa CaS (Caring and Sharing) bukanlah:

  1. Keselamatan
  2. Penerimaan
  3. Pencitraan
  4. Kompromi.

Lebih dari itu, sebagai anak Tuhan yang sudah diselamatkan, kita harus melakukan tindakan caring and sharing dengan tulus karena Yesus telah lebih dulu mengasihi dan menerima kita apa adanya. Yang menjadi pertanyaan refleksi: sudahkan kita secara pribadi merasakan kasih Allah yang begitu besar? Bukan hanya sebagai bahan perenungan, tetapi para siswa juga didorong untuk terus mempraktikkan beberapa hal untuk menunjukkan caring and sharing, yaitu:

-Kasihilah sesamamu manusia; segala prioritas terhadap diri sendiri perlu diarahkan untuk kebutuhan orang lain.

Berikan perhatian; secara intentional, menghubungi teman-teman yang ada di sekitar, menanyakan kabar, dan mendoakan mereka.

Berikan pertolongan; mendiskusikan dengan orang tua untuk memberikan bantuan kepada orang di sekitar yang sedang membutuhkan.

Berikan kebenaran; jika ada orang di sekitar kita yang belum mengenal Tuhan, jangan mengosip, mencibir, atau mem-bully. Namun, kasihi mereka sebagai sesama manusia, perkenalkan kepada Kristus, dan ajak ke gereja. Share your life!

Kiranya melalui kegiatan CaS-Camp ini, para siswa kelas 8 dapat mengingat, mengevaluasi, serta semakin bertumbuh dalam karakter tanggung jawab dan berkontribusi lebih luas kepada sesama melalui tindakan caring and sharing. Tentu saja, pertumbuhan karakter membutuhkan waktu dan proses sepanjang hidup. Oleh karena itu, siswa membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, yaitu orang tua, guru, dan komunitas yang sehat untuk berjalan bersama! (MRT)

Bijak Menggunakan Media Sosial

Oleh: Ni Putu Dewi, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia.

Metamorphosis Camp (MetCamp) merupakan kegiatan tahunan SMP Athalia yang ditujukan bagi para siswa kelas 7. Kegiatan ini bertujuan sebagai jembatan pembelajaran karakter bagi siswa yang baru lulus dari jenjang SD dan masuk ke SMP. Pada tahun pelajaran ini, profil karakter siswa SD Athalia adalah Tanggung Jawab, sedangkan profil karakter siswa SMP adalah Caring & Sharing. Sesuai dengan namanya, “metamorphosis” berarti perubahan. Kami berharap, para siswa semakin menyadari bahwa mereka akan mengalami beberapa perubahan di usia remaja—tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam hal tanggung jawab. Kini, tanggung jawabnya bukan hanya memikirkan kebutuhan diri sendiri, melainkan juga kebutuhan orang lain, yang merupakan wujud nyata dari caring & sharing.

Para siswa SMP Athalia tahun ini termasuk dalam Gen Z sehingga kehidupan mereka sangat dekat dengan gadget dan media sosial. Kondisi pandemi Covid-19 juga membuat keseharian mereka terus terkoneksi dengan internet. Hal inilah yang mendasari bahasan salah satu sesi berjudul “Tanggung Jawab Remaja dalam Penggunaan Media Sosial dan Internet”. Sesi ini dibawakan oleh Pak Christian Naa dengan sangat interaktif dan dibuka dengan pertanyaan, “Apa kata firman Tuhan mengenai media sosial dan teknologi? Apakah ada hukum Taurat yang secara rinci mengatakan tentang penggunaan handphone dan Instagram?” Jawabannya: tidak ada! Namun, bukan berarti Alkitab tidak memberikan prinsip tentang cara hidup yang benar di zaman ini. Di dalam 1 Korintus 10: 23-24 & 31, Paulus memaparkan secara jelas tentang prinsip hidup yang tidak akan tergerus oleh zaman.

“Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorang pun yang mencari keuntungan sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain. … Aku menjawab: jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.

Artinya, kita sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus di atas kayu salib diperbolehkan melakukan “segala sesuatu”. Namun, sebelum memutuskan melakukan “sesuatu”, ada empat hal yang perlu kita pikirkan.

  1.  Apakah “sesuatu” itu berguna?
  2. Apakah “sesuatu” itu membangun orang lain?
  3. Apakah “sesuatu” itu untuk keuntungan/kepentingan orang lain, bukan hanya tentang diri saya?
  4. Apakah “sesuatu” itu untuk kemuliaan nama Tuhan?

Empat poin tersebut akan menjadi motif/dasar/alasan atas segala hal yang kita lakukan, termasuk konten di akun media sosial. Untuk mempermudah para siswa memahami sesi ini, Pak Christian Naa memberikan sebuah ilustrasi. Misalnya, saat kita liburan ke Swiss dan melihat gunung yang besar di sana. Kita memfoto dan mengunggahnya di Instagram dengan captionHow Great Thou Art”. Di sini, kita dapat memilih motif: ingin menyombongkan diri bahwa saya sedang pergi ke Swiss atau menunjukkan kepada orang lain betapa hebatnya Allah yang menciptakan gunung ini.

