Anak adalah Kertas Berwarna

Teach your children they’re unique. That way, they won’t feel pressured to be like everybody else.” –Cindy Cashman

Kita sering mendengarkan orang berkata bahwa “Anak itu seperti kertas putih. Sekarang tergantung kita mau menuliskan kertas itu seperti apa…”

Padahal, anak hadir ke dunia dengan keunikannya sendiri. Jika diibaratkan seperti kertas, anak adalah kertas berwarna dengan jenis yang berbeda-beda. Ada kertas folio, kertas kalkir, kertas duplex, dan lain sebagainya. Tekstur dan karakteristik kertas-kertas tersebut berbeda sehingga peruntukannya pun berbeda. Perlakuan terhadap kertas-kertas tersebut pun tentu berbeda.

Ibu Charlotte menegaskan bahwa selain seperti kertas berwarna, anak juga seperti kertas yang sudah punya tulisan-tulisan di dalamnya. Anak memiliki sifat dan karakteristik bawaan. Oleh karena itu, sangat mungkin satu anak berbeda dengan kakak atau adiknya. Namun, yang awam dilakukan orang tua, yaitu memperlakukan anak-anaknya sama rata. Mereka juga memberikan ekspektasi yang sama kepada anak-anaknya. Akibatnya, ketika ada anak yang tidak berhasil melakukan pencapaian sesuai ekspektasi orang tuanya, perbandingan-perbandingan terlontar. “Si A kenapa nggak bisa displin seperti adiknya?” “B itu sukanya main bola terus, susah disuruh belajar. Nggak seperti kakaknya yang sudah sadar untuk belajar tanpa disuruh….”

Komparasi ini tentunya sangat berbahaya bagi anak-anak yang diperbandingkan. Selain menimbulkan rasa iri, sakit hati, dan kecewa, anak bisa merasakan benih-benih kebencian kepada saudara yang diperbandingkan dengannya. Efeknya, sibling rivalry bisa terjadi di dalam keluarga.

Tuhan sudah memiliki tujuan untuk anak-anak kita. Atas dasar tujuan tersebut, Tuhan membekali anak-anak kita dengan kekurangan dan kelebihan. Ketidaksempurnaan itu juga yang kita miliki. Ada beberapa hal yang kita kuasai dan tidak. Lalu, mengapa kita cenderung menuntut kesempurnaan pada anak-anak kita? Mengapa kita menuntut mereka untuk bisa meraih nilai tinggi di pelajaran yang tidak dikuasainya? Mengapa kita menuntut anak untuk bisa melakukan sebuah keterampilan, sedangkan dari awal dia menunjukkan bahwa dia tidak cakap melakukannya?

Ketidaksempurnaan yang Tuhan berikan sudah sesuai “porsinya” karena Tuhan tahu bahwa itu tidak dibutuhkan untuk tujuan Tuhan kepada anak-anak kita. Sebagai orang tua, kita hanya bisa mendorong anak untuk menerima kekurangannya dan mengasah kelebihannya untuk menjadikannya seturut kehendak Tuhan. (dln)

*Disarikan dari video Ibu Charlotte Priatna oleh Tanam Benih berjudul “Benarkah Anak itu Ibarat Kertas Putih Kosong?”

Suluh Literasi di Athalia

Oktober menjadi salah satu bulan penutup tahun yang mengesankan karena banyak orang sampai institusi merayakan literasi. Salah satunya Sekolah Athalia, yang memotret momen ini dengan beragam kegiatan literasi.

Dari jenjang SD hingga SMA, Sekolah Athalia berkreasi dengan tema dan kegiatan literasi masing-masing. SD Athalia sendiri mengangkat tema “Festival Literasi” dengan kelas-kelas yang bisa dipilih siswa berdasarkan minat mereka—kelas kaligrafi, story telling, mendongeng, poster, komik, menggambar dan menceritakannya kembali. Di jenjang SD, kegiatan Bulan Bahasa dibuka pada 30 September 2019 saat upacara, kemudian seluruh rancangan kegiatan dilakukan selama sebulan, dan puncak acara akan ditutup dengan pentas drama pada 28 Oktober 2019. Setidaknya ada dua sisi tujuan yang diusung SD Athalia dalam perayaan Bulan Bahasa 2019—menggali talenta para siswa dan memfasilitasinya dalam kelas-kelas literasi yang diadakan. SD Athalia berharap, rangkaian kegiatan Bulan Bahasa tahun ini sungguh berguna untuk menemukan talenta-talenta baru dan mengembangkannya untuk kemuliaan nama Tuhan.

SMP Athalia juga punya konsep unik dalam perayaan Bulan Bahasa tahun ini. Mengangkat tema “Bahasa sebagai Pemersatu Bangsa”, jenjang SMP berharap kegiatan ini dapat mengembangkan siswa lebih percaya diri dalam mengekspresikan seni dan bahasa, tampil di depan umum, dan bekerja sama.


