Courageous -Honor Begins at Home-

Courageous adalah film keempat yang diproduksi oleh Sherwood Pictures setelah Flywheel, Facing the Giant dan Fireproof. Film ini adalah hasil karya Kendrick bersaudara, Alex dan Stephen.

Stephen yang menjadi penulis naskah dan produser yang juga sudah menyutradari beberapa film menyaksikan banyak berkat yang mereka lihat pada film sebelumnya yaitu Fireproof. Dia menceritakan kisah seorang wanita yang sudah meninggalkan pernikahannya selama 27 tahun dan akhirnya setelah menonton film Fireproof ia berusaha mencari jejak suaminya dan akhirnya bisa bersatu kembali dengan keluarganya.

Stephen mengatakan, gerejanya berdoa untuk film berikutnya setelah Fireproof. Kendrick bersaudara berdoa meminta Tuhan menyatakan cerita untuk mereka. Pada saat itulah Tuhan terus mengingatkan mereka tentang runtuhnya keayahan. Ketidakhadiran para ayah dalam keluarga di Amerika persentasenya cukup besar. Dalam keluarga Afrika Amerika, hampir tiga-perempat dari para ayah hilang. Ketika Tuhan menunjukkan pada mereka, mereka menuliskannya dalam catatan dan berdoa agar bisa menyusunnya dengan benar. Mereka terus berdoa agar mereka bisa membuat film ini dengan baik.

Kalau film Fireproof bertemakan pernikahan, Courageous bertemakan keayahan. Film ini melibatkan banyak sukarelawan dari Gereja Sherwood tempat Kendrick bersaudara melayani. Film ini lahir dari pergumulan doa mereka.

Sumber: http://visi-bookstore.com

Penasaran dengan ceritanya? Mari kita baca ringkasan film dibawah ini.

“Kajian dilakukan pada peningkatan aktivitas kekerasan geng, dalam hampir semua kasus. Semua anggota geng; pelarian, anak yang OD, pemakai obat-obatan, dan remaja di penjara memiliki persamaan ciri. Ciri itu adalah, kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga tanpa ayah. Dengan kata lain, jika tidak ada ayah kemungkinannya 5 kali lebih besar anak-anak akan bunuh diri atau memakai obat-obatan dan kemungkinan untuk berakhir di penjara 20 kali lebih besar. Aku tahu kelompok kalian telah bekerja keras dan aku tahu kalian melihat sisi terburuk orang-orang. Tapi pada saat waktu kerja selesai, pulanglah dan sayangilah keluarga kalian.” Kalimat ini adalah pengarahan yang diberikan oleh seorang Sherif kepada sekelompok anggota kepolisian Albaniy Georgia yang sarat dengan dunia kekerasan.

Adam, Nathan, Shane dan David adalah empat orang polisi yang bertugas di kepolisian Albaniy Georgia. Mereka yang tidak memiliki kegiatan apa-apa pada akhir pekan, berencana untuk bertemu dan memanggang bistik bersama. Pertemuan akhir pekan yang awalnya bertujuan untuk mengisi akhir pekan dengan bersenang-senang dan memanggang bistik akhirnya berubah menjadi diskusi mengenai isu yang dsampaikan oleh Sherif di dalam pengarahannya. Diskusi akhirnya berlanjut dengan sharing mengenai ayah-ayah mereka. Bagaimana mereka menjalani hidup tanpa ayah atau dengan ayah yang tidak bertanggung jawab.

Sebuah pertemuan yang aneh telah membawa seorang pria yang bukan seorang polisi bergabung dengan mereka. Kelompok akhir pekan itu kini beranggotakan lima orang. Masing-masing dari mereka adalah seorang ayah dan memiliki permasalahan keluarga yang berbeda-beda.

Adam adalah seorang ayah memiliki dua orang anak (putra dan putri) yang tanpa sadar telah memberikan perhatian yang berbeda kepada anaknya sehingga menimbulkan sakit hati pada putranya.

Nathan memiliki seorang anak remaja yang suka memberontak, karena merasa selalu dikekang oleh ayahnya khususnya dalam hal berpacaran.

