Penyematan Lencana untuk Para Putra Pengabdi

Oleh: Beryl Sadewa, guru SMP

Pada Jumat, 6 Desember 2019, BB Cab 4 Sekolah Athalia mengadakan Award Day. Award Day adalah pemberian penghargaan berupa lencana kepada anggota yang memenuhi persyaratan. Pada kesempatan tersebut, kami memberikan beberapa lencana.

Lencana Target diberikan kepada 127 anggota; Lencana Perkemahan diberikan kepada 48 anggota; Lencana Pelayanan Masyarakat diberikan kepada 123 anggota; Lencana Olahraga diberikan kepada 23 anggota; Lencana Hobi diberikan kepada 6 anggota; Lencana Seni diberikan kepada 15 anggota, Lencana Kewarganegaraan diberikan kepada 19 anggota, dan Lencana Pendidikan Agama Kristen diberikan kepada 31 anggota.

Untuk mendapatkan lencana-lencana tersebut, tiap anggota harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Kriteria tersebut berupa seperangkat kemampuan atau pengetahuan di bidang tertentu. Lencana yang berbeda memiliki kriteria pencapaian yang berbeda pula. Beberapa ketrampilan dan pengetahuan yang harus dimiliki anggota untuk memperoleh lencana-lencana tersebut dipelajari di kelas-kelas saat parade BB*) berlangsung, beberapa lencana yang lain menuntut anggota melakukan sesuatu, seperti Lencana Pelayanan Masyarakat, yang mensyaratkan anggota melakukan kerja sosial baik di lingkungan sekolah, maupun di luar sekolah, seperti di panti asuhan. Singkatnya, ada beberapa hal yang harus dilalui anggota untuk mendapatkan lencana-lencana tersebut.

Lencana-lencana tersebut adalah sarana untuk memotivasi anggota untuk mengembangkan diri dalam empat aspek kehidupan mereka, yaitu aspek Pengetahuan, Fisik, Sosial, dan Spiritual. Ketika mereka mengikuti kegiatan BB dan mempelajari hal-hal yang disyaratkan untuk memperoleh lencana-lencana tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, mereka bertumbuh dalam keempat aspek kehidupan mereka tersebut.

Acara Award Day ini diatur oleh NCO (Non Commisioned Officer), yaitu para anggota BB yang menjadi pemimpin bagi rekan-rekan mereka. Mereka yang menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, mulai dari perlengkapan yang dibutuhkan, logistik lencana yang akan dibagikan, sampai tata cara penyematan lencana dan dokumentasi, dibimbing oleh Officer (Guru) yang bersangkutan. Diharapkan, hal ini juga memberikan pengalaman bagi para anggota, khususnya NCO dan melatih mereka berorganisasi.

*) jam kegiatan BB.

Sehat Fisiknya, Sehat Mentalnya!

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Mens sana in corpore sano—di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Athalia mengangkat isu ini sebagai bahan seminar yang diselenggarakan pada Kamis, 5 Desember 2019. Seminar bertema “Mental Health” dibawakan oleh seorang narasumber yang berprofesi sebagai psikiater—dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ—dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, Bogor. Beliau membawakan dua sesi untuk jenjang SMP dan SMA dengan tema yang sama.

Dr. Lahargo mengawali diskusi dengan penjelasan mengenai definisi sehat. Sehat dalam diri seorang individu berarti sehat secara fisik, sosial, dan jiwa. Beliau menekankan ciri-ciri sehat jiwa, yang meliputi perasaan senang/bahagia, bisa beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari, serta mampu menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan orang lain. Bagi seorang remaja, di tengah segala perubahan hormon dan dinamika transisi dari masa anak menuju fase dewasa awal, mereka bergumul dengan banyak hal. Dr. Lahargo menyebutkan setidaknya ada tujuh perubahan kondisi emosional yang dialami seseorang di masa remaja, yaitu meningkatnya perhatian pada lawan jenis; rasa setia terhadap kelompok sebaya; mudah terpengaruh; egois; mudah kecewa, kesal, malu, tertekan, tersinggung; ingin dipuja (narsisis); ingin tahu dan ingin mencoba. Di tengah segala perubahan dalam kehidupan sosial dan emosional, remaja rentan mengalami stres. Saat merasa bahwa stresor itu mengganggu kehidupan sosial, emosional, akademik, atau kesehatan fisik, para remaja ini mungkin kebingungan memutuskan untuk menemui profesional—psikolog atau psikiater—atau tidak.

Berkonsultasi dengan para profesional—entah psikolog atau psikiater—sama saja ketika kita berobat ke dokter. Bedanya, kita pergi menemui dokter untuk keluhan fisik, dan menemui psikolog atau psikiater ketika ada keluhan secara emosional. Mengobrol dengan para profesional akan membantu kita melihat masalah secara objektif dan menemukan insight untuk memecahkannya.

Salah satu dampak negatif stres dalam kehidupan remaja adalah perasaan frustasi yang bisa mengakibatkan seseorang mengalami keluhan fisik, seperti pusing, sakit perut, sampai tidak nafsu makan. Namun begitu, stres juga punya dampak positif, salah satunya mendorong individu makin termotivasi melakukan yang lebih baik! Nah, andai saja anak remaja kita sedang bergumul dengan perasaan stres, dr. Lahargo memberikan tujuh tips cara mengatasi stres secara sehat. Mari kita simak!