Rangkaian Bulan Bahasa dilakukan pada Kamis, 31 Oktober 2019. Namun, para siswa telah mempersiapkan diri sejak sepanjang Oktober. Mereka berlatih untuk menampilkan pentas tari dan drama yang merupakan salah satu bagian acara puncak Bulan Bahasa. Pada tanggal itu pula, akan diadakan berbagai lomba yang fokus pada bahasa Indonesia dan Inggris. Lomba bercerita untuk kelas 7, membaca puisi untuk kelas 8, dan pidato untuk kelas 9 merupakan tiga lomba untuk tiga jenjang berbeda di bangku SMP yang menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu, ada tiga lomba dalam bahasa Inggris—guessing word untuk kelas 7, spelling bee untuk kelas 8, dan story telling untuk kelas 9. Seluruh rangkaian lomba hari itu akan ditutup dengan pentas teater bertema “Malin Kundang” yang akan diperankan oleh siswa-siswi SMP.

Jenjang SMA juga punya kekhasannya dalam menyambut Bulan Bahasa tahun ini. Beragam kegiatan akan dilaksanakan pada Rabu, 13 November 2019. Uniknya, mereka menyebut kegiatan ini sebagai bulan budaya, dengan tema “Merajut Kebinekaan”. Ada tujuh kegiatan lomba, yaitu baca puisi, cipta puisi, short movie, mading 3D, monolog, speech, dan story telling. Rangkaian kegiatan dibuka di Aula F dengan devosi bersama, pembacaan puisi, kata sambutan dari ketua pelaksana, lalu dilanjutkan dengan kegiatan utama. Setiap kelas mengirimkan satu wakil untuk setiap lomba, kecuali lomba short movie dan mading 3D yang membutuhkan personil lebih dari satu siswa. Rangkaian kegiatan ditutup dengan musikalisasi puisi oleh siswa kelas sepuluh, dan teater yang akan dibawakan oleh para siswa kelas 12. Ada beberapa tujuan yang diusung ketika menggagas kegiatan bulan budaya tahun ini—menumbuhkan kepercayaan diri para siswa, mencari dan menyiapkan siswa untuk acara FLS2N (Festival & Lomba Seni Siswa Nasional) tahun depan, serta menumbuhkan karakter menghargai perbedaan.

SD, SMP, dan SMA Athalia memaknai Bulan Bahasa dengan semangat literasi. Mereka menggagas, menyiapkan, dan melaksanakan rangkaian kegiatan di bulan Oktober dengan penuh sukacita. Semoga, setiap kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan sungguh-sungguh berdampak untuk perkembangan setiap guru maupun peserta didik komunitas Athalia! (SO)

“Karena Anakku Sudah SMP”

Oleh: Indira Ayu Yendra Puteri

Hari Sabtu, tanggal 5 Oktober 2019, pagi-pagi benar sudah terlihat kesibukan di Aula C, gedung SMP lantai 4. Beberapa panitia sudah bersiap-siap mengatur ruangan, pendaftaran, dan konsumsi untuk acara Gathering Kelas 7 yang akan dimulai pukul 07.30. Kursi-kursi dalam aula disusun membentuk lima lingkaran, sesuai dengan jumlah kelas dalam angkatan ini.

Sebelum waktu yang ditentukan, beberapa orang tua murid sudah mulai berdatangan. Para peserta diminta mengisi daftar hadir, mengenakan stiker tanda pengenal, mengambil konsumsi, lalu dipersilahkan menuju lingkaran kelas masing-masing. Peserta datang mengenakan warna pakaian yang berbeda-beda, sesuai dengan dress code yang sudah disepakati: warna hijau untuk kelas 7C, warna biru untuk kelas 7D, warna hitam untuk kelas 7F, warna putih untuk kelas 7L, dan warna merah untuk kelas 7R. Dengan demikian, mereka dapat dengan cepat menemukan kelompoknya masing-masing.

Gathering yang mengambil tema “Karena Anakku Sudah SMP” ini sengaja diselenggarakan di gedung sekolah, dengan pertimbangan ini adalah pertama kalinya anak-anak memasuki jenjang SMP. Bersekolah di gedung yang berbeda dari jenjang sebelumnya, tentu membuat para orang tua juga ingin lebih mengenal lingkungan baru anak-anaknya. Di jenjang SMP juga banyak anak baru yang berasal dari sekolah lain sehingga banyak orang tua yang juga belum saling mengenal.

Selama beberapa bulan berinteraksi hanya melalui jaringan komunikasi berupa Whatsapp Group, rupanya memicu kerinduan untuk saling mengenal di antara para orang tua yang anak-anaknya tergabung di kelas yang sama. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya antusiasme peserta yang mendaftarkan diri dan menghadiri gathering ini. Total peserta yang hadir adalah sebanyak 85 orang tua murid dan 9 orang guru wali kelas, dengan perincian: Kelas 7C dihadiri oleh 16 orang ibu, 1 orang bapak, dan 1 orang wali kelas; Kelas 7D dihadiri oleh 15 orang ibu, 3 orang bapak, dan 2 orang wali kelas; Kelas 7F dihadiri oleh 16 orang ibu, 1 orang bapak, dan 2 orang wali kelas; Kelas 7L dihadiri oleh 16 orang ibu dan 2 orang wali kelas; Kelas 7R dihadiri oleh 17 orang ibu dan 2 orang wali kelas. Dengan demikian, total persentase kehadiran peserta adalah sebesar 63%.

Acara dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh CPR Kelas 7, yaitu Ibu Indira Ayu, dilanjutkan dengan permainan untuk mencairkan suasana yang dipimpin oleh Ibu Yanny, CC kelas 7R. Para peserta diberi kesempatan untuk saling berkenalan dengan para orang tua lainnya di kelas masing-masing, kemudian dibagi-bagi dalam beberapa kelompok, lalu bermain adu cepat menyusun potongan-potongan kata yang telah dibagikan.