Shane telah bercerai dengan istrinya dan memiliki seorang putra. Pengadilan memutuskan hak asuh anak jatuh kepada istrinya. Secara berkala ia selalu bertemu dengan anaknya dan menghabiskan waktu bersamanya. Ia sangat ingin menjadi seorang ayah yang dikagumi oleh anaknya. Ia juga seorang yang memiliki ambisi pada uang dan dapat menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

David adalah yang termuda di antara mereka. Ia adalah seorang yang tidak percaya pada hal-hal religius. Ia belum menikah, namun telah berhubungan dengan seorang gadis yang menyebabkan gadis tersebut hamil. Namun pada saat ia mengetahuinya ia lari dari tanggung jawabnya dan meninggalkan gadis tersebut beserta anaknya dengan alasan bahwa ia merasa tidak mencintai gadis tersebut.

Javier adalah seorang pekerja harian yang baru saja dipecat dari pekerjaannya. Keluarganya hidup dengan penuh kekurangan, namun imannya kepada Tuhan memberinya kekuatan untuk berjuang menjadi seorang suami dan ayah yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.

Suatu hari putri Adam meninggal dunia, kesedihan mendalam meliputi dirinya. Dia diperhadapkan pada dua pilihan; marah kepada Tuhan karena waktu-waktu yang tidak ia miliki dengan putrinya atau bersyukur kepada Tuhan karena waktu-waktu yang sudah ia lewati dengan putrinya. Adam memutuskan untuk bersyukur dan percaya pada Tuhan. Keputusan itu membawanya semakin dekat dengan Tuhan dan membawanya kedalam perenungan tentang apa yang Tuhan harapkan darinya sebagai seorang ayah. Hal ini ternyata membawa pemulihan di dalam keluarganya, khususnya pada hubungannya dengan putranya.

Peristiwa ini akhirnya membuat Adam berinisitif untuk membuat resolusi bagi dirinya. Ia berjanji akan menjadi seorang ayah yang bertanggung jawab. Adam pun mengumpulkan teman-temannya dan menceritakan kepada mereka mengenai resolusi yang akan diambilnya. Ia berkata, “Aku tak mau menjadi ayah yang cukup baik. Kita punya waktu yang pendek untuk memberi pengaruh pada anak-anak kita. Pola apapun yang kita tentukan untuk mereka akan digunakan untuk anak-anak mereka dan generasi setelahnya. Kita punya tanggung jawab untuk membentuk kehidupan. Kurasa itu tidak boleh dianggap remeh. Setengah dari semua ayah di negara ini gagal melakukan itu. Aku tak mau jadi salah satu dari antara mereka. Ini bukan hanya soal menghabiskan waktu dengan anak-anak kalian. Itu hal yang sudah pasti. Aku bicara soal menetapkan standar yang mereka harus bidik dalam kehidupan. Aku belajar bahwa Tuhan ingin agar aku membuat putraku jadi pria sejati. Aku tidak bisa melakukannya dengan santai. Aku tak boleh pasif.”

Mendengar perkataan Adam, keempat temannya akhirnya mengambil keputusan untuk berkomitmen menjadi pria dan ayah yang bertanggung jawab. Mereka berlima akhirnya menyelenggarakan upacara penandatanganan resolusi dan mengucapkan janji mereka di hadapan Tuhan dan keluarga. Pada saat upacara, Pendeta mengingatkan mereka bahwa tantangan, kontroversi dan konflik akan datang dan menguji komitmen mereka, untuk itu mereka harus memiliki keteguhan hati.

Hari terus berlalu, satu demi satu tantangan, kontroversi dan konflik datang menghampiri mereka. Masing-masing dari mereka berjuang untuk menghadapnya, berjuang untuk menjadi ayah yang bertanggung jawab, berjuang untuk mengampuni, berjuang untuk menyangkal diri dan berjuang untuk taat. Hari demi hari mereka menyaksikan bagaimana Tuhan menyertai dan bekerja di dalam hidup mereka, memberi mereka kekuatan untuk berjuang. Dalam perjuangan itu, ada yang menang namun ada pula yang jatuh dan terus berjuang untuk menang.

