Oleh: Valentina
Saya seorang ibu dengan tiga orang anak. Dua orang putri dan satu anak laki-laki. Ketiganya saya rawat dan besarkan seorang diri karena ayahnya bekerja jauh yang pulang beberapa kali dalam satu tahun. Meskipun sangat repot, ada rasa suka cita manakala melihat anak-anak bertumbuh dengan baik.
Dalam mendidik anak, saya berusaha untuk tidak mendikte mereka. Untuk urusan yang berhubungan dengan kegiatan mereka, saya selalu mendiskusikannya, bahkan sejak mereka masih balita. Mereka boleh mengajukan pendapat meskipun saya yang memutuskan. Saya akan menjelaskan alasannya jika ternyata keputusan berbeda dengan pilihan mereka. Begitu pula bila mereka melakukan kesalahan, bukan saja menegurnya, saya harus menerangkan alasan saya marah sampai mereka paham.
Anak-anak juga tidak ada yang mengikuti les mata pelajaran. Saya mendampingi mereka saat belajar di rumah. Namun, ketika mereka kelas tiga SD, saya mulai melepaskan perlahan. Mereka sudah mulai belajar secara mandiri, dan saya hanya memantau. Pada awalnya, nilai agak turun (memang tidak sampai di bawah KKM), tetapi itu tidak apa-apa. Biar mereka belajar bagaimana harus berjuang untuk meraih sesuatu sesuai yang diharapkan.
Hebatnya, ternyata mereka memiliki standar untuk diri mereka sendiri, tanpa saya perlu memintanya. Mereka begitu bersemangat, sementara saya hanya mengawal dan mendampingi, sambil menggali dan mencari tahu potensi yang ada di dalam diri tiap anak. Ketika saya mulai melihat talenta yang Tuhan karuniakan, saya berusaha untuk mendukung dan terus mengembangkannya.
Memang, tidak semua anak seperti itu. Anak pertama kami lebih membutuhkan perhatian khusus, tapi kami berhasil melewatinya. Saya percaya semua ini adalah campur tangan Tuhan. Roh Kudus yang memberikan kepada mereka hati yang bertanggung jawab, mandiri, dapat membedakan yang baik dan tidak, mana yang boleh dan tidak. Bahkan jika melakukan kesalahan, mereka terbuka mau bercerita kepada saya. Sebagai orang tua, kami tidak mengalami kesulitan dalam mendidik mereka.
Berbeda dengan kedua kakaknya (jaraknya cukup jauh), putra kami yang bungsu setiap hari belajar bersama kelompoknya, tapi tetap di rumah masing-masing. Tentu saja awalnya saya bingung karena saya kira dia cuma sedang mengobrol. Ternyata, dia sedang berdiskusi secara online bersama tiga orang temannya. Di situ saya merasa bangga karena dia memanfaatkan teknologi dengan tujuan baik. Meskipun jika ada waktu, mereka juga bermain game bersama.
Di sinilah saya belajar bahwa beda generasi, beda pula cara asuhnya. Semakin ke sini, mau tidak mau anak akan tumbuh berdampingan dengan teknologi. Karena itu, modal yang saya tanamkan kepada mereka adalah bahwa dalam menjalani hidup, mereka bertanggung jawab kepada Tuhan. Orang tua tidak selalu ada untuk mereka, tetapi ada Tuhan yang menjaga sekaligus mengamati. Saat ini, kedua putri kami sedang menempuh kuliah, dan saat tulisan ini ditulis, keduanya sudah di akhir semester. Sementara putra bungsu kami duduk di kelas sepuluh. Walaupun ada sedikit riak-riak, segala sesuatu termasuk berjalan dengan lancar. Kami merasakan penyertaan Tuhan. Dia telah mempertemukan kami dengan orang-orang dan kondisi yang tepat, seperti salah satunya dengan sekolah dan guru-guru Athalia. Dia selalu ada, serta menolong tepat di saat kami membutuhkan pertolongan.