Untuk Apa Kita Berencana Jika Semua Sudah Ditentukan?

Oleh: Ni Putu Mustika Dewi, staf Pengembangan Karakter

Saat memasuki awal tahun, kita cenderung merencanakan banyak hal (ini dan itu) untuk dilakukan sepanjang tahun. Namun, pernahkah kita bertanya-tanya untuk apa kita (manusia) melakukan perencanaan jika toh segala sesuatunya sudah TUHAN tentukan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penting bagi kita untuk memahami dengan benar siapa TUHAN yang kita percaya dan siapa diri kita sebagai manusia yang adalah ciptaan-Nya.
TUHAN Allah yang kita sembah adalah Tuhan yang menciptakan kita segambar dan serupa dengan-Nya (Kejadian 1:26) dengan tujuan untuk menikmati Dia dan memuliakan-Nya.
Manusia tidak memiliki kuasa penuh atas waktu, tempat atau apa pun juga di dalam hidupnya, karena sebagai ciptaan kita ada dalam keterbatasan. Oleh sebab itu, untuk menjalani kehidupan ini Allah memperlengkapi manusia dengan akal budi dan kehendak. Manusia tidak diciptakan seperti robot atau wayang oleh TUHAN, tetapi diminta Allah untuk bertanggung jawab atas kehendaknya dan keputusannya. Namun, di dalam kebebasan manusia yang terbatas itu, Allah yang tak terbatas tetap pegang kendali penuh atas kehidupan ini. Tidak ada satu pun kejadian yang terlewatkan dari mata Allah.

Jika demikian, masih perlukah manusia berencana?
Perencanaan merupakan lambang hikmat sekaligus lambang keterbatasan. Hari depan sangat tidak bisa menentu, oleh sebab itu manusia melakukan perencanaan. Perencanaan yang dibuat bukan untuk mengontrol segala sesuatu di depan melainkan sebagai antisipasi (atau sebisa mungkin meminimalisir resiko) dari apa yang akan dihadapi nanti.
Oleh sebab itu, biarlah di dalam perencanaan kita akan masa depan yang tidak menentu, kita dapat belajar terbuka terhadap kendali Allah dengan berkata: Jika Tuhan berkehendak maka saya akan ….

Sumber:
 Alkitab
 Buku “Mengambil Keputusan seusai Firman Tuahn”, karya Haddon W. Robinson
 Ringkasan Khotbah Pdt. Ivan Kristiano “Jika Allah Berkehendak” di GRII Andika, 6 Juli 2014)

The Consistency of The New Year Resolution

Oleh: Bella Kumalasari, staf Pengembangan Karakter

resolusi

Tahun baru identik dengan sesuatu yang baru. Dalam mengawali tahun yang baru, kita sering membuat resolusi, sebuah tekad yang akan kita lakukan di sepanjang satu tahun mendatang. “Saya berjanji akan lebih baik dalam hal …” begitu kira-kira kita ucapkan. Namun seiring berjalannya waktu, tekad itu pun mulai memudar. Kita mulai kompromi dan berkata “Yah.. sudahlah..” atau bahkan tidak berkata apa-apa tentang tekad kita tersebut karena mengingatnya pun tidak. Tahun yang baru tidak hanya membutuhkan sebuah tekad yang baru. Tentu hal itu baik, namun konsistensi diperlukan untuk mempertahankan tekad itu sampai akhir tahun.
Menurut KBBI, konsistensi berarti ketetapan, kemantapan, kekentalan, kepadatan, dan ketahanan. Ijinkan saya menjabarkan konsistensi dalam dua hal, yaitu antusiasme dan kesetiaan.