  • Jangan ragu untuk minta bantuan.
  • Bernapas pelan dan panjang.
  • Mengonsumsi makanan sehat.
  • Berolahraga.
  • Mengerjakan tugas tanpa menunda.
  • Jangan khawatir terhadap hal-hal yang tidak bisa kita kontrol.
  • Ampuni kegagalan.

Kehidupan remaja memang kompleks. Mereka berdinamika dengan segala perubahan, beradaptasi dengan fase kehidupan yang baru, dan menyongsong masa dewasa awal. Kiranya setiap orangtua, teman sebaya, guru, konselor, bisa ambil bagian dan peran dalam hal kesehatan mental, salah satunya dengan mendengarkan tanpa menghakimi! (SO)

Komunitas Athalia yang Memberi Harapan Baru

Oleh: Victor Sumua Sanga, guru Agama SMA

Dalam pidato pelantikan presiden dan wakil presiden RI terpilih periode 2019-2024, Joko Widodo menyebutkan ada lima prioritas utama yang akan dikerjakan oleh pemerintahannya dalam lima tahun ke depan demi mencapai cita-cita atau harapan bahwa Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Salah satu prioritas tersebut, yaitu pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kita tahu bersama bahwa pembangunan SDM akan berkaitan dengan tata kelola pendidikan di Indonesia. Penetapan prioritas ini tentunya akan menjadikan pendidikan sebagai kunci di masa depan untuk mencapai harapan Indonesia sebagai negara maju 2045.

Tidak lama berselang, tepatnya 1 November 2019, Bank Dunia merilis rekomendasi reformasi baru bagi pendidikan di Indonesia yang diberi judul The Promise of Education in Indonesia.1 Dalam bagian kesimpulan disebutkan, “Untuk mendapatkan pendidikan yang tepat, Indonesia dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dan memastikan bahwa calon guru yang berkualitas tinggi saja yang akan direkrut, dilatih dengan baik, diberi bantuan yang dibutuhkan, dan dikondisikan agar bertanggung jawab terhadap pembelajaran. Indonesia perlu meningkatkan akses terhadap pendidikan anak usia dini melalui program wajib belajar. Pemerintah perlu berkonsentrasi untuk meningkatkan sekolah yang berkinerja paling rendah dengan demikian dapat mengurangi ketimpangan dalam sistem pendidikan. Selain itu, Pemerintah bisa berfokus pada penggunaan data untuk meningkatkan kualitas.” Dengan mengerjakan semua itu, Bank Dunia meyakini bahwa Indonesia mempunyai harapan besar untuk meningkatkan sumber daya manusianya di abad ke-21.

Sebagai institusi dan komunitas pendidikan di Indonesia, Sekolah Athalia perlu mengambil bagian untuk mewujudkan harapan bangsa Indonesia menjadi negara maju, bahkan jauh lebih dari itu, Sekolah Athalia perlu tetap setia mengerjakan perannya dalam mewujudkan kemajuan Kerajaan Allah di Indonesia.

Apa yang sedang kita perjuangkan?
Jika kita bertanya, kualitas SDM seperti apa yang akan dihasilkan oleh Sekolah Athalia bagi Indonesia, jawabannya sudah tercantum dalam visi Athalia, “Siswa yang menjadi murid Tuhan”. Visi ini bukan visi yang muluk-muluk atau slogan semata. Visi ini adalah sebuah Amanat Agung dari Yesus Kristus kepada orang-orang Kristen, keluarga Kristen, gereja dan lembaga Kristen, termasuk Sekolah Athalia di dalamnya. Sebuah perintah yang diikuti dengan janji penyertaan Tuhan, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. (Matius 28:19–20).

Pengurus Yayasan dan para pemimpin tidak sedang mencari laba dari bisnis pendidikan. Oleh karena itu, hitung-hitungan untung-rugi materi tidak boleh menjadi dasar pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan kita. Para guru dan staf tidak sedang mencari nafkah sehingga penghasilan bulanan bukan menjadi dasar untuk masih bersedia mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya saat ini. Orang tua tidak sedang menitipkan anak mereka untuk mengejar pencapaian akademis, dengan demikian angka di rapor tidak dapat menjadi tolok ukur kesuksesan anak. Kita sedang mencari dan mengejar kualitas murid Tuhan di dalam komunitas ini.

Kita sedang menuju akhir 2019 dan memasuki tahun baru 2020, tahun di mana komunitas Athalia akan memperingati HUT ke-25. Rasanya wajar jika kita mengambil waktu sejenak untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh pertanyaan ini, “Apa yang sedang kita kerjakan di Sekolah Athalia?” Perenungan yang jujur di hadapan Tuhan menolong kita memurnikan kembali motivasi kita, mengefektifkan kembali kerja kita, mengatur kembali strategi kita, memulihkan kembali relasi kita, dan menyinergikan kembali gerak langkah kita sehingga kualitas SDM, siswa sebagai murid Tuhan, dapat tercapai.