Setelah lebih saling mengenal dan suasana menjadi lebih akrab, seluruh kelas diberi kesempatan untuk melakukan wefie dengan berbagai gaya dan formasi. Supaya lebih seru, wefie ini diperlombakan sehingga para peserta pun menjadi lebih bersemangat dan mulai mengeluarkan ide-ide kreatifnya.

Sambil menunggu seluruh kelas selesai, mereka yang sudah menyelesaikan wefie kelas dipersilakan menikmati konsumsi sambil bercakap-cakap dengan akrab, baik dengan sesama orang tua, maupun dengan wali kelas masing-masing yang juga sudah menyempatkan hadir.

Selesai beristirahat, sampailah di acara yang ditunggu-tunggu, yaitu acara tanya-jawab dengan wali kelas. Agar lebih terdengar, kursi-kursi pun dirapatkan. Beberapa hari sebelum acara diselenggarakan, para orang tua sudah mengumpulkan daftar pertanyaan kepada para CC. Hal ini bertujuan agar waktu yang singkat tersebut dapat digunakan dengan lebih efisien, tertib, dan lebih mengalir. Para CC pun bertindak sebagai moderator, menyampaikan pertanyaan demi pertanyaan kepada wali kelas. Jenis pertanyaan yang diajukan cukup bervariasi. Ada yang mengenai jam pulang sekolah, terutama setelah kegiatan SC, tentang BB, penilaian tugas kelompok, syarat kenaikan kelas, kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak-anak dalam pelajaran tertentu, dan interaksi anak-anak di sekolah. Tampak para orang tua sangat bersungguh-sungguh dan bersemangat, menyimak jawaban-jawaban yang diberikan oleh para wali kelasnya.

Karena di hari yang sama akan diadakan pembukaan Athalia Cup, penggunaan waktu acara harus dibatasi. Ibu Yanny yang bertindak sebagai pembawa acara mengumumkan para pemenang lomba wefie antarkelas. Sebagai pemenang ketiga adalah kelas 7R, pemenang kedua adalah kelas 7F, dan pemenang pertama adalah kelas 7L yang berpose membentuk formasi sesuai dengan nama kelasnya. Acara pun kemudian ditutup dengan doa oleh Bapak Nove.

Menjadi Pendidik yang Memiliki Karakter Kristus

Oleh: Diana Siagian

Bertempat di Aula F, Lantai 4 Sekolah Athalia, Seminar Pembekalan Guru dan Staf Sekolah Athalia ini diadakan selama dua hari berturut-turut, pada 16-17 September 2019. Dengan tujuan untuk memberi pembekalan kepada para pendidik di era milenial, Pendeta Ferry Yang memulai sesi dengan menyuguhkan sebuah pertanyaan refleksi “Yesus yang mana yang engkau ikuti?”. Melalui ayat Alkitab dalam Injil Yohanes 6: 16-71, dibukakan kepada peserta bahwa Yesus yang diikuti dan diteladani sebagai Guru adalah Pribadi yang karakternya tidak seperti sinterklas yang selalu memberikan happy ending untuk para pengikut-Nya, karena faktanya hidup Yesus menderita dan berakhir di kayu salib; dan yang juga tidak fokus pada mencari kekayaan, kenikmatan, maupun kepopuleran diri sendiri.

Dalam Injil Yohanes pasal 6 terungkap bahwa banyak murid yang akhirnya meninggalkan Tuhan Yesus, yaitu ketika iman mereka terguncang oleh kebenaran yang diberitakan oleh Tuhan Yesus. Hal lain lagi adalah dalam pengalaman para murid yang tidak bersedia saling melayani mencuci kaki rekan-rekannya. Namun, pada akhirnya Tuhan Yesus sendiri turun tangan, memberi teladan mencuci kaki semua murid-Nya, sekalipun DIA adalah Tuhan dan Guru. Sebagai Tuhan dan Guru, Yesus memberi banyak teladan atas kerendahan hati, kesediaan melayani, memberi diri untuk memperkaya sesama, serta mengutamakan orang lain dibanding diri-Nya sendiri.

Selanjutnya, Pendeta Ferry Yang juga memberikan kesempatan untuk semua peserta melakukan self-reflection. Disampaikan bahwa salah satu skill tertinggi dalam critical thinking adalah self-reflection, yang termasuk dalam meta-consciousness. Melalui self-reflection, tiap peserta diajarkan dapat melihat, menganalisis, dan mengevaluasi dirinya sendiri, termasuk mengetahui visi pelayanan sebagai pendidik dalam satu tahun, lima tahun, dan sepuluh tahun yang akan datang. Dalam melakukan refleksi diri, Pendeta Ferry Yang memandu peserta dengan beberapa pernyataan penuntun, seperti: 1. Cari tahu dirimu yang sesungguhnya dan siapakah dirimu sebenarnya? 2. Cari minatmu yang sebenarnya dan berkat spiritual yang kau miliki; dan 3. Buat daftar hal-hal yang paling kamu sukai.