1. Antusiasme
Konsistensi membutuhkan semangat dan tekad yang kuat, yang sering kita sebut dengan antusiasme. Sebuah buku menuliskan bahwa kata antusias berasal dari dua kata Yunani: “en” yang berarti “di dalam” dan “theos” yang berarti “Allah”. Jadi antusias berarti diinspirasi dan digerakkan oleh Allah. Hal ini mengingatkan kita tentang dasar dari segala sesuatu yg kita perjuangkan. Antusiasme tidak hanya sekedar semangat atau minat, namun lebih dari itu, ada Tuhan yang menggerakkan di dalam diri kita.
Antusiasme adalah hasrat yang begitu kuat untuk mengejar sesuatu. Pada kenyataannya, orang yang tidak mengenal Tuhan pun bisa seolah memiliki antusiasme, misalnya Saulus. Namun, tentu dasarnya berbeda. Dasar dari antusiasme bagi orang yang mengenal Tuhan adalah kenyataan yang begitu menggetarkan bahwa Allah terlebih dahulu menyelamatkan kita sehingga kita ingin memberikan yang terbaik bagi-Nya sebagai rasa syukur kita yang tidak terbendung. Oleh karena itu, sudah semestinya kita berusaha melakukan yang terbaik yang kita bisa dalam segala sesuatu, seperti yang Rasul Paulus katakan dalam Kolose 3:23 (TB) “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Sebaliknya, orang yang tidak mengenal Allah giat karena keinginan untuk memenuhi kepuasan pribadi.
Lalu, bagaimana cara mempertahankannya? Karena antusiasme tidak dihasilkan oleh usaha kita sendiri melainkan oleh Allah, maka kita perlu bersekutu dengan Roh Kudus dalam Firman Tuhan. “Janganlah padamkan Roh”, Firman Tuhan yang tertulis dalam 1 Tesalonika 5:19.

2. Kesetiaan
Ketika berbicara mengenai kesetiaan, saya pun teringat pada pengalaman saya melayani di suatu daerah selama satu tahun yang lalu. Saya merasa sudah coba lakukan yang terbaik yang saya bisa dan mengusahakan ini dan itu, namun seolah tidak ada hasil yang tampak. Saya protes pada Tuhan dan Tuhan menegur saya. Tuhan menyadarkan saya bahwa yang Dia minta hanyalah kesetiaan saya dalam melakukan apa yang Dia percayakan, bukannya menuntut hasil atau pun “menghasilkan sesuatu”.
Dalam perumpamaan tentang talenta, sang tuan memberikan apresiasi kepada hamba-hambanya dengan mengatakan “baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Matius 25:21, 23). Kesetiaan sudah semestinya mengiringi antusiasme. Tidak cukup kita digerakkan dalam satu moment saja. Tuhan menuntut kesetiaan kita.
Tentu akan ada banyak hal yang sulit untuk dihadapi dalam memperjuangkan sesuatu, namun Tuhan ingin kita setia pada hidup yang Tuhan percayakan karena Dia terlebih setia. Ibrani 12:1-3 mengatakan “marilah kita … berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus. … Ingatlah selalu akan Dia … supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa.” Itulah kuncinya: mata yang tertuju pada Yesus.

Kiranya momen tahun baru ini mengajak kita mengambil sebuah resolusi yang sungguh-sungguh kita ikrarkan di hadapan Tuhan, apa yang Tuhan mau kita lakukan di tahun ini. Biarlah kita memiliki dasar yang benar sebagai sumber yang terus menggerakkan kita. Marilah terus menujukan mata kita kepada-Nya sehingga kita dimampukan untuk setia sampai akhir.

Selamat menempuh tahun yang baru bersama dengan Tuhan 🙂

Character Camp kelas I SD Athalia

Dalam rangka mengembangkan karakter siswa khususnya siswa kelas I SD Athalia, diadakanlah kegiatan camp yang diselenggarakan pada hari Jumat, 25 Agustus 2017 dan bertempat di gedung sekolah SD Athalia. Tema dari camp ini sesuai dengan karakter yang ingin dikembangkan dalam diri siswa SD kelas I Athalia yaitu “Be On Time“. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat meneguhkan materi karakter tepat waktu dalam diri tiap siswa melalui ibadah, panggung boneka, permainan, studi kasus, prakarya, dan interaksi perilaku siswa antar siswa, siswa dengan guru, dan membuat proyek karakter yang akan dilakukan di rumah dan di sekolah.

Rajin

rajin

Oleh: Loura Palyama, guru Agama Kristen SMP

 