Apa kekuatan perjuangan kita?
Pekerjaan menjadikan siswa murid Tuhan bukanlah pekerjaan yang mudah. Pasang-surut, jatuh-bangun akan menghiasi jalan perjuangan tersebut. Namun, kita akan menemukan kekuatan baru demi kekuatan baru akan muncul tatkala kita tetap setia pada apa yang sedang kita perjuangkan itu. Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita yang terpanggil dalam rencana agung Allah (Roma 8:28). Kekuatan baru tersebut akan kita temukan karena Allah ikut bekerja bersama-sama dengan kita di dalam apa yang sedang kita perjuangkan.

Allah tidak menjanjikan ketiadaan masalah. Namun, Ia menjanjikan kehadiran-Nya dalam setiap masalah yang kita hadapi. Kehadiran Allah tersebut akan diikuti dengan karunia yang memampukan kita memenuhi apa yang kita perjuangkan. Allah bahkan telah mengaruniakan pada kita milik-Nya yang paling berharga, yaitu Anak-Nya sendiri sehingga kita tidak perlu khawatir kehilangan pertolongan pada waktunya, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32).

Kesadaran akan kehadiran Allah yang diikuti dengan karunia-karunia-Nya dalam mengerjakan tugas dan panggilan kita, mengarahkan kita untuk menaikkan ungkapan syukur dengan alasan yang benar. Kita bersyukur bukan karena apa yang telah kita lakukan dan apa yang telah kita capai, tetapi kita bersyukur karena Allah hadir dan terus-menerus memberikan pertolongan pada waktunya.

Ada saat mungkin kita merasa berada di pengujung daya tahan kita, entah sebagai pengurus yayasan, sebagai pimpinan, sebagai guru dan staf, sebagai orang tua, atau sebagai siswa. Mari kembali melihat janji penyertaan Tuhan ini. Allah ada bersama kita sampai saat ini. Oleh karena itu, jangan menyerah, jangan berhenti, jangan putus asa. Kehadiran Allah memastikan bahwa segala sesuatu yang terjadi akan mendatangkan kebaikan pada akhirnya. Jika Anak-Nya sendiri rela Ia berikan menjadi korban bagi penyelamatan kita, tidak akan mungkin ia akan menahan-nahan berkat dan karunia-Nya di saat kita membutuhkan.

Apa hasil perjuangan kita?
Dalam Amsal 23:17-18 dinyatakan, “Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa. Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.” Jika membandingkan hasil yang dapat diraih Sekolah Athalia dengan pencapaian sekolah lain, mungkin akan terbersit rasa iri di dalam diri, atau mungkin para orang tua iri karena para tetangga yang terus memamerkan prestasi akademis anak mereka. Semua ini bukan hasil yang kita harapkan.

Kita berharap Sekolah Athalia dapat menghasilkan siswa yang memiliki karakter sebagai murid Tuhan, berapa pun harga yang harus dibayarkan, betapa pun daya yang harus dikeluarkan, kendati pun doa tak pupus dinaikkan. Siswa yang menjadi murid Tuhan merupakan hasil yang ditawarkan Sekolah Athalia untuk memberikan harapan baru bagi kemajuan Indonesia ke depan, bahkan lebih jauh lagi setiap kita dapat menjadi alat perluasan Kerajaan Allah di Indonesia.

Allah ada bersama kita sampai saat ini karena itu jangan menyerah, jangan berhenti, jangan putus asa.

1 World Bank. 2019. The Promise of Education in Indonesia : Consultation Edition : Highlights (Bahasa (Indonesian)). Washington, D.C. : World Bank Group. http://documents.worldbank.org/curated/en/126641574095155348/Highlights

“Kasih atau Kasihan?”

Tema di atas menjadi pilihan kami ketika kami melihat fenomena adanya penurunan daya juang pada anak-anak zaman now. Kenyamanan hidup yang mereka rasanya membuat mereka tak lagi merasakan keterdesakan untuk “bertahan” dalam situasi sulit. Mereka cenderung pasif, pasrah, dan mudah putus asa.

Sebagai orang tua, kita kerap berpikir bahwa kita harus memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Ketika kita pernah mengalami kesulitan hidup di masa lalu, kita merasa bahwa itu adalah hal yang menyedihkan dan tidak ingin anak kita mengalami apa yang pernah kita alami. Berbagai cara kita lakukan untuk membahagiakan anak. Segala fasilitas kita sediakan. Anak kita pun tumbuh dengan segala kenyamanan, di tengah sangkar emas yang sudah kita bangun dengan bilur-bilur keringat kita.

Apakah hal ini salah? Tentu setiap orang tua ingin anaknya merasakan kenyamanan. Namun, jangan lupakan bahwa anak kita, saat mereka terjun ke dunia yang sebenarnya, pasti akan mengalami sandungan-sandungan, akan mengalami kekecewaan, akan mengalami kejatuhan. Saat anak dewasa nanti dan mengalami kondisi-kondisi ini, mungkin kita sudah tak lagi bisa mendampinginya setiap saat.

Mengasihi anak yang sebenarnya berarti memberikan segala yang mereka butuhkan untuk menghadapi hidup ke depan. Mengasihi anak berarti membentuk mereka untuk menjadi individu-individu tangguh yang sanggup berdiri tegak di tengah berbagai ujian hidup. Dan daya juang itu merupakan skill yang harus dimiliki oleh anak-anak kita dalam menjalani masa depannya.

