Rendah Hati

rendah hati

Kerendahan hati adalah sebuah karakter (sifat) sekaligus sebuah sikap (perilaku). Ia disebut sifat karena ia berada di wilayah pikiran dan hati yang berperan besar dalam menghasilkan perilaku manusia. Ia disebut perilaku karena ia harus terwujud dalam perilaku-perilaku tertentu yang oleh khalayak umum diakui sebagai tanda-tanda kerendahan hati. Kerendahan hati sejati muncul apabila keduanya menyatu dan saling melengkapi seperti dua sisi pada satu koin. Kita tidak dapat mengatakan seseorang itu rendah hati apabila kita tidak melihat perilaku-perilaku rendah hati dalam hidupnya. Sebaliknya, kita juga tidak serta merta dapat menyimpulkan bahwa seseorang itu rendah hati melalui perilaku-perilakunya karena ada kemungkinan sikapnya adalah rekayasa dan bukan merupakan dorongan hatinya.

Di tengah jaman yang penuh kompetisi seperti sekarang ini, adalah sangat sulit untuk menemukan orang yang rendah hati bahkan mungkin telah ada keraguan (kalau bukan keyakinan) bahwa kerendahan hati sudah tidak relevan lagi karena dianggap sebagai penghalang keberhasilan sehingga “rendah hati” ditinggalkan oleh banyak orang. Keinginan semua orang untuk menjadi “seseorang” dan penolakan semua orang menjadi “bukan siapa-siapa” diduga menjadi penyebabnya. Ada desakan yang sangat kuat dalam diri setiap orang untuk menjadi penting dan berarti serta mendapat pengakuan dari lingkungan dan masyarakat dan akibatnya terjadi persaingan yang sangat ketat untuk menjadi penting dan berarti. Persaingan ini mendorong orang berlomba-lomba untuk menjadi yang utama. Semua orang ingin menjadi nomor satu.

Pandangan Kristen tentang kerendahan hati sangat jelas. Hal yang menjadi dasar sikap rendah hati dalam pandangan Kristen adalah diri Kristus sendiri mulai dari kerendahan dalam kelahiran-Nya di kandang domba, kerendahan dalam sikap sehari-hari di masa hidup-Nya dan akhirnya kerendahan dalam pengorbanan-Nya di kayu salib. Kerendahan hati Kristiani juga bersifat paradoks sebagaimana Kristus katakan: “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Matius 23:11-12). Yakobus menegaskan ini dalam Yakobus 4:10: “Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu”.
Rendah hati adalah tentang mengutamakan orang lain dan menempatkan diri sendiri di posisi yang lebih rendah daripada orang lain. Rendah hati adalah tentang menjadi pelayan orang lain dan “mengosongkan” diri sendiri dan menjadi “bukan siapa-siapa”. Menjadi rendah hati adalah perjuangan seumur hidup. Namun kita tidak perlu kuatir karena kita mempunyai Tuhan yang rendah hati dan berjanji menolong kita menjadi rendah hati seperti Dia.

Ciri pribadi yang rendah hati adalah dengan senantiasa bertanggung jawab serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf dengan tulus jika melakukan kesalahan, baik yang disengaja atau tidak disengaja sekalipun, atau pada saat menyinggung perasaan orang lain. Pribadi rendah hati yaitu manusia yang sangat peduli dengan perasaan orang lain. Empat tanda bahwa seseorang adalah pribadi yang rendah hati yaitu:
Tidak merasa perlu menyombongkan diri.
Bisa menunjukkan empati.
Senang membuat orang lain bahagia.
Melihat semua orang sama.

Menurut Alkitab, ada beberapa upah yang akan kita peroleh jika kita rendah hati, yaitu: makan dan kenyang, jalannya dibimbing Tuhan, bersuka cita, mewarisi negeri, kesejahteraannya berlimpah-limpah, dimahkotai dengan keselamatan, dikasihani Tuhan, memiliki hikmat, menerima pujian, semangatnya dihidupkan oleh Tuhan, terlindung pada hari kemurkaan Tuhan, dibiarkan hidup, dihibur Tuhan, kehormatan dan kehidupan.

Tokoh Alkitab yaitu Daud memiliki hati yang luar biasa. Dia dikenal sebagai orang yang berkenan di hadapan Allah. Berbagai masalah dilalui Daud dengan penuh penderitaan tetapi juga selalu penuh kemenangan. Kuncinya ada di kerendahan hati yang Daud miliki. Kerendahan hati membuat Tuhan berkenan kepada kita. Dia melihat orang-orang yang rendah hati dan mencurahkan berkat-Nya bagi mereka.

Bagaimana menjadi rendah hati? Kita semua sedang belajar untuk itu. Perenungan yang terus-menerus akan anugerah keselamatan yang sudah Bapa berikan melalui Yesus Kristus kepada kita seharusnya bisa menjadi dasar yang kuat sekali untuk kita menjadi rendah hati. Kita “bukan siapa-siapa” tetapi kita diselamatkan-Nya. Kesadaran ini seharusnya membuat kita tak henti-hentinya bersyukur. Selama kita meyakini bahwa menjadi yang utama di antara orang lain adalah tujuan hidup, selama itu juga kita akan gagal menjadi rendah hati. Marilah kita bersama-sama terus belajar rendah hati sehingga melalui hal tersebut kita boleh menyenangkan hati Allah dan nama Tuhan dipermuliakan.

(Oleh: Endang Ninanta, guru SD)

Tertib

Dalam bahasa Indonesia, kata ‘tertib“ bisa berarti teratur; aturan; rapi; peraturan yang baik. Sedangkan kata “tertib” dalam bahasa Yunani adalah taksis, bisa berarti urutan tetap, pengalihan kekuasaan yang berurut (untuk imam), ketertiban, keteraturan (seperti dalam I Korintus 14:40, segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur), sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.