Mungkin kita pernah mendengar peribahasa, “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.” Peribahasa ini sudah terbukti dari masa ke masa. Ketika masih sekolah maupun kuliah, barangkali seseorang  memiliki  IQ yang tinggi, namun orang itu malas. Pada gilirannya,  ia tidak berhasil. Sebaliknya orang yang waktu sekolah, barangkali nilainya pas-pasan, tetapi berhasil, karena kerajinannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rajin berarti suka bekerja (belajar dsb); getol; sungguh-sungguh bekerja; selalu berusaha giat; kerapkali; terus-menerus; Suatu kegiatan yang terus dilakukan tanpa mudah menyerah. Dalam Yohanes 5:17 tertulis “Tetapi Ia berkata kepada mereka: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga.” Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus punya karakter rajin bekerja dan Tuhan juga menginginkan kita mempunyai karakter seperti Dia. Dalam Alkitab, kita tidak akan menemukan tulisan yang menjelaskan bahwa Tuhan Yesus sedang bersantai atau bermalas-malasan atau libur pelayanan mau jalan-jalan dulu. Tuhan Yesus menggunakan waktu yang diberikan Bapa dengan semaksimal mungkin. Ia tidak menyia-nyiakan waktu yang ada, sehingga dikatakan seandainya semua pelayanan Yesus dituliskan maka buku sedunia tidak akan cukup (Yoh. 21: 25).

Kalau kita perhatikan semua orang yang Yesus panggil untuk menjadi mitra kerja-Nya, baik orang terpelajar, maupun orang tidak terpelajar, rakyat biasa, orang kaya, laki-laki atau perempuan, maka kita akan mendapati bahwa mereka adalah orang yang rajin bekerja.

Seringkali banyak orang yang mengerjakan sesuatu namun tidak semangat, loyo-loyo. Dan pada akhirnya, hasilnya tidak maksimal. Untuk itu, perlu kita menyimak apa yang dikatakan seorang psikolog bernama Alan Fine. Ia  mengingatkan kita bahwa manusia normal mempunyai 3 unsur F yang sangat penting untuk terus berkembang. Tiga F itu adalah faith (keyakinan), focus dan fire (api semangat). Kita tidak boleh lupa akan kekuatan ketiga F itu, yang menciptakan dan memproduksi energi kita. Pencapaian tujuan itu tentu membutuhkan kerajinan yang luar biasa.

Dari hal di atas, kita melihat bahwa RAJIN adalah hal yang sangat penting. Sebelum dunia menunjukkannya dalam berbagai filsafat dan pandangan dunia, Tuhan sudah mengatakannya kepada kita. Bahkan dalam firman Tuhan banyak teguran pedas yang diberikan pada orang-orang yang malas. Firman Tuhan dalam Amsal 10:4-5 mengatakan “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya. Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu.” Dan para pemalas diminta oleh Salomo untuk belajar kepada para semut, agar tidak terjadi kemalangan kepada diri mereka (Ams. 6:6-11).

Jika kita memperhatikan aktivitas semut, mereka tidak pernah berhenti bekerja. Mereka selalu mengumpulkan makanan yang mereka perlukan. Dan mereka tidak pernah kekurangan makanan, karena mereka selalu menjaga agar suplai makanan selalu tersedia. Demikianlah halnya kita dalam bekerja. Rajinlah bekerja seperti semut, sehingga berkat berkelimpahan akan mendatangi kehidupan kita. Tentunya dengan tidak melupakan persekutuan pribadi kita dengan Tuhan.

Banyak juga umat Tuhan yang mengaku sudah rajin beribadah dan bahkan aktif dalam pelayanan tetapi mereka mengeluh karena tidak pernah berhasil dalam pekerjaan atau usaha yang mereka jalani. Mereka beranggapan bahwa hanya dengan rajin bersekutu dengan Tuhan, maka berkat akan tercurah bagi mereka. Padahal selain hubungan intim dengan Tuhan, Tuhan ingin agar kita juga tetap bekerja dengan giat seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia, sebagaimana yang Paulus katakan dalam Kolose 3:23-24 menuliskan, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya”.

Salah satu tokoh Alkitab yang dapat diteladani dalam hal kerajinannya yaitu Paulus. Rasul Paulus tidak hanya giat dalam pelayanan saja, tetapi dia juga giat dalam bekerja agar tidak menyusahkan orang lain. Dia menjadikan dirinya teladan tidak hanya dalam pelayanan, tetapi juga dalam bekerja untuk menghidupi kebutuhannya. Keseimbangan antara pelayanan dan pekerjaan juga harus diperhatikan, jangan sampai kita hanya mengutamakan satu hal saja tetapi menelantarkan hal yang lainnya. Dengan menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan pelayanan, maka kita dapat menjadi terang bagi setiap orang yang ada di sekeliling kita dan menjadi saksi di dalam lingkungan sekuler, di mana banyak orang-orang yang tidak mengenal Tuhan akan melihat kebesaran Tuhan terjadi dalam hidup kita.

