13 Tips untuk Mengatasi Kemalasan

13 Tips untuk Mengatasi Kemalasan

Kemalasan sepertinya sudah mendarah daging dalam diri manusia. Namun tetap saja hidup yang penuh dengan kemalasan tidak akan dapat membawa kebaikan. Khususnya saat kita bekerja. Apakah kita dapat mengalahkan kemalasan dan memberi diri yang terbaik untuk menyelesaikan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita? Berikut ini adalah 12 tips yang dapat membantu kita melawan kemalasan dalam diri.

1. Break down a task into smaller tasks

Kita seringkali menghindari tugas karena kita melihatnya terlalu besar, terlalu membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Memecah tugas menjadi tugas-tugas sederhana dapat mengatasi hal ini. Maka setiap tugas tidak akan terlihat terlalu sulit atau mengintimidasi. Daripada langsung mengerjakan satu tugas besar, kita dapat menyelesaikan tugas-tugas kecil yang tidak terlalu membutuhkan banyak tenaga. Pendekatan ini dapat diaplikasikan tak hanya dalam mengerjakan tugas, tetapi juga tujuan atau capaian lain yang perlu kita lakukan. Hal ini cenderung dapat mengurangi kemalasan yang sering kita rasakan.

2. Rest, sleep and exercise

Dalam kasus tertentu, kemalasan dapat diakibatkan kelelahan dan kekurangan energi. Jika hal ini yang terjadi, kita perlu beristirahat dan juga memberikan tubuh latihan yang cukup serta udara yang segar.

3. Motivation

Dalam kasus tertentu, alasan dari kemalasan adalah karena kurangnya motivasi. Kita dapat memperkuat motivasi melalui afirmasi/penegasan, visualisasi dan pikiran mengenai pentingnya melakukan dan mengerjakan tugas untuk mencapai tujuan.

4. Have a vision of what and who you want to be

Seringkali dengan merefleksikan diri pada sosok ideal kita, tujuan yang kita ingin capai, kehidupan yang kita inginkan, dapat memotivasi kita untuk memulai aksi kita.

5. Think about benefits

Pikirkan keuntungan-keuntungan yang akan kita raih bila kita mengatasi kemalasan dan mulai bekerja, dari pada berpikir mengenai kesulitan dari tugas-tugas yang ada. Fokus pada kesulitan dari tugas dapat membuat kita menjadi lemah dan putus asa, ingin menghindar dan malas. Penting untuk kita memfokuskan pikiran dan perhatian pada hal yang positif dan tidak fokus pada hal-hal yang menyulitkan/menghambat.

6. Thinking about the consequences

Pikirkan mengenai apa yang akan terjadi bila kita mengalah pada kemalasan dan tidak melaksanakan tugas kita. Pikiran mengenai konsekuensi ini dapat mendorong kita juga untuk mulai mengerjakannya.

7. Doing one thing at a time

Fokuslah untuk mengerjakan satu hal di satu waktu. Jika kita merasa ada banyak hal yang harus dilakukan kita mungkin akan langsung merasa terbanjiri tugas dan membiarkan kemalasan menguasai kita dimana seharusnya kitalah yang menguasai kemalasan kita.

8. Visualization

Imajinasi kita memiliki pengaruh yang besar pada pikiran, kebiasaan dan sikap kita. Visualisasikan diri kita mengerjakan tugas dengan mudah dan penuh semangat. Lakukan hal ini sebelum memulai satu tugas dan juga ketika merasa malas atau ketika pikiran berbisik pada kita untuk meninggalkan tugas-tugas.

9. Repeat affirmations

Katakan pada diri sendiri:

“Saya dapat mencapai tujuan dan target saya.”

“Saya memiliki energi dan motivasi untuk bekerja dan melakukan apa yang saya inginkan.”

“Mengerjakan sesuatu membuat saya lebih kuat.”

“Melakukan sesuatu membuat semua mungkin tercapai.”

10. Regards a task as an exercise

Anggaplah setiap tugas sebagai latihan untuk membuat kita lebih kuat, lebih meyakinkan dan lebih tegas.

11. Procrastination

Hindari penundaan yang merupakan salah satu bentuk kemalasan. Jika ada hal yang harus dilakukan, mengapa tidak melakukannya sekarang dan menyelesaikannya? Kenapa membiarkannya mengganggu pikiran kita?

12. Learn from successful people

Lihatlah orang-orang yang sukses, dan bagaimana mereka tidak membiarkan kemalasan menang. Belajarlah dari mereka, bicara pada mereka dan asosiasikan diri dengan mereka.

13. Pray

Satu hal yang tak boleh kita lupakan saat bekerja adalah memulainya dengan doa. Jika kita percaya bahwa setiap pekerjaan berasal dari Tuhan dan untuk Tuhan saja maka tentunya kita dapat lebih termotivasi untuk menyelesaikannya. Bersandarlah dan minta pertolongan pada Tuhan saat pikiran dan kemalasan menghinggapi diri kita.

Diterjemahkan dari     : www.successconsciousness.com/overcoming-laziness.html-LDS

 

“Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan memperoleh harta yang berharga,”

Amsal 12:27

Tips Mendampingi Anak TK dan SD Kembali Sekolah Onsite

Oleh: Chandria Wening Krisnanda (Konselor Bina Karir Sekolah Athalia)

Belakangan, kasus harian orang yang terpapar COVID-19 tidak sebanyak dulu. Bahkan, per 17 Mei 2022 Jokowi mengumumkan bahwa masyarakat diperbolehkan tidak menggunakan masker ketika berkegiatan di luar ruangan atau di area terbuka yang tidak padat orang (Nugraheny, 2022). Kondisi ini mendorong sekolah-sekolah mulai memberlakukan sistem pembelajaran onsite di semester depan.

Bagi beberapa anak TK dan SD, kembali belajar di sekolah setelah lebih dari dua tahun menjalani PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) membutuhkan proses penyesuaian. Orang tua perlu membantu anak agar merasa nyaman ketika menjalani masa transisi ini. Bagaimana caranya? Dalam laman resminya, UNICEF menyebutkan beberapa tips yang dapat dilakukan orang tua.

1. Dengarkan anak

Dengarkan dengan saksama ketika anak bercerita tentang kekhawatirannya. Untuk anak yang berusia lebih kecil, kita dapat melakukan role play di rumah yang menggambarkan situasi “back to school”. Orang tua juga bisa mengajak anak menggambar bersama untuk setiap tahapan yang harus mereka lakukan nantinya saat kembali ke sekolah.

2. Membantu anak membuat persiapan

Dampingi anak untuk mempelajari aturan-aturan baru saat mereka kembali ke sekolah. Jangan lupa untuk mendiskusikan tentang apa yang mereka rasakan. Jika ada hal penting yang diceritakan anak, maka kita dapat mengomunikasikannya dengan guru mereka.

3. Tetap tenang

Ingatlah bila anak usia TK dan SD sangat mudah menyerap dan meniru respons orang tuanya terhadap suatu peristiwa. Kita perlu tetap bersikap tenang agar anak dapat merasa lebih nyaman dan aman.

4. Buatlah rencana perpisahan

Untuk anak yang berusia lebih besar, kita dapat mencoba beberapa cara berikut jika ia kesulitan menghadapi perpisahan dengan orang tua.

●        Berikan kesan perpisahan yang positif.

●        Beri tahu anak bahwa akan ada momen “perpisahan sementara”.

●        Ceritakan dengan kata-kata yang jelas dan mudah dipahami.