Tidak hanya soal motif, media sosial juga memberi banyak pengaruh lain dalam kehidupan. Contohnya, beberapa orang yang terlalu fokus di media sosial jadi tidak memperhatikan relasi dengan orang lain di dunia nyata, keinginan untuk menunjukkan hanya sisi baik dan keren di media sosial, menyebarkan berita bohong, bahkan menjadi pelaku cyber bullying. Pertanyaannya, bagaimana cara agar kita bijak dalam menggunakan media sosial? Berikut adalah beberapa tips dari sesi ini.

  1. Bagikan hal baik yang kita lihat dan dengar.
  2. Jangan memberikan Like atau Comment pada toxic content karena cara kerja fasilitas search di media sosial (contohnya Instagram) tergantung pada konten-konten yang sering kita lihat atau cari. Instagram tetaplah aplikasi yang tidak bisa membedakan antara baik dan buruk, sehingga frekuensi kemunculan konten-konten tertentu tergantung pada postingan yang sering kita beri perhatian melalui like dan comment.
  3. Mencari tahu kebenaran suatu informasi dari beberapa sumber terpercaya sebelum membagikannya di media sosial.
  4. Berhati-hatilah dalam melakukan obrolan melalui Direct Message dengan orang yang tidak dikenal.

Sesi ini juga menekankan bahwa apa yang kita bagikan di media sosial menunjukkan siapa diri kita, sehingga perlu berhikmat dalam mengunggah sesuatu di media sosial. Sebelum mengakhiri sesi ini, Pak Christian Naa juga mengajak para siswa kelas 7 untuk melakukan social media check up dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut secara pribadi.

  1. Apa yang ingin saya tunjukkan melalui media sosial?
  2. Apakah saya menampilkan sosok pribadi yang sama, baik di media sosial maupun dunia nyata?
  3. Siapa saja yang saya follow sehingga memengaruhi cara pikir dan perilaku saya?

Kami berharap sesi ini membantu para siswa kelas 7 SMP Athalia semakin bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial!

Perjalanan Panjang Mendampingi Anak Bertumbuh

Oleh: anonim

Keluarga kami terdiri dari enam orang, yaitu kami sebagai orang tua dengan empat anak. Awalnya, kami hanya berpikir untuk mempunyai dua orang anak laki-laki dengan selisih umur satu tahun. Selisih umur yang dekat ini membuat kami tercengang. Ketika anak pertama kami baru berusia enam bulan, saya kembali hamil. Bila anak pertama kami sambut dengan bahagia dan antusias, anak kedua ini kami sambut dengan sukacita bercampur kaget.

Saat tiba harus memilih sekolah, kami punya beberapa pertimbangan. Yang paling mendasar, yaitu dekat dengan rumah, berbahasa pengantar bahasa Inggris, dan menerapkan batas usia yang tidak terlalu ketat. Sepertinya waktu itu sedang populer pemikiran kalau anak bisa lancar berbahasa Inggris, sehari-hari bicaranya menggunakan bahasa Inggris, kelihatannya hebat sekali. Sungguh pemikiran yang sangat dangkal, yang pernah kami yakini sebagai orang tua muda.

Kami menyekolahkan anak pertama saat berusia dua tahun. Saat itu, kami memilih sekolah dekat rumah, dengan saya melakukan pendampingan selama di kelas. Ketika kami mendengar ada sekolah lain yang baru buka di daerah Serpong, kami—seperti orang tua yang lain—langsung memindahkan anak ke sekolah tersebut karena sepertinya sekolah tersebut mempunyai nilai-nilai pendidikan yang kurang lebih sama, tetapi dengan biaya yang lebih murah.

Perpindahan sekolah untuk anak kami yang pertama (di jenjang TK) menyebabkan pemilihan sekolah untuk adiknya juga mengikuti “yang dekat” dengan sekolah anak pertama. Sekolah untuk si adik adalah sekolah kecil yang menerapkan sistem montessori dan berbahasa pengantar Inggris. Beberapa nilai yang menjadi pertimbangan menyekolahkan anak-anak kami tersebut ternyata menimbulkan “kecelakaan besar” dalam pertumbuhan anak kedua kami. Dia sering tidak mau sekolah karena tidak menikmati lingkungannya. Sikap tersebut dipandang tidak apa-apa karena sepertinya sekolah juga mengikuti kemauan anak (anak-anak tidak boleh dipaksa).

Pada tahap berikutnya, kami memindahkan kembali anak pertama kami ke sekolah di dekat rumah sehingga otomatis adiknya pun ngikut. Kami menyangka semua upaya coba-coba ini sudah selesai dengan kembali bersekolah di sekolah dekat rumah, plus ini merupakan sekolah favorit.