Bekerjalah dengan rajin agar kita dapat menjadi saluran berkat untuk banyak orang, bekerja juga dalam memberitakan Injil Tuhan, agar banyak orang yang mendengar tentang keselamatan dan mendapatkan keselamatan itu. Giatlah selalu, rajin dalam bekerja dan rajin dalam memuliakan Tuhan, maka hidupmu akan dipenuhi dengan rasa sukacita.

Peran Ayah Dalam Keluarga

(Mazmur 128)

 

Dalam zaman modern saat ini, banyak keluarga Kristen yang kehilangan fungsi dan perannya. Berbagai kesibukan kerja dan aktifitas yang padat membuat banyak keluarga tidak bisa menikmati kebersamaan satu dengan yang lain. Rumah cuma tempat istirahat setelah melakukan aktifitas dan pekerjaan. Tidak ada altar keluarga, tidak ada acara kumpul bersama untuk saling bicara, makan bersama, nonton bersama, saling sharing. Semuanya sibuk, sibuk dan sibuk. Tetapi itulah realita hidup yang harus kita lihat dan mungkin kita ada di dalam situasi yang seperti itu.

Seorang ayah yang seharusnya menjadi imam, kepala keluarga, suami dan ayah bagi anak-anaknya ternyata tidak punya waktu untuk keluarganya. Seorang ayah karena kesibukannnya, tidak hadir dan berperan dalam mendidik, mengajar, membangun dan mengasihi di dalam keluarganya. Sehingga apa yang terjadi? Banyak anak yang kehilangan figur seorang ayah yang mempengaruhi mereka dalam membangun self image (gambar diri) serta menentukan bagaimana mereka berelasi dengan pria lain. Pada saat mereka tidak menemukan perhatian dan kasih sayang dari ayah mereka, mereka akan mencarinya di luar dan di sana dengan begitu mudah pula mereka akan jatuh dalam pergaulan bebas.

Dalam situasi seperti ini, kita harus kembali kepada Alkitab. Dalam Mazmur 128, kita belajar beberapa hal bagaimana seorang ayah menjalankan perannya dalam keluarga.

 

1. Seorang ayah harus punya hati yang takut akan Tuhan

Mazmur 128:1 menyatakan bahwa berbahagialah orang yang takut akan Tuhan. Dalam ayat 4, kembali dinyatakan bahwa Tuhan memberkati seorang laki-laki yang takut akan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah haruslah jadi ayah yang takut akan Tuhan. Ayah yang menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang imam dalam keluarga. Ayah yang mengajarkan anak-anaknya di dalam pengenalan akan Tuhan. Mengajak keluarganya untuk beribadah melalui altar keluarga, membaca alkitab, berdoa bersama. Sehingga anak-anak akan melihat langsung figur seorang ayah yang memberikan teladan iman kepada mereka.

Mengapa banyak orang merokok? Karena ayah mereka juga perokok. Mengapa ada orang peminum? Karena ayah mereka juga seorang peminum. Jadi kita bisa melihat bahwa seorang ayah yang baik adalah ayah yang mendidik hidup anak-anaknya seturut dengan firman Tuhan. Ayah yang dalam seluruh hidupnya, pekerjaannya, aktifitasnya, kasihnya, pengajarannya membawa seluruh keluarganya takut akan Tuhan.

 

2. Seorang ayah harus menjadi suami yang mengasihi isterinya (Mazmur 128:3a)

Seorang pria harus menjadi seorang suami sekaligus ayah yang bijaksana dalam keluarganya. Efesus 5 : 25 menuliskan “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaatNya dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Sebuah kata bijak mengatakan: “Salah satu hadiah terindah yang dapat diberikan seorang ayah kepada anak-anaknya adalah dengan mengasihi ibunya”. Saat seorang ayah mengasihi isterinya maka ia sudah memberikan teladan kasih kepada anak-anaknya bagaimana mereka bersikap hormat kepada ibu mereka, teman lawan jenis mereka dan pasangan hidup mereka kelak.