●        Ingatkan ke anak bahwa kita akan bertemu kembali dengan mereka.

●        Jangan terlihat ragu-ragu saat melakukan perpisahan.

●        Jemput mereka tepat waktu dan sesuai dengan rencana.

●        Lakukan kebiasaan yang sama setiap kali akan mengantar dan menjemput anak.

Kita bisa menjadikan momen kembali ke sekolah sebagai proses belajar bagi anak untuk lebih dewasa dalam menghadapi “perpisahan”. Yang perlu diperhatikan orang tua adalah cara berkomunikasi dengan anak sesuai dengan usianya. Jika anak berhasil melalui proses ini, maka ia akan belajar lebih mandiri dan cepat beradaptasi untuk hal atau kebiasaan baru lainnya.

Referensi:

Nugraheny. (2022). Jokowi Bolehkan Warga Lepas Masker di Area Terbuka. Diakses pada tanggal 19 Mei 2022, https://nasional.kompas.com/read/2022/05/17/17235791/jokowi-bolehkan-warga-lepas-masker-di-area-terbuka.

UNICEF.  (n.d.). How to Support Your Child through Reopening. Diakses pada tanggal 10 Mei 2022, https://www.unicef.org/coronavirus/support-child-covid-reopening.

Tips agar Vaksinasi Anak Berjalan Lancar

Sebentar lagi, para siswa SD Athalia akan mengikuti vaksinasi COVID-19 (dosis kedua). Bagaimana cara agar proses ini minim drama? Persiapan apa saja yang perlu dilakukan oleh orang tua siswa supaya anak tetap merasa nyaman?

Mari baca ulasan berikut!

Memahami Dukacita

Oleh: Agape Ndraha, staf Sekolah Athalia

“Andaikan aku memintanya untuk tetap di rumah saja…”

“Ini RS pasti gak menangani dengan benar…”

“Aku gagal… aku ga mampu menyelamatkan nyawanya… mestinya aku lebih cepat membawanya ke RS…”

Kehilangan seseorang yang dikasihi, apalagi yang selama ini menjadi belahan jiwa, akan menimbulkan dukacita yang mendalam. Ini adalah emosi yang bisa sangat menguasai seseorang dan tidak mudah untuk dihadapi, apalagi bila terjadi secara mendadak. Respons yang muncul umumnya adalah penyesalan, kegundahan yang besar karena meyakini bahwa seharusnya kehilangan ini bisa dihindari, andai saja…

Elizabeth Kübler-Ross dan David Kessler dalam bukunya On Grief and Grieving menuliskan bahwa seseorang yang mengalami grief atau dukacita umumnya akan masuk dalam lima tahap. Tahapan ini tidaklah baku karena manusia adalah individu yang unik. Duka yang dialami atas peristiwa yang sama bisa menimbulkan respons emosi yang berbeda antara satu individu dengan yang lain. Grief bersifat individual sehingga tidak semua orang menjalani pola yang sama dan dalam jangka waktu yang sama. Teori mengenai Five Stages of Grief ini diberikan sebagai upaya menolong seseorang yang mengalami dukacita untuk setidaknya memiliki gambaran tentang apa yang akan dilaluinya, dan untuk mengenali emosi-emosi yang mungkin akan dialami saat berduka.

Denial (Penyangkalan)

 “Rasanya gak percaya dia tidak akan pernah duduk di kursi itu lagi…”

“Dia seperti hanya sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota seperti biasa, dan sebentar lagi akan menelepon saya…”

Tahap pertama ini tidak berarti seseorang sengaja mengingkari realitas yang ada. Namun kabar yang begitu tiba-tiba bisa membuatnya diserang shock yang hebat dan tak mampu lagi merasa. Bagai terputus dari ruang dan waktu. Respons seperti ini sering kali muncul karena realitas itu terlalu berat untuk ditanggung oleh jiwa. Berita kematian terasa tidak nyata, seperti mimpi, karena otak tidak mampu memrosesnya. Dalam tahap ini, tanpa disadari denial sedang menolong seseorang yang berduka untuk mengelola perasaan, memberinya waktu untuk sedikit berjarak dengan dukacitanya. Tahap ini membawa anugerah tersendiri karena secara natural seseorang akan mampu menerima tekanan hanya sebatas kekuatannya saja. Bila tahap ini tidak hadir, munculnya emosi yang membludak dengan begitu tiba-tiba bisa sangat mengguncangkan.

Di tahap ini mereka yang berduka akan banyak bercerita tentang orang yang dikasihi tersebut, tentang masa akhir hidupnya, rencana yang belum tercapai, dan cerita lain. Ini adalah cara pikiran beradaptasi dengan realitas. Dengan melakukan hal ini, penyangkalan perlahan mulai hilang dan realitas muncul dengan jelas di depan mata, membawa orang masuk ke tahap berikutnya: mencari jawaban. “Mengapa ini semua terjadi, apakah sebenarnya bisa dicegah?”, atau “Apa salahku sehingga pantas menerima ini?” Pada akhirnya, dengan banyaknya pertanyaan yang mulai bermunculan, makin menguat kesadaran bahwa kehilangan itu nyata. Penyangkalan mulai reda seiring dengan proses ini. Berbagai emosi mulai muncul ke permukaan.

Anger (Amarah)

Setelah melewati tahap denial, timbul kesadaran dalam diri. “Ternyata aku cukup kuat untuk menanggung semua ini…ternyata aku masih hidup sampai sekarang…” Namun, seiring dengan itu, emosi lain mulai menyengat… rasa marah, sedih, panik, terluka, sepi… “Aku tidak pantas menerima semua ini… Aku tidak siap! Mengapa? Apa salahku??” Amarah bisa mengarah kepada siapa saja. “Mengapa kamu tega meninggalkan aku?? Mengapa kamu tidak menjaga diri baik-baik??” Kemarahan bisa tertuju pada diri sendiri yang tak berdaya mencegah musibah yang datang, atau pada situasi, atau tentu saja pada Tuhan. “Di mana Tuhan ketika kesulitan ini datang? Bila Dia Tuhan yang Mahakuasa, mengapa Dia tidak berkuasa mencegah kematian suamiku?”

Dalam buku Grief Observed, C.S. Lewis menggambarkan perasaan hatinya dengan kalimat-kalimat yang begitu jujur, saat kehilangan istri yang dicintainya.

Mengapa ketika kita penuh sukacita dan tak membutuhkan Tuhan Dia terasa selalu hadir? Namun, justru ketika kepedihan begitu pekat dan kita berteriak-teriak menggedor pintu-Nya, berharap Dia datang memberi jawab, kenapa Dia membisu? Pintu bukan saja tetap tertutup rapat, bahkan terdengar dentang palang besi terpasang, dan suara nyaring gembok besar terkunci!”

Anger adalah tahap yang dibutuhkan mereka yang sedang berdukacita. Terimalah rasa marah itu. Izinkan diri untuk marah. Berteriaklah jika perlu. Temukan tempat yang tepat dan biarkan amarah keluar. Bicara pada orang terdekat atau konselor, ungkapkan betapa marahnya diri Anda. Cobalah berolahraga seperti berlari atau berenang atau habiskan waktu untuk berkebun. Lakukan apa saja untuk mengeksplor rasa marah tanpa menyakiti orang lain. Makin kita bersedia merasakannya, makin cepat amarah itu pudar. Amarah seperti ini bukan hal buruk karena menunjukkan betapa dalam kasih yang kita miliki pada orang yang telah tiada. Amarah juga adalah reaksi yang wajar ketika seseorang merasa hidupnya tidak adil. Apalagi ketika orang terkasih “direnggut” dari hidup kita, bagaimana kita bisa melihat bahwa hidup ini adil?