Seminar pembekalan diakhiri dengan sesi sharing Firman Tuhan di hari kedua yang diambil dari Injil Yohanes 21:15-19. Bagian pemberitaan Firman Tuhan ini membukakan kepada peserta bagaimana Tuhan Yesus memberi teladan menjadi guru dengan karakter yang rendah hati dan sungguh-sungguh mau devote himself—mempersembahkan dirinya sendiri untuk melayani para siswa yang dipercayakan kepadanya. Dalam hal ini, dibutuhkan bukan saja kerelaan hati untuk mengesampingkan kepentingan diri, tetapi juga kesabaran penuh untuk menerima murid dengan berbagai kondisi.

Firman Tuhan yang disampaikan oleh Pendeta Ferry Yang menjadi sebuah refleksi penting. Peserta diingatkan kembali agar tetap berdiri teguh sebagai seorang pendidik yang “berhasil” atas tiap kesulitan menghadapi berbagai macam karakter murid, yang tetap setia mencari dan mengasihi para muridnya, serta yang melayani mereka dengan strategi dan motivasi yang tulus sehingga pada akhirnya dapat betul-betul mengubah para siswa menjadi pribadi-pribadi unggul dan yang mengasihi Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat mereka.

Mengenalkan Story Telling kepada Siswa TK Athalia

Oleh: Clara C. Suryaatmadja

“Pada suatu hari, di negeri yang jauh dari sini….”

Kalimat di atas identik dengan cerita atau dongeng anak-anak. Itulah yang menjadi tema Athalia Book Club selama September dan Oktober ini.

Pada Kamis, 26 September 2019, dihadiri sekitar 18 anggota, ABC membahas tentang story telling. Seperti biasa pertemuan dibuka dengan doa kemudian penjelasan singkat mengenai story telling. Ternyata story telling tidak melulu berhubungan dengan anak-anak, melainkan dapat juga diterapkan dalam dunia kerja. Mereka yang memiliki kemampuan bercerita yang lebih baik akan memiliki performa yang lebih baik pula dalam hal memberikan penjelasan maupun melakukan persuasi di dalam dunia kerja.

Pertemuan kemudian dilanjutkan dengan membagikan pengalaman masing-masing tentang story telling, baik pengalaman membacakan cerita untuk anak-anak kami ataupun pengalaman dibacakan cerita oleh orang tua ketika kami masih anak-anak.

Kesimpulan yang diperoleh dari pengalaman tersebut, ternyata story telling bermanfaat untuk meningkatkan rasa bahasa anak, meningkatkan kemampuan berpikir secara runut dan sistematis, menambah kosa kata, mengajarkan nilai-nilai moral, serta yang terpenting adalah memperkuat ikatan orang tua dan anak karena dapat menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi si anak.

Beraksi di Depan Anak-anak
Pada 7 Oktober 2019, inilah saatnya bagi tim Athalia Book Club mempraktikkan story telling. Setelah sebelumnya berdiskusi dengan pihak TK Athalia, pada tanggal tersebut kami memperoleh kesempatan untuk membacakan cerita ke anak-anak TKA Athalia. Judul yang kami usung adalah Hansel and Gretel.

Kegiatan ini terbagi dalam dua sesi, yaitu sesi pagi dan sesi siang. Tim Athalia Book Club menggunakan berbagai macam alat peraga, termasuk batu-batu putih, potongan gabus, serta biskuit yang dibagikan ke anak-anak sehingga membuat story telling ini menjadi lebih interaktif.

Pesan moral yang ingin kami sampaikan melalui cerita ini adalah agar anak-anak ingat untuk selalu berhati-hati dengan orang asing ataupun orang yang belum dikenal walaupun orang tersebut mungkin terlihat baik atau menawarkan sesuatu yang disukai oleh anak-anak. Pesan yang kedua, yaitu agar anak-anak hidup rukun dengan kakak atau adik mereka seperti Hansel dan Gretel sehingga di waktu saling membutuhkan bisa saling menolong satu sama lain.

Dari kegiatan-kegiatan ini, diharapkan tumbuh kebiasaan dalam diri anak untuk bercerita di dalam keluarga mengingat banyaknya manfaat yang bisa didapat.
Selamat bercerita!

8TH Graders – Amazing Race: Connect with Your Teens

Oleh: Sylvia Radjawane

Sabtu pagi yang cerah, 28 September 2019.

Orangtua dan anak-anak kelas 8, dengan dress code atasan putih dan bawahan jeans, mulai ramai di area lobby Gedung SMA Athalia, saat kami memarkir mobil. Pagi hari itu, saya, suami dan putri kami akan mengikuti outdoor gathering Angkatan yang ‘nggak biasa’, sedikit mengadopsi reality game show terkenal di televisi: The Amazing Race.

Kompetisi berbalut permainan ini menggunakan alat transportasi mobil, terbatas di area Villa Melati Mas. Sama halnya dengan The Amazing Race, peserta lomba terdiri atas tim yang memiliki hubungan personal sebelumnya. Dalam hal ini, tim terdiri atas orangtua dan anak remajanya. Beberapa tim kemudian membentuk satu regu, mengendarai satu mobil untuk menyelesaikan babak demi babak lomba.

Masih ingat kan tentang “Nggak Connect”, tema acara Parenting Seminar tingkat SMP yang diselenggarakan pada pertengahan September lalu? Nah, durasi tiga jam yang disediakan panitia dalam acara ini menjanjikan banyak kesempatan bagi orangtua (wakil generasi X) untuk connect dengan screenagers (wakil Generasi Z) dalam suasana santai dan fun. Seakan langsung mempraktikkan tips-tips praktis yang sudah disampaikan Ibu Charlotte pada seminar yang lalu.

