Hati yang Sejuk Bagi Zaman: Sebuah “Self-Talk” tentang Amsal 24:10–12

Oleh: Benny Dewanto, Kabag PK3.

Dalam pelayanan kaum muda, dijajaki sebuah metode untuk menangkap kejujuran mereka saat berbicara tentang diri dan masa depannya melalui rekaman video pribadi (self-talk). Dalam durasi singkat, kurang lebih lima menit, self-talk tersebut ternyata dapat menggambarkan kejujuran kaum muda tentang jati diri, kesulitan hidup, dan harapan mereka ke depannya. Tidak disangka, dengan batasan durasi lima menit, kaum muda dapat memberikan gambaran nyata tentang realitas yang mereka gumuli.

Padahal, banyak pihak mengatakan bahwa kaum muda merupakan golongan yang cukup sulit untuk dipahami. Dampaknya, kaum muda diperlakukan sebagai segmen yang khusus. Tidak jarang, karena cara pandang tersebut, terbangun gap antara kaum muda dengan generasi di atasnya.

Dari self-talk di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kaum muda merupakan pribadi yang rentan menderita karena perubahan zaman. Self-talk itu juga memperlihatkan bahwa kaum muda juga “menggeliat” dan membuat banyak perubahan zaman sebagai reaksi protes terhadap tekanan yang mereka tanggung. Ketika kaum muda gelisah karena “beban” tersebut, mereka mengambil aksi dengan melakukan perubahan zaman. Semakin besar tekanan tersebut, semakin cepat pula mereka melakukan perubahan. Alhasil, semakin lebar pula gap yang terjadi karena banyak pihak yang sulit mengerti atau memahami perubahan-perubahan tersebut. Jadi, ini seperti sebuah putaran yang tak berujung, yang menjadi lingkaran hidup kaum muda, yaitu tekanan (penderitaan) – ekspresi perubahan – gap ketidakmengertian.

Amsal 24:10–12 berkata: “10Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu. 11Bebaskan mereka yang diangkut untuk dibunuh, selamatkan orang yang terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. 12Kalau engkau berkata: “Sungguh, kami tidak tahu hal itu!” Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya? Apakah Dia yang menjaga jiwamu tidak mengetahuinya, dan membalas manusia menurut perbuatannya?” Perenung Amsal mengatakan bahwa Amsal 24:10–12 berbicara tentang perintah terhadap orang yang paham untuk menolong mereka yang rentan menyerah (the quitter). Bila renungan ini direfleksikan ke dalam fenomena kaum muda, ada sebuah pertemuan antara pihak yang tawar hati/sesak, yaitu kaum muda, dengan pihak yang— di mata Tuhan—sesungguhnya mengerti tentang persoalan yang menyebabkan tawar hati/sesak tersebut. Perenungan ini mengajak kita untuk berdiri sebagai pihak yang kedua.

Dalam perenungan tentang kaum muda yang dikaitkan dengan ayat di atas, sekalipun mereka melejit mengemukakan dunia, dalam kesesakan, mereka seperti pribadi yang tidak punya kekuatan karena tawar hati (ayat 10). Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kekecewaan kaum muda berasal dari orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi panutan hidup. Kata “tawar hati” di dalam Amsal menjelaskan makna lemas (hang limp), sebuah gambaran kekecewaan yang begitu mendalam hingga membuat dirinya enggan lagi berharap (grow slack).  Kondisi lesu, kecewa, dan tawar hati membuat mereka seperti korban empuk yang diintai untuk “dibunuh oleh dunia”.

Amsal 24: 10–12 dapat dijadikan topik self-talk baik bagi kaum muda maupun kita, kaum dewasa. Ini dapat menjadi dialog pribadi, menelusuri kejujuran hati tentang yang dirasa dan yang diketahui. Ayat ini dapat direnungi oleh seluruh anggota komunitas Athalia, untuk menyejukkan hati agar komunitas ini siap menyejukkan hati generasi muda dalam menghadapi zaman-zaman selanjutnya: zaman yang bergerak cepat yang memunculkan kekhawatiran dan kecemasan; zaman alternatif yang akan semakin masif.

Perjalanan iman anak-anak kita akan semakin ditantang oleh dunia yang akan menawarkan lebih banyak pilihan. Jurang jarak antara kebenaran dan kepalsuan menjadi semakin besar, membuat “mata menjadi rabun” dalam membedakannya. Dalam kondisi ini, semakin banyak kaum muda yang berpotensi berjalan terhuyung-huyung. Akankah kita abai dan tetap berada di dalam gap ini? Apakah kita akan membiarkan mereka terhuyung-huyung menuju kebinasaan seperti orang yang akan dipancung?

