Mengambil Keputusan? Jangan takut!

“Tutut..tutut… “ alarm jam berbunyi setiap pagi. Sebelum matahari terbit kita sudah harus membuat keputusan apakah akan segera bangun dari tempat tidur atau justru menarik selimut dan kembali terlelap. Begitu pula ketika sudah bangun kita juga harus memutuskan apakah akan mandi atau sarapan terlebih dahulu. Setiap manusia rata-rata membuat lebih dari 200 keputusan setiap harinya. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali di malam hari.

Tapi terkadang kita tidak menyadari bahwa setiap keputusan yang kita ambil, ternyata menentukan masa depan kita. Setiap keputusan akan membawa kita pada satu kondisi yang berbeda dari keputusan yang lainnya. Oleh karena itu kita harus selalu mempertimbangkan dengan matang setiap keputusan yang akan kita ambil.

Di sisi lain, perlu kita ketahui juga bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan saat membuat keputusan tidak dapat muncul dengan sendirinya. Pertimbangan atau pemikiran mengenai konsekuensi dari pilihan-pilihan merupakan hasil dari pengalaman sebelumnya. Lalu bagaimana dengan anak-anak yang belum memiliki cukup pengalaman untuk memikirkan konsekuensi dari setiap keputusannya?

Di pertengahan bulan Januari 2015 ini sempat beredar berita dimana ada seorang anak remaja yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri (metro.sindonews.com/read/950371/31/siswa-smp-di-pancoran-gantung-diri-dalam-lemari-1421209068). Sudah beberapa kali kita mendengar hal ini, dimana ada anak-anak yang berani mengambil keputusan tanpa memikirkan baik-baik dampaknya bagi diri dan orang lain di sekitar mereka. Anak-anak yang berani mengakhiri hidupnya mungkin tidak berpikir bahwa hal ini akan menyedihkan hati orang tua mereka dan bahwa bunuh diri bukanlah satu-satunya jalan keluar. Begitu juga halnya dengan para remaja yang memutuskan bunuh diri hanya karena masalah percintaan atau orang-orang yang terjebak dalam obat-obatan terlarang dan minuman keras. Seperti yang kita sudah dengar, menurut data BNN pada tahun 2014, 4,2 juta orang di Indonesia menjadi pecandu narkotika dan setiap tahunnya 51.000 pecandu meninggal.

Semua ini tak lain merupakan hasil dari pengambilan keputusan yang mereka lakukan. Tetapi bagaimana caranya agar mereka bisa mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kehendak Tuhan? Di sinilah orang tua berperan untuk mendampingi anak ketika membuat keputusan.

Bu Charlotte Priatna dalam seminarnya ‘Bagaimana Mendampingi Anak Membuat Keputusan’ Sabtu, 17 Januari 2015 lalu juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan yang membuat anak dapat mengambil keputusan yang salah/ tidak tepat. Diantaranya adalah,

• Adanya tekanan dari teman sebaya
• Kelihatan bagus di awal/ terlihatnya bagus
• Bosan
• Tidak mempertimbangkan konsekuensinya
• Tidak dapat berhenti memikirkannya

Beberapa alasan ini secara langsung maupun tidak langsung telah memengaruhi anak dalam memutuskan sesuatu. Khususnya para remaja saat ini dengan pergaulan yang semakin luas dan yang berarti juga semakin rentan untuk terpengaruh trend di sekitar mereka. Berbagai informasi yang baik maupun tidak baik dengan begitu mudahnya diakses dan masuk dalam pikiran anak. Oleh karena itu pendampingan dari orang tua sangat penting dan sebaiknya diberikan sejak anak masih kecil.

Ketika masih kecil, anak-anak memang akan bergantung sepenuhnya pada orang tua dalam mengambil keputusan. Orang tua harus siap menjadi ‘time keeper’ dan ‘organizer’ bagi keseharian anak-anak karena mereka belum mengerti apa yang mereka lakukan dan apa akibat dari kelakuan itu di kemudian hari. Orang tua bertanggung jawab untuk mendampingi kehidupan anak hingga mereka mampu membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas keputusan itu.