 

3. Seorang ayah harus menjadi ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya.


Ayah yang bijaksana terlibat dalam kehidupan anak-anaknya
Seorang ayah berjanji pada anaknya untuk berjalan-jalan dan pergi makan bersama pada hari ulang tahunnya yang ke-11. Anaknya begitu gembira dan mulai menghitung hari, namun menjelang hari ulang tahunnya, sang ayah menerima undangan untuk menghadiri sebuah seminar penting di luar kota tepat pada hari ulang tahun anaknya. Ia akan menerima $1,000 untuk menjadi pembicara selama 1 jam. Seminar ini begitu penting bagi karirnya dan akan dihadiri oleh orang-orang penting juga. Ia mencoba berbicara dan bernegosiasi dengan anaknya untuk membatalkan rencana jalan-jalan bersama dan menawarkan $1,000 kepada anaknya. Apa jawab sang anak? Setelah berpikir sejenak, sang anak menjawab, ”No, that’s Ok Dad, I’d rather spend time with you”. Anak tersebut menolak uang $1,000 dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama-sama dengan ayahnya. Inilah contoh cerita betapa pentingnya waktu dan kehadiran seorang ayah dalam hidup anak-anaknya.

 

Ayah yang bijaksana adalah ayah yang selalu konsisten

Seorang ayah berjanji akan makan siang bersama dengan anaknya dan kemudian akan main basket bersama. Sang anak menunggu dengan antusias. Beberapa jam sebelum makan siang, ia sudah siap dengan bola basketnya berikut baju basketnya dan menunggu sang ayah tiba di rumah siang itu. Tunggu punya tunggu ayahnya belum datang juga. Jam 1 siang ayahnya menelepon dan mengatakan bahwa ia sangat sibuk karena banyak pekerjaan, ia mengatakan bahwa ia belum lupa janjinya dan akan pulang sekitar jam 3 siang sehingga masih ada waktu untuk main basket bersama. Tunggu lagi hingga jam 4 sore, ayahnya kembali menelepon bahwa ia tidak bisa pulang, akhirnya ayahnya pulang sekitar jam 10-an malam dan menemukan anaknya sudah tertidur dengan baju basketnya. Dia mengendong anaknya ke tempat tidur dengan berbisik, ”I’m sorry my son.” Sang anak dengan setengah terbangun menjawab, ”It’s Ok Dad, I had fun thinking about it.”
Seorang ayah harus konsisten dalam segala hal terutama di dalam menjaga nilai-nilai yang kita pegang khususnya dalam hal iman.

 

Ayah yang bijaksana akan mengenal secara mendalam karakter anak-anaknya

Setiap anak mempunyai karakter yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Untuk itu seorang ayah harus mengenal anaknya, masuk ke dalam jiwa mereka. Mengenal setiap kebutuhan mereka, kekuatiran mereka, apa yang sedang dialami, perasaan mereka dan cara berpikir mereka. Hal itu akan membangun hubungan ayah dengan anaknya secara lebih mendalam.

 

Kiranya Tuhan menolong setiap para ayah untuk menjalankan perannya sebagai ayah yang takut akan Tuhan, mengasihi istrinya dan ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya. God bless us.
(by: DRZ)

Sindroma Tanah Amblas

Natal tahun kemarin, saya mendapatkan hadiah sebuah buku terjemahan dengan judul asli “Ordering Your Private World”, karangan Gordon MacDonald yang berisi pengalaman penulisnya tentang sindroma tanah amblas yang dialaminya. Menurut buku tersebut sindroma tanah amblas itu seperti sebuah fenomena yang dialami oleh lapisan tanah di bumi. Diceritakan di dalam buku itu tentang penghuni sebuah bangunan apartemen di Florida yang terbangun melihat pemandangan mengerikan di luar jendela apartemen mereka. Tanah di seberang jalan di muka bangunan mereka benar-benar amblas, menciptakan sebuah lubang besar yang mereka sebut tanah amblas (sinkhole). Mobil, trotoar, pembatas jalan, dan benda-benda di sekitarnya berjatuhan ke dalam lubang yang semakin lama semakin dalam dan aparteman itu juga sedang menunggu gilirannya untuk juga jatuh dan amblas. Menurut para ilmuwan, tanah amblas itu terjadi karena aliran air bawah tanah mengering selama musim kering. Hal itu menyebabkan tanah di permukaan kehilangan dasar penopangnya dan dengan tiba-tiba segala sesuatu amblas begitu saja, runtuh dan masuk ke dalam lubang yang sangat dalam seperti tak berujung. Banyak orang yang hidupnya seperti tanah amblas di Florida itu. Bisa jadi di antara kita telah mengalami seakan-akan berada di tepian tanah amblas itu. Hal yang muncul bisa dalam bentuk perasaan lelah yang mematikan rasa, mungkin juga perasaan gagal, atau kekecewaan, kehabisan tenaga, patah semangat, perasaan tertekan, depresi, atau meledak. Kita seolah merasa ada sesuatu dalam diri kita yang sedang terjadi. Kita merasa sekejap lagi akan tumbang, dan seluruh dunia kita terancam masuk ke dalam lubang tak berdasar.