Dari surat Paulus kepada jemaat di Korintus kita mendapat pemahaman bahwa Allah yang kita kenal adalah Allah yang menghendaki ketertiban. Karena itu kepada jemaat Tesalonika yang tidak tertib ia menasehati  “Saudara-saudara, tegurlah mereka yang hidup dengan tidak tertib” (I Tesalonika 5:14). Kata ‘tidak tertib’ dalam bahasa Yunani adalah ataktos. Kata ini dalam bahasa Indonesia artinya adalah malas, mengacu pada orang yang tidak mau bekerja dan suka mencampuri urusan orang lain (periergazomai, mengerjakan yang sia-sia/hal-hal yang tidak berguna; mereka sibuk tetapi tidak melakukan apa-apa; mereka sibuk dengan hal-hal yang bukan urusannya sendiri), tidak disiplin, tidak mengikuti peraturan, pemberontak (II Tesalonika 3:11). Mereka aktif bahkan hiperaktif tetapi tidak produktif.

Dengan demikian, ketika kita hidup secara tidak teratur, maka sebenarnya kita sedang menjalani hidup yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Sebagaimana dalam hal kemalasan, ada banyak orang beranggapan itu hanya sebuah sifat yang menjadi kekurangan dan tidak melihat sebagai dosa, banyak orang percaya yang juga berpikir bahwa hidup tidak tertib itu bukanlah dosa. Namun, ketika kita memahami bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak Allah, maka kita mengerti bahwa hidup tidak tertib sebenarnya adalah melawan kehendak Tuhan, melenceng dari tujuan Allah, dan itu artinya dosa.

Semua yang diciptakan Tuhan itu tertib. Amsal 30:27 mengajarkan agar kita belajar dari belalang yang  walaupun tidak ada raja atau atasannya, mereka sangat tertib, berangkat dan pergi bisa bersama-sama dengan teratur sekali. Begitu juga orang yang dewasa (matang rohaninya) akan hidup tertib, sebab ia hidup takut akan Allah dan taat akan Firman-Nya. Sekalipun tidak ada pengarah, supervisor atau orang yang mengawasinya, ia tetap hidup kudus dan taat akan Firman Tuhan seperti belalang ini.

Ketertiban orang percaya bukanlah karena sistem atau taat pada perintah pimpinan, tetapi karena takut, cinta akan Tuhan. Ia  ingin diperkenan Tuhan sehingga berjuang untuk hidup tertib dan baik. Inilah yang  harus terus dikembangkan dan ditingkatkan yaitu tertib karena Tuhan. Segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa (Kol 3:17). Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.”  (2 Timotius 1:7).

Dengan demikian sesungguhnya hidup tertib bukan hanya cerminan bahwa kita adalah orang-orang yang telah dilahirbarukan oleh Allah, dimana salah satu buktinya adalah mau menaati kehendak Tuhan untuk hidup tertib, tetapi juga sekaligus itu merupakan bentuk ucapan syukur dan kasih kita kepada Tuhan.

Dalam hal apa saja kita perlu hidup tertib? Dalam segala aspek kehidupan. Tertib pada peraturan yang berlaku secara lisan ataupun tidak lisan, selama itu tidak bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan, tertib dalam perjanjian, tertib waktu, tertib dalam pengelolaan keuangan, dan seterusnya. Marilah kita bersama-sama terus belajar dan bertumbuh dalam hidup tertib sehingga melalui hal tersebut kita boleh menyenangkan hati Allah dan nama Tuhan dipermuliakan.

(Oleh: Ruth Irene Chandra, staf Pengembangan Karakter)

TAAT

Setiap Bulan April, maka umat Kristen di seluruh dunia akan mempersiapkan dirinya untuk memperingati hari Paskah. Beberapa rangkaian ibadah dan kegiatan dilakukan beberapa minggu menjelang hari Paskah dan pada hari Paskah itu sendiri. Misalnya, Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, Perjamuan Kudus, pengakuan dosa, baksos, jalan sehat, games, perlombaan, dll. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berlalunya hari Paskah, seringkali yang tertinggal di dalam diri kita hanyalah serangkaian memori mengenai kegiatan-kegiatan tersebut dan ucapan syukur karena dosa-dosa kita telah ditebus. Pada kenyataannya, Paskah juga berbicara mengenai ketaatan. Ketaatan Yesus dalam rencana keselamatan dan ketaatan manusia sebagai umat yang telah diselamatkan.

Apakah taat itu? Pertanyaan ini sebenarnya adalah pertanyaan yang umum, dan rata-rata akan dijawab seperti ini: Taat adalah kemampuan untuk patuh menjalankan perintah. Jawaban tersebut tidaklah salah, namun juga tidak 100% benar. Taat bukanlah suatu kemampuan. Keberhasilan untuk taat tidak didasari oleh kekuatan atau kemampuan seseorang.

Yosua, sebagai penerus Musa untuk memimpin Bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, sempat mengalami kebimbangan. Rupanya Yosua kaget bahwa dirinya dipilih untuk memimpin Bangsa Israel. Melihat Bangsa Israel yang bebal dan pelbagai perang sengit melawan musuh yang kuat, membuat Yosua gentar. Kemudian Musa berkata kepadanya “…kuatkan dan teguhkanlah hatimu…” (Yosua 1:6,7). Dari nasihat Musa ini, Yosua menjadi tahu, bahwa itu artinya dia tidak boleh berpaling dari perintah untuk memimpin Bangsa Israel. Dia harus tunduk pada perintah itu. Apapun rintangannya, Yosua harus menyelesaikan perintah Allah. Yosua mulai belajar mengenai ketaatan.