Lalu, bagaimana cara untuk membuat anak-anak kita memiliki daya juang dan mampu berdiri di atas kakinya kelak? Kita perlu berani melakukan beberapa hal yang mungkin akan sangat bertentangan dengan hati kita, tetapi dampaknya akan sangat bermanfaat bagi anak.

  • Berani menanggung risiko. Untuk membuat anak-anak kita mandiri, kita perlu melepaskan mereka sedikit demi sedikit dan berani menanggung risiko jika dalam proses pembelajaran tersebut, anak akan mengalami sandungan dan rintangan. Misalnya, membiarkan anak berlatih sepeda roda dua. Saat belajar, risiko jatuh pasti sangat besar. Sebagai orang tua, kita perlu menyadari bahwa hal tersebut merupakan hal yang wajar terjadi pada anak yang sedang belajar. Jadi, biarkan anak terjatuh satu, dua, hingga sepuluh kali. Berikan dukungan bahwa ketika dia sudah lancar mengendarai sepeda, dia tidak akan lagi merasakan sakit akibat tergores aspal, dan lain sebagainya.
  • Berani direpotkan. Untuk mengajari anak, tentunya kita akan kerepotan. Misalnya, mengajari seorang bayi untuk makan sendiri. Kita tentu akan kerepotan setelahnya membersihkan remahan makanan yang mungkin tak hanya menempel di tubuh si anak, tetapi juga di lantai, kursi, meja, dan alat makan lain. Namun, ketika kita sudah berkomitmen untuk membiasakan anak makan sendiri sejak dini—yang juga sangat bermanfaat untuk perkembangan motoriknya, kita harus rela untuk lebih repot dan susah demi perkembangan si anak.
  • Berani malu. Untuk mengajarkan anak bangkit dan memiliki daya juang lebih besar, terkadang orang tua harus membiarkan anak mengalami kegagalan. Bagaimana jika si anak terancam tidak naik kelas? Apakah kita harus membiarkannya? Sebagai orang tua, tentu kita harus terus mendukung anak untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Namun, ketika memang hasil akhirnya tak juga bisa membuatnya naik kelas, orang tua harus lapang dada menerima hal tersebut. Ingatlah, di sini yang sedang belajar adalah anak sehingga kita perlu menekan ego serendah-rendahnya dan membiarkan anak mengalami kegagalan dan menanggung konsekuensinya.

Jadi, mana yang baik: mengasihani atau mengasihi? Pity atau compassion? Ada banyak peristiwa sehari-hari yang bisa kita jadikan bahan pembelajaran bagi anak tentang konsekuensi. Dari kejadian-kejadian tersebut anak juga bisa belajar tentang problem solving. Ketika seorang anak menguasai keterampilan memecahkan masalah, dia akan menjadi anak yang lebih mandiri, mampu menjadi solusi dari hambatan yang dihadapinya, dan mampu mengintrospeksi diri untuk tidak mengulangi kesalahannya. (dln)

*tulisan ini disarikan dari materi Seminar Parenting SD Kelas 4-6 Sekolah Athalia dengan tema “Kasih atau Kasihan?”

Heroes are Made, not Born

Oleh: Lenny Tanudirjo
(orang tua siswa)

Pahlawan: Phala Wan (Sansekerta). Artinya: hasil muktahir dari apa yang ditanam; hidup berbuah.

Pertemuan ABC kali ini bertema sesuatu yang kelihatannya serius, tetapi ternyata mengalir dengan ringan dan santai, tetapi tetap berisi. Dimulai dengan sharing asal kata “Pahlawan”, lalu mengalirlah cerita dari masing-masing yang hadir pada pertemuan ini: siapa pahlawan yang menginspirasi mereka.

Ada yang menceritakan Maria Montessori (tokoh pendidikan), Helen Keller (penulis, aktivis politik dan dosen yang mempunyai keterbatasan pendengaran), William Suryadjaya (pengusaha Indonesia pendiri PT Astra Internasional), Susi Susanti (atlet bulu tangkis peraih emas Olimpiade), dan bahkan ada 2 orang yang menceritakan Yusuf (tokoh Alkitab).

Ternyata sumber literasi yang dipakai tidak terbatas pada buku, beberapa mendapatkan sumber referensinya dari buku digital, hasil googling, juga bahkan Alkitab. Semua informasi dicari untuk makin mengenal tokoh pahlawan.

Tak terasa, dua jam berlalu dengan cepat. Kami sepakat, tokoh pahlawan yang kami ceritakan mungkin tidak bersumbangsih secara pribadi dalam kehidupan kami secara langsung. Namun, perjalanan kehidupan mereka yang panjang dan tidak mudah, serta keputusan-keputusan merekalah yang menjadikan mereka seseorang yang menjadi inspirasi bagi kami.

Pada akhirnya, semua orang yang bisa menghasilkan “buah” dalam kehidupan mereka, dan “buah”nya bisa dinikmati oleh orang lain, mereka bisa disebut sebagai pahlawan. Dengan demikian, kita semua bisa menjadi pahlawan bagi seseorang.