Kami mengalami beberapa pengalaman menarik selama mengikuti kegiatan ini. Lima belas soal berisi deretan emoticon harus ditebak dengan benar menjadi lima belas judul lagu tanpa bantuan gadget. Dua dari judul lagu yang ditanyakan, yaitu “Sepasang Mata Bola” dan “Jembatan Merah”. Keduanya ditebak dengan mudah oleh generasi X, diiringi tatapan generasi Z yang seolah berkata, “Wait, What? Do they really exist?” yang merujuk pada dua judul lagu asing tadi.

Ketika harus berbelanja di pasar, orangtua membiarkan anak-anak mereka untuk membeli sendiri jenis sayuran yang ada di dalam daftar—sekaligus membiarkan mereka mengalami aktivitas langka ini. Dimulai dari bingungnya mereka membedakan selada dengan sawi hijau, akhirnya anak-anak ini memakai cara praktis dan cepat: memberikan daftar belanja ke penjualnya, tinggal bayar dan tahu beres. Kali ini, sang penjual tersenyum melihat tingkah para pembeli muda tersebut yang belum punya kemampuan untuk menawar barang dagangan.

Lain lagi yang terjadi di supermarket. Hanya anak remaja yang bisa berlarian bebas di lorong supermarket untuk mencari suatu barang. Hanya orangtua pelanggan setia supermarket itu yang tahu pasti letak barang yang dimaksud. Mereka pun mempersingkat proses belanja dengan mengantre di kasir khusus pembelanjaan tunai. Kerja sama yang luar biasa.

Mencari rute jalan yang benar dan cepat ke lokasi sesuai petunjuk melahirkan cerita tersendiri. Screenagers segera menggunakan aplikasi navigasi on-line di gadget begitu masuk ke dalam mobil. Orangtua melakukan hal yang sama, sambil mengontak langsung kenalan yang lokasi rumahnya ada di area yang dituju. Selain teknologi, ternyata ada cara lebih cepat, yaitu memanfaatkan koneksi.

Kebetulan tim remaja di regu kami semuanya perempuan. Bisa dibayangkan ketika semua bicara, berpendapat, dan menyanggah dalam waktu yang bersamaan. Kadang dilengkapi dengan celetukan-celetukan, “Om, lebih ngebut dikit, Om. Masih di luar radius kecepatan maksimumnya Athalia, kok, Om.”

Kompetisi di babak terakhir, yaitu menyajikan sepiring nasi kuning yang dihias. Untuk menghiasnya, kami menggunakan bahan-bahan yang sudah dibeli di babak-babak sebelumnya. Sebagai screenagers, sudah bisa ditebak kalau anak-anak segera mengakses YouTube hanya untuk menonton cara mengupas wortel, cabai merah, tomat, kemudian membentuk sayuran tersebut menjadi hiasan nasi kuning. Akhirnya, nasi kuning regu kami siap tersaji dengan sentuhan akhir dari tangan orang tua yang tidak perlu akses YouTube untuk mengerjakannya.

Terlibat dalam permainan kompetitif yang mengedepankan kerja tim dan bekerja sama dengan remaja berusia 13–14 tahun ternyata mengasyikkan. Saya mengacungkan jempol kepada tim CPR dan CC kelas 8. Mimpi untuk membuat gathering yang berani beda dan usaha keras panitia yang dilakukan sampai acara ini bisa berlangsung lancar … Thank you! You are all just so amazing!

Saya belajar sesuatu dari acara ini. Get connected with your teens sama analoginya dengan koneksi telepon seluler. Saat mengalami koneksi telepon yang lemah bahkan terputus di rumah, salah satu cara praktis yang kita lakukan adalah membuat peta sinyal sederhana. Kita berjalan dari satu titik ke titik lain di dalam rumah, memeriksa indikator kekuatan sinyal. Kita akan menikmati koneksi telepon yang sangat baik saat kita berada di titik dengan sinyal terkuat di rumah kita.

Begitu pula saat kami berlatih untuk connect dengan anak kami. Lewat gathering semacam ini, ternyata ada “sinyal kuat” yang tertangkap ketika kami melakukan aktivitas santai bersama, bertukar obrolan, dan mengimbangi candaan saat melakukan kegiatan bersama, bersedia menjadi orangtua yang up-to-date dengan hal-hal yang menarik minat anak kami dan teman-temannya.

Menjelang tengah hari, dalam perjalanan pulang ke rumah, kami tanyakan kesan apa yang diperoleh remaja putri kami dari acara tadi. Senyum khasnya mengambang saat dia berucap, “You’re cool, Mom, Dad!” Ucapan yang menjadi salah satu hadiah terbaik darinya untuk kami, di siang yang terik itu.

Retreat Kelas 5 SD: Jesus is the Only One

Oleh: Sabinah Valentina

Kelas V SD Athalia mengadakan retreat pada hari Rabu, 25–27 September 2019. Kegiatan ini bertempat di Wisma D’Agape, Bogor. Retreat yang bertema “Jesus is the Only One” ini bertujuan untuk membimbing siswa mengerti dan menyadari bahwa Yesus adalah satu-satunya juru selamat. Selain itu, retreat ini bertujuan untuk membimbing siswa berlatih jujur terhadap suatu hal, melatih kemandirian siswa saat melakukan berbagai hal tanpa orang tua, bertanggung jawab dalam merapikan barang milik pribadi, dan mengatur waktu agar bisa mengikuti kegiatan yang sudah dijadwalkan. Retreat ini juga melatih siswa berinisiatif untuk mengingatkan teman-temannya untuk mengikuti kegiatan yang sudah dirancang, serta menolong teman yang membutuhkan bantuan.