Taat atau tidak taat akan terlihat ketika seseorang berada di dalam situasi yang sulit. Tidak mudah mengatakan bahwa orang itu taat, bila dia berada di dalam situasi yang baik-baik saja. Ketaatan akan terlihat ketika seseorang diuji masuk dalam kebimbangan, kebingungan, ketakutan, atau perasaan-perasaan lainnya yang cenderung mendorong untuk lari dari perintah yang seharusnya dikerjakan.

Taat adalah sikap dan tindakan memusatkan perhatian serta mengusahakan untuk tetap sesuai dengan perintah yang diberikan untuk mencapai tujuan. Allah tidak hanya memberikan perintah-Nya, tetapi juga memberikan kunci atau cara yang tepat agar perintah tersebut berhasil dikerjakan. Untuk dapat taat, Alkitab mengajarkan agar kita merenungkan kebenaran Allah siang dan malam  (Yosua 1:8).

Manusia tidak bisa taat hanya dengan mengandalkan kekuatan diri sendiri, karena akan berhadapan dengan berbagai cobaan/rayuan. Bersama Allah, ketaatan akan membuahkan hasil. Karena Allah, yang tidak pernah berubah itu, Dia-lah yang akan mendampingi kita untuk memerangi cobaan atau rayuan si jahat.

Kisah ketaatan juga bisa kita lihat saat Yesus bergumul di Taman Getsemani (Matius 26:36-46). Yesus pada saat itu sebagai manusia mengalami ketakutan yang luar biasa, ketika Dia harus menghadapi saat penyaliban. Yesus dengan jujur mengatakan ketakutan-Nya, tetapi pada saat yang sama Dia juga berkata bahwa sekalipun berat, biarlah kehendak Bapa yang terjadi. “Ya Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” Yesus mau bertindak sebagai pribadi yang taat.

Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa Yesus tetap menjalankan proses penyaliban itu tanpa mengeluh sepatah kata pun. Yesus mau memikul salib yang berat dan menyakitkan itu, untuk menebus dosa manusia. Ketaatan Yesus mengajarkan kepada kita bahwa di dalam taat membutuhkan pengorbanan dan penundukan diri. Ketika kita mau taat, maka kita juga harus mau menanggung resiko akibat ketaatan tersebut. Ketaatan selalu berhadapan dengan godaan. Kita sebagai manusia pasti tidak kuat menanggung godaan tersebut.

Bersyukurlah bila kita bisa memanggil nama yang ajaib itu, yaitu: Yesus. Yesus sudah membuktikan bahwa Dia adalah pribadi yang taat. Rintangan yang begitu hebat, bahkan maut yang menghadang, ternyata tidak bisa menghancurkan ketaatan-Nya. Maka, bila kita ingin taat menyelesaikan suatu perintah, janganlah ditanggung sendiri. Mintalahlah Yesus mendampingi diri kita. Karena kita akan digandeng-Nya melewati perjalanan ketaatan itu hingga tuntas. Taat bersama Yesus, pasti membuahkan kemenangan.

Meskipun peringatan Paskah baru saja kita lewati, namun demikian biarlah semangat Paskah terus menyala dalam kehidupan kita. Karena, melalui Paskah kita akan selalu diingatkan tentang ketaatan yang sejati.

BD/Tim Karakter

Tanggung Jawab; Panggilan atau Kewajiban

Tanggung Jawab

“Kami tidak bertanggung jawab atau berkewajiban atas setiap klaim, kerusakan, atau kerugian…”
“… Perhatikan barang bawaan Anda, kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan…”
“Anda bertanggung jawab untuk menjaga barang bawaan Anda…”
“… kerusakan menjadi tanggung jawab Anda…”
Inilah beberapa kalimat yang sering kita dengar atau baca pada saat kita berada di suatu tempat, pada saat menaiki transportasi umum, atau pada saat kita menggunakan suatu jasa. Mengapa banyak orang yang lari, menghindari atau saling melempar tanggung jawab? Pertanyaan ini dapat kita jawab dengan memahami apa itu tanggung jawab.

 

Tanggung: panggilan atau kewajiban

Tanggung jawab dapat dipandang sebagai panggilan atau kewajiban. Ketika kita memandang tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan melihatnya sebagai anugerah, hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada kita. Karena anugerah adalah pemberian. Mengapa dikatakan sebagai anugerah dan hak istimewa? Karena pada dasarnya kita bukanlah siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Kita sebenarnya tidak layak dan tidak mampu mengerjakan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Mengapa demikian? Karena kita adalah ciptaan Tuhan sehingga segala sesuatu yang kita miliki bukanlah kepunyaan kita sendiri tetapi kepunyaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan pada kita. Jadi ketika kita tidak layak dan tidak mampu, siapa yang memampukan dan melayakkan kita? Hanya Tuhan. Tuhan yang berotoritas memanggil kita, membuat kita mau dan mampu mengerjakan tanggung jawab tersebut. Tuhan yang berotoritas memanggil dan memberikan tanggung jawab dan Tuhan yang memampukan kita dalam mengerjakannya.

Sebaliknya, pada saat kita memandang tanggung jawab sebagai kewajiban, maka kita akan melihatnya sebagai suatu beban. Ketika tanggung jawab dipandang sebagai beban, maka akan muncul tuntutan. Kita merasa dituntut untuk melakukan sesuatu sehingga kita tidak akan melakukan pekerjaan kita dengan sukacita dan rela hati, tetapi dengan keterpaksaan.

 

Tanggung jawab: Berkat atau Beban

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan melihat tanggung jawab sebagai berkat. Kita akan merasa berharga dan dihargai ketika diberikan tanggung jawab dan akan melakukannya dengan sukacita. Kita akan mendekat, mencari, mengingini dan memiliki kerinduan untuk melakukan tanggung jawab tersebut, bukan menghindarinya. Misalnya, mengingini berada di rumah agar dapat melayani anak dan suami, mengingini suatu tugas yang memberikan kesempatan kepada kita untuk dapat berinteraksi dan melayani siswa untuk memenuhi panggilan dan kerinduan hati kita sebagai guru atau staff, dll.

