THE SACRED SEARCH (Pencarian Pasangan Hidup yang Kudus)

Judul buku: THE SACRED SEARCH  (Pencarian Pasangan Hidup yang Kudus)

Penulis: Gary Thomas

Penerjemah: Paksi Ekanto Putra

Tahun terbit: Cetakan Kesepuluh, Agustus 2018

Jumlah halaman: 261 halaman

Pada umumnya, dua dari beberapa tugas perkembangan manusia dewasa ialah menjalin hubungan dengan lawan jenis dan menikah. Mengenai hal ini, kita tidak pernah diajarkan berelasi secara formal, begitu pula tentang mencari pasangan. Sering kali jatuh cinta adalah dasar seseorang untuk menjalin relasi kemudian menikah. Padahal, ada hal yang lebih kuat dari sekadar jatuh cinta pada saat memutuskan menikah dengan seseorang. Hal-hal mendasar, kuat, dan kekal tersebut dibahas dalam buku berjudul “The Sacred Search (Pencarian Pasangan Hidup yang Kudus)”.

Buku ini membahas relasi dalam perspektif Kristen. Sering kita bertanya: siapakah orang yang paling tepat untuk dinikahi? Namun, penulis mengajukan pertanyaan yang berbeda: mengapa menikah? Berawal dari pertanyaan ini, rupanya ia ingin mengajak para lajang untuk memikirkan alasan yang mendasari keputusan mereka menjalin hubungan dengan lawan jenis. Hal yang disoroti penulis ialah alasan tersebut harus berdasarkan firman Tuhan dan berkaitan dengan pertumbahan seseorang bersama pasangan dalam perjalanan rohani.

Penulis membahas persoalan yang diperlukan dalam mengembangkan keterampilan berelasi yang mengutamakan Tuhan. Pembaca diajak berefleksi mengenai dirinya (panggilan hidup dan pengenalan akan diri secara utuh), alasan neuroscience dan psikologis dalam relasi, bagaimana pasangan menjalani panggilan hidup dalam pernikahan, bagaimana pandangan seseorang dalam mempertimbangkan calon pasangan di masa mendatang, landasan yang mendasar dalam menjalin relasi dengan lawan jenis, hingga panggilan hidup di dalam berpacaran untuk memasuki pernikahan yang kudus. Penulis membahas hal-hal yang berkaitan dengan intimasi pernikahan dan pembaca diharapkan terbuka menelisik diri sendiri untuk dapat membangun hubungan yang sehat dan kudus dengan pasangan kelak.

Tidak berisi tips and trick, buku ini justru membuka wawasan pembaca terhadap kemungkinan baik dan buruk ketika berelasi. Misalnya, meninjau kembali gaya pernikahan yang dibahas dalam satu bab, penulis memaparkan berbagai gaya pernikahan yang mungkin mengarah pada kemungkinan gaya pernikahan di masa mendatang, meninjau gaya pernikahan tersebut apakah mampu beriringan dengan seseorang yang sedang digumulkan untuk menjadi pasangan, dan apakah lifestyle tersebut dapat menumbuhkan diri dan pasangan dalam pernikahan.

Kisah ilustrasi yang dipakai dalam tiap bab memang kurang kontekstual dengan tradisi orang Asia. Namun, prinsip yang ditekankan cukup relevan dan tidak hanya mewakili satu budaya tertentu. Istilah bidang kedokteran, psikologi, dan teologi banyak dipakai dalam buku ini.

Gaya tulisan yang bercerita dan bahasa yang mudah dimengerti adalah poin lebih dari buku ini. Pembaca diajak mengambil waktu untuk mengevaluasi diri melalui pertanyaan studi lanjut di tiap bab untuk dijawab. Hal ini menolong tiap pembaca untuk mengurai setiap bahasan yang diterima dengan merefleksikannya di dalam diri, baik untuk meninjau kembali pengenalan diri mau pun harapan terhadap hubungan dengan pasangan.