Orang tua masih harus membuat keputusan bagi anaknya hingga anak mulai masuk sekolah dasar. Ketika masuk di sekolah dasar, anak mulai diberi kesempatan untuk memutuskan meski masih berupa keputusan-keputusan sederhana. Anak mulai bisa memutuskan sikap yang diambil ketika berhubungan dengan orang lain. Ketika sudah memasuki usia sekolah menengah pertama dan akhir, anak mulai diberi porsi kesempatan yang lebih untuk mengambil keputusan, seperti kapan waktunya belajar dan kapan waktunya bermain. Anak juga perlahan harus mulai belajar bertanggung jawab atas hidupnya. Kemudian anak dapat dilepas untuk mengambil keputusan sendiri ketika mulai memasuki usia kuliah atau setelah lulus sekolah.

Perlahan orang tua memang harus berani melepaskan pegangan anak-anak mereka. Meski begitu anak tetap membutuhkan pendampingan dan monitoring dari orang tua ketika menjalani keputusan yang mereka pilih. Anak-anak pun harus diingatkan bahwa setiap keputusan yang telah mereka ambil harus mereka jalani dengan suka hati dan bertanggung jawab. Tujuan hidup setiap anak harus menjadi poros ketika mereka membuat keputusan. Anak harus diajarkan bahwa yang terpenting dalam hidup bukan sekedar memiliki dan melakukan apa yang mereka sukai, tetapi juga sungguh-sungguh menjadi seseorang yang dapat memberkati orang lain. Kehidupan mereka adalah milik Tuhan dan mereka harus dapat menggunakannya juga untuk kemuliaan Tuhan.

Bila anak sudah memiliki prinsip hidup yang benar, maka dengan sendirinya mereka dapat lebih mudah untuk memilih mana yang tepat untuk dijalaninya. Kita juga harus belajar untuk menyerahkan segala sesuatunya pada Tuhan karena Ia tahu mana yang terbaik bagi kita. Jangan biarkan emosi sesaat atau keinginan diri sendiri memengaruhi keputusan yang diambil, tetapi terus libatkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan. Jadi janganlah takut mengambil keputusan ketika kita sudah mengandalkan Tuhan. (LDS)

Sepuluh Kesalahan yang Dilakukan Orang Tua Saat Ini

Seorang Psikiatri Paul Bohn berkata:

“Banyak orang tua yang akan melakukan apa saja untuk melindungi anak mereka. Mereka bahkan berusaha untuk melindungi anak-anak dari ketidaknyamanan, kecemasan atau kekecewaan yang ringan atau segala sesuatu yang kurang menyenangkan. Hasilnya adalah ketika anak-anak tumbuh dewasa dan mengalami kegagalan hidup yang berada pada batas normal, mereka langsung berpikir bahwa ada sesuatu yang sangat salah sedang terjadi.

Saya menemukan bahwa saat ini, banyak orang tua yang lebih berinvestasi dalam kehidupan anak-anak mereka daripada generasi-generasi sebelumnya. Apa yang mungkin kita benarkan sebagai “pola asuh yang benar” dapat melukai anak-anak kita di kemudian hari. Salah satunya adalah ketika kita membuat hidup mereka terlalu mudah. Seperti filosofi pola asuh favorit saya: “Prepare your child for the road, not the road for your child.”

Disini saya akan menguraikan 10 kesalahan yang orang tua sering lakukan saat ini. Tujuan saya adalah untuk membangun kesadaran.

Kesalahan No. 10:

Memuja anak-anak kita. Banyak di antara kita yang hidup dalam komunitas child-centric (anak sebagai pusat). Kita memelihara anak kita di dalam rumah yang child-centric. Anak-anak kita menyukai hal ini, tentu saja, karena kehidupan kita berputar mengelilingi mereka. Sebagian besar dari kita tidak keberatan akan hal itu, karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita juga. Hal ini mendorong kita untuk melakukan sesuatu untuk mereka, membelikan sesuatu untuk mereka, menghujani mereka dengan cinta dan perhatian.