Penelitian Dr. Jill Bolte Taylor, seorang neuroanatomist dari Harvard Medical School, menemukan bahwa sesungguhnya ketika peristiwa yang memicu emosi terjadi di lingkungan kita, akan terjadi proses kimiawi di otak sebagai responsnya. Namun, diperlukan hanya 90 detik untuk membuat seluruh reaksi kimiawi itu tersapu keluar dari sistem tubuh kita. Dr. Taylor menyimpulkan bahwa emosi akan selalu datang dan pergi dengan cepat. Namun, bisa saja seseorang tetap merasa marah atau sedih berkepanjangan karena dipicu oleh pikiran-pikiran yang terus menstimulasi munculnya emosi tersebut. Artinya, bila emosi dikelola dengan baik, ini akan berlalu seiring berjalannya waktu. Amarah tidak akan terus menetap dan membawa dampak berkepanjangan. Ketika emosi terus menguasai seseorang, hal itu disebabkan emosi yang tidak dikelola atau memang dia memilih untuk terus berada di dalamnya, secara sadar maupun tidak.

Setelah amarah mereda, kita lebih mampu melihat banyak emosi lain di balik itu. Mungkin rasa pedih, frustrasi, kecewa, iri kepada yang tak mengalaminya. Rasanya seperti tersisih… Kadang, kita terlalu lelah untuk mencoba mengenali emosi ini. Namun, kesediaan untuk menghadapi emosi itu satu per satu, seperti kita menghadapi amarah, akan menolong kita untuk sembuh.

Bargaining (Tawar-menawar)

Fase berikutnya yang umum terjadi adalah pikiran yang terus melayang ke masa sebelum dukacita… “Kalau aku lebih banyak berbuat baik, akankah semua ini berubah jadi sekadar sebuah mimpi buruk?” atau “Kalau saja aku lebih memahami dirinya, mungkinkah dia akan lebih sehat danlebih kuat bertahan…?” Rasa bersalah adalah emosi yang umumnya mendasari fase ini. Kalimat seperti “Tuhan, tolonglah…aku akan lakukan apa pun agar dia kembali…” merupakan respons khas yang dapat muncul juga di fase ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Kübler-Ross dan Kessler menuliskan bahwa tahap demi tahap tidak selalu bersifat linear. Seseorang yang berdukacita dapat kembali lagi ke fase sebelumnya, atau bahkan melewati salah satu fase.

Sama seperti pada fase yang lain, penting untuk menerima emosi yang muncul. Rasa bersalah dan tawar-menawar yang dilakukan adalah bagian upaya untuk keluar dari rasa sakit akibat kehilangan, upaya mengalihkan diri dari kepedihan yang sebenarnya. Mereka yang berduka tahu bahwa tawar-menawar tak akan mengembalikan orang yang dikasihinya, tetapi tetap melakukannya selama beberapa waktu karena dapat memberi kelegaan walau sesaat. “Tuhan, bagaimana bila aku saja yang mati dan jangan dia?”  Pikiran-pikiran semacam ini akan terus muncul. Seiring pikiran memproses seluruh tawar-menawar itu, akan muncul kesadaran mengenai realitas yang sesungguhnya: orang terkasih sudah benar-benar pergi selamanya!

Depression (Depresi)

            Perasaan kosong mulai muncul dan dukacita mulai terasa makin dalam. Namun, penting untuk dipahami bahwa depresi yang muncul tidak berhubungan dengan penyakit mental. Ini adalah respons wajar atas rasa kehilangan yang begitu dalam. Ada rasa enggan menghadapi hari. Rasanya ingin terus berada dalam kegelapan dan kesedihan. “Apa gunanya melanjutkan hidup? Apa artinya semua ini bila hanya dihadapi sendiri? Tidak ada alasan untuk bangkit dari tempat tidur. Mengapa harus makan? Untuk apa peduli?”

Dalam situasi ini, banyak yang terdorong untuk menolong agar yang berduka tidak jatuh dalam depresi. Hal itu dianggap sebagai kondisi yang menyedihkan, tidak wajar, dan perlu diperbaiki. Padahal, ini merupakan fase yang dihadapi setiap orang yang berduka. Justru tidak wajar bila kepedihan semacam ini tidak menimbulkan depresi.

Dalam konteks grief, depresi adalah mekanisme yang menjaga diri kita dengan cara menutup sistem saraf sedemikian rupa sehingga kita terlindungi dari perasaan yang belum sanggup kita tangani saat ini. Bila kita mendampingi seseorang yang sedang depresi, berhati-hatilah untuk tidak memintanya segera keluar dari situasi tersebut. Ibaratnya, saat itu badai besar sedang mengamuk di sekelilingnya. Dengan meminta dia segera menyelesaikan kedukaannya, kita bagai memintanya untuk masuk ke dalam perahu dan pergi di tengah badai!

Depresi memang bukan perasaan yang menyenangkan. Namun, cara terbaik menanganinya adalah dengan menyambutnya bagai tamu yang tidak kita inginkan, tetapi tak bisa kita tolak kehadirannya. Beri tempat baginya, biarkan rasa sedih dan kosong itu menyapu diri kita. Sebaliknya, menghambat kehadirannya hanya akan membuat kita terus- menerus diganggu oleh “gedorannya di depan pintu kita”. Depresi akan berlalu begitu kita membiarkan diri mengalaminya. Kemudian, seiring waktu kita menjadi lebih kuat, mulai kembali menjalani hidup. Namun, dari waktu ke waktu tamu tak diundang itu akan hadir kembali, membawa rasa kosong dan pedih yang mendalam ketika kita mengingat sosok terkasih yang telah tiada. Pengalaman melewati depresi sebelumnya akan memberi keyakinan bahwa kali ini kita akan bisa melaluinya. “Sudah setahun sejak anak saya meninggal… Saya sudah lebih baik… Saya mengira seluruh dukacita ini sudah berlalu. Namun, depresi itu datang kembali, seperti berteriak keras menghantam saya dan meninggalkan rasa kosong yang begitu dalam. Saya tahu saya harus menghadapinya lagi seperti dulu… Saya sudah belajar bahwa cara menghadapi badai hanyalah dengan melaluinya.”

Acceptance (Penerimaan)

Banyak yang mengira acceptance terjadi ketika kita bisa menerima kehilangan dan menganggapnya sebagai peristiwa yang biasa saja. Namun, acceptance bukanlah seperti itu. Tahap ini adalah tentang menerima kenyataan bahwa dia yang kita kasihi telah meninggalkan kita selamanya. Kita tak akan pernah menyukai realitas ini atau merasa baik-baik saja. Namun, pada akhirnya kita akan menerimanya dan belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa kehilangan ini. Kita mungkin akan berhenti marah kepada Tuhan, berhenti mencari jawaban, dan menerima bahwa memang sudah waktunya kekasih hati kita pergi. Sementara bagi kita, inilah waktunya untuk sembuh.

Dengan berjalannya waktu, ketika kita sedikit demi sedikit belajar hidup berdampingan dengan realitas, kita akan melihat bahwa ada hal-hal yang perlu diselaraskan karena hidup telah berubah selamanya. Kita perlu mengatur ulang peran kita, melepaskan tanggung jawab yang tak bisa kita pikul, dan melakukan penyesuaian lainnya. Acceptance adalah proses yang membutuhkan waktu. Griefing antara satu orang dengan yang lainnya berbeda karena sifatnya yang sangat personal.