Untuk menolong yang terhuyung-huyung tentu janganlah kita menjadi linglung dan limbung.  Membangun konsep pertolongan kehidupan yang terbaik adalah melalui pertemuan berbagi hidup, yaitu saling menggenggam dalam meniti jalan lurus dengan hati yang tulus. Amsal 24: 12 menuntut kita untuk memahami bahwa jiwa kita boleh terus bertumbuh oleh karena pertolongan-Nya. Karena itulah Dia menjaga dan meminta kita menjaga anak-anak ini. Amsal 24: 12 nyata berkata bahwa kita seharusnya menjadi pribadi yang matang, pemerhati kebenaran dan pelaku pemberi pertolongan. Janganlah cepat berkata, “Kami tidak tahu tentang hal itu!” Janganlah menjadi bagian yang membuat kaum muda seperti terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. Mata-Nya yang tajam akan senantiasa menatap isi hati dan pikiran kita. Berdirilah tegak dalam kebenaran, tidak terseok-seok. Genggamlah kaum muda mendekat agar turut pula berdiri tegak dalam kebenaran. Hati-Nya yang sejuk pun akan menjadikan kaum muda Athalia menjadi penyejuk zaman.

Paduan Suara SD Athalia – Penabur International Choir Festival 2024


Paduan Suara SD Athalia di Penabur International Choir Festival 2024

Tim Paduan Suara SD Athalia tampil bersemangat di ajang Penabur International Choir Festival (PICF) 2024, yang berlangsung pada 9-14 September 2024. Di bawah arahan dan bimbingan conductor Ibu Asafel, tim paduan suara SD Athalia berhasil membawakan dua lagu: “Naik Delman” dan “Alleluia, Alleluia!”, dengan iringan piano dari Ibu Bulan dan perkusi dari Pak Adit.


Latihan yang rutin dan intensif para siswa mendapatkan apresiasi dari juri dan penonton. Penampilan mereka dinilai penuh energi dan emosi yang menyentuh hati. 


Ibu Asafel mengungkapkan kebanggaannya, “Anak-anak ini luar biasa. Mereka belajar bekerja sama dan tampil dengan percaya diri. Semoga pengalaman ini dapat menjadi motivasi besar bagi mereka untuk terus berkarya di masa depan, dan semangat tim paduan suara SD Athalia dapat menginspirasi anak-anak Indonesia lainnya untuk berani bermimpi dan berprestasi di kancah internasional”.

Titik Temu Antargenerasi – Terhubung dan Terlibat

Elia Okki (staf Bagian SDM)

Melakukan panggilan Tuhan untuk membawa anak-anak menjadi murid-Nya tidak hanya tugas orang tua, tetapi juga tugas orang dewasa di sekitarnya. Begitu pula di lingkungan Sekolah Athalia. Para guru dan staf mengemban peran yang sama, yaitu mendampingi setiap murid berproses dalam pertumbuhan karakter mereka. Namun, stigma yang dimiliki setiap generasi dapat menjadi penghalang untuk melayani lintas generasi. Antargenerasi akan menghadapi kesenjangan karena setiap zaman memiliki ciri khas ketika mereka tumbuh besar. Oleh karena itu, kita perlu mencoba meminimalisasi kesenjangan antargenerasi dengan cara melihat peristiwa dan kondisi yang membentuk suatu generasi tiap zaman.

Setiap generasi lahir dengan sejarah yang berbeda. Kita ambil contoh generasi Milenial dan Gen-Z. Stillman (2018)1 menyebutkan bahwa generasi Milenial menghabiskan masa kecilnya dengan bermain dan kebanyakan lahir dari orang tua generasi Boomers yang memfokuskan diri untuk menumbuhkan harga diri anak dengan cara “lihat dan dengar anak”. Perspektif kerja Boomers ialah untuk kepuasan batin yang melahirkan pencarian makna bagi generasi Milenial dalam bekerja. Generasi Milenial akrab dengan istilah “komunikatif, kolaboratif, optimis, idealis, yang terbaik, work-life balance, menjadi teman”. Juga slogan “Susah-senang, mari rayakan hidup!” membuat Milenial fokus menikmati hidup di masa kini. Itulah ciri khas generasi Milenial.

