“Wak..wakk… hup..hup!!”
Bukan, itu bukanlah suara-suara bebek atau kawan-kawannya. Suara-suara itu adalah milik Brad Cohen. Sejak kecil Brad telah didiagnosis menderita Tourette Syndrome. Tourette Syndrome atau sindrom Tourett adalah gangguan saraf pada otak yang mengakibatkan terjadinya tik vokal dan otot yang tidak terkontrol. Hal ini tergantung pada tingkat stress dan kondisi di lingkungan sekitar. Tanpa sengaja, seperti bersin yang tak tertahan, kapan saja Brad dapat melontarkan kata-kata/ celotehan seperti “wak..wak.. “ atau sekedar “Hup” sambil menyentak-nyentakkan kepala atau wajahnya seperti sedang kejang.
Hal ini membuatnya sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain karena orang-orang merasa terganggu dengan kelakuannya itu. Ketika ia duduk di sekolah dasar, orang-orang belum mengerti gangguan yang dimiliki Brad. Mereka mengira itu memang kelakuan nakal Brad. Hampir setiap hari ia dihukum atau diperintahkan untuk menghadap kepala sekolah karena kelakuannya yang dianggap mengganggu kelas. Brad tidak mengerti, ia sendiri tidak memiliki niat untuk mengganggu kelas, namun semua itu tak dapat ia kendalikan.
Untungnya Brad memiliki seorang ibu yang sangat perhatian dan sayang padanya. Ibu Brad percaya pada penjelasan Brad dan akhirnya membawa Brad menemui dokter dan bahkan psikiater. Tetapi ternyata mereka pun tak dapat menemukan gangguan yang dimiliki Brad. Ibu Brad tak putus asa, ia pergi ke perpustakaan dan membaca buku-buku kesehatan hingga akhirnya setelah lama mencari ia pun menemukan Tourette Syndrome. Meski belum ada obat yang dapat mengobatinya, Brad tidak sedih dan menyerah.
Suatu hari di sekolah, gangguan Brad terjadi lagi dan guru Brad yang kesal menghukumnya untuk menghadap kepala sekolah. Brad pun terpaksa menemui kepala sekolah baru yang kemudian meminta Brad untuk hadir mengikuti konser sekolah. Brad kaget, ia tahu benar kalau ia pasti akan mengganggu konser itu, namun kepala sekolah bersikeras agar Brad hadir. Benar saja, saat konser berlangsung seisi aula terganggu dengan tik Brad. Di akhir konser, kepala sekolah memanggil Brad ke depan dan dengan lembut bertanya pada Brad mengenai gangguan yang dimilikinya. Brad pun menjelaskan gangguan yang dimilikinya dengan jelas hingga kemudian kepala sekolah bertanya mengenai satu hal,
“Lalu apa yang dapat kami lakukan untukmu Brad?” tanyanya.
“Aku hanya minta agar diperlakukan seperti anak-anak normal lainnya..” jawab Brad.
Hal ini membuat seisi sekolah bertepuk tangan untuk Brad, untuk ketabahan dan semangatnya. Brad tak pernah melupakan kejadian itu, suatu hal kecil yang dilakukan kepala sekolahnya menjadi begitu berarti bagi kehidupan Brad. Pengalamannya selama di sekolah inilah yang membuat Brad akhirnya bertekad untuk menjadi seorang guru.
Perjalanan Brad tidak mudah, meski ia mendapat nilai tinggi saat sekolah dan kuliah, ia ditolak oleh 24 sekolah ketika melamar menjadi guru karena kekurangannya. Sekolah-sekolah itu merasa anak-anak justru akan terganggu saat belajar karena suara-suara yang ditimbulkan Brad.
Brad sudah hampir putus asa, tetapi keluarga dan teman Brad terus memberinya semangat. Mereka mengingatkannya kembali pada impiannya menjadi guru dan ia pun mencoba lagi. Akhirnya usaha Brad tidak sia-sia. Salah satu sekolah menjawab lamaran Brad dan memberinya kesempatan untuk wawancara. Melalui wawancara tersebut, kepala sekolah melihat semangat, dedikasi, dan filosofi Brad yang benar dalam mendidik anak-anak. Akhirnya Brad diterima untuk mengajar. Brad begitu gembira. Ia bertekad untuk menjadi guru yang baik bagi siswa-siswanya. Meski di awal ia mengalami banyak kesulitan, ia tetap berusaha mengajar tiap siswanya dengan sukacita.
Siswa-siswa Brad sangat tertarik pada setiap pelajaran yang diajarkan karena metode-metode pembelajaran Brad yang menyenangkan. Brad terbuka pada anak-anak mengenai sindrom Tourett yang dimilikinya dan berusaha menjangkau serta membesarkan hati anak-anak yang kesulitan dalam belajar. Usaha dan kerja keras Brad itu tak sia-sia. Setelah beberapa lama mengajar, ia mendapat penghargaan sebagai Teacher of the Year untuk negara bagian Georgia.
“Aku ingin menjadi guru hebat yang tak pernah kumiliki selama ini. Aku ingin menjadi sosok panutan yang baik dan penuh perhatian bagi anak-anak dan dapat mendatangkan perubahan positif dalam hidup mereka.”
Brad tak hanya menjadi inspirasi bagi murid-muridnya, ia juga menjadi inspirasi bagi para guru dan orang-orang penyandang disabilitas lainnya. Ia membuktikan keterbatasan yang dimilikinya tak akan dapat membatasi impiannya.
Apabila bapak/ibu tertarik untuk mengetahui lebih lanjut cerita Brad dan metode pembelajaran yang Brad gunakan, bapak/ibu dapat membeli dan membaca bukunya yang juga berjudul Front of the Class di toko buku terdekat. (LDS/karakter kerohanian)