Buku ini disarankan untuk dibaca oleh kaum muda yang bergumul tentang pasangan hidup, orang tua yang rindu mendampingi anaknya menemukan pasangan hidup yang sepadan dan seimbang, pembimbing rohani, dan pasangan menikah untuk memperkokoh hubungan. Buku ini cocok dipakai dalam persekutuan kelompok-kelompok kecil yang membahas tentang relasi lawan jenis menuju pernikahan.

(KAY)

Hikmat Allah Hadir dalam Keluarga

Oleh: Benny Dewanto

Seorang gadis, dengan hati yang hancur, mulut penuh umpatan, mendatangi sahabatnya. Ia menumpahkan segala kekesalannya tentang opa dan omanya, yang selama ini telah mengasuhnya sejak usia tiga tahun. Sebagai seorang gadis muda, ia bertumbuh di dalam lingkungan kaum muda yang memberikan banyak gaya hidup. Namun, seiring dengan hal tersebut, opa dan omanya tidak dapat mengerti seluruh perkembangan gaya hidup anak muda zaman sekarang. Tidak aneh bila tiap hari terjadi keributan besar—hanya karena perbedaan nilai hidup. Ditambah lagi ketidakhadiran orang tua kandungnya karena perceraian. Jadilah gadis ini kehilangan arah nilai hidup.

Nilai hidup adalah sebuah dasar sekaligus pengarah hidup seseorang. Seseorang dapat melihat sebuah nilai hidup sebagai sesuatu yang bernilai atau tidak, dilatari oleh banyak hal yang beragam. Artinya, nilai hidup dipengaruhi oleh suatu hal yang tertanam di dalam diri seseorang. Penanaman pemahaman tentang nilai hidup membutuhkan intensitas yang terukur dan memerlukan terang rohani agar konsep nilai itu menjadi yang benar di mata Tuhan. Penanaman tersebut harus dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga.

Hal ini dapat dilihat dalam Kejadian 7:1 “… Masuklah ke dalam bahtera itu, engkau dan seisi rumahmu, sebab engkaulah yang Kulihat benar di hadapan-Ku di antara orang zaman ini.” Di antara manusia lainnya, yang akan musnah karena nilai hidup yang tidak benar (dosa), Nuh dan keluarganya dibenarkan dan diselamatkan Tuhan. Ketaatan Nuh telah membawa keluarganya juga ikut taat masuk ke dalam bahtera. Tanpa proses penyampaian nilai hidup agar taat kepada Tuhan, tidaklah mungkin bahtera tersebut dapat diisi segala macam binatang dan Nuh sekeluarga.

Untuk dapat menemukan nilai hidup yang benar di hadapan Tuhan membutuhkan hikmat. Tanpa hikmat, nilai hidup akan menjadi nilai yang bias, tidak tetap, dan mudah beralih. Hikmat mengarahkan manusia melihat apa yang dikehendaki Tuhan. Kisah Para Rasul 16:19-34 menceritakan kepala penjara yang bertobat ketika melihat Paulus dan Silas diselamatkan Tuhan. Kepala penjara mendapat hikmat bahwa peristiwa yang terjadi kepada Paulus dan Silas merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada. Melalui hikmat, dirinya mendapatkan nilai hidup tentang injil. Nilai hidup itu dibawanya kepada seisi rumahnya, dan mereka merayakan sukacita keselamatan.

Mari kita hidup dengan aliran hikmat, hari demi hari. Karena dunia tidak akan pernah berhenti menawarkan nilai-nilai hidup yang menarik. Tugas kita sebagai orang percaya adalah mula-mula menggembalakan seluruh isi rumah untuk hidup dalam nilai hidup keselamatan. Jangan biarkan kita kering akan hikmat agar dapat melihat nilai hidup yang benar. Yakobus 1:5 mengatakan, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah …”. Kehadiran hikmat Allah akan menolong keluarga kita berjalan dengan penuh bijaksana. Melangkahlah bersama keluarga kita dengan hikmat Allah. Tuhan menolong kita semua.