Bagaimana dengan Gen-Z? Gen-Z menghadapi isu persoalan ekonomi dunia yang membentuk cara mereka menyikapi hidup. Orang tua yang kebanyakan berasal dari Generasi X, dengan sepenuh hati menyiapkan anak-anak Gen-Z dalam menghadapi dunia nyata secara mandiri. Peristiwa politik, COVID-19, resesi berat, masa depan, terorisme modern, isu lingkungan, disrupsi teknologi, dan sebagainya berdampak dalam hidup mereka. Mereka berjuang menata hidup masa depan agar memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari orang tua mereka. Sebab itulah, pemikiran mereka terfokus pada “Apakah kehadiranku menghasilkan perbedaan atau tidak?”

Jadi, bagaimana kita dapat membersamai generasi muda yang Tuhan titipkan di tengah kekacauan zaman? Perbedaan menjalani hidup antargenerasi tak seharusnya menjadi penghalang untuk jalan bersama dan menjadi murid-Nya, terutama di dalam kelompok kecil KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) yang dilayani oleh penulis.

Benner (2012)2 menekankan agar perjalanan bersama anggota kelompok kecil haruslah berfokus kepada Allah. Ia menyebutkan bahwa keramahan, kehadiran, dan dialog rohani perlu dibangun jika kita ingin menjalin persahabatan yang dasarnya adalah Kristus. Oleh karena itu, relasi harus dibangun dengan memprioritaskan perenungan mendalam daripada sekadar pertanyaan benar dan salah, menjadi komunitas doa, membagikan pengalaman rohani, penerimaan, dan saling mendukung. Zaman dan generasi bisa saja berbeda, tetapi Allah yang berdaulat dalam dunia dan kehidupan akan selalu menjumpai umat-Nya melampaui cara dan pikiran manusia. Anak-anak yang sedang berjalan bersama kita menghadapi pergumulannya, begitu pun kita. Kondisi ini membuat kita, generasi yang berbeda dengan mereka, perlu kepekaan dari Roh Kudus agar bisa berjalan bersama mereka. Hanya di dalam keterhubungan dan keterlibatan Allah saja ada pengharapan hidup. Kiranya Tuhan menolong kita.

1 Stillman, David dan Jonah Stillman.2018.Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
2 Benner, David. G.2012.Sacred Companions (Sahabat Kudus).Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur

Bukan Aku, Bukan Kamu, tetapi Kita

Joanne Emmanuel Layar (Siswa Kelas IX Wa)

Halo! Nama saya Joanne Emmanuel Layar, anggota Paskibra Athalia. Ini adalah tahun kedua saya menjadi anggota Paskibra. Sekitar dua tahun lalu saya memutuskan untuk mendaftar. Awalnya saya mendaftar tanpa ekspektasi akan diterima, hanya sekadar ingin mendisiplinkan dan menantang diri dengan hal yang baru. Pada hari seleksi, saya sedikit ragu karena tes-tes yang diberikan sangat berat dan menuntut kekuatan fisik. Namun, puji Tuhan saya diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak lewat Paskibra.

Melalui Paskibra, saya dan teman-teman merangkai kisah kami masing-masing. Tentunya cerita yang kami rangkai setiap tahunnya berbeda. Bukan proses yang mudah karena kami harus membagi waktu dan melakukan tanggung jawab sebagai siswa sekaligus anggota Paskibra. Kegiatan ini bukan hanya sekadar berlelah-lelah latihan fisik dan baris-berbaris, tetapi juga tentang respons kami saat menghadapi rasa lelah tersebut. Ada saat kami merasa kemampuan kami sudah mencapai batas maksimal. Ada saat tidak yakin bahwa memilih untuk menjadi pengibar adalah pilihan yang tepat, bahkan sulit sekali untuk merasakan yang namanya semangat.

Selama latihan banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan, salah satunya yaitu saling mendukung antarteman. Paskibra Athalia memiliki kalimat khas yang berbunyi “Satu untuk semua, semua untuk satu”. Bila ada satu anggota yang melakukan kesalahan, semua anggota juga akan mendapatkan hukumannya yaitu “satu paket” untuk setiap kesalahan. Satu paket yang dimaksud setara dengan sepuluh kali push up. Hal itu mengajarkan saya bahwa ini bukan tentang siapa yang benar dan yang salah, tetapi tentang seluruh anggota adalah satu tim.