Namun, ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban maka kita akan melihat tanggung jawab sebagai beban, sehingga tidak akan ada sukacita di dalam hati pada saat melakukannya. Hal ini akan menyebabkan munculnya keluhan, rasa tidak puas dan rasa kecewa yang membuat kita cenderung menghindari tanggung jawab tersebut. Misalnya, menyalahkan anak atas nilai-nilai buruk yang ia miliki dan tidak pernah merasa puas atas gaji suami atau nilai anak, menghindari tugas tambahan untuk mengurus dan memperhatikan siswa, dll.

 

Sikap ketika diberikan tanggung jawab

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan, maka kita akan bersyukur dan melakukan yang terbaik pada saat dipanggil untuk suatu tanggung jawab. Kita juga akan setia dalam menjalani setiap proses dari panggilan tanggung jawab tersebut. Meskipun proses tersebut mengharuskan kita untuk melakukan hal-hal kecil, sederhana, sepele atau rendah menurut pandangan dunia. Karena kita tidak akan pernah bisa setia pada perkara besar jika kita tidak setia pada perkara yang kecil. “Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar (Lukas 16:10). Kita akan tetap setia menjalani proses tersebut sebagai bentuk ucapan syukur pada Tuhan atas panggilan yang diberikan-Nya pada kita.

Ketika kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban, maka kita akan menuntut imbalan pada saat diberikan tanggung jawab. Pada saat diberikan tanggung jawab maka kita akan selalu bertanya “Apa yang akan saya dapatkan dari tanggung jawab ini?” Kita akan menimbang-nimbang apakah tanggung jawab tersebut akan menghasilkan imbalan yang menguntungkan bagi kita atau tidak. Ketika menguntungkan maka kita cenderung akan mengerjakannya dengan maksimal, sebaliknya ketika tidak menguntungkan maka kita akan mengerjakannya dengan berat hati dan berkeluh kesah. Misalnya, menuntut kenaikan gaji ketika kita diberikan sedikit tambahan pekerjaan diluar apa yang tertulis di dalam perjanjian kerja, dll. Dan pada saat kita tidak mendapatkan apa yang kita tuntut, maka kita akan menjadi kecewa, diperlakukan tidak adil atau dirugikan.

 

Relasi yang terbentuk dalam tanggung jawab

Relasi yang terbentuk pada saat kita menganggap tanggung jawab sebagai panggilan dan anugerah adalah relasi “si pemberi dan si penerima”. Gambaran relasinya adalah seperti aliran air yang terus mengalir, dimana apa yang sudah diberikan oleh si pemberi akan diteruskan oleh si penerima kepada penerima lain dan seterusnya. Bukan relasi timbal balik dimana si penerima akan membalas atau membayar apa yang telah diberikan oleh si pemberi kepadanya. Kita mengasihi orang lain karena sudah dikasihi oleh Tuhan, memberi kepada orang lain karena sudah diberi oleh Tuhan, mengampuni orang lain karena sudah diampuni oleh Tuhan. Di dalam relasi “si pemberi dan si penerima”, si pemberi tidak akan pernah mengharapkan balasan dari si penerima, karena siapakah yang sanggup membalas kasih Tuhan? Siapa yang sanggup memberi kepada Tuhan? Siapa yang dapat mengampuni Tuhan, apakah Tuhan pernah salah?.

Selain relasi “si pemberi dan si penerima”, maka relasi lain yang terbentuk adalah “being”. Karena telah menjadi istri, maka harus melayani suami. Karena telah menjadi karyawan maka sudah seharusnya bekerja dengan sungguh-sungguh. Pada saat “being”, maka kita tidak akan membandingkan diri dengan orang lain karena kita sadar sepenuhnya bahwa kita mau dan mampu hanya karena Tuhan. Sehingga tidak akan ada perasaan iri atau tidak adil di dalam hati kita. Misalnya, tidak akan merasa diperlakukan tidak adil karena orang lain yang lebih malas memiliki gaji yang lebih besar, istri tidak akan marah kepada suami meskipun ia telah bekerja keras membereskan rumah dan suami tidak mau membantu, dll.

Relasi yang terbentuk pada saat kita menganggap tanggung jawab sebagai kewajiban adalah relasi timbal balik, relasi tuntutan, sehingga akan selalu ada kata “seharusnya”. Karena saya sudah menjadi ibu kamu, seharusnya kamu menuruti kata-kata Ibu, karena saya sudah bekerja keras, maka seharusnya saya diberikan kenaikan gaji, karena saya sudah menjadi istri yang baik, maka seharusnya kamu mengasihi saya, dll.

 

Motivasi dalam melakukan tanggung jawab

Pada saat tanggung jawab dipandang sebagai panggilan yang adalah anugerah, maka motivasi dalam melakukan tanggung jawab adalah ungkapan syukur, “giving”. Penerima tanggung jawab akan selalu berusaha memberi yang terbaik dalam mengerjakan tanggung jawab atas dasar ungkapan syukur kepada Tuhan. Misalnya, ketika guru mendapatkan anak yang memiliki masalah perilaku perilaku di kelasnya, maka ia tidak akan merasa sial. Namun ia tetap bersyukur dan akan mau memberi perhatiannya untuk membantu siswa tersebut. Dan pada saat ia belum berhasil, maka ia tidak akan menyalahkan dirinya atau siswa melainkan terus berusaha dan mencari cara-cara lain yang dapat ia lakukan untuk membantu siswa tersebut.