Merajut Kebinekaan Bulan Budaya SMA Athalia

Tahun ini, SMA Athalia kembali merayakan Hari Sumpah Pemuda dengan menggelar Bulan Budaya. Puncak Bulan Budaya diadakan pada 13 November 2019, dengan tema “Merajut Kebinekaan”. Event kali ini berjalan meriah dengan banyaknya lomba yang diadakan—baca puisi, cipta puisi, monolog, speech, story telling, film pendek, dan mading.

Para siswa bersukacita dan bersatu hati dalam mempersiapkan berbagai lomba. Setiap kelas mengirim perwakilan dua orang siswa dalam lomba baca puisi, cipta puisi, monolog, speech, dan story telling. Sementara itu, siswa-siswa lain akan berpartisipasi dalam lomba film pendek dan mading.

Dari momen lomba inilah terlihat dengan jelas bahwa para siswa memiliki potensi yang besar dalam hal literasi. Mereka juga terlihat sangat bertalenta dalam berpidato dan mendongeng. Acara ini menjadi pengingat untuk setiap orang yang menyaksikan bahwa Tuhan membekali anak-anak muda dengan talenta masing-masing, dan hendaklah setiap orang mengasah talentanya dengan benar. Semoga, setiap talenta yang dititipkan ke dalam tangan anak-anak muda bisa berkembang sedemikian rupa dan akhirnya menjadi berkat bagi sesama!

Berikut adalah nama-nama pemenang setiap kategori lomba. Semoga, para pemenang boleh diingatkan lagi untuk selalu melakukan yang terbaik versi diri mereka, yang menginspirasi siswa lain untuk terus bertekun dalam mengasah talenta mereka!

Lomba Individu

Baca puisi:
Juara 1: Tesalonika Maria Kaynna Kersanning Gusty (X IPS 1)
Juara 2: Olivia Laurent (XI IPA 2)
Juara 3: Nikita Amabel Putri Sinuraya (X IPA 1)

Speech:
Juara 1: Nathania Nadya (XII IPS 1)
Juara 2: Aurellia Isabella Tabitha Theja (X IPS 2)
Juara 3: Caryl Vondrea (XII IPA 2)

Monolog:
Juara 1: Bianca Kyoko (X IPA 2)
Juara 2: Fiona Ananova Alexandra (XII IPS 1)
Juara 3: Natasha Pribadi (XI IPA2)

Story telling:
Juara 1: Isabela Nathania Banunaek (XII IPS 1)
Juara 2: Janice Ebelia Irfan (X IPS 2)
Juara 3: Stephanie Jonathan (XII IPS 2)

Cipta Puisi:
Juara 1: Nathanael David Yoanto (X IPA 1)
Juara 2: Frey Darmasurya (XII IPA 2)
Juara 3: James Owen (XII IPS 1)

Lomba Kelompok

Film pendek:
Kelas 10 = X-A
Kelas 11 = XI-B
Kelas 12 = XII-B

Mading:
Juara 1: XII IPA 2
Juara 2: X IPA 2
Juara 3: XII IPS 1

Puncak dari perayaan ini, yaitu pementasan drama tentang Kartini—cerita tentang seorang perempuan yang memiliki mimpi dan cita-cita yang tinggi. Selain itu, ada pula penampilan musikalisasi puisi yang berhasil menghanyutkan seisi aula.

Berikut hasil karya para siswa untuk kategori lomba mading. (SO)

Juara 1: XII IPA 2

Juara 2: X IPA 2

Juara 3: XII IPS 1

Puncak Bulan Bahasa SMP Athalia

Pada Oktober lalu, tepat 31 Oktober, SMP Athalia menggelar acara puncak Bulan Bahasa yang telah diagendakan sejak jauh-jauh hari. Ada beragam lomba di bidang literasi yang menggugah para remaja makin mencintai bahasa Indonesia, belajar bahasa asing, mampu bekerja sama dalam tim dan teman-teman sekelas.

SMP Athalia mengangkat tema “Bahasa sebagai Pemersatu Bangsa” dalam perayaan bulan bahasa tahun ini. Beragam lomba diharapkan dapat mengembangkan siswa lebih percaya diri dalam mengekspresikan seni dan bahasa, tampil di depan umum, dan bekerja sama. Acara tahun ini difokuskan pada bahasa Indonesia dan Inggris. Lomba bercerita untuk kelas tujuh, membaca puisi untuk kelas delapan, dan pidato untuk kelas sembilan adalah tiga lomba untuk tiga jenjang berbeda di bangku SMP yang menggunakan bahasa Indonesia. Setiap kelas mengirimkan beberapa wakil untuk setiap lombanya—dua wakil per kelas untuk lomba bercerita, tiga siswa per kelas untuk lomba membaca puisi, dan dua orang per kelas untuk lomba berpidato.

Lomba Individu

Lomba Bercerita
Juara 1: Grace (7F)

Juara 2: Cristopher (7L)

Juara 3: Catalina (7L)

Lomba Membaca Puisi
Juara 1: Sebastian (8JE)

Juara 2: Michelle (8N)

Juara 3: Evelyn (8JU)

Lomba Pidato
Juara 1: Marsya

Juara 2: Cathleen

Juara 3: Mario

Selain itu, ada tiga lomba lain dalam bahasa Inggris—guessing word untuk kelas tujuh, spelling bee untuk kelas delapan, dan story telling untuk kelas sembilan. Hampir sama seperti lomba-lomba dalam bahasa Indonesia, lomba dalam bahasa Inggris juga diikuti oleh beberapa siswa setiap kelasnya.