Menghitung sisa-sisa hari latihan yang makin menipis dan hari pengibaran yang makin dekat, banyak perasaan yang bercampur aduk antara khawatir, lelah, bangga, dan bersemangat. Akhirnya tibalah hari yang dinanti-nantikan. Sabtu, 17 Agustus 2024 merupakan hari yang sangat membanggakan dan mengharukan, tetapi juga menyedihkan. Saya sangat bersyukur dan bangga karena kami berhasil memberikan yang terbaik dalam melaksanakan tugas sebagai satu tim. Satu hal yang paling terasa setelah melaksanakan tugas adalah rasa bersyukur karena saya merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Banyak momen tak terulang yang akan saya rindukan, mulai dari berlari menuju lapangan supaya tidak telat latihan, hingga merasakan tulang yang encok sehabis latihan. Paskibra memproses diri saya untuk menjadi pribadi yang tangguh, disiplin, rendah hati, bertanggung jawab, dan masih banyak lagi. Walaupun sulit untuk dijalani, saya tidak pernah menyesal telah menjadi bagian dari tim Paskibra yang dapat membanggakan Indonesia. Satu kalimat dari saya untuk tim Paskibra, “Bukan aku, bukan kamu, tapi kita”. Pesan dari saya, jika bukan saat ini, biarkan Tuhan yang menentukan saatnya.

“PaskibraAA! Terima kasih.”

Pengalamanku Sebagai Paskibra

Andreas Stefrans Wijaya – Siswa kelas XII MIPA 1

Halo, namaku Andreas. Aku mau berbagi cerita mengenai pengalamanku saat menjadi anggota Paskibra 2024. Sebenarnya aku sudah berencana untuk mengikuti kegiatan ini semenjak satu tahun yang lalu. Namun, saat itu aku ditunjuk sebagai petugas chapel dan latihan chapel bertabrakan dengan hari seleksi, akhirnya aku memilih chapel. Setelah satu tahun berlalu, aku kembali mendaftarkan diri untuk ikut proses seleksi Paskibra. Mengapa aku mendaftar kembali?

Sejak dulu aku memiliki fisik yang lemah. Agar mencapai fisik yang lebih baik, tentu aku harus mulai berolahraga. Namun, aku malas untuk memulainya. Oleh karena itu motivasi utamaku bergabung di Paskibra adalah untuk memaksakan diri berolahraga. Aku melihat kegiatan Paskibra sangat identik dengan latihan fisik. “Salah sedikit push up, kurang disiplin push up, intinya sedikit-sedikit push up”. Aku berpikir, jika aku bergabung di sini, mau tidak mau aku harus ikut latihan fisik. Hasilnya tentu akan berbeda jika aku berolahraga sendirian, kalau sedang malas bisa skip latihan. Setelah melewati seleksi, namaku tidak tertulis di lembaran daftar anggota yang diterima. Namun, seminggu kemudian pelatih Paskibra mengajakku untuk bergabung. Ternyata awalnya aku dipilih sebagai cadangan, tetapi karena ada beberapa siswa yang mengundurkan diri akhirnya aku diterima sebagai anggota inti.

Aku ingat sekali latihan pertama dilakukan di bulan Juli setelah liburan sekolah yang panjang. Awalnya badanku kaget merespons hasil latihan. Otot-otot terasa kaku sampai-sampai penglihatanku menjadi gelap. Tidak hanya aku yang mengalami, beberapa teman pun merasakan hal yang sama. Latihan demi latihan kujalani setiap hari. Terkadang aku merasa lelah, tetapi dengan anugerah Tuhan serta niat untuk mendapatkan fisik yang kuat, aku tetap bertahan. Jujur kukatakan, kekuatan fisikku sekarang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Ada hal berkesan yang paling aku ingat selama menjalani proses latihan. Saat kami sedang belajar baris-berbaris, Pak Iwan berkata, “Jawablah seakan-akan besok kamu mati, maka kamu akan menjawab secara tulus”. Kalimat ini diucapkan ketika kami dalam posisi istirahat. Ia mengkritik jawaban “Siap!” dari kami yang terdengar kurang tegas. Mungkin teman-teman yang lain hanya menangkap poin “menjawab dengan tulus dan tegas”. Namun, perkataan itu mengingatkanku akan frasa latin “memento mori” yang telah lama kujadikan sebagai deskripsi (about) WhatsApp. Kalimat “seakan besok kamu mati” adalah sesuatu yang spesial karena sebagai manusia kita tidak tahu kapan kita akan mati. Mungkin saja besok atau mungkin satu detik kemudian, tidak ada yang benar-benar tahu. Renungan ini membuat aku menjadi lebih bersyukur akan anugerah dan kesempatan yang Allah berikan untuk bertobat.

Kita diberikan anugerah dan dibebaskan dari dosa, jadi kita harus hidup sesuai dengan kehendak Allah seperti yang tertulis dalam Alkitab. Gunakanlah kesempatan yang diberikan Allah untuk membantu sesama, menolong yang membutuhkan, dan berkontribusi bagi bangsa demi memuliakan nama Tuhan.

In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti, Amen.