Tetapi, saya berpikir bahwa sangat penting untuk mengingat bahwa anak-anak kita diciptakan untuk dicintai, bukan dipuja. Sehingga ketika kita memperlakukan mereka sebagai pusat dari dunia, kita menciptakan idola palsu. Daripada rumah yang child-centric, kita seharusnya mengusahakan sebuah rumah yang Christ-centric (berpusat pada Kristus). Anak-anak kita tetap dicintai, hanya saja dalam cara yang lebih baik, yang mengutamakan ketidakegoisan diatas keegoisan.

Kesalahan No. 9

Percaya bahwa anak-anak kita sempurna. Satu hal yang sering saya dengar dari profesional yang bekerja dengan anak-anak (konselor, guru, dll) adalah bahwa orang tua tidak ingin mendengar sesuatu yang negatif mengenai anak-anak mereka. Meskipun hal-hal itu disampaikan atas dasar kasih kepada anak, namun reaksi spontan dari orang tua biasanya adalah menyerang si pemberi pesan.

Kenyataan dapat menyakitkan, tetapi ketika kita mendengar dengan hati dan pikiran yang terbuka, hal itu akan menguntungkan kita. Kita dapat mencegah lebih dini sebelum situasi berkembang di luar kendali. Sangat mudah untuk menghadapi anak bermasalah daripada memperbaiki orang dewasa yang sudah rusak.

Pada saat saya mewawancara seorang psikiater anak dari Alabama mengenai depresi pada anak remaja, ia mengatakan bahwa intervensi awal adalah kunci, karena hal itu dapat mengubah lintasan kehidupan anak. Dia mengatakan bahwa hal inilah yang membuatnya menikmati psikiatri anak dan remaja-karena anak-anak lebih elastis, dan lebih mudah untuk mengintervensi secara efektif ketika mereka masih muda, daripada tahun-tahun setelahnya. Ketika masalah berlangsung cukup lama, maka hal itu akan menjadi bagian dari identitas mereka.

Kesalahan No. 8

Hidup mewakili anak-anak kita. Kita orang tua memiliki kebanggaan yang besar terhadap anak-anak kita. Ketika mereka sukses, hal itu membuat kita lebih senang daripada jika kita melakukannya sendiri.

Tetapi ketika anak-anak menjadi eksistensi kita, maka kita mungkin akan melihat mereka sebagai kesempatan kedua. Akhirnya, itu bukan lagi mengenai mereka, tetapi mengenai kita. Inilah dimana kebahagiaan mereka menjadi tercampur aduk dengan kebahagiaan kita.

Kesalahan no. 7

Ingin menjadi BFF (Best Friend Forever) anak kita. Ketika saya bertanya kepada seorang imam untuk menyebutkan kesalahan terbesar yang dia lihat dalam pengasuhan anak, dia berpikir sesaat kemudian berkata, “Orang tua tidak menjadi orang tua. Mereka tidak melangkah untuk melakukan hal-hal yang sulit.”

Sama seperti semua orang, saya ingin anak-anak saya mencintai saya. Saya ingin mereka memuji dan menghargai saya. Tetapi, jika saya melakukan tugas sebagai orang tua dengan benar, mereka akan marah dan kadang-kadang tidak menyukai saya. Mereka akan memutar mata mereka, menguap, dan mengerang, dan berharap mereka dilahirkan di keluarga lain.

Berusaha menjadi BFF anak kita hanya akan mengarahkan pada tindakan permisif dan mengakibatkan rasa putus asa karena kita takut kehilangan persetujuan dari anak-anak kita.

Kesalahan no. 6

Terlibat dalam pengasuhan yang kompetitif. Saya mendengar cerita ini kebanyakan dari level SMP dan SMA, cerita mengenai persahabatan yang rusak dan  adanya penghianatan karena satu keluarga melemahkan keluarga lain.

