Manfaatkan Pandemi, Bangkitkan Potensi

Ratu Putri Hiemawan dari kelas X IPS 1.

Pernahkah merasa malas untuk mengembangkan potensi diri? Atau masa remaja terasa sia-sia? Remaja dan pemuda sering disebut sebagai penentu masa depan bangsa. Beberapa tahun lagi, negara ini akan dipimpin oleh para remaja dan pemuda yang sudah bertumbuh dewasa. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pernah mengatakan, “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Kalimat ini membuktikan betapa besarnya pengaruh pemuda terhadap keberlangsungan sebuah negara. Terlebih di masa pandemi seperti ini, anak muda sangat dibutuhkan untuk membuat gebrakan-gebrakan baru yang diharapkan dapat memajukan bangsa. Pengaruh anak muda terhadap kemajuan bangsa sudah terbukti. Pada tahun 2021 ini, muncul situs Aku pintar yang didirikan oleh seorang pemuda kelahiran 1993 bernama Lutvianto Pebri Handoko. Situs ini dapat membantu menemukan minat, bakat, gaya belajar, jurusan kuliah, dan lainnya secara daring. Adanya situs ini membuktikan bahwa pemuda bisa memberdayakan potensinya di masa pandemi.

Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa saat ini kita tengah berada di era digital 4.0, di mana teknologi akan menjadi tombak utama majunya sebuah bangsa. Menurut Tekno Kompas, pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa, dan 49,5% di antaranya berusia 19-34 tahun. Sebagai generasi yang paling familiar dengan teknologi, seharusnya pemuda dan remaja dapat lebih tanggap dan memanfaatkan teknologi semaksimal mungkin di masa pandemi untuk mengembangkan potensi.

Setiap orang unik karena memiliki potensi yang berbeda-beda. Ada orang yang memiliki satu potensi, ada pula yang memiliki banyak potensi. Namun perlu diingat, semua orang memiliki peluang yang sama untuk sukses. Semuanya tergantung bagaimana cara menemukan dan mengembangkan potensi tersebut. Sayangnya, banyak siswa yang masih belum dapat menemukan potensinya. Ada pula orang-orang yang sudah menemukan potensinya namun malas untuk mengembangkannya.

Sangat disayangkan, banyak orang yang malah menjadikan situasi pandemi yang tengah dialami ini sebagai alasan untuk berhenti mencari dan mengembangkan potensi diri. Dengan berbagai alasan, entah karena keterbatasan ruang dan media, kurangnya motivasi, atau bahkan sekadar malas. Contohnya, siswa yang memiliki potensi di bidang olahraga memiliki keterbatasan untuk mengembangkan potensinya

karena keterbatasan ruang. Ada juga siswa yang malah lebih memilih bersantai sambil menelusuri laman media sosial. Namun, jangan berhenti hanya karena hal-hal tersebut.

Memang, ada beberapa hal di masa ini yang menjadi kurang ideal untuk mengembangkan potensi. Contohnya, pembelajaran daring yang sedang dilakukan ini dinilai kurang efektif dan efisien. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan karena pembatasan-pembatasan yang ada, mengingat tidak adanya interaksi secara langsung dan bebas yang biasanya dilakukan. Selain itu, tidak meratanya akses teknologi juga merupakan salah satu faktor penghambat. Indonesia merupakan sebuah negara dengan wilayah yang sangat luas. Sayangnya, masih ada daerah-daerah yang mengalami kesulitan dalam mengakses internet.

Ada faktor-faktor yang dapat menghambat pengembangan potensi seseorang, baik faktor internal dirinya sendiri maupun faktor eksternal. Di faktor internal sendiri, ada beberapa alasan yang dapat menghambat seseorang dalam mengembangkan potensinya. Salah satu alasan yang utama adalah tidak adanya tujuan hidup yang jelas. Alasan ini akan membawa ke penghambat-penghambat lain, seperti tidak percaya diri dan tidak adanya motivasi. Hal ini akan terjadi karena adanya anggapan bahwa dirinya tidak berguna di dunia ini dan apa yang ia lakukan adalah sia-sia. Namun hal ini tidak benar. Setiap orang memiliki tujuan hidup masing-masing. Setiap orang juga memiliki peluang yang sama untuk sukses. Semuanya hanya tinggal bagaimana cara menemukan dan mengembangkannya.