Untuk anak pertama, proses belajar berjalan lancar. Kebetulan anak ini memang rajin dan mudah diarahkan. Selain itu, dia mengikuti jenjang TK B sebanyak dua kali di mana di sekolah keduanya sudah diajarkan membaca dan menulis. Jadi, saat kembali ke sekolah pertama, dia tidak mengalami hambatan belajar.

Masalah justru muncul pada anak kedua. Di sekolah, dia tidak diajari baca tulis di jenjang TK B, tetapi saat di SD 1 sudah harus lancar baca tulis. Kami tidak menyadari hal ini karena tidak ada masalah di anak pertama. Selain itu, komunikasi antara guru kelas dengan orang tua sangat kurang, khususnya mengenai ketidakmampuan anak ini. Ini menjadi isu yang cukup panjang sampai-sampai kami berkali-kali dipanggil oleh sekolah. Walau begitu, kami tidak pernah menemukan akar masalah dan solusinya. Kesan yang kami terima justru sekolah menganggap anak kami malas mengikuti pelajaran.

Sesungguhnya, kami berharap sekolah bisa bekerja sama dengan orang tua untuk menemukan akar masalah anak kami. Kami berpikir bimbingan konseling bisa membantu. Namun, saat bertemu konselor sekolah, beliau menyarankan anak kami untuk pindah sekolah karena dianggap tidak cocok bersekolah di sana. Kami tidak langsung percaya dengan saran itu. Kami tetap meyakini kalau anak kedua kami bisa terus bersekolah di sana—walau dalam hati tetap ada kekhawatiran.

Karena merasa tidak terbantu dengan saran sekolah, kami membawa anak untuk konseling ke Konselor Kristen. Seperti yang sudah-sudah, selagi anak menjalani konseling, kami sebagai orang tua juga harus menjalani sesi konseling. Menyatukan dua pribadi dengan latar belakang berbeda memang selalu ada pasang surutnya. Namun, kami sungguh bersyukur Tuhan bekerja melalui masalah anak kedua ini sehingga saat menjalani konseling, kami juga memulai masa pendewasaan dan pemulihan. Kami terus dibangun untuk memahami, menerima, dan menyeimbangkan perbedaan yang ada di dalam rencana Allah bagi keluarga kami.

Melalui konseling ini, diketahui bahwa anak kami mengalami keterlambatan motorik di dalam menulis yang tidak ditangani sejak dia masuk SD 1. Ini menjadi isu yang pelik ketika baru ditangani di SD 3. Proses yang kami lewati sungguh panjang. Kami terus menghadapi panggilan demi panggilan dari sekolah dengan keluhan yang hampir sama: anak kami malas menulis. Padahal, semua ujian diberikan secara tertulis yang berarti bila tidak dikerjakan, dia gagal ujian. Anak kami selalu menghitung angka kecukupan untuk dia bisa naik secara pas-pasan sehingga tidak perlu mengeluarkan usaha maksimal untuk naik kelas. Puji Tuhan dengan berbagai kesulitan yang ada, setiap tahun dia tetap naik kelas dengan nilai secukupnya. Semua guru di setiap jenjang selalu berkomentar anak ini pintar, tetapi tidak mau berusaha maksimal.

Saat dia duduk di SD 5, kami diberi Tuhan anugerah tambahan, yaitu kehamilan anak ketiga. Tentu saja kehadiran anak ketiga ini sangat mengubah ritme hidup kami. Hal ini juga mengubah banyak hal dalam diri kedua anak kami. Anak pertama, karena memang posisinya sebagai anak sulung, semakin mandiri apalagi memang sudah memasuki jenjang SMP. Namun, kondisinya berbeda bagi anak kedua kami, yang sebelumnya sempat menjadi anak bungsu dalam waktu lama. Dia yang tadinya masih sangat manja, tiba-tiba harus menjadi kakak dan menjadi lebih bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tidak bisa mengandalkan mamanya terus-menerus. Kehadiran anak ketiga juga mengubah kondisi ekonomi keluarga sehingga kami perlu menyesuaikan berbagai hal mengingat penambahan kebutuhan dengan kehadiran anak ketiga. Hal ini sangat memengaruhi ritme hidup anak kedua karena segala fasilitas yang tadinya bisa diberikan kepadanya—privilege sebagai anak bungsu—tak lagi dirasakan: dia harus berbagi dengan adiknya.