Sedikit demi sedikit, energi yang kita curahkan pada kepedihan akan teralih pada hidup yang ada di hadapan kita. Kita mulai membangun perspektif baru, menemukan cara untuk mengenang dia yang telah pergi, dan menyelaraskan diri. Dalam proses ini, kita semakin mengenal diri. Anehnya, seiring dengan proses melewati dukacita ini, kita merasa makin dekat dengan kekasih yang telah pergi. Berbagai kenangan tentangnya mulai memberi kehangatan dan bukan lagi luka. Kita mulai belajar menyatukan lagi pecahan-pecahan hidup kita. Kita memulai relasi dan kisah baru, memberi perhatian kepada apa yang kita butuhkan. Kita bergerak, berubah, bertumbuh. Kita mulai hidup lagi…

Itu semua akan terjadi bila kita memberi waktu pada diri kita untuk berduka.

TIPS. Bagaimana mendukung seseorang yang sedang mengalami dukacita?

1. Pahami tahap-tahap yang umumnya terjadi pada seseorang yang sedang mengalami kedukaan.

2. Kedukaan bersifat personal. Oleh karena itu, penanganannya bisa berbeda antara satu individu dengan yang lain. Bersabarlah bersama mereka untuk melalui tahap demi tahap sesuai kondisi masing-masing.

3. Seorang yang berduka perlu diberi kesempatan untuk berproses dan mengalami kesedihannya. Umumnya kita ingin menolong agar dia kembali bahagia, tetap melihat sisi positif, dan fokus pada berbagai hal baik yang hadir di sekelilingnya. Namun, sikap seperti itu bila terlalu cepat dikomunikasikan hanya akan membuat yang berduka makin terluka karena merasa kesedihannya dianggap tidak penting.

4. Tawarkan bantuan. Kita bisa menemani, memberi informasi, memberi dukungan dana, memberi bantuan transportasi, membelikan kebutuhan sehari-hari, membelikan mainan untuk anak, dan lain-lain.

BERDUKA DAN BERIMAN

 “Jangan sedih, dia sudah bahagia di surga…” adalah kalimat penghiburan yang sering terucap. Apakah orang percaya tidak seharusnya bersedih ketika menghadapi kematian orang yang dikasihi? Bagaimanakah seorang beriman seharusnya menghadapi dukacita?

Berdasarkan penelitian empiris, psikolog menemukan bahwa seorang yang mengalami kehilangan akan lebih mampu mengatasi dukacitanya bila kepedihan hati diberi ruang dan dibiarkan berproses (baca artikel berjudul “Memahami Dukacita”). Kehilangan bukanlah peristiwa sehari-hari yang bisa dihadapi dengan hati ringan. Setelah mengalami kematian orang terkasih, hidup tidak akan pernah sama. Oleh karena itu, sangat wajar apabila kita berduka setelah kepergian orang terkasih.

Dalam Roma 12:15, Rasul Paulus menulis, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Paulus mengetahui bahwa dalam kondisi tertentu dukacita tidak bisa dihindari dan menangis adalah respons natural. Orang percaya diperbolehkan menangis. Orang percaya juga diminta untuk menopang mereka yang berduka, dengan cara menangis bersama.

Di sisi lain, Paulus mengingatkan bahwa dukacita orang beriman berbeda karena orang Kristen memiliki harapan. “Selanjutnya kami tidak mau saudara-saudara bahwa kamu tidak mengetahui mengenai mereka yang meninggal, supaya kamu tidak berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (1 Tesalonika 4:13). Dalam teks asli Alkitab, Paulus menggunakan kata yang bermakna “tertidur” untuk menggambarkan seseorang yang telah meninggal. Paulus ingin menekankan bahwa orang percaya hidup dalam penantian akan kedatangan Yesus yang kedua kali. Mereka yang meninggal tidak hilang begitu saja, melainkan akan dibangkitkan kembali saat Yesus datang, bagai orang yang sedang tertidur kemudian akan bangun kembali. Bila saat itu tiba, kita pun akan bergabung bersama mereka dan tinggal selamanya bersama Tuhan dalam kemuliaan-Nya.

Paulus tidak mengabaikan atau menyangkal kebutuhan akan ruang untuk emosi negatif. Paulus menekankan bahwa kematian bagi orang Kristen bersifat sementara. Tak seharusnya orang Kristen berduka tanpa batas. Dukacita orang Kristen adalah duka yang diwarnai oleh harapan. Ketika orang Kristen memahami bahwa kematian adalah kepulangan ke rumah Bapa, di tengah dukacita dia tetap bisa memancarkan harapan yang memberinya penghiburan sejati.

Yang sering kali menjadi persoalan adalah cara kita memandang kehidupan ini. Di manakah fokus kita? Bagi Paulus, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Namun, jika dia harus hidup di dunia ini, itu berarti bekerja memberi buah (Filipi 1:21). Paulus menjalani hidupnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan harus diisi dengan bekerja bagi Kristus. Dia menyadari bahwa hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik Kristus. Oleh karena itu, pulang ke rumah Bapa dan berada bersama-sama Dia dalam kekekalan adalah hal yang dirindukannya.

Dalam buku Grief Obeserved, C.S. Lewis melukiskan bahwa seseorang bisa dengan santai terlibat dalam permainan menyusun kartu bridge hingga setinggi mungkin… satu demi satu kartu disusun ke atas diselingi tawa dan canda di antara yang bermain bersama. Suasana akan berubah drastis ketika seseorang harus bermain dengan mempertaruhkan nyawanya atau nyawa orang yang dikasihinya. Setiap kesalahan kecil yang dibuat akan menyebabkan tumpukan kartu jatuh dan konsekuensi fatal terjadi.

Demikian juga kita sering kali tidak sungguh-sungguh serius menghadapi hidup. Lewis menuliskan bahwa seseorang memang kadang harus mengalami kejatuhan fatal agar bisa menemukan akal sehatnya. Jadi, bila saat ini kita menghadapi dukacita atau bergumul bersama mereka yang sedang berduka, mungkin ini momen yang dianugerahkan bagi kita untuk berhenti sejenak dan merenung… “Apa sebenarnya hakekat hidup ini?”

Dalam jurnal yang berjudul “Saint Paul’s Approach to Grief: Clarifying the Ambiguity”, R. Scott Sullender, seorang psikolog, penulis buku, sekaligus profesor di sebuah seminari, menuliskan bahwa dalam konteks berdukacita, tiap orang membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosinya. Namun, kenyataannya, banyak orang yang berusaha menekan kedukaannya dan mengalihkannya kepada hal lain. Dia tidak memberikan kesempatan kepada dirinya untuk griefing dan melewati lima fase berduka.

Sebuah studi yang dipublikasikan Cambridge University menemukan bahwa dukacita yang sehat akan mencapai puncaknya dalam 4-6 bulan, kemudian sedikit demi sedikit mereda, seiring dengan tahapan grief yang dilewati. Sullender menuliskan bahwa dalam mengekspresikan kepedihan, kita membutuhkan struktur, jeda, dan penghiburan. Itu bisa kita temukan dalam ritual ibadah serta pemahaman doktrin agama. Keimanan seseorang akan memberinya struktur dalam menghadapi dukacita. Sebagai contoh, iman akan menimbulkan kebutuhan untuk berelasi dengan Tuhan walau mungkin hanya dengan berdiam diri dan menangis dalam doa. Pemahaman doktrinal akan membuat seseorang mulai mampu berdialog dengan diri sendiri dan mengelola emosinya. Ritual ibadah juga akan memberi struktur yang serupa sehingga seseorang tertuntun dalam mengelola dukacitanya (lihat five stages of grief dalam “Memahami Dukacita”).