Dalam kehidupan kita, kita menjalani dua dunia, yaitu dunia publik dan dunia pribadi. Dunia publik adalah dunia yang tampak dari luar, yang kelihatan, terukur, dan dapat ditingkatkan, yang terdiri dari pekerjaan, kepemilikan, kehidupan sosial. Ini adalah bagian keberadaan kita yang lebih mudah dievaluasi dalam ukuran keberhasilan, popularitas, kekayaan, dan kecantikan. Sedangkan dunia pribadi lebih bersifat spiritual, yang merupakan pusat tempat pilihan dan nilai ditentukan, tempat keheningan dan perenungan. Dunia pribadi merupakan tempat untuk melakukan ibadah dan pengakuan dosa, sebuah titik tempat polusi moral dan spiritual zaman ini tidak dapat menerobos. (MacDonald, 2012).

Kebanyakan orang terlalu sibuk menata dunia publik dengan baik, tetapi cenderung mengabaikan dunia pribadinya. Menata kehidupan pribadi itu sangat penting. Menyiapkan waktu khusus untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Itu akan mengembalikan energi dan menyejukkan hati serta pikiran. Dengan senantiasa menata dunia pribadi, terutama kehidupan pribadi dalam hubungannya dengan Allah akan memperkuat fondasi kehidupan kita, dan keeratan hubungan dengan Allah adalah pengisi kekosongan di dalam jiwa yang tidak dapat digantikan dengan apa pun juga. Dunia pribadi adalah fondasi untuk dunia publik, seperti fondasi sebuah gedung pencakar langit. Semakin tinggi sebuah gedung seharusnya semakin kuat juga fondasinya. Semakin sibuk kita dengan dunia publik kita, semestinya dunia pribadi harus lebih diperhatikan dan tidak diabaikan. Jika dunia pribadi diabaikan, maka pada akhirnya dunia pribadi ini tidak akan sanggup lagi menopang berbagai peristiwa dan tekanan dalam kehidupan yang kita alami bahkan yang sekecil dan seremeh apa pun tekanan itu.

Buku ini juga mengajak kita untuk menilik kembali ruang bilik dalam dunia pribadi kita. Apakah dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sebagai orang yang “terdorong” atau orang yang “terpanggil”. Ketika kita berprestasi di sekolah, apa motivasi di balik itu? Apakah karena kita terdorong untuk membuktikan sesuatu, terdorong oleh keinginan untuk terkenal, mendapatkan pengakuan, pujian? atau merasa terpanggil untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupan kita tanpa peduli apakah pada akhirnya kita akan mendapatkan penghargaan, sanjungan, dijadikan teladan dan panutan, atau tidak? Ketika sebagai karyawan, saat karir begitu melejit, apakah yang mendasarinya? apakah terdorong oleh keinginan untuk berkuasa, menjadi terkenal, kaya raya, dianggap sukses dan berhasil? atau terpanggil melakukannya karena tujuan-tujuan yang lebih bersifat imaterial, kepuasan batin, semangat pelayanan? Demikian juga ketika menjadi pelayan Tuhan, gembala, pekerja sosial, atau profesi yang lainnya, apa alasan dan motivasi yang mendasari setiap tindakan kita? Ketika keterdorongan yang menjadi dasar tindakan kita, maka fondasinya tidak akan kuat. Kita akan mudah runtuh seperti analogi tanah amblas tadi. Berbeda ketika keterpanggilanlah yang menjadi dasarnya. Seorang yang terpanggil, ia telah menempatkan sebuah fondasi yang kokoh dalam menjalani kehidupannya, ia tidak akan mudah runtuh dan amblas dalam perasaan kecewa yang sangat dalam, perasaan gagal, patah semangat, putus asa, dan sebagainya, karena ia menjalaninya dengan penuh ketulusan, dan kerelaan. Dengan demikian, dunia pribadi yang berupa motivasi perlu untuk ditata agar keterpanggilanlah yang seharusnya menjadi pijakan yang kokoh dalam kita melangkah dan berkarya dalam dunia publik yang kita jalani.

(Ind, sumber: Menata Dunia Pribadi Meniti Sukses Sejati, karangan Gordon MacDonald).