Kondisi kehamilan ketiga ini membuat anak pertama harus bersekolah di SMP dekat rumah agar saya tidak repot mengantar-jemput. Setahun kemudian, saat anak kedua masuk SMP, kami menyekolahkannya ke sekolah yang berbeda dengan kakaknya—mengingat pergumulannya di SD. Kami berpikir untuk memindahkannya ke Athalia. Namun, tiga kali kami mencoba mengontak sekolah ini, tidak pernah berhasil bertemu dengan bagian pendaftaran karena berbagai alasan. Saat itu, yang tebersit di pikiran kami, yaitu Tuhan tidak mengizinkan anak ini bersekolah di sini (sebuah pola pikir yang belakangan kami sadari kalau salah). Jadilah anak saya mendaftar ke sekolah lain.

Singkat cerita, di sekolah yang baru, konselor dan guru-guru sangat perhatian dan mencoba membantu kesulitan anak kami. Namun, cara belajar di sana berbeda dengan sekolah sebelumnya. Jadilah anak saya semakin malas, bukannya semangat. Dia terus menyalahkan kami karena sudah memindahkannya ke sana, bukan ke sekolah yang dia mau (sekolah lain dengan biaya yang jauh lebih mahal dan jarak yang lebih jauh).

Ketika anak-anak ini siap memasuki jenjang SMA, kami mengarahkan, tetapi juga memberikan mereka beberapa opsi, supaya tidak ada lagi cerita “dipaksa sekolah di sekolah pilihan orang tua”. Apakah masalah selesai? Ternyata tidak karena begitu mulai sekolah, mereka harus mengalami pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi. Anak pertama sempat bersekolah tatap muka, tetapi anak kedua memulai masa SMA-nya dengan PJJ penuh. Masa SMA, yang menuntut anak untuk bisa mandiri mengatur waktu dan menyelesaikan tugas tepat waktu, ternyata sulit dipenuhi oleh anak kedua kami. Lagi-lagi kami menghadapi panggilan guru dan nilai rapor yang tidak memuaskan yang membuat anak kami yang kedua ini hampir tinggal kelas.

Sepanjang proses ini, sebagai orang tua, kami jatuh bangun menghadapi setiap kondisi yang ada. Kami terus berpengharapan bahwa hanya Tuhanlah yang mampu mengubahkan anak kami. Kami juga terus memohon agar diberi hikmat untuk bisa mengembalikan anak kami ke “jalan yang benar”. Tuhan memang Mahapengasih, tetapi kami juga menyadari segala rencana Tuhan akan berjalan sesuai dengan waktu-Nya.

Akhirnya perubahan terjadi. Selama liburan sekolah, ketika kami banyak berbincang dengan kakaknya mengenai kelanjutan sekolah di universitas, rupa-rupanya sang adik ikut mendengarkan. Keinginan sang kakak untuk bersekolah di PTN membuat sang adik menyadari bahwa untuk masuk PTN membutuhkan nilai rapor yang bagus. Di sinilah kebangkitannya. Dia mulai rajin belajar dan mengumpulkan tugas tepat waktu. Yang tadinya jarang masuk kelas atau masuk kelas dengan mematikan kamera, sekarang sudah tidak lagi. Dia mulai mau ikut klub ekskul dengan kemauan sendiri.

Berdasarkan pengalaman dengan anak pertama dan kedua, kami tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan anak ketiga dan keempat. Bahasa utama yang harus dipelajari adalah bahasa ibu. Dengan demikian, anak kami akan jauh lebih mudah berkomunikasi dengan siapa pun sehingga perkembangannya juga lebih berkualitas. Anak ketiga dan keempat kemajuan berbahasanya lebih baik. Mereka mudah berbicara dan bercerita tentang apa saja. Sungguh kami bersyukur Tuhan membuka pikiran dan mengubah konsep berpikir kami. Sungguh semuanya hanya karena anugerah-Nya.

Saat tiba waktunya bagi anak ketiga dan keempat bersekolah, kami sudah memiliki prioritas yang berbeda dari sebelumnya. Kami mencari sekolah yang bisa mengajarkan anak untuk takut dan hormat akan Tuhan, mengenal Tuhan Allah, dan mempunyai karakter Kristus. Motto Athalia, yaitu right from the start, menarik perhatian kami. Maknanya sungguh dalam, membuat kami mengingat kembali kasus yang terjadi kepada anak kedua. Ketika langkah awalnya keliru, segala jalan ke depannya menjadi sangat-sangat terjal.

Saat ini, kami masih terus berproses dalam mendidik anak-anak. Yang pertama dan kedua sudah remaja dan akan mulai kuliah. Segalanya terus berjalan, naik turun. Ada masa-masa di mana muncul masalah di dalam komunikasi sehari-hari. Terjadi pergesekan antara anak kedua dan anak ketiga sehingga kami harus terus mengawasi dan menjaga agar kondisi dan relasi mereka tetap terjaga. Namun, satu hal yang pasti, kami percaya bahwa Tuhan terus berbelas kasihan dan memimpin perjalanan kami. Saat liburan Natal 2021 lalu, kami melihat komunikasi anak kedua dan ketiga terus membaik. Pekerjaan rumah kami masih banyak, seperti membawa anak-anak berjalan bersama Tuhan, kembali kepada Tuhan, dan mau ke gereja untuk beribadah setiap Minggu. Kami terus belajar dan mengalami jatuh bangun. Hanya dengan mengandalkan Tuhan, menyandarkan diri kepada-Nya, dan terus-menerus memohon kepada Tuhan agar Tuhan beranugerah membentuk dan keempat anak kami untuk dipakai seturut dengan rencana dan kehendak-Nya. Soli Deo Gloria.