Jika tanggung jawab dipandang sebagai kewajiban, maka motivasi dalam melakukan tanggung jawab adalah ingin mendapatkan sesuatu, “taking”. Kualitas dari pengerjaan tanggung jawab akan di dasarkan pada seberapa banyak yang akan ia dapatkan. Pada saat penerima tanggung jawab melakukan yang terbaik, ia melakukannya untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkannya, apakah itu imbalan atau pujian dari orang lain. Misalnya melakukan yang terbaik dalam pelayanan agar mendapatkan berkat dari Tuhan, melakukan yang terbaik dalam pekerjaan agar mendapatkan promosi, dll.

 

Respon terhadap hasil dari pelaksanaan tanggung jawab

Ketika tanggung jawab dipandang sebagai panggilan, maka kita menyadari bahwa pemilik tanggung jawab itu adalah Tuhan dan kita hanyalah orang yang dipanggil untuk ambil bagian dalam pengerjaannya. Dengan demikian, maka kita akan dengan sadar mengakui bahwa bagian terbesar dalam pengerjaan tanggung jawab adalah Tuhan sedangkan bagian kita sangat kecil sekali dan itupun berada di dalam bagian Tuhan. Mengapa? Karena hanya Tuhanlah yang membuat kita mampu untuk melakukan tanggung jawab tersebut. Sehingga pada saat tanggung jawab yang kita kerjakan membuahkan hasil, maka kita akan dengan sadar mengembalikan hasil tersebut untuk Tuhan, terlepas dari apakah hasilnya berhasil atau gagal, menang atau kalah. Semuanya adalah milik Tuhan dan hanya untuk Tuhan saja. Dengan demikian, hasil dari pengerjaan tanggung jawab yang kita lakukan tidak dikaitkan dengan diri sendiri, tetapi dikaitkan bagi Tuhan, kepada Tuhan, dari Tuhan, dan oleh Tuhan.

Jadi, apakah kita boleh bangga atau kecewa? Pada saat tanggung jawab yang kita kerjakan berhasil, kita tidak boleh bangga untuk diri sendiri tetapi bangga untuk Tuhan. Kita tidak boleh mengklaim apa yang seharusnya menjadi milik Tuhan. Demikian juga sebaliknya, pada saat kita gagal mengerjakan tanggung jawab, kita tidak boleh kecewa, menyesali diri atau menyalahkan Tuhan tetapi justru melihat apa yang menjadi rencana Tuhan lewat kegagalan yang kita alami. Hal ini akan membuat kita tidak berorientasi pada hasil, tetapi pada proses. Misalnya, pada saat gaji kita masih kecil, maka kita tidak melihatnya sebagai hasil tetapi sebagai proses apa yang Tuhan inginkan melalui kejadian ini, pada saat memiliki anak autis, maka kita tidak melihatnya sebagai hasil; “Mengapa anakku seperti ini?”, tetapi sebagai proses; “Apa rencana Tuhan pada anak ini?”.

Ketika tanggung jawab sipandang sebagai kewajiban, maka orientasi kita selalu pada hasil, bukan proses. Misalnya, saya harus menang agar tidak menjadi malu. Kita juga akan menganggap bahwa kitalah yang memiliki bagian yang terbesar dari pengerjaan tanggung jawab tersebut, sedangkan Tuhan hanya memililki bagian yang sangat kecil atau tidak memiliki bagian sama sekali. Sehingga ketika tanggung jawab tersebut membuahkan hasil, maka kita akan mengklaim hasil tersebut untuk diri sendiri. Jika hasilnya adalah suatu keberhasilan atau kemenangan, maka kita akan merasa bangga atau menjadi sombong. Sebaliknya, ketika hasilnya adalah suatu kegagalan, kekalahan atau sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan atau target yang telah kita tentukan, maka kita akan merawa kecewa, menyalahkan diri sendiri, merasa bersalah, dll. Misalnya, kita akan berkata paduan suara ini menjadi bagus karena saya yang melatihnya, proyek ini berhasil karena saya telah bekerja keras, nilai saya jelek karena saya anak yang bodoh, dll.

Tanggung jawab, panggilan atau kewajiban? Semuanya kembali lagi pada diri kita masing-masing memandangnya sebagai apa. Tetapi sebagai seorang Kristen yang telah ditebus oleh Tuhan, sudah seharusnya kita memandangnya sebagai panggilan yang merupakan anugerah dan berkat untuk kita. Hal ini dengan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:36). Biarlah pandangan yang baru membawa kita pada motivasi, sikap dan respon yang benar terhadap tanggung jawab. Sehingga kita akan meresponi setiap tanggung jawab yang diberikan kepada kita dengan ucapan syukur serta mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan dengan hati yang bersuka cita, hanya untuk Tuhan dan bukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun pujian dari manusia. “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23). Dan biarlah setiap hasil yang kita peroleh dengan penuh kesadaran selalu kita kembalikan hanya bagi kemuliaan Tuhan saja.

(Charlotte Priatna)

 

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23)

 

 

Pengendalian Diri

self control

“Sesudah itu dibasuhnyalah mukanya dan ia tampil ke luar. Ia menahan hatinya dan berkata: “Hidangkanlah makanan.”” (Kejadian 43:31). Narasi yang pendek ini mengisahkan tentang Yusuf, yang saat itu sedang dilanda emosi yang begitu hebat tatkala dia yakin bahwa yang berada dihadapannya adalah saudara-saudaranya. Kasihnya kepada Benyamin, adik yang seibu dengan dia, membuat luapan emosinya menggelagak tak tertahankan. Tangis hebat tumpah di dalam kamarnya. Yusuf digambarkan seperti seseorang yang sedang terkejut bahwa kerinduan bertemu dengan saudara-saudaranya terwujud tanpa disangkanya.