Yohanes 14:6 mengatakan, “Kata Yesus kepadanya: ‘Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku’.” Ayat ini menjadi tema sekaligus pedoman bagi kita untuk menyadari dan meyakini bahwa hanya Yesuslah satu-satunya juru selamat yang ada. Menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat tidak hanya diucapkan melalui kata-kata, melainkan selalu mengandalkan Yesus dalam setiap kehidupan. Yesus selalu ada di awal, di tengah, dan di akhir karena Yesus selalu memimpin, membimbing, dan menyertai hidup kita. Inilah yang menjadi alasan mengapa kita harus menjadikan Yesus sebagai satu-satunya juru selamat.


Retreat kelas 5 SD diawali dengan ibadah pembuka yang mengajak setiap siswa memuji dan menyembah Tuhan. Beberapa kegiatan yang ada dapat dirincikan secara garis besar. Siswa belajar mengenali gambar diri sebagai ciptaan yang istimewa melalui sesi “I am a Special Creation” dengan menuliskan refleksi tentang gambar diri di malam api unggun. Kemudian, mereka juga belajar memahami kondisi manusia yang berdosa dan karya keselamatan Kristus dalam sesi “I am a Broken Vessel” yang ditambahkan dengan kegiatan membuat proyek menyatukan kembali bejana yang telah hancur bersama teman kelompok. Pada sesi ke-3, siswa belajar menyadari kondisi yang diubahkan oleh Kristus dan menerima panggilan sebagai murid Kristus dalam sesi “I am a Disciple of Christ” dengan mengikuti sebuah permainan yang melatih konsentrasi siswa untuk hanya berfokus pada suatu perintah. Siswa juga membuat proyek dari lilin malam bersama dengan teman kelompok dengan tema “Creation”. Pada sesi yang terakhir, siswa menyadari dan memercayai Yesus adalah satu-satunya juru selamat melalui KKR dan dituliskan melalui komitmen dalam diri sendiri terhadap kehidupannya dalam sesi “Jesus is The Only One”.

Kegiatan retreat ini sangat membantu setiap siswa untuk semakin belajar dan mengenal kasih Kristus bahkan membagikannya melalui respons setiap siswa dalam mengikuti sesi-sesi yang ada. Salah satu bentuk kesadaran tersebut melalui antusiasme mereka dalam mengikuti beberapa permainan yang ada. Hanya dengan penyertaan Yesus-lah setiap kegiatan ini dapat berjalan dengan lancar.

Memetik Pengalaman Berharga dari Athalia Cup

Oleh: Fiona Ananova/XII IPS 2

Sabtu, 12 Oktober 2019 merupakan hari penutupan Athalia Cup 2019. Mengusung tema “Zenith” yang berarti titik puncak, dengan slogan “Highest Point”, kami, selaku panitia, ingin setiap orang berusaha S titik puncak dalam kehidupannya dengan tolak ukurnya masing-masing tanpa melupakan nilai integritas, solidaritas, dan respek.

Kami percaya bahwa setiap orang, di masa hidupnya, punya titik puncak masing-masing yang tak dapat dipukul rata dengan orang lain. Kami berharap supaya semua orang punya semangat yang sama besar dalam meraih titik puncak tersebut dan tetap berpegang pada ketiga nilai di atas. Berangkat dari profil “Influencing dan Contributing”, kami berusaha memberikan tempat bagi setiap siswa untuk berperan sesuai kemampuannya masing-masing. Kami percaya bahwa setiap siswa punya kesempatan yang sama dalam meraih keberhasilannya. Oleh karena itu, kami mendorong setiap siswa bergabung lewat kepanitiaan serta perlombaan.

Seminggu sebelumnya, 5 Oktober 2019, secara resmi kami membuka rangkaian kegiatan Athalia Cup. Flash mob dari panitia dan kata sambutan mengawali perlombaan di hari pertama. Tahun ini, kami membuka beberapa cabang, seperti basket putra-putri SMP dan SMA, futsal putra-putri SMP dan SMA, serta mural SMP dan SMA. Kami sepakat untuk membuka cabang-cabang ini karena percaya bahwa tiap sekolah punya keandalannya dan kami ingin mereka memberikan penampilan terbaik.

Perlombaan diadakan di area SD dan SMP Athalia. Satu hal yang menarik, event ini ternyata memunculkan semangat yang sama di antara anggota komunitas Athalia. Mereka sangat antusias memenuhi area tribun untuk menyaksikan tiap pertandingan. Selama lima hari, kami mengerahkan tenaga, pikiran, dan waktu dengan totalitas, sembari meneruskan kewajiban untuk menuntut ilmu. Kami merasakan bahwa pada momen ini, terjadi kolaborasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Teman-teman kelas berandil sangat besar dalam membantu kami mengejar ketertinggalan pelajaran. Tak mudah memang untuk mengejar semuanya, tetapi berkat dukungan mereka, semuanya terasa ringan.