Lomba Kelompok

Guessing Word
Juara 1: 7L

Juara 2: 7F

Juara 3: 7D

Spelling Bee

Juara 1: 8N

Juara 2: 8JE

Juara 3: 8E

Story Telling
Juara 1: 9W

Juara 2: 9E

Juara 3: 9R

Selain dua jenis lomba tersebut, ada dua lomba lain yang tak kalah menyenangkan, yaitu lomba poster! Setiap kelas dari angkatan kelas tujuh, delapan, dan sembilan membuat poster kelas masing-masing dengan tema “Bahasa sebagai Pemersatu Bangsa”. Panitia memilih tiga juara dari tiap angkatan. Selanjutnya, ada juga lomba yel-yel—dipilih 1 kelas sebagai pemenang dari tiga angkatan tersebut. Yang terakhir, lomba mading. Dari tiga angkatan, setiap kelas harus menampilkan mading kelas masing-masing.

Lomba Poster

Kelas 7:

Juara 1: 7D, Juara 2: 7L, Juara 3: 7R

Kelas 8:

Juara 1: 8D, Juara 2: 8N, Juara 3: 8JE

Kelas 9
Juara 1: 9W, Juara 2: 9F, Juara 3: 9R

Lomba Yel-Yel
Kelas 7: 7L, Kelas 8: 8JU, Kelas 9: 9F

Lomba Mading
Juara 1: 8D, Juara 2: 9R, Juara 3: 9F

Perlombaan berlangsung menyenangkan. Para siswa bersukacita dan mengembangkan semangat saling mendukung. Mereka tidak berkompetisi, tetapi berjuang menampilkan yang terbaik versi diri mereka dan mengasah kemampuan bekerja sama dengan teman-teman satu tim.

Seluruh rangkaian lomba hari itu ditutup dengan pentas teater bertema “Malin Kundang” yang diperankan oleh siswa-siswi SMP. Pementasan ini dikemas dengan gaya “anak sekarang” yang kental dengan dialog kekinian, dicampur dengan humor-humor renyah ala anak muda. Para pemain mendapatkan apresiasi yang besar dari penonton yang merupakan siswa SMP, para guru, dan staf. (SO)

Puncak Bulan Bahasa SD Athalia: Penuh Sukacita dan Kegembiraan!

Oleh: Rundiyati

Puncak acara Bulan Bahasa dilaksanakan pada 28 Oktober 2019 sekaligus untuk memperingati hari Sumpah Pemuda. Acara ini diadakan di Aula F. Siswa kelas I-VI mengikuti acara dengan sangat antusias. Pada puncak acara ini, dipersembahkan berbagai rangkaian acara yang melibatkan seluruh siswa dan guru.

Acara ini berlangsung singkat, tetapi tidak menghilangkan maknanya. Tepat pukul 08.15, acara ini dimulai. Seperti tontonan spektakuler berkelas, acara ini diawali dengan hitungan mundur membuat seluruh peserta serasa terhipnotis untuk melihat puncak acara ini. Dilanjutkan dengan pemutaran video berdurasi singkat yang menceritakan kegiatan selama Bulan Bahasa dimulai dari pembukaan hingga acara di tiap minggunya. Video ini mengingatkan kembali proses kegiatan yang sudah dijalani, yakni mendapatkan pembekalan baru berkaitan dengan literasi, seperti menulis huruf kanji, membuat poster, membuat komik, spelling bee, story telling, teater, menggambar cerita, dan debat.

Setelah pemutaran video, Kania Kaban (6S) dan Brielle (3L) melakukan duet, menyanyikan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” diiringi tiga guru musik. Onel (5M) selaku MC dalam acara ini mampu menarik seluruh penonton sehingga acara ini tak membosankan.

Senandung merdu dari Paduan Suara SD Athalia di bawah asuhan Kak Nina membawa suasana jadi tenang. Semua yang hadir di sana terhanyut ke dalam simfoni musik dan paduan suara yang indah.

Ada pula pementasan drama “Timun Mas” yang mengisahkan sepasang suami-istri (diperankan Nicholas 6W dan Clara 6S) yang merindukan kehadiran seorang anak. Suatu hari, mereka mendatangi seorang raksasa (diperankan oleh Oswel anak kelas 5H) untuk meminta diberikan seorang anak. Raksasa ini memberikan benih mentimun pada pasangan tersebut. Benih ini nantinya akan tumbuh menjadi sebuah timun berwarna emas yang berisi seorang bayi. Bayi ini kemudian diberi nama Timun Mas (diperankan oleh Desnaretha 4M).

Acara berlanjut dengan persembahan “Tari Indang” oleh siswa-siswi kelas VI. Puncaknya, seluruh ruangan dipenuhi gema suara siswa dan guru yang membacakan “Sumpah Pemuda” dan menyanyikan lagu “Bangun Pemudi Pemuda” secara serentak.