Gambaran luapan emosi Yusuf memang hanya digambarkan dalam 2 ayat saja, yaitu ayat 30 yang menceritakan luapan emosi Yusuf, dan ayat 31 yang menggambarkan emosinya mulai dikendalikan. Sekalipun demikian, kedua ayat tersebut perlu kita lihat sebagai suatu hal yang luarbiasa. Betapa tidak, perpisahan Yusuf dengan saudara-sadaranya telah berlangsung selama 2 dekade (+/- 20 tahun). Perpisahan yang tidak sebentar, terlebih perpisahan tersebut terjadi dalam suasana yang penuh dengan amarah dan benci. Yusuf menjadi korban amarah saudara-saudaranya, bahkan Yusuf adalah korban pembunuhan terencana. Apabila kita menempatkan diri sebagai Yusuf, yaitu sebagai seorang korban amarah dan benci tanpa alasan yang jelas, bukan tidak mungkin di dalam hati kita akan tersusun rencana yang lebih rapi untuk membalas dendam. Simulasi tersebut bukanlah suatu hal hal yang aneh. Dendam dibayar dengan dendam, benci dibayar dengan benci. Dunia mengajarkan norma seperti itu. Namun, bagaimana dengan dendam dibalas dengan kasih?

Pengendalian diri adalah ungkapan kasih. Demikianlah Firman Tuhan menyatakan hal itu melalui kisah sejati Yusuf. Cara Yusuf mengendalikan diri cukup dituliskan melalui 1 ayat saja (ayat 31).  Luapan emosi Yusuf juga digambarkan tidak berlebihan, secukupnya. Manusia yang normal pasti membutuhkan luapan emosi, menyatakan perasaan yang paling dalam. Alkitab menegaskan bahwa Yusuf yang sudah mengenal Tuhan, dan mengerti benar bahwa hidupnya berada di bawah kuasa kasih Tuhan. Sehingga, kasih Tuhan yang sudah dia rasakan harus dikembalikan kepada orang-orang disekelilingnya. Yusuf mau taat pada konsep tersebut, yaitu apa yang sudah Tuhan berikan pada dirinya harus dibagikan dan dikembalikan sebagai sikap yang benar kepada sesamanya.

Kasih tidak dapat diungkapkan dalam suasana hati yang emosional.  Pengendalian diri menolong kita untuk tidak terjebak berada di luar kasih. Apabila Yusuf mau untuk tidak mengendalikan dirinya, maka bisa saja semua saudaranya dikurung dalam penjara yang gelap. Yang pasti, bila hal itu dilakukan oleh Yusuf, maka dia tidak bisa menerima kehangatan keluarganya lagi. Bahkan, mungkin saja Yusuf akan mati merana oleh karena dicengkram rasa benci.  Pengendalian diri menolong dan memberikan Yusuf  rasa damai untuk kembali menikmati kehangatan keluarga yang dicintainya. Pengendalian diri memberikan keuntungan yang berlimpah.

Suatu kesia-siaan apabila kita mengatakan bahwa kita adalah orang percaya, tetapi tidak  berusaha mengendalikan diri untuk tetap bisa mempertahankan wujud kasih Tuhan dalam kehidupan kita kepada sesama.

            BD/ Tim Karakter

Aiko Di Tokyo

Aiko di Tokyo

Aiko berlari menuju ibunya sambil meneteskan air mata, padahal tadi pagi ia pergi dan bermain dengan temannya dengan wajah gembira.

“Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu?” Tanya Aiko kepada ibunya.

“Tidak, kita tidak miskin, Aiko. Miskin berarti tidak mempunyai sesuatu apa pun untuk diberikan kepada orang lain,” kata ibu.

“Tapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai,” kata Aiko. “Apakah yang dapat kita berikan?”

“Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang ke sini minggu lalu? Kita memberikan sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya tempat tidur,” ibu memberi contoh.

“Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk saya berikan kepada orang lain,” kata Aiko.

“Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan sesuatu,” jawab ibu meyakinkan Aiko.

Aiko mencari tahu apa yang dapat ia berikan pada orang lain. Ia membongkar barang-barang yang ia miliki, tas, alat tulis dan segala sesuatu yang ia miliki. Namun ia tidak menemukan apapun. Tiba-tiba wajahnya nampak gembira.

“Bu! Saya mempunyai sesuatu untuk saya berikan,” kata Aiko.

Ya, Aiko telah menemukan sesuatu yang dapat ia berikan kepada orang lain dan ia dapat memberikannya kepada banyak orang, bahkan kepada seluruh orang tanpa berkurang sedikit pun. Sehingga ia dapat terus memberi dan memberi tanpa pernah kehabisan.

Aiko sangat senang karena ia telah menemukan sesuatu untuk dibagikan pada orang lain. Namun kini hati Aiko kembali sedih. Suatu malam Aiko mendengar bahwa adiknya Toru yang pintar akan dinaikkan melompat satu kelas tahun depan. Jadi tahun depan ia akan sekelas dengan adiknya.

Aiko sangat senang dengan keberhasilan Toru, namun ia sangat sedih karena ia harus satu kelas dengan Toru. Teman-temannya pasti akan mengejeknya kembali. Apa yang harus ia lakukan?

Suatu hari paman Ogawa berkunjung dan membawa kabar yang sungguh mengejutkan bagi Aiko. Sebuah kabar yang mengharuskan Aiko berteman dengan Kenichi yang sangat egois dan pemarah, dengan bapak dan ibu Ito yang penuh kasih, dan nenek yang selalu menghiburnya. Bahkan ia harus mengalami peristiwa badai topan yang merubuhkan rumah bapak dan ibu Ito serta menimpa tubuh Genji, seorang anak lelaki yang suka melempar bapak dan ibu Ito dengan sayur-sayuran. Apa yang harus Aiko lakukan?