Faktor internal lain adalah kita terjebak dalam zona nyaman. Jika seseorang sudah terjebak dalam zona nyamannya, akan sangat sulit untuk mau keluar dan belajar mengembangkan potensi. Ibaratnya seperti seekor burung yang di dalam sangkar yang terbuka, tanpa ada rasa ingin keluar dan memulai petualangannya sendiri. Tak kalah berbahaya dengan terjebak di dalam zona nyaman, faktor internal lain yang dapat menghambat adalah adanya trauma akan kegagalan. Trauma merupakan suatu hal yang nyata, dan faktanya banyak orang yang takut untuk mengembangkan potensi atau bahkan memilih menyerah karena trauma terhadap kegagalan. Sedih karena gagal merupakan hal yang wajar, namun jangan sampai larut di dalam kesedihan tersebut dan akhirnya menghambat dalam mengembangkan potensi.

Selain faktor internal, faktor eksternal juga tidak kalah berbahaya. Salah satu penghambat yang sering dialami adalah adanya aturan atau kebiasaan dari lingkungan sekitar. Contohnya, adanya stigma bahwa seni hanya sebuah hobi yang tidak menjanjikan. Hal ini akan menghambat siswa-siswa yang memiliki potensi di bidang seni dalam mengembangkan potensi. Stigma lain yang masih melekat di masyarakat, terutama masyarakat Indonesia adalah bidang tari dan kecantikan hanya untuk wanita. Namun

faktanya pada zaman ini, banyak pria yang tertarik dan bahkan berbakat dalam bidang-bidang tersebut. Karena adanya stigma tersebut, pria yang memiliki ketertarikan di bidang kecantikan tidak dapat mengembangkannya, entah karena menuruti kemauan orang tuanya atau bahkan takut dengan omongan masyarakat.

Faktor eksternal lain adalah kurangnya apresiasi dari orang sekitar. Kurangnya apresiasi ini dapat menjadi faktor penyebab dari tidak percaya diri, kurangnya motivasi, atau bahkan timbulnya perasaan bahwa mereka tidak berguna. Meskipun hanya sekadar perkataan atau afeksi kecil, apresiasi sangat berpengaruh terutama bagi mereka yang baru memulai untuk mengembangkan potensinya. Sedikit perkataan baik dapat memberi motivasi yang besar. Sebaliknya, sedikit perkataan buruk dapat menghilangkan semua motivasi tanpa sisa.

Masa remaja memang identik dengan masa untuk bersenang-senang dan menikmati hidup. Namun jangan lupa, masa remaja juga merupakan masa untuk mencari bakat dan potensi diri. Sebagai siswa, tentunya harus memilih jurusan kuliah dan pekerjaan yang diinginkan. Jangan sampai akhirnya memilih dengan asal dan tidak sesuai dengan potensi karena tidak mengetahui bakat dan minat diri sendiri.

Sebelum mulai mengembangkan potensi, tentunya harus menemukan potensi terlebih dahulu. Memang bukan hal yang mudah, namun ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menemukan potensi diri. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengenali diri sendiri. Bagaimana bisa menemukan potensi diri? Langkah pertama adalah mendengarkan suara hati dan jujur kepada diri sendiri. Di masa pandemi seperti ini, manfaatkan waktu untuk lebih mengenal diri sendiri, karena interaksi dengan orang lain berkurang. Cobalah untuk mengambil beberapa waktu tenang sambil merefleksikan dan memikirkan tentang hal-hal yang disukai. Lihat lagi tentang masa lalu, cobalah ingat tentang hal yang dapat dinikmati dan tidak terbebani saat harus berkutat dengan hal itu dengan jangka waktu yang panjang.

Langkah kedua setelah menemukan kita harus berani mencoba. Cobalah hal-hal baru, bahkan hal yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Cobalah untuk keluar dari zona nyaman. Di masa pandemi ini, ada lebih banyak hal yang bisa dicoba, mengingat semua hal dilakukan secara daring. Hal yang dapat diikuti adalah lomba-lomba, webinar, dan lainnya secara daring. Terkadang, ada siswa yang takut untuk mencoba karena takut akan kegagalan. Namun, kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Kegagalan akan menuntun ke akhir yang lebih indah dan baik. Setiap akan belajar dari kegagalan dan menemukan versi diri terbaik.