Pendidikan Karakter = Menghasilkan Anak “Baik”?

Sebuah refleksi dari buku Emotionally Healthy Spirituality.

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia.

Baru-baru ini saya membaca buku Emotionally Healthy Spirituality karangan Peter Scazzero. Salah satu babnya yang berjudul “Mengenal Diri Sendiri untuk Mengenal Allah – Menjadi Diri Sendiri yang Autentik” menarik perhatian saya untuk merenungkannya lebih jauh tentang pembelajaran karakter yang sering kita dengar. Di dalam bab tersebut, Peter mengangkat kisah Joe DiMaggio, seorang pemain baseball terbesar yang pernah ada pada abad ke-20 dan sering dipuja sebagai pahlawan olahraga Amerika. Ia menikahi Marilyn Monroe yang dikenal sebagai wanita tercantik pada masa itu. Namun setelah Joe meninggal, biografinya yang ditulis oleh Richard Ben Cramer mengungkap kenyataan yang mengejutkan: Joe secara sengaja hanya menunjukkan sisi yang baik saja dalam hidup dan menutupi banyak hal yang sebenarnya. “Kisah Joe DiMaggio sang ikon sangatlah terkenal. Kisah DiMaggio yang sebenarnya telah dikubur.”

Ironis sekali membaca kisah ini. Namun sebenarnya, menggunakan “topeng” bukanlah hal yang asing, bahkan dalam hidup orang-orang Kristen. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya rasa, banyak faktor yang membentuk manusia menjadi pribadi yang tidak otentik. Salah satunya yaitu pola pikir yang ditanamkan, baik secara langsung atau tidak langsung. Misalnya, ketika anak menangis karena mainannya rusak, tidak jarang orang tua langsung berkata “Sudah, enggak usah nangis, nanti diperbaiki.” Tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak selalu tepat karena belum tentu itu yang dibutuhkan anak. Jika hal tersebut terjadi berulang kali, bisa jadi anak akan berpikir, “Ketika bersedih, aku tidak perlu menangis karena lebih penting mencari solusi untuk menyelesaikan masalahku!

Tak bisa dipungkiri bahwa kadang kala, pengajaran di dalam gereja pun menyiratkan bahwa tidak baik jika seseorang merasakan emosi-emosi tertentu, seperti marah, kesal, atau benci. Tuhan tidak suka! Atau bahkan yang lebih keras: itu dosa. Akibatnya, kita mengabaikan banyak emosi dalam diri. Rasanya, tidak berani menilik hasrat, mimpi, kesenangan, dan ketidaksukaan kita karena khawatir hal tersebut akan “menempatkan diri saya terlalu tinggi dan menjauhkan saya dari mengutamakan Allah”. Apa dampaknya? Kita berusaha menghindar dan mengabaikan perasaan, berjuang untuk terlihat baik-baik saja, dan ingin selalu menampilkan diri yang baik, ideal, dan saleh.

Saya jadi berpikir, jangan-jangan pendidikan karakter yang selama ini kita dengar juga memiliki gambaran yang sama. Kita melihat karakter sebagai tampilan luar, perilaku, atau kebaikan yang terlihat hingga muncul berbagai stigma. “Orang yang sabar itu tidak pernah marah. Orang yang rajin akan selalu bersemangat mengerjakan tugas, apa pun kondisinya. Orang yang dapat mengendalikan diri tidak pernah tergoda melakukan sesuatu untuk memuaskan keinginan diri…” dan masih banyak stigma lainnya. Akibatnya, kita hanya mengenakan tampilan luar atau perilaku yang palsu supaya terlihat baik. Hal yang sama juga kita terapkan ketika mendidik anak-anak untuk memiliki “karakter yang baik”.

Menurut saya, pendidikan karakter tidak sesederhana itu. Pendidikan karakter bukan hanya soal moralitas yang harus dijaga demi nama baik diri, keluarga, maupun sekolah. Pendidikan karakter Kristus seharusnya memanusiakan manusia sebagaimana Kristus sendiri pernah hidup sebagai manusia yang sejati. Pendidikan karakter semestinya menilik lebih dalam ke dalam diri, menyingkap hati, motivasi, dan emosi yang bergejolak, berani melihat keberadaan diri yang sesungguhnya, yang hancur di hadapan Allah.