Bagaimana kelanjutan kisah Aiko? Yuk, baca cerita lengkapnya dalam Buku “Aiko di Tokyo”. Bukunya dapat dibeli di toko buku terdekat atau untuk siswa Athalia dapat dipinjam dari Perpustakaan SMP. Tanyakan saja pada ibu Hana, ibu Ita, atau ibu Ros letaknya di mana ya…… Selamat membaca …

-IB/ Karakter-

 

Pendidikan karakter, Tugas Kita Bersama

Character building picture
Gedung-gedung makin meninggi, namun sumbu amarah kita makin pendek

Tersedia makin banyak kemudahan, namun waktu kita makin singkat

Pengetahuan makin berlimpah, namun kemampuan kita menilai makin tumpul

Rumah-rumah semakin mewah, namun keluarga-keluarga makin berantakan

Kita berusaha mencegah polusi udara, namun membiarkan jiwa kita tercemari

Kita berjalan sampai ke bulan, namun tidak pernah mengunjungi tetangga

Tahun-tahun kehidupan kita bertambah, namun tahun-tahun itu makin tidak terasa hidup

-sumber tidak dikenal

 

Ilustrasi diatas membantu kita untuk merenungkan kembali untuk apa sebenarnya kita menciptakan dan memperjuangkan semuanya kemudahan, kelimpahan, kemewahan, dsb? Bukankah kita memperjuangkan itu semuanya agar kita dapat hidup? Namun mengapa akhirnya semuanya itu malah merampas hidup kita?

Anak-anak kita kini hidup di sebuah jaman dimana ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan landasan dalam mencapai sebuah kemajuan dan keberhasilan. Hal ini tanpa sadar membuat kita menjadi sangat takut tertinggal. Kita mengerahkan begitu banyak energi agar anak-anak kita menguasai ilmu pengetahuan serta tidak ketinggalan dengan perubahan dan kemajuan jaman. Kita memberikan mereka banyak fasilitas untuk dapat mengakses dunia, memberikan mereka pendidikan yang terbaik agar mereka mendapatkan seluruh pengetahuan yang mereka butuhkan, mengikutsertakan mereka kedalam berbagai macam kursus yang menurut kita akan membuat mereka menjadi pribadi yang unggul, dan memberi mereka banyak tuntutan untuk mencapai berbagai macam prestasi dan predikat.

Sepintas tidak ada yang salah dengan hal ini, karena jaman telah berubah sehingga jika kita tidak ikut berubah maka kita akan tergilas dengan perubahan tersebut. Namun, yang salah adalah ketika kita melakukannya dengan tidak seimbang. Kita hanya fokus pada usaha untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan jaman, tetapi lupa untuk hidup. Hidup untuk memuliakan Tuhan, hidup untuk menikmati kehidupan yang diberikan Tuhan pada kita, dan hidup untuk memberkati sesama kita.

Hidup yang benar tidaklah sekedar hidup, atau hidup dengan menuruti apa yang kita sukai dan kita anggap benar. Hidup yang sesungguhnya adalah ketika kita hidup seturut dengan kehendak Tuhan dan menjalani rencana-Nya di dalam hidup kita. Bagaimana caranya agar kita dapat hidup? Hanya ada satu cara, yaitu dengan bergaul erat dengan Tuhan, sehingga pola pikir, sikap, dan perbuatan kita sesuai dengan kehendak-Nya dan hal ini akan tercermin lewat karakter kita.

Kita tidak dapat menyangkal bahwa anak-anak kita kini hidup dalam suatu dunia yang menuntut mereka untuk menjadi pribadi yang unggul, inovatif, kreatif, cerdas, dan sebagainya. Ini adalah kenyataan yang harus kita terima. Untuk itulah kita berjuang untuk pendidikan anak-anak kita. Namun terkadang kita lupa pada pembentukan karakter anak-anak kita, yang sebenarnya adalah hal yang sangat mereka butuhkan untuk dapat hidup dan bertahan menghadapi jaman. Kita terkadang merasa bahwa yang paling penting adalah pendidikan, yaitu nilai akademis.

Sangatlah salah jika kita berkata bahwa pendidikan karakter tidaklah sepenting pendidikan akademis. Pendidikan karakter pada dasarnya sangatlah penting karena karakterlah yang menentukan pencapaian akademis seseorang dan bagaimana dia bertahan dalam hidup. Tidak ada anak yang dapat mendapatkan nilai yang baik dalam akademis jika ia tidak memiliki karakter taat untuk mengerjakan tugas dan ujian yang diberikan padanya, rajin mempelajari ilmu yang diberikan padanya, memiliki inisiatif untuk belajar dan mengerjakan tugas, dsb. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Etzioni (1984) and Ginsburg and Hanson (1986) mengatakan bahwa siswa yang dapat mendisiplinkan diri, lebih religius, pekerja keras, dan memiliki nilai-nilai, mendapatkan skor tes prestasi yang lebih tinggi.

Alasan lain mengapa kita harus menyeimbangkan ilmu pengetahuan yang kita berikan kepada anak-anak kita dengan pengembangan karakter adalah agar anak-anak kita dapat menggunakan ilmu dan kemampuan yang ia miliki dengan benar. Kepintaran yang tidak diimbangi dengan karakter akan berbahaya. Tidak ada yang menyangkal bahwa para teroris adalah orang yang pintar dan memiliki ilmu serta keterampilan khusus. Namun mereka menggunakan ilmu dan keterampilan yang ia miliki untuk tujuan yang salah. Jadi, manakah yang lebih utama dalam pendidikan kita, pengembangan akademis atau karakter? Tentunya kita sepakat bahwa keduanya sangat penting dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Sekolah Athalia adalah sekolah yang berbasiskan karakter. Athalia saat ini membangun sebuah kegerakan pengembangan karakter yang terintegrasikan.  Pembangunan karakter dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan anak di sekolah. Selain itu Athalia menyediakan waktu khusus 1 jam pelajaran per minggu untuk mengembangkan karakter yang diberi nama Shepherding Time.