Kami terdiri atas sepuluh seksi kepanitiaan dan bersama-sama menyusun dan mengeksekusi Athalia Cup. Selama berbulan-bulan kami merencanakan dan mempersiapkan seluruh rangkaian acara ini. Menyelesaikan keseluruhan rangkaian Athalia Cup merupakan salah satu titik puncak bagi kami. Kami melakukan berbagai persiapan, seperti membuka kesempatan bagi sekolah-sekolah sekitar untuk bergabung dalam perlombaan, menyusun rancangan pertandingan, sampai membuat acara pembukaan dan penutupan. Semuanya telah kami lewati dengan sangat memuaskan. Dalam melewati persiapan tersebut, tidak sedikit halangan yang kami hadapi. Namun, kami sadar bahwa kami punya satu titik puncak yang sama. Keyakinan tersebut membuat hati, tenaga, dan fokus kami kembali bersatu. Kami akan terus melanjutkan semangat ini dan kembali membuktikannya di “Zenith” AKSEN 2019 pada 19 Oktober 2019. So, are you ready to reach your Zenith?

Kehadiran Allah dalam Keluargaku!

Oleh: Haries Iswahyudi

Setiap orang pasti menginginkan rumah yang penuh kehangatan, di mana setiap anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut bisa tersenyum, bergandengan tangan, saling memperhatikan, dan sebagainya. Namun, realitas yang kita hadapi sekarang ini justru sebaliknya. Setiap anggota keluarga memiliki kesibukan masing-masing sehingga tidak ada lagi kepedulian dan kebersamaan.

Kita mungkin pernah membaca tulisan, “Home is where I’m with you!’. Ungkapan ini menggambarkan bahwa “rumah” itu bukan hanya menggambarkan sebuah gedung, tetapi juga menggambarkan sebuah keadaan atau perasaan yang tidak memiliki keberadaan secara fisik, tetapi dapat dirasakan atau dialami oleh seseorang.

Seorang anak bahkan jarang bertemu dengan orang tua yang notabene tinggal satu rumah dengannya. Ketika si anak pergi ke sekolah, orang tua tertidur lelap. Ketika si anak pulang, orang tua belum pulang bekerja. Ini realitas yang terjadi di keluarga modern sekarang ini. Anak tersebut tidak mengalami rumah sebagai, “Home is Where I’m with you!”. Tidak ada relasi yang terjalin anak tersebut bersama orang tuanya.

Berbicara tentang rumah, ada beberapa keadaan yang dapat menggambarkan kondisi “rumah” di mana kita tinggal. Saya memiliki definisi tersendiri mengenai keadaan-keadaan tersebut. Pertama, saya menyebutnya rumah es. Rumah ini menggambarkan kondisi para penghuni rumah yang bersikap dingin satu dengan yang lain. Kedua, rumah hotel. Rumah ini menggambarkan kondisi relasi anggota keluarga di dalam rumah yang hanya hadir sesaat dan lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Ketiga, rumah kebakaran. Rumah ini menggambarkan relasi di antara para penghuninya mungkin sudah hangus terbakar. Keempat, rumah musim dingin. Rumah ini menggambarkan suasana hangat di mana ada perapian yang menghangatkan seluruh orang yang tinggal di dalamnya.

Jika diminta untuk memilih di antara keempat definisi di atas, tentu kita akan memilih rumah musim dingin. Di sana ada kehangatan bagi seluruh anggota keluarga yang tinggal di dalamnya. Seperti seorang anak yang mendambakan kehangatan orang tua yang selalu ada bersama dengan dirinya. Sebaliknya, orang tua pun mengharapkan anak-anak mereka berada di rumah dengan penuh kehangatan satu dengan yang lainnya.

Di manakah kita bisa mendapatkan suasana hangat dalam keluarga kita? Dalam Efesus 5: 22–30 dikatakan bahwa seharusnya Kristus menjadi pusat di dalam keluarga. Kehadiran Kristus dalam rumah tangga membawa kehangatan dalam keluarga tersebut. Dia adalah pribadi yang mengikat hati seluruh anggota keluarga, mempersatukan, dan memberi damai sejahtera apa pun tantangan yang kita hadapi.

Kehangatan seperti apa yang telah Kristus berikan kepada kita dalam sebuah keluarga? Tentunya kehangatan yang penuh dengan kasih. Pembentukan sebuah keluarga bukanlah hasil keputusan seorang laki-laki dan seorang perempuan semata. Sejak Allah menciptakan dunia, Allah berinisiatif untuk membentuk sebuah keluarga. Allah sendiri juga yang telah memberikan teladan mengenai cara kita menjalankan rumah tangga. Ia menyebut diri-Nya sebagai Bapa, dan umat-Nya adalah anak-anak-Nya. Hubungan antara Bapa dan anak itu harmonis. Allah Bapa dengan penuh kasih membimbing, mengajar kita, dan melatih kita sejak dari kita mulai percaya kepada-Nya hingga kita menjadi orang beriman yang dewasa. Dia tidak pernah berhenti mengasihi kita. Didikan-Nya itu terkadang lembut, terkadang juga keras. Namun, anak tidak pernah membenci Bapa. Anak akan selalu mengasihi Bapa dan belajar kepada Bapa. Sebab kasih yang terjalin adalah kasih yang kekal. Itulah pentingnya kehadiran Allah Bapa dalam keluarga kita!