Peter menulis dalam bukunya:

“Ketika kita mengabaikan penderitaan, kehilangan, dan semua perasaan kita selama bertahun-tahun, kemanusiaan kita menjadi semakin berkurang. Kita pelan-pelan berubah menjadi cangkang kosong yang diberi lukisan senyuman di depannya. … Kegagalan untuk menghargai perasaan seperti yang Alkitab lakukan dalam kehidupan Kristen kita yang lebih luas telah menghasilkan kerusakan yang besar, dan membuat manusia yang harusnya bebas dalam Kristus tetap dalam perbudakan.”

Tentu hal ini bukan berarti kita menyerahkan diri kepada perasaan sepenuhnya dan mengikuti ke mana diri ini dibawa—mengingat bahwa kita adalah manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Namun, usaha membuka diri untuk merasakan emosi dan jujur kepada diri sendiri adalah langkah awal agar kita bisa merespons dengan benar di hadapan Allah. Justru hal itu mungkin menjadi cara Allah berbicara, merengkuh manusia dengan kasih-Nya, serta membentuk kita makin serupa dengan-Nya. Ia menyingkap diri kita dan berbicara dengan lembut “It’s okay, Aku mengenalmu, Aku mau berjalan bersamamu.

Apakah kita memiliki pesan yang sama untuk disampaikan kepada anak-anak ketika melihat hal yang kurang tepat, kesalahan, kegagalan, atau bahkan “kebobrokan” mereka? Ataukah kita mengabaikan dan menghindari hal itu, lalu memaksa mereka untuk menampilkan yang baik-baik saja? Apakah kita mengatakan, “Mari berproses bersama” alih-alih “Kamu tidak seharusnya begitu. Kamu seharusnya begini”?

Karakter bukanlah suatu tempelan ataupun fenomena semata. Membentuk karakter adalah membentuk hati. Pembentukan karakter Kristus adalah bagian dari perjalanan iman; sebuah proses yang berlangsung seumur hidup, yang seharusnya dijalani dengan sukacita di dalam dasar penerimaan dan penebusan Kristus yang sempurna.

Pemuridan di Masa Pandemi: Be With and Befriend

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter Sekolah Athalia

”Salvation is free, but discipleship costs everything we have” – Billy Graham1

Kalimat pendeta Billy Graham sungguh keras, tetapi sejalan dengan firman Tuhan dalam 2 Timotius 4:2 yang berbunyi, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya….” Jujur, pesan-pesan semacam ini meneguhkan, sekaligus menggelisahkan kita yang melakukan pemuridan.

Pemuridan merupakan amanat agung dari Tuhan Yesus sendiri, yang Dia sampaikan sebelum naik ke surga. Bayangkan, jika seseorang memberikan pesan terakhir, tentu pesan itu bukanlah semacam “Jangan lupa matiin kompor, ya” atau “Ganti gorden ruang tamu”. Pesan terakhir tentu sangat penting: pemuridan adalah perintah. Artinya, ini merupakan sebuah keharusan bagi setiap orang percaya, bukan pilihan.

Namun, semudah itukah melakukannya? Mari kita mengingat aspek yang lain, yaitu bahwa pemuridan juga adalah sebuah privilege atau hak istimewa. Sejak penciptaan, kita dipercaya Allah menjadi kawan sekerja-Nya (Kejadian 1: 28). Apakah Allah membutuhkan bantuan kita? Tentu tidak. Oleh sebab itu, kita mengenalnya sebagai anugerah karena sesungguhnya siapakah kita sehingga dipercayakan hal sebesar itu?

Anugerah Allah tidak berhenti saat penciptaan. Anugerah terbesar dari Allah adalah Putra-Nya yang tunggal yang mengosongkan diri-Nya, berinkarnasi menjadi manusia, mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri-Nya, dan taat bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2: 7–8). Ya, untuk Anda dan saya. Pelayanan yang kita lakukan diawali oleh pelayanan Tuhan Yesus kepada kita. Ketika kita pernah mencicipi anugerah-Nya, tentu kita ingin membawa orang lain untuk juga mencicipinya. Seperti kalimat D. T. Niles yang sangat terkenal, “Evangelism is just one beggar telling another beggar where to find bread2 atau jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia: “Pemberitaan injil seperti seorang pengemis yang memberi tahu pengemis lainnya di mana mendapatkan roti”. Betul, Injil seharusnya benar-benar senikmat itu. Kasih karunia itu mengalir; kita bukan hanya menerimanya, melainkan juga membagikannya kepada orang lain. Kita tidak pernah diminta memberi kasih karunia lebih dari yang pernah kita terima.3

Baiklah, sekarang mari kita bahas secara praktis. Tidak disangkal bahwa masa pandemi ini begitu menguras kita, bak diterpa badai besar. Segala rencana dan acara seolah digagalkan. Tiba-tiba semuanya harus berhenti. Pertemuan tatap muka baik ibadah, persekutuan, kelompok kecil, semuanya harus dihentikan. Namun, tunggu, benarkah berhenti? Atau kita harus tetap maju dengan beradaptasi? Ya, kita tetap maju dengan beradaptasi, menyesuaikan diri dengan segala kondisi yang tidak pernah kita jumpai sebelumnya. Namun, harus diakui, adaptasi bukanlah hal yang mudah. Kehidupan bergereja di masa pandemi bukan sekadar memindahkan yang luring menjadi daring. Kebutuhan kita sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi secara langsung rasanya sulit sekali digantikan dengan hal-hal yang serbavirtual. Namun, apa iya tidak mungkin? Saya pun awalnya berpikir demikian.