Menurut pendapat saya, akar permasalahannya adalah rasa takut. Kita takut anak-anak kita akan tertinggal di belakang. Kita berusaha mendidik anak mengikuti tren yang ada (mendaftarkan anak untuk mengikuti berbagai kursus/ les sejak usia dini dan memberi gadget). Kita takut bila kita tidak melakukan itu nantinya mereka akan memiliki hidup yang biasa-biasa saja.

Saya percaya bahwa anak-anak perlu bekerja keras dan mengerti bahwa mimpi tidak akan datang diatas piring perak, mereka harus berkeringat dan berjuang untuk mendapatkannya.

Karakter mungkin tidak terlihat penting pada masa remaja, namun pada masa dewasa, itu adalah segalanya.

Kesalahan no. 5

Kehilangan kemegahan masa kecil. Membesarkan anak kecil sulit, sebuah pekerjaan yang monoton. Pada saat itu juga sangat melelahkan secara fisik dan emosional. Terkadang kita berharap agar mereka lebih tua untuk membuat hidup kita lebih mudah. Kita juga ingin tahu mereka akan tumbuh seperti siapa. Apa yang menjadi passion mereka? Apakah Tuhan memberikan karunia yang jelas? Sebagai orang tua kita berharap demikian untuk mengetahui kekuatan memelihara mana yang akan memampukan kita untuk mengarahkan mereka pada arah yang jelas.

Untuk masa depan kita bertanya apakah anak-anak kita yang memiliki kepandaian khusus dalam seni akan menjadikan mereka seorang Picasso, atau apakah suara merdu mereka akan membuat mereka seperti Taylor Swift, kita mungkin lupa untuk menyerap kemegahan yang ada di hadapan kita: Anak di piyama berkaki, cerita pengantar tidur, menggelitik perut, dan jeritan gembira. Kita mungkin lupa untuk membiarkan anak kita menjadi anak kecil dan menikmati satu-satunya masa kecil yang diberikan pada mereka.

Bagi mereka, hal ini bukan tentang menjadi produktif, ini tentang keberadaan/ menjadi ada. Ini tentang bermimpi besar dan menikmati kehidupan. Tekanan pada anak-anak dimulai terlalu cepat. Kita perlu melindungi mereka dari tekanan-tekanan itu. Kita perlu untuk membiarkan mereka bersenang-senang dan tumbuh sesuai dengan kecepatan mereka, sehingga: 1. Mereka dapat mengeksplore ketertarikan mereka tanpa takut gagal dan 2. Mereka tidak mengalami “burned out”.

Masa anak-anak adalah waktu untuk bebas bermain dan menjelajah. Ketika kita memburu-buru mereka melewati masa-masa ini, maka kita akan merampas masa-masa kecil mereka dan mereka tidak tidak akan pernah dapat kembali ke masa itu.

Kesalahan no. 4

Membesarkan anak yang kita inginkan, bukan anak yang kita miliki. Sebagai orang tua, kita memiliki mimpi untuk anak-anak kita. Hal itu bermula ketika kita hamil, sebelum jenis kelaminnya diketahui. Diam-diam kita berharap agar anak kita menjadi seperti kita, namun lebih pintar dan lebih bertalenta.

Tetapi ironinya adalah, anak-anak kita mengikuti cetakan kita dengan cara yang terbalik. Mereka keluar dari jalur dengan cara yang tidak dapat kita antisipasi. Tugas kita adalah mencari tahu sifat mereka, tunduk pada ketetapan Allah, dan melatih mereka pada ketetapan Allah. Memaksakan mimpi kita pada mereka tidak akan berhasil. Hanya ketika kita melihat mereka sebagaimana adanya merekalah yang dapat membuat kita dapat berdampak kuat dalam kehidupan mereka.