Jika sudah menemukan potensi, langkah ketiga adalah mengembangkannya. Masa pandemi seperti ini memang menyulitkan, namun bukan berarti tidak bisa. Situasi seperti ini memaksa para siswa untuk memaksimalkan penggunaan media daring. Jika pintar, situasi ini dapat dimanfaatkan dan mendapat kemudahan-kemudahan yang didapat dari inovasi-inovasi tersebut. Setiap orang yang dapat mengakses teknologi dengan mudah harus bersyukur dan memanfaatkannya dengan maksimal. Ada banyak keuntungan yang didapat dari kemudahan mengakses teknologi dan internet di masa pandemi ini. Contohnya adalah kemudahan mencari sumber-sumber tertulis maupun video, menambah wawasan dari pengalaman orang lain, atau bahkan mengikuti seminar dan perlombaan daring untuk menguji kemampuan.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan secara daring untuk mengembangkan potensi. Salah satu contoh kegiatan yang dapat diikuti selama masa pandemi untuk mengembangkan potensi adalah mengikuti seminar secara daring, atau biasa disebut webinar. Dengan mengikuti webinar, materi-materi yang dapat membantu mengembangkan potensi. Hal kedua adalah pemerolehan ilmu-ilmu yang mungkin tidak diketahui sebelumnya. Selain itu, akan didapat pula cara dan trik untuk mengembangkan potensi secara daring. Proses pendaftaran dan pelaksanaan webinar yang dilakukan secara daring akan banyak menguntungkan. Jika mengikuti seminar secara tatap muka, kita harus menempuh jarak tertentu untuk mengikuti seminar dengan durasi yang bisa dibilang lama. Sementara jika mengikuti seminar secara daring, kita dapat mendengarkan materi dari rumah dengan posisi yang nyaman dan mengurangi rasa lelah. Materi yang disampaikan dalam webinar pun pasti akan disesuaikan dengan kondisi pandemi saat ini, yang mana akan membantu dalam lebih memaksimalkan pengembangan potensi di masa pandemi ini.

Selain webinar, cobalah juga untuk mengikuti perlombaan. Perlombaan yang dilaksanakan di masa pandemi ini pastinya akan berbeda dengan perlombaan biasanya, karena akan disesuaikan dengan kondisi sekarang ini. Sama halnya dengan webinar, akan ada banyak keuntungan yang akan didapat dengan mengikuti perlombaan secara daring. Dibandingkan dengan perlombaan secara tatap muka, perlombaan daring ini juga memiliki lebih banyak keunggulan. Peluang yang dimiliki pun lebih banyak. Pada perlombaan tatap muka, peserta diharuskan untuk menghadiri perlombaan tersebut dan hal ini dapat menjadi salah satu penghambat dalam mengikuti perlombaan tersebut mengingat adanya jarak yang harus ditempuh. Sementara jika mengikuti perlombaan daring, peserta hanya diharuskan mengirimkan hasil karya, tanpa harus memikirkan jarak dan menghabiskan tenaga untuk menempuh perjalanan tersebut.

Adanya komunitas atau relasi tidak kalah pentingnya dalam proses pengembangan potensi diri. Pada zaman ini, media sosial dapat dimanfaatkan untuk mencari teman baru yang memiliki kesamaan minat atau potensi. Dengan adanya komunitas ini, banyak informasi baru yang didapatkan, belajar dari pengalaman teman-teman komunitas, dan lainnya. Dalam komunitas pun, dapat meminta bantuan atau meminta pendapat terkait hal-hal tertentu yang belum diketahui.

Apa yang dapat dilakukan jika mengalami kesulitan dalam mengembangkan potensi? Yang pasti, tanamkan prinsip dan komitmen untuk mengembangkan potensi. Selain itu juga dapat menetapkan suatu hal sebagai motivasi mengembangkan potensi tersebut. Contohnya, saya sendiri menanamkan di otak saya, bahwa saya harus giat berlatih piano agar dapat cepat lulus dan mengaplikasikan apa yang sudah saya pelajari. Saya juga menjadikan kedua orang tua saya sebagai motivasi untuk tetap semangat berlatih dan mengembangkan potensi saya.

Selama pandemi ini, setiap orang dapat lebih bebas dalam menggali dan mengembangkan potensi sendiri. Murid dituntut untuk menjadi kreatif dan mandiri dalam mencari sebanyak mungkin sumber pembelajaran agar dapat menambah wawasan dan menghasilkan karya. Sumber yang kini dapat diakses tidak lagi terbatas dari guru di sekolah, melainkan lebih luas dan lengkap jika memiliki niat untuk mencarinya sendiri. Selain itu, durasi pembelajaran daring yang lebih sebentar dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka membuat adanya lebih banyak waktu untuk mencari dan mengembangkan potensi sendiri. Cobalah untuk mulai aktif mencari tahu atau melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam pengembangan potensi.