Sebuah film yang sangat memberkati. Film yang wajib ditonton oleh para ayah yang memiliki keinginan untuk menjadi ayah yang bertanggung jawab dan oleh para ibu yang ingin mendukung seorang ayah menjadi ayah yang bertanggung jawab. Film ini juga sangat baik ditonton oleh setiap orang yang belum menikah karena begitu banyak pelajaran dan nilai-nilai yang dapat dipetik dari setiap pergumulan, keputusan, dan peristiwa yang dialami oleh para tokoh.

Bagaimana, ada yang tertarik untuk menonton film ini? Film ini dapat dibeli di toko-toko buku Kristen atau di toko-toko yang menjual CD/DVD. Teman-teman juga dapat meminjam film ini di perpustakaan SMP sekolah Athalia.

IB/Tim Karakter

 

“Keluarga” Kami

Putriku, Gina, berada di kelas empatnya Bu Melton. Baru satu bulan sekolah, dia mulai secara teratur pulang ke rumah dengan meminta pensil, krayon, kertas, dan sebagainya. Pada mulanya dengan semangat aku menyediakan apa pun yang dia perlukan, tidak pernah menanyakannya.

Setelah permintaan yang terus-menerus akan benda-benda yang seharusnya bisa bertahan sedikitnya enam minggu di kelas empat, aku mulai heran dan bertanya, “Gina, apa yang kaulakukan dengan peralatan sekolahmu?” Dia selalu memberi jawaban yang bisa memuaskanku. Suatu hari, setelah memberikan benda yang sama seminggu sebelumnya, aku mulai kesal dengan permintaannya dan dengan tegas bertanya sekali lagi, “Gina! Apa yang terjadi dengan peralatan sekolahmu?” Mengetahui bahwa alasannya tidak akan mempan lagi, dia menundukkan kepala dan mulai menangis. Aku mengangkat dagu kecilnya dan memandang mata cokelatnya yang besar, yang sekarang digenangi air mata. “Apa?! Apa yang tidak beres?” Pikiranku dipenuhi segala macam pikiran. Apakah dia dinakali anak lain? Apakah dia memberikan peralatan sekolahnya agar dia tidak dilukai atau agar dia diterima oleh mereka?

Aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi, tetapi aku tahu ada sesuatu yang serius sehingga dia menangis. Aku menunggu lama sekali sebelum dia menjawab. “Mom,” dia memulai, “ada seorang anak lelaki di kelasku; dia tidak punya semua peralatan yang dia perlukan untuk melakukan pekerjaannya. Anak-anak lain mengejeknya karena kertasnya kusut dan dia hanya punya dua krayon untuk mewarnai. Aku telah meletakkan semua peralatan yang Mom belikan untukku sebelum anak-anak lain masuk, jadi dia tidak tahu bahwa aku yang meletakkannya. Tolong jangan marah, Mom. Aku tidak bermaksud berbohong, tetapi aku tidak ingin siapa pun tahu bahwa aku yang melakukannya.”

Hatiku luruh saat aku berdiri di sana tak percaya. Dia telah mengambil peran seorang dewasa dan berusaha menyembunyikannya seperti seorang anak. Aku berlutut dan memeluknya, tidak ingin dia melihat air mataku sendiri. Ketika sudah tenang, aku berdiri dan berkata, “Gina, Mom tidak akan pernah marah padamu karena ingin menolong seseorang, tetapi mengapa kau tidak datang saja dan mengatakannya pada Mom?” Aku tidak harus menunggu dia untuk menjawab. Hari berikutnya, aku mengunjungi Bu Melton. Aku memberitahu apa yang telah dikatakan Gina. Dia juga mengetahui situasi John. Anak tertua dari empat anak lelaki, orangtuanya baru saja pindah ke sini dan ketika sekolah menunjukkan daftar peralatan sekolah untuk semua murid kelas empat, mereka merasa sangat terbebani.

Ketika tiba di sekolah minggu berikutnya, anak-anak itu nyaris tidak membawa apa pun- masing-masing hanya membawa beberapa lembar kertas dan satu pensil. Aku meminta daftar keperluan keempat kelas anak-anak itu dan memberitahu Bu melton bahwa aku akan menyiapkannya di hari berikutnya. Dia tersenyum dan memberikan daftar itu. Hari berikutnya, kami membawa perlengkapan itu dan memberikannya ke kantor sekolah dengan catatan untuk diberikan kepada keempat anak lelaki itu.