Shepherding Time mengusung sebuah konsep pengajaran karakter melalui hubungan dan kehidupan sehari-hari anak. Di dalam Shepherding Time, wali kelas dan asisten wali kelas akan berperan sebagai gembala yang akan berjalan bersama siswa. Maksudnya adalah, di dalam Shepherding Time gembala (wali kelas dan asisten) akan membangun komunitas yang memiliki hubungan percaya satu sama lain di dalam kelas, sehingga anak akan merasa aman, nyaman dan diterima. Perasaan aman, nyaman, diterima dan hubungan percaya inilah yang akan menjadi pintu bagi masuknya nilai-nilai dan pengembangan karakter di dalam diri anak. Proses penanaman nilai-nilai dan pengembangan karakter anak akan dilakukan dengan berbagai cara yang praktis dan dekat dengan hidup anak, misalnya dengan membahas kasus atau isu-isu sosial yang sedang terjadi, mendiskusikan sebuah kondisi yang memiliki dilema etis di dalamnya, melakukan penelitian sosial, menjalankan proyek-proyek khusus, menghadirkan tokoh karakter, dan sebagainya. Dalam Shepherding Time, guru sebagai gembala akan berusaha untuk secara tulus memahami apa yang sedang dipikirkan, dirasakan, dan dialami oleh seorang anak, kemudian membimbing mereka agar mengetahui dan melakukan hal yang benar.

Namun tetap saja sekolah bukanlah satu-satunya jawaban untuk menyelesaikan masalah pengembangan karakter anak, karena pada dasarnya lingkungan inti anak adalah keluarga. Pengembangan karakter sehebat apapun yang dilakukan oleh sekolah tidak akan dapat berjalan dengan lancar jika hal tersebut tidak didukung dengan pengembangan karakter anak di rumah. Karakter bukan hanya kehidupan anak di sekolah, melainkan keseluruhan hidup anak. Kita tentunya tidak ingin anak-anak kita menjadi bingung dan terbentuk menjadi seorang pribadi yang tidak konsisten. Untuk itulah kita perlu bergandengan tangan dalam mengembangkan karakter anak-anak kita. Adalah tugas yang sangat mulia bagi kita untuk dapat membesarkan dan mendidik anak-anak kita. Tidak hanya untuk memiliki banyak ilmu, pengetahuan dan keterampilan untuk mengikuti perkembangan dunia, tetapi juga untuk memiliki  karakter untuk dapat hidup benar. Ingat anak bukanlah milik kita yang dapat kita besarkan, didik, dan perlakukan sesuai dengan keinginan kita. Anak adalah titipan Tuhan kepada kita. Tugas kita adalah membesarkan, mendidik dan memperlakukan mereka sesuai dengan kehendak Tuhan, sehingga mereka dapat mengenal Tuhan yang menciptakan mereka dan menjalani panggilan dan rencana Tuhan di dalam hidup mereka.

(Oleh: Tim Karakter/ IB).

Olah Raga sebagai Sarana Pembentukan Karakter (Athalia Cup 1, 9-16 Oktober 2010)

Athalia Cup 1 akan diselenggarakan sebentar lagi. Selain sebagai ajang pertandingan olah raga antar siswa SMP, sebenarnya, hal penting apakah yang mendasari kegiatan semacam ini perlu untuk diselenggarakan?

Olah raga, selain sebagai sarana untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, juga dapat dijadikan media yang efektif untuk pembentukan karakter dan kepribadian siswa. Di dalam kode fair play olah raga, terkandung makna bahwa pertandingan olah raga haruslah dijiwai dengan semangat kejujuran dan tunduk aturan. Misalnya dalam bermain tidak melakukan kecurangan dengan melakukan banyak pelanggaran yang disengaja agar bisa menang. Menjunjung tinggi sportivitas dan menghormati keputusan wasit/ juri. Jika memang dinyatakan salah oleh wasit, menerimanya dengan lapang dada dan mengusahakan untuk tidak terulang, menerima kekalahan dengan ksatria. Menghargai lawan, baik di dalam maupun di luar pertandingan dengan tetap bermain dengan baik dan tidak saling menyulut pertengkaran dan permusuhan.

Singkatnya, dalam olah raga, terkandung dimensi nilai dan perilaku positif yang multidimensional, seperti sikap sportif dan kejujuran seperti yang telah dijelaskan di atas; saling mendukung dan membantu, saling berbagi, kerja sama, saling percaya di mana dalam sebuah tim yang kompak dan berhasil dalam permainan senantiasa dituntut nilai-nilai tersebut. Semangat kompetitif juga nilai yang ditingkatkan karena tanpanya tentu siswa tidak akan punya keinginan untuk menang atau menjadi juara dalam pertandingan. Sikap antusias, yang berarti tetap bersemangat bertanding meskipun ada kendala atau rintangan yang tidak terduga terkadang muncul. Sikap optimis, juga merupakan nilai yang ditanamkan pada siswa meskipun mungkin lawan terlihat sangat tangguh, tapi tetap percaya bahwa yang terpenting adalah telah memberikan upaya terbaik. Penuh inisiatif, karena tanpa nilai tersebut, pertandingan akan sulit untuk dimenangkan. Kemampuan mengambil keputusan dengan cepat, terutama ketika sedang dikepung lawan dan perlu dengan cepat memutuskan tindakan apa yang perlu dilakukan, bertahan atau melakukan penyerangan. Kegigihan, yang artinya pantang menyerah dan tetap berusaha semaksimal mungkin sebagai tim hingga pertandingan selesai.

Efektifnya olah raga sebagai media pembentukan karakter adalah terletak pada nilai-nilai yang langsung diterapkan ke dalam perilaku terutama selama bertanding.

Athalia Cup 1