Kisah Ayub adalah contoh penggambaran keterpurukan seseorang akibat dukacita yang mendalam. Bahkan, Ayub berkata lebih baik dia tidak pernah dilahirkan ke dunia ini (Ayub 3:10-11). Dalam kepedihan hati dan kesakitan fisik, Ayub meneriakkan begitu banyak pertanyaan, bahkan menggugat Allah karena dia tidak paham alasan Tuhan menimpakan banyak musibah kepadanya. Dengan jujur, Ayub mengungkapkan emosinya dan Allah membiarkannya. Namun, dalam ayat-ayat yang begitu panjang yang berisi keluh kesah, tergambar dengan jelas bahwa tidak sedikit pun keimanan Ayub goyah. Iman yang sebelumnya membuat dia selalu hidup beribadah pada Tuhan tetap hidup dan membuatnya mengejar Tuhan untuk menemukan jawaban. Di akhir kisah Ayub kita tahu bahwa Allah tidak menjawab pertanyaan Ayub, tetapi memberi respons yang sesungguhnya dibutuhkan Ayub. Dia membuka pengertian Ayub dan memberi diri-Nya dikenal oleh Ayub hingga Ayub pun berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.”

Ayub bertumbuh melalui penderitaan karena iman. Bukan ketika kondisinya dipulihkan Tuhan, melainkan ketika dia bisa memandang Tuhan dengan pemahaman yang sejati. Iman menjadi mitigasi yang menghibur dan menguatkan dalam dukacita, dan memberi jeda yang melegakan saat kita mengalami naik turun badai emosi. Sungguh sebuah eureka rohani ketika akhirnya kita bisa klik dengan apa yang Tuhan ingin ajarkan melalui berbagai misteri kehidupan.

Dalam pelayanannya, Paulus beberapa kali menunjukkan pentingnya penghiburan di antara sesama orang percaya. Hal itu dilakukan dengan beberapa cara.

1. Paulus memberi dasar pengertian yang benar mengenai natur dukacita, yaitu bahwa dukacita orang Kristen adalah sementara dan ada harapan akan sukacita mendatang.
2. Paulus mendorong agar sesama orang percaya menghibur dengan kata-kata yang memberi pengharapan dalam pengetahuan tentang kebenaran.
3. Paulus menekankan pentingnya interaksi langsung antarsesama orang percaya dalam memberi penghiburan. Ketika sedang berbeban berat, Paulus sendiri merasakan bagaimana kunjungan Titus dan Timotius sangat menguatkan dirinya. Dia pun sebisa mungkin berupaya mengunjungi jemaatnya untuk menghibur dan menunjukkan kasihnya yang besar kepada mereka.

Sekiranya tauratMu tidak menjadi kegemaranku maka aku telah binasa dalam sengsaraku (Mazmur 119:92)

Siasat Cermat Dampingi Anak Belajar di Rumah

Tiga bulan sudah anak-anak belajar di rumah, berinteraksi dengan guru-guru mereka secara virtual, baik melalui video-video, video call, maupun Google Classroom. Orang tua menjadi pihak yang paling berperan dalam pembelajaran sekolah anak belakangan ini. Dengan bimbingan dan panduan orang tua, anak dapat melanjutkan proses belajar dengan berbagai materi yang tersedia di rumah.

Banyak yang mengakui bahwa menemani anak belajar di rumah menjadi tantangan tersendiri, khususnya anak usia TK dan SD yang membutuhkan pendampingan penuh. Apakah ada trik khusus dalam mendampingi anak belajar tanpa hambatan berarti?

Ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk menyiasati kondisi “panas” saat mendampingi anak belajar.

Pahami kondisi saat ini
Untuk dapat memahami sesuatu, Anda harus menerimanya secara sadar. Saat ini, kondisi memang sedang tidak ideal untuk siapa pun: untuk Anda yang harus mendampingi anak belajar di sela-sela kesibukan bekerja dan mengurus rumah tangga, untuk anak yang tak dapat bertatap muka dengan gurunya, juga untuk para guru yang harus menyiapkan materi belajar di rumah.

Anda tak perlu meminta anak untuk menjadi ideal. Maklumilah jika anak belum memahami materi walau Anda sudah mengulangnya, pahami jika anak meminta istirahat sebentar setelah mengerjakan beberapa soal.

Ketika Anda menyadari kondisi dan kemampuan anak, Anda akan menjalani hari-hari dengan lebih santai.

Ciptakan suasana nyaman
Suasana apa yang membuat anak merasa nyaman melakukan sesuatu? Tentu saja suasana santai, “cair”, dan penuh sukacita! Bagaimana Anda dapat berharap anak mampu mengikuti instruksi dan belajar sesuatu jika dia berada di dalam suasana yang tidak menyenangkan, menegangkan, dan terus-menerus diomeli? Justru situasi ini rentan membuat anak stres dan enggan belajar lagi di kemudian hari.

Ciptakan suasana nyaman agar anak “ketagihan” belajar bersama Anda dan menunggu-nunggu momen belajar tiap harinya.

Suasana positif
Banyak orang tua yang berfokus pada progres yang besar dan tak menganggap progres kecil. Seberapa pun kecilnya, progres tetaplah sebuah kemajuan. Jangan lupa untuk terus memuji anak ketika dia berhasil menyelesaikan satu atau dua soal atau berhasil menghafal rumus. Berikan semangat dan afirmasi positif agar semangatnya terjaga terus sampai sesi belajar berakhir.

Hindari memaksa anak untuk belajar terus-menerus. Ketika suasana sudah mulai terasa negatif, Anda dapat menghentikan sesi belajar sejenak dan menggantinya dengan melakukan hal-hal menyenangkan untuk mengembalikan mood Anda dan anak. Anda bisa mengajak anak untuk belajar kembali ketika suasana sudah kembali positif.

Sesuaikan dengan jadwal di rumah
Tidak apa-apa jika anak belajar tidak sesuai jadwal sekolah. Untuk anak yang lebih kecil, orang tua harus pintar menangkap momen. Ajak anak beraktivitas saat mood-nya sedang baik dan dia sedang bersemangat untuk melakukan aktivitas sekolah. Jadi, tidak masalah jika anak memang belum mau diajak “sekolah” pada pagi hari. Anda dapat mencobanya saat siang atau sore hari.

Hindari mengajak anak belajar saat sedang lapar, mengantuk, atau saat suasana hatinya sedang tidak baik. Ini justru akan semakin membuat anak rewel, marah, dan Anda pun akan ikut-ikutan frustrasi.

Sementara itu, untuk anak yang lebih besar, tidak ada salahnya Anda memberikan keleluasaan untuk anak memilih waktu belajarnya sendiri. Tentu saja Anda tetap harus memberikan batasan waktu kepada anak agar tidak belajar hingga larut malam. Tugas Anda adalah mengawasi aktivitas belajar anak dan mengajarinya bijak dalam mengatur waktu.

Penuhi “tangki emosi” Anda
Sebagai pendamping anak, Anda pun harus memastikan suasana hati sedang baik saat menemani anak belajar. Jika mood Anda sedang tidak baik, emosi Anda akan lebih mudah terpancing. Jika sudah begini, suasana belajar pun akan tidak menyenangkan. Output yang diharapkan pun tak tercapai.