Ketika Natal mendekat, pikiran tentang John, saudara-saudara, dan keluarganya memenuhi pikiranku. Apa yang akan mereka lakukan? Pasti mereka tidak punya uang untuk membeli hadiah. Aku bertanya kepada Bu Melton apakah dia bisa memberi alamat keluarga mereka. Pada mulanya dia menolak, mengingatkanku bahwa ada kebijakan yang melindungi privasi murid. Tetapi karena dia mengenalku dari pekerjaanku di sekolah dan keterlibatanku dalam dewan Persatuan Orangtua Murid dan Guru, dia menyelipkan secarik kertas ke tanganku dan berbisik, “Jangan bilang siapa-siapa kalau aku memberikannya kepadamu.”

Ketika keluargaku mulai bersiap untuk tradisi Malam Natal, yang biasanya diselenggarakan di rumahku, aku hanya memberitahu mereka bahwa aku, suamiku, dan anak-anak tidak menginginkan kado, tetapi lebih ingin menerima perbekalan makanan dan hadiah-hadiah untuk “keluarga” kami. Saat aku dan anak-anak belanja untuk Natal, dengan gembira mereka memilihkan hadiah yang dibungkus untuk anak-anak lelaki itu. Ruang keluargaku penuh sesak dan kegembiraan menular.

Akhirnya, pada pukul 21.00, kami memutuskan bahwa tiba waktunya untuk membawa barang-barang kami kepada mereka. Saudara-saudara lelakiku, ayahku, paman, dan keponakan lelaki mengisi truk-truk mereka dan berangkat ke alamat kompleks apartemen yang telah diberikan oleh Bu Melton. Mereka mengetuk pintu dan muncul seorang anak lelaki kecil. Mereka menanyakan ayah atau ibunya, dan dia lari ke dalam.

Mereka menunggu sampai seorang pria muda, yang nyaris masih kanak-kanak juga, muncul di pintu. Dia memandang para pria yang berdiri di sana, masing-masing menggenggam kantong makanan dan hadiah, dan tidak bisa berkata-kata. Para pria menerobos masuk melewatinya dan langsung menuju meja dapur untuk meletakkan barang-barang.

Tidak ada perabotan. Hanya apartemen satu kamar tidur yang kosong dengan beberapa selimut di lantai dan satu televisi kecil, tempat mereka menghabiskan waktu mereka. Pohon Natalnya berupa pohon semak yang ditemukan anak-anak di ladang di belakang kompleks. Beberapa hiasan kertas yang dibuat di kelas membuatnya tampak seperti pohon Natal sungguhan. Tidak ada apa pun di bawah pohon itu. Keempat anak lelaki itu dan orangtuanya berdiri tanpa berkata-kata saat para pria meletakkan kantong demi kantong. Pada akhirnya mereka menanyakan siapa yang mengirimnya, bagaimana mereka bisa tahu alamat mereka, dan sebagainya. Tetapi para pria itu hanya pergi dengan teriakan “Selamat Natal!” Ketika para pria tiba kembali di rumahku, mereka terdiam, tidak bisa berkata-kata. Untuk memecah keheningan, bibiku berdiri dan mulai menyanyikan “Malam Kudus” dan kami semua ikut menyanyi.

Ketika sekolah dimulai kembali, setiap hari Gina pulang ke rumah menceritakan pakaian baru John dan bagaimana sekarang anak-anak lain bermain dengannya dan memperlakukannya sama seperti anak-anak lain. Gina tidak pernah memberitahu siapa pun tentang apa yang telah kami lakukan, tetapi setiap Natal sejak Natal yang satu itu, dia akan berkata kepadaku, “Mom, apa yang terjadi pada John dan keluarganya?” Meski tidak tahu jawabannya, aku ingin berpikir bahwa John dan keluarganya telah tertolong oleh hadiah dari putriku.

-Linda Snelson

Chicken Soup for the Soul Christmas Treasury