Pojok Parenting: Trauma Seksual pada Anak Usia Dini

Sex education tentang cara menangani anak dengan trauma seksual menjadi sebuah kebutuhan. Namun, tak banyak yang sudah memiliki kemahiran dasar dalam menangani anak-anak dengan kasus berat ini. Dalam praktiknya, banyak yang akhirnya mengalami kebingungan ketika anak datang dengan kisah yang begitu memilukan.

Dalam seminar “Pencegahan dan Pemulihan Trauma Seksual pada Anak Usia Dini” yang diselenggarakan oleh LK3, para fasilitator menjabarkan mengenai trauma seksual yang dialami anak. Trauma seksual pada anak merupakan interaksi antara anak dan orang dewasa atau anak lainnya. Korban “digunakan” sebagai seksual stimulator dari pelaku.

Trauma seksual bisa berbentuk macam-macam, tak hanya terbatas pada rabaan, tetapi juga voyeurism (mencoba melihat tubuh telanjang anak), exhibitionism (memperlihatkan alat kelamin), sampai menyuruh anak melihat dan menonton gambar porno (pornografi).

Salah satu fasilitator, Nona Pooroe Utomo, menyatakan bahwa 1 dari 4 anak perempuan dan 1 dari 6 anak laki-laki mengalami trauma seksual sebelum usia 18 tahun. Mirisnya, kebanyakan dari kasus tersebut tidak pernah dilaporkan. Alasan kuat atas ketakutan anak untuk melapor kepada orang tuanya, yaitu ketakutannya terhadap pelaku, yang pada umumnya adalah orang yang dia kenal dan percaya. Sebanyak ¾ kasus pelecehan seksual yang terlaporkan menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang kepercayaan keluarga atau bahkan anggota keluarga.

Berikut beberapa gejala umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang mengalami trauma seksual.

  • Mengalami mimpi buruk/sulit tidur
  • Menarik diri
  • Mudah marah/meledak
  • Cemas
  • Depresi
  • Tidak mau ditinggal sendiri, khususnya dengan orang tertentu.
  • Pengetahuan seksual, penggunaan bahasa, dan perilaku yang tidak sesuai dengan umur anak.

Lalu, apakah anak-anak akan pulih dari trauma ini ketika mereka beranjak dewasa? Tergantung kondisi si anak. Ada anak yang tangguh, yang dengan pendekatan konseling yang efektif, serta dukungan dari keluarga, dapat pulih dari pengalaman buruknya dan menjalani hidup yang normal di kemudian hari.

Namun, bagi anak-anak yang lebih sensitif dan fragile, pengalaman trauma tersebut mungkin akan sangat menyakiti hatinya dan meninggalkan luka yang cukup dalam. Dengan konseling yang berkelanjutan, anak bisa terus mendapat pendampingan dalam menghadapi hari-harinya. Namun, ada pula anak yang tak pernah mendapatkan penanganan terhadap trauma seksual yang dialaminya dan di masa dewasanya menjadi pelaku, homoseksual, atau kecanduan pornografi.

Sekolah, sebagai institusi pendidikan dan rumah kedua anak, bisa menjadi wadah bagi anak-anak yang pernah mengalami trauma seksual. Para konselor bisa difungsikan dengan optimal untuk mendampingi anak-anak tersebut dalam proses pemulihan. Bekerja sama dengan keluarga sebagai support system, sekolah bisa mengupayakan agar anak bisa menjalani hari-harinya. Namun, untuk kasus trauma yang lebih berat, sekolah bisa merujuk anak untuk melakukan konseling berkelanjutan ke psikolog khusus atau bahkan psikiater—jika trauma sudah mengganggu aktivitas anak.

Penanganan anak dengan trauma seksual
Ketika anak datang kepada guru atau konselor dan mengaku bahwa dia telah mengalami kekerasan seksual, berarti anak sudah menunjukkan kesiapan untuk mendapatkan pendampingan. Pada seminar kali ini, Julianto Simanjuntak memaparkan beberapa langkah awal yang bisa dilakukan dalam mengonseling anak dengan kasus ini.

  1. Memvalidasi/meneguhkan. Anak mendapatkan validasi akan keberanian untuk mengungkapkan kasusnya butuh keberanian yang sangat besar bagi anak untuk akhirnya mau membagikan kisah pahitnya. Di sini, guru perlu menunjukkan peneguhannya agar anak merasa bahwa keputusannya adalah langkah yang tepat.
  2. Berempati. Baik bagi konselor/guru untuk menunjukkan empatinya terhadap hal yang dialami anak agar anak merasakan kenyamanan. Pastikan anak mengetahui bahwa guru/konselor akan terus mendampinginya selama proses pemulihan.
  3. Normalisasi. Ketika anak menceritakan pengalamannya dan menyatakan bahwa dirinya malu dan sangat terpukul, guru/konselor perlu menegaskan bahwa perasaan-perasaan tersebut sangat normal terjadi. Bantu anak untuk menerima perasaannya.
  4. Menasihati. Langkah ini bisa ditawarkan kepada anak dengan tanpa unsur paksaan. Biarkan anak memutuskan apakah dia sudah siap diberi masukan atau hanya perlu “teman bicara”. Ketika anak siap diberi masukan, ajak anak untuk mempertimbangkan apakah sudah saatnya dia untuk jujur kepada keluarga atau mengikuti konseling intensif dengan psikolog atau psikiater. (dln)