Persiapkan diri sebelum menemani anak belajar. Pilih waktu-waktu tenang agar kedua belah pihak menjalani sesi ini dengan suasana hati dan semangat yang sama.

Tetap terapkan disiplin
Walau anak belajar di rumah, bukan berarti dia bisa melakukan banyak hal sekehendaknya. Anda tetap harus memberikan batasan-batasan. Misalnya, anak tetap harus bangun pagi—untuk membiasakannya ketika nanti kembali masuk sekolah, sarapan sesuai jamnya, dan lain sebagainya. Anda bisa memberikan jadwal, misalnya memberikan rentang waktu untuk anak belajar (yang dapat dia pilih sendiri), misalnya, pukul 10–12, 14–16, 20–22, atau waktu-waktu lain untuk anak yang usianya lebih kecil.

Momen mendampingi anak belajar di rumah menjadi momen langka yang belum tentu terulang lagi ke depannya. Jadi, berikan kenangan baik untuk anak mengingat bahwa ada masanya orang tua mereka menjadi guru yang asyik selama mereka belajar di rumah. [DLN]


#WFH Tanpa Stres

Pandemi yang sedang melanda dunia saat ini membuat miliaran orang di hampir seluruh dunia terpaksa berdiam di rumah. Mereka “memboyong” pekerjaan ke rumah dan harus berjibaku membagi waktu antara bekerja, mengurus rumah, dan mengasuh anak. Kondisi ini mungkin tak pernah menjadi bayangan banyak orang sebelumnya karena selama bertahun-tahun, batasan yang jelas antara pekerjaan dan rumah selalu ada. Ketika batasan tersebut sekarang “hancur”, dampak apa yang muncul?

Berkumpulnya keluarga di rumah pada waktu yang bersamaan menjadi momen langka, yang dulu hanya bisa terjadi saat akhir pekan atau tanggal merah, momen ini keluarga bisa memiliki

lebih banyak waktu berkualitas bersama. Namun,
berkumpulnya keluarga ini, jika dibarengi dengan pekerjaan kantor, dapat memunculkan banyak masalah. Khususnya, bagi orang tua yang memiliki
anak kecil. Saat orang tua sedang fokus bekerja, anak sudah meminta ditemani bermain. Ketika orang tua sedang conference meeting, anak meminta bimbingan mengerjakan pelajaran sekolah.

Bekerja dari rumah memang membutuhkan strategi yang jitu. Ada beberapa hal yang bisa Anda lakukan agar pekerjaan dapat selesai tepat waktu dan Anda tetap mempunyai waktu berkualitas bersama keluarga.

Buat jadwal
Saatnya membuat jadwal! Mungkin selama ini Anda hanya membuat jadwal untuk anak Anda. Jadwal bangun tidur, sarapan, mandi, bermain, belajar, dan lain sebagainya. Sekarang, saatnya membuat jadwal untuk semua anggota keluarga! Dengan adanya jadwal ini, hari-hari Anda akan lebih teratur dan Anda bisa membagi waktu untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan. Ingat, usahakan untuk disiplin mematuhi jadwal agar hari Anda tidak kacau!

Tentukan skala prioritas
Pekerjaan mana yang harus segera dikerjakan dan mana yang masih bisa ditunda untuk dikerjakan besok? Biasakan untuk membuat rencana kerja harian agar Anda bisa menentukan skala prioritas. Kerjakanlah pekerjaan yang memang harus diselesaikan sesegera mungkin dan tunda yang bisa dikerjakan lain waktu. Hal ini dapat menghindarkan Anda dari burnt out karena berusaha menyelesaikan semua pekerjaan, sedangkan waktu yang ada terbatas.

Bagi tugas
Jika Anda dan pasangan sama-sama harus bekerja di rumah, buatlah kesepakatan. Aturlah jadwal dengan pasangan mengenai waktu bekerja masing-masing. Jika Anda dan pasangan memiliki anak kecil di rumah dan tidak ada orang lain yang bisa menjaganya, tentu harus ada “pergantian shift jaga”. Sepakati bahwa Anda membutuhkan waktu di pagi hari sekian jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Begitu juga ketika pasangan meminta waktu untuk bekerja, akomodasi kebutuhan tersebut dan berikan waktu Anda sepenuhnya untuk menjaga anak dan mengurus rumah.

Pintar mengatur waktu
Anda bisa sukses melakukan pekerjaan di rumah jika Anda mengetahui golden times pribadi Anda. Ada orang yang lebih nyaman bekerja di pagi hari setelah bangun tidur. Namun, ada juga yang lebih suka bekerja di malam hari saat semua orang sudah tidur. Kenali gaya bekerja dan temukan golden times Anda sendiri.

Misalnya, jika Anda merasa lebih nyaman bekerja di pagi hari, berarti Anda harus bangun lebih pagi dari semua orang di rumah, mulai bekerja sampai waktu yang Anda tentukan sendiri, kemudian melanjutkan aktivitas lainnya.

Sediakan waktu istirahat
Salah satu permasalahan orang-orang yang bekerja di rumah, adalah overwork. Tak adanya batasan jam pulang membuat orang meneruskan pekerjaannya hingga malam hari. Padahal, hari-hari Anda tak melulu tentang bekerja. Jangan lupa menyediakan waktu untuk me time, alone with God, atau istirahat. Berikan tubuh reward dengan mengajaknya istirahat, menonton film favorit, membaca buku yang belum sempat dituntaskan, atau sekadar melakukan hobi. Jangan lupa bahwa hati yang bahagia akan menghasilkan tubuh yang sehat.

Sempatkan diri untuk bersaat teduh, berkomunikasi intim dengan Tuhan. Serahkan hari Anda kepada Tuhan dan mintalah penyertaan-Nya agar Anda bisa melewati hari demi hari.

Selamat bekerja dari rumah dengan bijak! [DLN]

Mengajarkan Anak Mengucapkan Kalimat Bijak

Oleh: Florensia Nasution, Orang tua siswa

Salah satu lagu anak TK A tentang ketaatan terus terngiang di telinga saya. Bahkan, saya sering menyanyikannya jika sedang berusaha membujuk anak saya melakukan sesuatu yang dia tidak suka.

Ketika sedang mendidik anak untuk taat, saya membaca buku Say Goodbye to Whining, Complaining, Bad Attitudes in You and Your Kids versi bahasa Inggris. Wah, ternyata, sebagai orang tua, saya harus terlebih dahulu mengubah diri sebelum menuntut anak. Memang benar yang dikatakan Bu Charlotte saat seminar parenting SD semester lalu, “Menghargai anak bukan dari apa yang dia capai, tapi dari karakter, value, dan sikap anak sehari-hari.” Mari kita kupas buku ini bersama-sama.

Ketaatan adalah melakukan langsung apa yang diminta seseorang, tanpa harus diingatkan.” Tuhan tahu jelas apa yang Dia kehendaki dalam memberikan dua perintah dalam Efesus 6:1-4: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. Ketika anak membangun ketaatan, mereka berusaha melakukan sesuatu tanpa diingatkan. Mereka belajar untuk memilih apa saja yang mereka perlu kerjakan, mengikuti aturan, dan menyelesaikan pekerjaan tanpa diawasi. Mereka akan belajar bertanggung jawab, kerelaan untuk melayani, dan setia dalam melakukan hal baik.