Komisi pemuda di gereja saya memiliki persekutuan per wilayah yang dinamakan “dobar”, alias “doa bareng”. Dahulu kami biasa berkumpul di salah satu rumah ataupun tempat makan atau tempat nongkrong. Namun, sejak pandemi, pertemuan kami dibatasi dengan layar dan koneksi internet. Kondisi ini membuat beberapa dobar merosot. Yang biasanya makan bersama, sekarang makan di rumah masing-masing. Yang biasanya bebas mengobrol dengan siapa saja, sekarang harus lebih tertib berbicara agar suara dapat terdengar dengan jelas. Belum lagi koneksi internet yang kurang stabil yang mengganggu komunikasi. Senda gurau serta percakapan ngalor ngidul dari yang penting hingga yang tidak penting sangat dirindukan.

Namun mengejutkan, dobar kami tetap berjalan baik dan bertumbuh secara kualitas maupun kuantitas. Rekan yang biasanya terbatas jam malam, habis waktu di jalan, sekarang bisa lebih leluasa karena tinggal “klik” sudah terhubung. Selama pandemi kita banyak di rumah saja, maka beberapa anggota yang tadinya jarang bisa bergabung, sekarang jadi bisa bergabung. Bahkan, kita tidak terbatas letak geografis, teman saya yang di Los Angeles pun ikut bersekutu dan malah menjadi fasilitator. Jadi, ternyata memungkinkan untuk melakukan pemuridan di tengah masa krisis seperti pandemi Covid-19 ini. Justru kita diajak untuk melihat hal yang esensial di dalam pemuridan yang selama ini kita kerjakan. Apakah haha-hihi-nya, makan barengnya saja, atau relasi dan persekutuannya di dalam Tuhan?

Sulit bukan berarti mustahil. Justru di saat seperti ini, ketika makin banyak orang yang membutuhkan pertolongan baik secara dukungan moral, ekonomi, spiritual, maupun kesehatan mental, kelompok persekutuan/pemuridan sangat dibutuhkan. Pandemi tidak hanya membawa dampak secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan spiritual. Banyak orang mengalami gangguan kecemasan dan depresi.4 Semakin banyak orang yang mencari Tuhan dan membaca Alkitab untuk mendapatkan kekuatan, kedamaian, dan harapan.5 Di saat makin banyak orang yang tertekan dan mencari dukungan, janganlah kita lengah untuk hadir bagi mereka. Mungkin yang mereka butuhkan hanyalah kehadiran dan perhatian yang tulus, seperti kisah yang saya alami berikut ini.

Bagi sekolah, masa pandemi membawa tantangan bagi guru baik dalam menyiapkan materi pelajaran yang menarik, beradaptasi dengan teknologi, maupun berelasi dengan para siswa. Pun bagi siswa itu sendiri. Mereka yang biasanya begitu aktif dipaksa harus di rumah saja. Mungkin tidak terlalu masalah jika lingkungan rumah cukup kondusif dan mendukung kenyamanan dan keamanan anak. Namun, jika tidak, siapa lagi yang mereka harapkan di luar keluarga mereka? Apakah guru dan pembimbing sekolah minggu/remaja hanya bertugas memberikan informasi dan pengetahuan? Tentu tidak. Di sinilah peran guru sebagai gembala dibutuhkan.

Suatu hari di masa pembelajaran jarak jauh (PJJ), saya ikut masuk ke dalam salah satu kelas (virtual) di kelas 1 SD. Hari itu saatnya shepherding time. Seperti biasa, ibu guru menyapa muridnya di pagi hari. Seorang siswi tampak murung. Ibu guru bertanya apa yang terjadi kepadanya. Dengan malu-malu, anak itu menjawab, “Aku sedih, Bu.” Karena ada agenda dan materi yang harus disampaikan, ibu guru menunda untuk berbincang lebih lanjut dengannya. Di saat sesi sharing, anak ini ingin sekali berbicara, tetapi ibu guru masih harus menyelesaikan materinya dan mengobrol dengan siswa lainnya sehingga hanya berkata, “Nanti, ya, Nak, kita ngobrol.” Terlihat anak itu sedikit kecewa, tetapi tetap mengikuti pembelajaran dengan baik. Ada kalanya dia kembali meminta waktu untuk bercerita, tetapi ibu guru kembali bahwa dia boleh cerita setelah selesai kelas. Saya hanya bertanya-tanya di dalam hati sambil kasihan: ada apa dengan anak ini? Akhirnya, shepherding time selesai dan anak ini tetap tinggal di ruang virtual bersama ibu guru, beberapa asisten guru, juga saya.