Untuk mengiringi anak-anak keluar dari aula F, kembali diperdengarkan lagu “Indonesia Jaya”. Selesai acara di Aula F, seluruh siswa kembali ke kelas masing-masing. Mereka mendapatkan kenang-kenangan berupa booknote bergambar seperti yang ada di spanduk dan bertuliskan “Bulan Bahasa”.

AKSEN 2019: Menjalin Kebersamaan untuk Mencapai Satu Tujuan

Oleh: Tesalonika Maria Kaynna – X IPS 1

AKSEN bagi kita—warga Athalia—bukanlah sesuatu yang baru. Sekolah Athalia mengadakan acara tersebut setiap tahun dengan tema dan konsep yang berbeda-beda.

Tahun ini, AKSEN diadakan pada 19 Oktober dengan tema “Zenith” yang berarti “Highest Point” atau “Titik Puncak”. Tema ini mengangkat tiga nilai, yakni solidaritas, integritas, dan respek. Tema dan ketiga nilai tersebut direalisasikan lewat kabaret—pertunjukan hiburan berupa nyanyian, tarian, dan sebagainya—yang menjadi bagian dalam AKSEN 2019. Tak hanya kabaret, ada pula penampilan band dari SMP dan SMA Athalia. Mereka adalah Saisho Kara, Latreia, dan Phosphenes.

Persiapan AKSEN dilakukan selama kurang lebih 6 bulan. Diawali dengan pemilihan tema, nilai-nilai, dan konsep, kemudian berlanjut ke pembuatan naskah, lagu, koreografi, penampil, pemeran, dan sebagainya. Bagian yang paling dasar, yaitu merancang alur cerita dan konsep. Beberapa kali rumusan naskah direvisi supaya pesan cerita dapat tersampaikan, sambil menyesuaikan dengan nilai-nilai acara dan budaya Sekolah Athalia. Belum lagi, koreografi-koreografi yang harus dikejar. Melatih para pemeran yang berdialog juga menjadi suatu tantangan karena mereka adalah kunci cerita kabaret ini sehingga mereka dituntut untuk memahami dan merasakan alur cerita—kisah Matteo dalam berjuang meraih titik tertingginya—sehingga pesan-pesan yang disisipkan di beberapa dialog tertentu dapat sampai ke penonton. Semua tidak mudah, tentu saja. Kami harus berjuang di kepanitiaan ini seraya mengikuti pelajaran-pelajaran. Banyak yang harus kami susul dan yang harus dikerjakan di rumah—tugas sekolah maupun tugas kepanitiaan—sehingga menjaga kesehatan sendiri menjadi suatu perjuangan pula.

Namun, terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, buat saya sendiri, banyak sekali hal menguntungkan dan menyenangkan yang saya temukan sepanjang persiapan AKSEN. Selain belajar untuk percaya satu sama lain dan bekerja sama, kami juga bisa melatih diri dalam mengatur waktu karena hal tersebut diperlukan demi tercapainya kerja yang efisien. Adapun kami, panitia kelas 10, dituntut untuk berani menyuarakan pendapat, terbuka satu dengan yang lain, terutama dengan kakak kelas. Terkait dengan hal itu, salah satu dampak yang terasa adalah bertambahnya kenalan. Yang tidak saling mengenal kini sering bertukar sapa, bahkan saling melempar guyonan.

Hal-hal mengesankan dan unik yang dapat ditemukan selama persiapan acara sekaligus dalam kepanitiaan besar ini menjadi suatu kenangan tersendiri buat kami. Dari saling memberikan pesan-pesan kecil di bagian belakang name tag kami, berbagi hadiah tanda semangat, mengadakan konser di aula, menyaksikan inside jokes konyol yang tiap-tiap bidang punya, canda-tawa, dan masih banyak lagi. Bahkan, akhir-akhir ini, beberapa kali saya mendengar lontaran kalimat dari orang-orang yang berada di dalam kepanitiaan dan terlibat dalam acara mengenai betapa rindunya mereka ketika mengingat momen-momen tersebut.

Ketika tiba hari yang sudah kita persiapkan sekian lama, ada rasa tegang dan cemas yang menyelip di benak kami. Di dalam doa kami, tersisip harapan kepada Tuhan supaya acara boleh berjalan mulus, sepadan dengan perjuangan yang telah kami lalui bersama. Lantas, di akhir acara, tepatnya setelah lagu “We’re All In This Together”, rasa lega meluap. Euforia di atas panggung yang dipenuhi panitia dan penampil AKSEN tidak terbendung lagi. Rasa bangga, puas, dan sukacita dirasakan kami semua. Bahkan, ada beberapa yang tak kuasa menahan haru hingga menangis, terutama kakak-kakak kelas 12. Ya, ini adalah AKSEN terakhir mereka, begitu pun kakak kelas 11. Masih teringat jelas kala itu, sorak-sorai terdengar riuh, suasana menjadi gegap gempita, sorot lampu menyilaukan mata, orang-orang saling berpelukan, semua mengukir senyuman lebar. Momen-momen indah itu pun diabadikan dalam bentuk foto, juga sebagai bentuk kenangan.

AKSEN 2019, terima kasih untuk kesempatan ini. Sampai jumpa di AKSEN selanjutnya. Zenith, highest point!

Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen
Aksen

The Greatest Love

Oleh: Wahyu Setianingrum, guru Agama SMP

“Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.”
(1Yohanes 4:8)

Ketika kita berpikir tentang Tuhan, kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa Tuhan itu penuh dengan kasih. Apa buktinya? Ketika Dia mengirimkan Anak-Nya untuk mati di atas kayu salib untuk menebus kita dari dosa, itu berarti Dia sangat mengasihi kita dan tidak mau kita terpisah dengan-Nya (Yohanes 3:16). Dia adalah Bapa yang menginginkan anak-anak-Nya untuk selalu dekat dengan-Nya. Bila kita melihat lebih jauh lagi mengenai kasih, kita akan menyadari bahwa kasih tidak dapat dilihat dan tidak dapat disentuh, tetapi dapat kita rasakan dalam hati kita. Allah pun sama. Walaupun kita tidak dapat melihat dan menyentuh-Nya, kehadiran-Nya dapat kira rasakan dalam hati kita.

Kita dapat mengasihi karena Dia sudah terlebih dahulu mengasihi kita (1Yohanes 4:19). Allah adalah kasih. Saat Allah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan rupa-Nya, kita membawa kasih-Nya dalam diri kita. Rasul Paulus mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah dalam Kristus Yesus. Alkitab mencatat ketika Yesus memberikan sebuah perumpamaan dalam Lukas 15 mengenai anak yang hilang. Dalam perumpamaan ini, digambarkan mengenai kasih seorang Bapa kepada anak-Nya. Walaupun sang anak mengambil setengah dari harta warisan bapaknya dan meninggalkannya, bapak tidak berhenti berharap anaknya kembali. Saat dia melihat anaknya dari jauh, dia berlari, memeluk dan mencium anaknya. Begitu pula Allah, Dia begitu mengasihi kita dan tidak akan membiarkan kita untuk mengambil jalan yang salah. Itulah alasan mengapa Dia mengirimkan anak-Nya untuk mati menebus kita dari dosa.

Kasih Allah kepada kita begitu besar. Kasih-Nya tidak seperti kasih manusia. Manusia bisa berhenti untuk mengasihi tapi Allah tidak pernah. Walaupun manusia melakukan banyak dosa sejak Adam dan Hawa melanggar perintah Allah, kasih Allah kepada kita tidak pernah berhenti. Tidak peduli apa pun yang pernah kita lakukan, tidak ada suatu hal apa pun yang akan membuat Tuhan menutup pintu terhadap kita apabila kita mau kembali kepada-Nya. Sebaliknya, kitalah yang sering pergi meninggalkan Allah. Alkitab sudah menunjukkan dengan jelas bahwa kasih Allah tidak akan pernah gagal. Sekali lagi, ketika Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk datang ke dunia mati bagi kita, hal itu menunjukkan bahwa Dia sangat mengasihi kita. Tidak ada hal apa pun yang dapat membayar segala hal yang Tuhan sudah lakukan demi kita. Dia melakukan semua itu atas dasar kasih-Nya kepada kita. Kasih Allah itu tak bersyarat dan tidak mementingkan diri sendiri, tetapi selalu mementingkan orang lain.

Tuhan mau kita mengasihi bukan dengan kekuatan kasih kita sendiri. Dia mau kita mengasihi dengan kasih-Nya yang tak bersyarat, yaitu kasih agape. Kasih agape Allah tidak pernah gagal. Saat kita mengasihi anak kita atau murid-murid kita seharusnya kita mengasihi juga dengan kasih agape. Kita dapat mengasihi mereka tanpa melihat kekurangan ataupun kesalahan mereka. Apakah kita akan tetap mengasihi mereka ketika mereka melakukan kesalahan? Apakah kita tetap mengasihi mereka ketika mereka dalam pergumulan? Apakah kita tetap mengasihi mereka dalam segala keterbatasan dan kekurangan yang mereka miliki? Bila kita mengizinkan Tuhan menjadi pusat dalam hidup kita dan membiarkan Kasih-Nya memenuhi hidup kita, Ia akan menolong kita untuk dapat memiliki kasih yang tak bersyarat itu.

Bila kita melihat lebih jelas 1 Korintus 13:4–8, kita dapat melihat arti kasih. Dan arti kasih itu akan membuat kita mengerti mengapa kasih Allah tidak pernah gagal. Bila kita mempraktikkan arti kasih tersebut dalam relasi kita sebagai orang tua dan anak, guru, dan murid, kita akan dapat menemukan cara untuk mengasihi dengan kasih agape. Sudahkah anak-anak kita, murid-murid kita, menemukan kasih Agape itu dalam diri kita (sebagai orang tua atau sebagai guru)?

Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Desember, di mana kita akan merayakan kelahiran Tuhan Yesus. Di mana Allah menunjukkan kasih-Nya dengan mengutus Tuhan Yesus ke dalam dunia untuk mencari kita, orang berdosa. Marilah kita gunakan momen ini untuk sama-sama belajar mengasihi anak-anak dan murid-murid kita dengan kasih Agape, kasih yang besar dan tanpa syarat. Mengasihi mereka seperti Tuhan mengasihi mereka. Tuhan memampukan kita semua!