Menghormati ternyata termasuk keterampilan tersembunyi dalam ketaatan. Ternyata, ketika anak bisa mempunyai perilaku baik, melakukan sesuatu lebih dari yang diharapkan, kepekaan melihat apa saja yang dibutuhkan, melakukan sesuatu tanpa instruksi, mendukung seseorang dan memberikan kontribusi, mereka telah berhasil menumbuhkan rasa hormat kepada orang lain. Alangkah bangga bisa mempunyai anak yang mempunyai sifat-sifat tersebut.

Jika anak-anakmu hendak terbang lurus, ajar mereka tentang ketaatan. Jika anak-anakmu hendak terbang tinggi, ajar mereka untuk menghormati. Ketaatan dan rasa hormat memegang peranan penting. Tantangan biasanya terjadi ketika anak tidak mau taat dalam melakukan rutinitas sehari-hari. Biasanya, mereka akan merengek dan mengeluh. Buku ini mengajarkan cara komunikasi untuk meminta izin, membuat permintaan, dan mendapatkan izin dengan terhormat. Orang tua bisa melatih anak berkomunikasi sejak usia batita untuk menggunakan kalimat bijak berikut untuk bernegosiasi.

Saya mengerti papa/mama mau saya melakukan ini … untuk …

Saya punya masalah dengan perintah ini karena …

Bisakah saya … ?

Biarkan anak mengisi titik-titik tersebut. Anak berusia muda biasanya tidak tahu alasan di balik instruksi dari orang tuanya. Mereka pun tak punya pilihan selain tunduk dan mengikutinya. Nah, cara di atas merupakan bagian dari kunci bijak untuk mendorong anak bertanya jika mereka tidak mengerti tentang hal yang harus mereka lakukan.

Buku ini memberikan banyak contoh kasus nyata. Misalnya, ketika Ibu Joanne mengajari anaknya, Timothy, usia 4 tahun, tentang kalimat bijak ini. Timothy sedang bermain di halaman belakang rumah dan Ibu Joanne memanggilnya masuk ke rumah. Timothy menghampiri ibunya dan berkata, “Aku mengerti Ibu memintaku masuk ke dalam rumah, tapi aku masih mau bermain di luar. Bisakah aku bermain sebentar lagi?” Timothy mengerti ide dari kalimat bijak ini. Dia menyampaikan masalahnya daripada mengeluh atau berteriak.

Kalimat bijak ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi bisa menjadi cara berkomunikasi yang efektif untuk mereka di masa depan. Anak jadi tidak merasa komunikasi dengan orang tua merupakan sebuah tantangan. Cara ini juga membantu mereka untuk lebih menghormati orang tua. Ada kalanya anak bertanya sebelum mereka menaati sesuatu, saatnya orang tua memberi batasan, “Taat terlebih dahulu, nanti kita bicarakan mengapa harus melakukan ini semua.”

Hal menarik dari kehidupan keluarga adalah orang tua harus berubah dahulu sebelum membantu anak untuk berubah. Jika kita sebagai orang tua ingin membantu anak berhenti merengek/mengeluh, sebagai orang tua juga kita perlu menyesuaikan diri dan merespons dengan tepat ketika anak merengek/mengeluh.

Investasi terbesar yang bisa disiapkan orang tua bukan hanya melalui uang, tetapi rasa hormat. Pastinya dibutuhkan ketekunan, kegigihan, dan kreativitas agar anak bisa belajar tentang hal ini.

Anak Saya Ternyata Mengidap Nomofobia…

“Bu… anak saya kalau sampai rumah, langsung masuk kamar, dan sibuk sama ponselnya. Dia sampai sering telat makan dan tidur karena hal itu. Bahkan, dia pernah seharian nggak mau bicara karena ponselnya rusak, kecemplung di toilet. Apa yang harus saya lakukan, ya?”

Perilaku seperti di atas tidak dialami oleh satu-dua anak. Semakin banyak anak yang menunjukkan kecenderungan terlalu lekat dengan ponsel mereka. Waktu mereka pun dihabiskan untuk berkelana di dunia maya. Ketika mereka berada di kondisi tak bisa mengakses ponsel, mereka menjadi marah, cemas, dan bingung. Gambarannya seperti orang yang sedang sakau.

Kondisi tersebut dikenal dengan “nomofobia”, yang menurut The National Center for Biotechnology Information AS, yaitu sebuah istilah yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan kondisi psikologis seseorang yang punya ketakutan atau kecemasan ketika “terputus” dari ponselnya. Kondisi ini berkaitan erat dengan kecanduan gadget, yang sudah dikategorikan sebagai adiksi klinis. Perbedaanya, hingga saat ini, nomofobia belum dimasukkan ke dalam DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) edisi ke-5.

Nomofobia disebabkan oleh kecemasan yang sudah ada sebelumnya pada diri anak. Biasanya, berkaitan erat dengan image diri, self security, dan relasi dengan keluarga. Berikut beberapa hal yang bisa menyebabkan seorang anak mengalami nomofobia.

  • Tidak percaya diri. Anak-anak yang punya citra diri yang rendah tak mampu menghadapi dunia nyatanya sehingga dia mencari kenyamanan di dunia maya (misalnya, mencari teman baru di dunia maya). Hal ini biasanya dialami anak-anak yang memiliki kemampuan sosial yang rendah, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak introvert. Anak-anak ini nyaman dengan dunia barunya sehingga akan begitu terganggu jika terputus dari dunia tersebut.
  • Kecemasan sosial. Dikenal juga dengan istilah “FOMO” (Fear of Missing Out). Anak-anak ini merasa cemas ketika mereka ketinggalan update terbaru di media sosial. Mereka ingin menjadi orang pertama yang mengetahui update terkini. Ketidakmampuan mengakses berita terbaru bisa membuat orang merasa cemas, takut dianggap tidak up to date.
  • Kekosongan. Ketika anak merasa kesepian, dia menemukan ponsel sebagai penghibur hati. Hal ini mengingatkan kita pada teori kelekatan, di mana seorang anak akan bergantung pada sosok/benda yang membuatnya nyaman. Ketika hanya ponsel yang membuatnya nyaman, tentu dia akan terganggu ketika ia tidak bisa mengakses ponselnya.

Di Sekolah Athalia sendiri, menurut survei kecil-kecilan yang dilakukan oleh para konselor dan guru agama oleh siswa SMP dan SMA pada 2019 lalu, beberapa anak secara sadar mengetahui bahwa mereka mengalami nomofobia. Anda bisa melihatnya pada gambar berikut.

Hasil di atas, kita sadar bahwa ada lebih dari 35 persen siswa SMA dan 28 persen siswa SMP mengaku mereka mengalami kecemasan jika jauh dari ponselnya. Jumlah yang memang tidak besar, tetapi tetap harus kita tangani sesegera mungkin.

Orang tua harus membantu!

Sebagai orang tua, apa yang bisa kita lakukan? Anak dengan nomofobia biasanya memang mengalami ketergantungan pada ponselnya (adiksi). Nah, memarahi anak dan mempersalahkan adiksinya justru akan semakin menciptakan jurang besar. Anda bisa membantu anak menghilangkan ketergantungannya pada gadget dengan cara-cara berikut:

  • Mengalihkan perhatian. Mengajak anak untuk keluar makan bersama atau beraktivitas bersama untuk membuatnya lupa sejenak dengan ponselnya, misalnya rekreasi ke taman hiburan.
  • Menyodorkan hobi baru. Perhatikan minat dan bakat anak, kemudian dukung dia untuk mendalaminya. Buatlah dia sibuk dengan hal-hal yang disukainya.
  • Lakukan interaksi intens. Anak-anak yang kecanduan gadget mungkin saja merasa kesepian di rumah. Saatnya menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengobrol dengan anak.
  • Terapi. Jika anak sudah dalam tahap kecanduan gadget sampai mengganggu rutinitas hariannya, Anda bisa mengajaknya untuk konsultasi ke psikolog agar nomofobia-nya bisa ditangani dengan tepat. Dukung anak dalam menjalani terapinya dengan memberikan contoh terlebih dahulu mengenai cara bijak menggunakan gadget.