Kesalahan no. 3

Lupa bahwa tindakan kita berbicara lebih keras daripada kata-kata kita. Saya ingin memenuhi anak-anak saya dengan kebijaksanaan, tetapi apa yang saya lupakan adalah bagaimana contoh-contoh yang saya perlihatkan membayangi kata-kata saya.

Bagaimana saya menghadapi penolakan dan penderitaan… bagaimana saya memperlakukan teman dan orang asing… apakah saya mengomeli atau membangun ayah mereka… mereka memperhatikan seluruh hal-hal ini. Cara saya merespon memberikan mereka ijin untuk bertindak dan melakukan hal yang sama.

Jika saya ingin anak-anak saya menjadi luar biasa, saya harus memiliki tujuan yang luar biasa juga. Ketika saya ingin anak saya memiliki kualitas tertentu, maka saya harus terlebih dahulu memiliki kualitas tersebut. Dengan begitu saya dapat menjadi contoh bagi mereka, tidak sekedar menyuruh mereka menaati perkataan saya.

Kesalahan no. 2

Menghakimi orang tua lain-dan anak-anak mereka. Tidak menjadi masalah seberapa tidak setujunya kita dengan pola asuh seseorang, bukan menjadi bagian kita untuk menghakimi mereka. Tidak satu orang pun di dunia ini yang “seluruhnya benar” atau “seluruhnya salah”, kita semua memiliki keduanya.

Kesalahan no. 1

Meremehkan karakter. Banyak orangtua tidak fokus dalam mengembangkan karakter anak dan bahkan menganggap karakter sebagai hal yang tidak penting. Tapi bagi saya satu hal yang saya harapkan benar dalam diri anak saya adalah karakter sebagai inti hidup mereka. Karakter inilah yang akan meletakkan dasar untuk bahagia, dan masa depan yang sehat. Hal-hal ini lebih penting dari pada semua nilai, rapor, dan penghargaan yang pernah mereka terima.

Tidak seorangpun dari kita dapat memaksa anak kita untuk memiliki karakter tertentu. Hal ini karena bagi anak-anak usia 10 atau 15 tahun, karakter tidak akan berarti banyak. Mereka cenderung lebih peduli pada penghargaan secara langsung yang diberikan pada saat itu juga (short-term gratification). Namun, kita tahu bahwa apa yang akan terjadi pada usia 25, 30, dan 40 bukanlah seberapa jauh mereka dapat melempar bola, atau apakah mereka menjadi cheerleader, tetapi bagaimana mereka memperlakukan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri. Jika kita ingin agar mereka membangun karakter, kepercayaan diri, kekuatan, dan kegembiraan, kita butuh untuk membiarkan mereka menghadapi kesengsaraan dan mengalami kebanggaan yang mengikuti ketika mereka menjadi lebih kuat di sisi lain.

Sulit untuk melihat anak-anak kita jatuh, tetapi kadang-kadang kita harus. Kadang kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah intervensi adalah cara terbaik untuk mereka. Ada ribuan cara untuk mengasihi anak, tetapi dalam pencarian kita untuk membuat mereka senang, mari kita menyadari bahwa terkadang dibutuhkan rasa sakit jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang.

Kari Kubiszyn Kampakis.

Sumber: http://www.viacharacterblog.org/

Belajar Bersama di Parenting Class (Kid & Teen)

“Mama, bayi itu asalnya dari mana ya?”

“Papa, tadi temanku bilang dia suka sama aku, aku mesti jawab apa?”

Pernahkah anak Anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan Anda tidak siap menjawabnya? Pernahkah Anda berharap akan adanya sarana yang dapat membantu dan membimbing Anda sebagai orang tua? Atau akan adanya wadah untuk saling berbagi dengan orang tua lainnya? Bila iya, maka Parenting Class adalah jawabannya. Parenting Class adalah sebuah kelas pembelajaran yang khusus diberikan bagi para orang tua. Terkait hal ini, maka Sekolah Athalia mengadakan Parenting Class untuk membantu para orang tua murid. Salah satunya adalah untuk membantu orang tua paham cara mengasuh dan mendidik anak sesuai dengan prinsip-prinsip Alkitab.