Generasi Z dan Sosial Media

Oleh: Fanuel Renaldy Sugiarto

Beberapa bulan ini, banyak hal berubah dan adaptasi mutlak dilakukan akibat pandemi, tak terkecuali dunia pendidikan. Para siswa harus belajar dari rumah tanpa bertemu kawan. Itulah yang juga terjadi pada para siswa Sekolah Athalia. Mereka memulai tahun ajaran baru tanpa berjumpa secara langsung dengan teman dan guru. Pembelajaran dilakukan melalui pertemuan-pertemuan daring. Apakah ini menjadi masalah bagi anak-anak zaman now?

Tanpa kita sadari, banyak masalah yang muncul di dalam diri para remaja yang berhubungan dengan platform daring. Namun kini, sudah empat bulan lebih mereka melakukan pembelajaran secara daring—mengumpulkan tugas, melaksanakan ujian sekolah, proyek mata pelajaran, bahkan sesi kelas tatap muka pun harus dilakukan dengan platform daring.

Pertanyaannya, apakah benar mereka sedang beradaptasi dengan metode daring atau sebenarnya sudah menjadi “warga” dunia daring dan teknologi digital? Tidak bisa dipungkiri, anak-anak remaja saat ini adalah generasi digital. Menurut Hanlie Muliani dalam webinar berjudul “Memahami 7 Karakteristik Gen Z dan Parenting Style untuk Gen Z” yang dilaksanakan pada 4-5 Mei 2020, para remaja ini disebut sebagai generasi local residents di zaman kemajuan teknologi sehingga berhasil menciptakan sebuah era baru dalam dunia sosial. Mereka bisa berteman dengan siapa saja dari seluruh dunia hanya dalam sekali klik di komputer atau gadget mereka.

Hal ini menjadi fenomena sosial di kalangan para remaja. Saat tidak bertemu teman secara tatap muka, mereka tetap bisa akrab satu dengan yang lain melalui media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Platform ini menjawab kebutuhan mereka untuk tetap berkomunikasi, menjalin pertemanan, serta meningkatkan solidaritas walau tidak bertemu langsung. Para remaja juga menjadi penguasa media sosial dibandingkan orang tua mereka yang kebanyakan tidak cakap bermedia sosial.

Jadi, di awal Tahun Pelajaran 2020-2021 ini, apakah menjadi sebuah masalah bagi para remaja saat mereka tidak bisa bertemu teman? Kebanyakan dari mereka mungkin sedang mengeluh betapa bosannya di rumah dan merindukan untuk bisa kembali bertemu teman-teman di sekolah. Menurut penelitian Barna (2019), kebanyakan dari para remaja ini memang sudah merasa saling terhubung, tetapi perasaan dicintai dan didukung oleh orang lain tidaklah sebesar itu. Itulah mengapa hari-hari ini mereka sangat mudah untuk memiliki teman, tetapi tidak dapat membangun rasa saling mengasihi satu sama lain dengan maksimal karena mereka kesulitan bertemu secara tatap muka.

Menyikapi fenomena ini, orang tua diharapkan bisa membangun hubungan atau relasi yang hangat dengan anak-anak supaya mereka tetap merasakan dukungan dan punya teman untuk bicara di masa-masa PJJ. Harapannya, lewat hubungan yang dibangun dengan anak-anak, orang tua bisa membimbing para remaja menggunakan media sosial dengan lebih bijak. Kiranya interaksi-interaksi di media sosial atau post yang di-upload boleh menjadi berkat bagi yang melihat dan menyaksikannya.

Biarlah setiap orang tua di awal tahun ajaran ini semakin dimampukan Tuhan untuk membimbing anak remaja mereka tetap berjalan dalam kebenaran Tuhan di masa-masa pembelajaran online ini.

Referensi:
Barna Group. 2019. The Connected Generation: How Christian Leaders Around the World Can Strengthen Faith and Well-Being Among 18-35-Year-Olds. California: Barna Group.