“Kenapa kamu sedih?” tanya ibu guru.

“Aku sedih… Aku pengin sekolah…” katanya memelas.

Kami para pendidik mengeluarkan reaksi beragam. Di benak saya terpikir, ya ampun, karena pengin sekolah. Saya geli sekaligus iba. Namun, ibu guru segera merespons.

“Iya… Kamu berdoa, ya, supaya virus Corona cepat hilang.”

“Aku udah berdoa tiap hari, tapi virus Coronanya tetap ada,” jawabnya dengan polos.

“Iya.. virus Coronanya belum pergi, ya. Tapi kamu jangan sedih terus, ya. Harus semangat! Kan biasanya kamu selalu ceria dan semangat. Ya?” hibur ibu guru.

“Hm.. Iya, Bu. Aku mau semangat dan ceria!” jawabnya dengan segera. Nadanya langsung berubah. Dia menjadi antusias sambil memainkan origami kapal yang baru saja dibuatnya saat shepherding time. Topik pembicaraan pun beralih karena dengan gembira dia bercerita tentang sudah pernah membuat kapal origami sebelumnya.

Kejadian ini sederhana, tetapi membuat saya berefleksi. Kepolosan seorang anak membuat dia dengan mudah menceritakan kesedihannya dan dengan mudah pula dihiburkan. Yang dia butuhkan hanyalah hal sesederhana itu – kehadiran dan perhatian yang tulus.

Tidak hanya anak kecil, saya menjumpai hal yang sama pada beberapa remaja usia SMP yang baru saja mulai ber-KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) dengan saya secara daring. Entah harus senang atau sedih ketika mendengar motivasi awal mereka ikut KTB karena kelihatannya seru, daripada gabut (gaji buta/tidak melakukan apa-apa), dan bisa punya teman ngobrol dan bermain. Namun, kembali saya menyadari bahwa yang mereka perlukan adalah kehadiran dan perhatian/persahabatan yang tulus. Begitu pula yang saya alami sendiri di dobar. Kehadiran dan perhatian tulus dari teman-teman sayalah yang menguatkan saya menghadapi masa pandemi ini. Saya dapat merasakan kasih Tuhan yang nyata melalui mereka.

Sering kali kita berpikir dengan rumit: apa yang harus kita lakukan dalam melakukan pemuridan di masa pandemi seperti ini: program, metode, teknologi, acara yang menarik, dan lain sebagainya. Alih-alih sukacita dan berpengharapan, kita justru digerakkan oleh kekhawatiran. Mari berhenti sejenak dan renungkan, sebenarnya apa esensi dari pelayanan ini? Seperti apa hati Tuhan bagi jiwa-jiwa yang kita layani?

Tuhan Yesus datang ke dunia memberikan diri-Nya sendiri. Dia memberikan kehadiran dan perhatian yang nyata kepada semua kaum. Demikian juga seharusnya kita. Meskipun pemuridan di masa pandemi bukanlah suatu hal yang mudah dan membutuhkan harga yang besar, ingatlah: kita tidak dapat memberikan apa yang tidak kita miliki, sebaliknya, kita hanya dapat memberikan apa yang sudah kita terima dari Tuhan. Be with and befriend! Bagikan kehadiran dan perhatian/persahabatan yang tulus kepada mereka yang kita muridkan, sebagaimana Allah telah hadir dan memperhatikan kita terlebih dahulu. [BEL]

DAFTAR PUSTAKA

  1. Billy Graham, “Billy Graham: What’s the Cost of Following Jesus Christ?,” Billy Graham Evangelistic Association, 2 Agustus 2017, https://billygraham.org/audio/billy-graham-whats-the-cost-of-following-jesus-christ/.
  2. Evangelism Coach, “Evangelism Quotes and Quotations,” Evangelism Coach, 20 April 2019, https://www.evangelismcoach.org/evangelism-quotes-and-quotations/.
  3. Kyle Idleman, Grace Is Greater, trans. Tim Literatur Perkantas Jatim (Grand Rapids: Baker Books, 2017), 66.
  4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, “Masalah Psikologis di Era Pendemi Covid-19,” Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 14 Mei 2020, http://pdskji.org/home.
  5. Kate Shellnutt, “2020’s Most-Read Bible Verse: ‘Do Not Fear’,” Christianity Today, 3 Desember 2020, https://www.christianitytoday.com/news/2020/december/most-popular-verse-youversion-app-bible-gateway-fear-covid.html.