Parenting Class di Sekolah Athalia

Sekolah Athalia adalah sekolah yang berbasis pada karakter Oleh karena itu pengembangan karakter harus dilakukan di dalam keseluruhan hidup anak. Pengembangan karakter anak di sekolah harus didukung juga dengan pengembangan karakter anak di rumah. Namun kita semua sadar bahwa tidak semua orang tua tahu dan mengerti bagaimana cara untuk mendidik dan mengasuh anak dengan tepat. Untuk itulah Sekolah Athalia berinisiatif untuk membantu para orang tua melalui Parenting Class.

Parenting Class juga merupakan sarana untuk memfasilitasi para orang tua murid untuk saling berbagi dan belajar. Berbagi mengenai kehidupan mereka selama menjadi orang tua dan belajar bagaimana untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak mereka. Parenting Class sendiri dibagi menjadi dua. Parenting Class (Kid) diperuntukkan bagi orang tua yang memiliki anak usia 0 hingga kelas 5 SD. Kemudian Parenting Class (Teen) diperuntukkan bagi orang tua yang memiliki anak diatas kelas 5 SD.  Parenting Class (Kid) dan Parenting Class (Teen) saat ini masing-masing diikuti oleh 29 pasang orang tua.

Komitmen Orang Tua untuk Belajar

Setiap orang tua harus berkomitmen untuk menyediakan jangka waktu dua tahun untuk Parenting Class (Kid) dan satu tahun untuk Parenting Class (Teen). Pada setiap Parenting Class, orang tua juga harus memiliki buku yang akan menjadi panduan dalam setiap pertemuannya. Parenting Class (Kid) saat ini memakai buku Let the Children Come Series, Along the Virtuous Way. Sedangkan Parenting Class (Teen) memakai buku Let the Children Come Series, Along the Middle-Years Way.

Parenting Class (Kid) dan (Teen) sejak bulan Oktober 2014 diadakan setiap dua minggu sekali dan difasilitasi oleh Bu Charlotte Priatna sebagai pembicara. Selama Parenting Class, orang tua diminta untuk aktif dalam membahas materi maupun melakukan tanya jawab. Oleh karena itu, para orang tua dibagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan area tempat tinggal mereka. Masing-masing kelompok akan mengadakan pertemuan secara mandiri untuk berdiskusi sebelum pertemuan Parenting Class. Setiap pertemuan, masing-masing kelompok secara bergantian akan mempresentasikan hasil diskusi mereka. Setelah kelompok yang bertugas selesai mempresentasikan hasil diskusi mereka, maka akan diadakan sesi diskusi yang dipandu oleh Ibu Charlotte. Tanya jawab biasanya diisi dengan pembahasan mengenai materi yang tidak dimengerti atau dengan pengalaman serta kesulitan yang dialami oleh orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak.

Keluarga yang Berproses

Setiap keluarga pastinya memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Ada keluarga yang membagikan pengalaman mereka dalam menumbuhkan kesadaran, tanggung jawab dan kepedulian anak-anak. Ada juga keluarga yang membagikan kesulitan mereka dalam mengkomunikasikan kepada anak mengenai pergumulan mereka. Baik pergumulan dalam menghadapi sakit penyakit atau jatuh bangun dalam ekonomi keluarga.

Proses ini membuat para orang tua bisa saling mendukung, saling mendoakan atau bahkan membantu mencari pemecahannya. Mereka bisa merasakan bahwa mereka tidak sendiri dan menyadari bahwa di dunia ini tidak ada keluarga yang sempurna. Setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan, termasuk mereka sebagai orang tua. Namun semua kembali lagi pada seberapa besar keinginan para orang tua untuk belajar dan memperbaiki diri. Didukung juga dengan kerinduan mereka untuk memiliki keluarga yang bertumbuh dan berproses di dalam Tuhan. (LDS)