Kiranya kita diberi hikmat dalam mendampingi anak-anak. [DLN]


“Kasih atau Kasihan?”

Tema di atas menjadi pilihan kami ketika kami melihat fenomena adanya penurunan daya juang pada anak-anak zaman now. Kenyamanan hidup yang mereka rasanya membuat mereka tak lagi merasakan keterdesakan untuk “bertahan” dalam situasi sulit. Mereka cenderung pasif, pasrah, dan mudah putus asa.

Sebagai orang tua, kita kerap berpikir bahwa kita harus memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Ketika kita pernah mengalami kesulitan hidup di masa lalu, kita merasa bahwa itu adalah hal yang menyedihkan dan tidak ingin anak kita mengalami apa yang pernah kita alami. Berbagai cara kita lakukan untuk membahagiakan anak. Segala fasilitas kita sediakan. Anak kita pun tumbuh dengan segala kenyamanan, di tengah sangkar emas yang sudah kita bangun dengan bilur-bilur keringat kita.

Apakah hal ini salah? Tentu setiap orang tua ingin anaknya merasakan kenyamanan. Namun, jangan lupakan bahwa anak kita, saat mereka terjun ke dunia yang sebenarnya, pasti akan mengalami sandungan-sandungan, akan mengalami kekecewaan, akan mengalami kejatuhan. Saat anak dewasa nanti dan mengalami kondisi-kondisi ini, mungkin kita sudah tak lagi bisa mendampinginya setiap saat.

Mengasihi anak yang sebenarnya berarti memberikan segala yang mereka butuhkan untuk menghadapi hidup ke depan. Mengasihi anak berarti membentuk mereka untuk menjadi individu-individu tangguh yang sanggup berdiri tegak di tengah berbagai ujian hidup. Dan daya juang itu merupakan skill yang harus dimiliki oleh anak-anak kita dalam menjalani masa depannya.

Lalu, bagaimana cara untuk membuat anak-anak kita memiliki daya juang dan mampu berdiri di atas kakinya kelak? Kita perlu berani melakukan beberapa hal yang mungkin akan sangat bertentangan dengan hati kita, tetapi dampaknya akan sangat bermanfaat bagi anak.

  • Berani menanggung risiko. Untuk membuat anak-anak kita mandiri, kita perlu melepaskan mereka sedikit demi sedikit dan berani menanggung risiko jika dalam proses pembelajaran tersebut, anak akan mengalami sandungan dan rintangan. Misalnya, membiarkan anak berlatih sepeda roda dua. Saat belajar, risiko jatuh pasti sangat besar. Sebagai orang tua, kita perlu menyadari bahwa hal tersebut merupakan hal yang wajar terjadi pada anak yang sedang belajar. Jadi, biarkan anak terjatuh satu, dua, hingga sepuluh kali. Berikan dukungan bahwa ketika dia sudah lancar mengendarai sepeda, dia tidak akan lagi merasakan sakit akibat tergores aspal, dan lain sebagainya.
  • Berani direpotkan. Untuk mengajari anak, tentunya kita akan kerepotan. Misalnya, mengajari seorang bayi untuk makan sendiri. Kita tentu akan kerepotan setelahnya membersihkan remahan makanan yang mungkin tak hanya menempel di tubuh si anak, tetapi juga di lantai, kursi, meja, dan alat makan lain. Namun, ketika kita sudah berkomitmen untuk membiasakan anak makan sendiri sejak dini—yang juga sangat bermanfaat untuk perkembangan motoriknya, kita harus rela untuk lebih repot dan susah demi perkembangan si anak.
  • Berani malu. Untuk mengajarkan anak bangkit dan memiliki daya juang lebih besar, terkadang orang tua harus membiarkan anak mengalami kegagalan. Bagaimana jika si anak terancam tidak naik kelas? Apakah kita harus membiarkannya? Sebagai orang tua, tentu kita harus terus mendukung anak untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Namun, ketika memang hasil akhirnya tak juga bisa membuatnya naik kelas, orang tua harus lapang dada menerima hal tersebut. Ingatlah, di sini yang sedang belajar adalah anak sehingga kita perlu menekan ego serendah-rendahnya dan membiarkan anak mengalami kegagalan dan menanggung konsekuensinya.

Jadi, mana yang baik: mengasihani atau mengasihi? Pity atau compassion? Ada banyak peristiwa sehari-hari yang bisa kita jadikan bahan pembelajaran bagi anak tentang konsekuensi. Dari kejadian-kejadian tersebut anak juga bisa belajar tentang problem solving. Ketika seorang anak menguasai keterampilan memecahkan masalah, dia akan menjadi anak yang lebih mandiri, mampu menjadi solusi dari hambatan yang dihadapinya, dan mampu mengintrospeksi diri untuk tidak mengulangi kesalahannya. (dln)

*tulisan ini disarikan dari materi Seminar Parenting SD Kelas 4-6 Sekolah Athalia dengan tema “Kasih atau Kasihan?”

Gratis Download Materi Pembelajaran


Syarat dan Ketentuan Penggunaan:

  • Materi pembelajaran ini dapat di-download secara gratis untuk kepentingan pembelajaran.
  • Kutipan atas materi ini diperkenankan dengan menyebutkan sumbernya.

  • Pembelajaran Materi Gerak GLB dan GLBB dengan Metode Penalaran, oleh Bapak Beryl Sadewa, S.Si. (Power Point)


    BSE Fisika Kelas X, oleh Setya N. (Zip)


    BSE Fisika Kelas XI, oleh Setya N. (PDF)


    Sistem Ekskresi, Ginjal dan strukturnya, oleh Bapak Beryl Sadewa, S.Si. (Power Point)


    Sistem Ekskresi, Kulit dan strukturnya, oleh Bapak Beryl Sadewa, S.Si. (Power Point)


    Organ Reproduksi, oleh Bapak Beryl Sadewa, S.Si. (Power Point)


    Sistem Koordinasi, oleh Bapak Beryl Sadewa, S.Si. (Power Point)


    Alat Indera, oleh Bapak Beryl Sadewa, S.Si. (Power Point)


    Form data percobaan waktu respon. (Excel)


    Pendidikan Kewarganegaraan, Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Peristiwa Sekitar Proklamasi dan Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Diastropisme, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Kebudayaan Megalithikum, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Keragaman Bentuk Muka Bumi, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Manusia Purba, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Nenek Moyang Bangsa Indonesia, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Pembabakan Zaman Menurut Ilmu Arkeologi, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Tenaga Eksogen, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Manusia sebagai Makhluk Sosial dan Ekonomi yang Bermoral, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Alat Pemuas Kebutuhan, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Kebutuhan Manusia, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Konstitusi yg berlaku di Indonesia, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Kolonialisme & Imperalisme Eropa, oleh Ibu Wahyu Siswantriyani. (Power Point)


    Materi Diskusi, oleh Ibu Juwita Rouly, S.Pd.. (Power Point)


    Poster, Slogan, dan Iklan, oleh Ibu Juwita Rouly, S.Pd.. (Power Point)


    Membawakan Acara oleh Ibu Juwita Rouly, S.Pd. (Power Point)