Kesulitan-kesulitan untuk mengembangkan potensi selama masa pandemi ini juga saya rasakan. Saya yang biasanya dapat bertemu dengan guru les piano saya secara langsung, kini menjadi terbatas dan hanya dapat bertemu secara daring. Menurut saya, perubahan-perubahan yang ada menjadikan kegiatan les ini menjadi kurang ideal. Salah satu hal yang sangat menghambat adalah adanya delay waktu antara kami. Biasanya saat saya bermain, saya selalu akan menghitung ketukannya, “sa.. tu.. du.. a.. ti.. ga..” dan seterusnya dan guru saya terkadang akan ikut menghitung. Namun karena adanya delay waktu tersebut, saya terkadang sudah menghitung hingga ketukan tertentu, namun guru saya terlambat. Misalnya, saya sudah sampai di ketukan keempat sementara guru saya baru sampai ketukan kedua. Hal ini tentunya membingungkan saya. Berbeda dengan saat kami dapat bertatap muka, di mana kami dapat menghitung secara bersamaan.

Hal lain yang dapat menimbulkan masalah selama kegiatan les daring ini adalah koneksi yang kadang hilang. Dalam kegiatan les piano, tentunya suara merupakan yang paling utama. Namun terkadang, koneksi yang hilang dapat menyebabkan suara menjadi putus-putus dan menghambat guru saya dalam mendengarkan dan mengoreksi permainan saya. Saya juga mengalami kesulitan dalam mendengar perintah dan petunjuk dari guru saya. Koneksi yang putus juga dapat menyebabkan video yang kadang menjadi buram dan menghalangi guru saya dalam mengawasi dan mengoreksi nomor jari saya. Namun di balik keterbatasan-keterbatasan tersebut, saya tetap mengusahakan yang terbaik karena mengingat motivasi saya, yaitu cepat lulus dan membanggakan kedua orang tua. Saya juga berusaha memanfaatkan masa pandemi ini, dengan kembali mengambil ujian ABRSM atau Association Board of Royal Schools of Music, ujian musik tingkat internasional yang berasal dari Inggris secara daring. Tahun-tahun sebelumnya, saya mengikuti ujian ini secara tatap muka. Namun karena adanya keterbatasan, saya terpaksa mengikuti ujian ini secara daring dan ada sangat banyak manfaat yang bisa saya dapatkan dengan ujian daring ini, mengingat adanya pengurangan kompetensi yang diujikan.

Pembatasan-pembatasan yang akhirnya menuntut adanya perubahan-perubahan tentunya akan menyulitkan kita. Namun ternyata kita dapat memanfaatkan masa pandemi ini untuk mengubah persepsi kita. Memang tidak mudah, namun kita harus mau berjuang, memiliki motivasi yang tepat, dan beradaptasi untuk berusaha mengembangkan potensi diri sebaik mungkin. Ingatlah, pandemi seharusnya bukan menjadi batasan dalam berkarya. Jadi, mari manfaatkan pandemi ini sebaik mungkin untuk mengembangkan potensi diri.

Daftar Pustaka:

Riyanto, G. P. (2021). Jumlah Pengguna Internet Indonesia 2021 Tembus 202 Juta. Diakses pada 11 Oktober 2021, dari https://tekno.kompas.com/read/2021/02/23/16100057/jumlah-pengguna-internet-indonesia-2021-tembus-202-juta

Anwar, Fahrul. (2021). Lutvianto Pebri Handoko : Bantu Pelajar Dalam Memilih Minat dan Jurusan. Diakses pada 11 Oktober 2021, dari https://youngster.id/technopreneur/lutvianto-pebri-handoko-bantu-pelajar-dalam-memilih-minat-dan-jurusan/

“Value” dan “Belief”

Erika Kristianingrum, Orang Tua Siswa.

Bulan November 2021 lalu saya mengikuti program CARE (Connect – Accept – Restore – Equipt). Program ini digagas oleh Bu Charlotte untuk membantu peserta menemukan jati diri dan menyembuhkan luka-luka yang sedang dirasakan. Diharapkan, setelah mengikuti program ini, peserta mampu menolong orang lain.

Untuk sementara, program ini karena berupa pilot project sehingga pesertanya ditujukan hanya untuk CPR dan CC Sekolah Athalia. Pada pertemuan ketiga, yang membahas tentang value, belief, dan attitude, materi yang disampaikan sangat menohok saya. Waktu tiap peserta diminta untuk memikirkan value, belief, dan attitude, saya bisa dengan mantab dan yakin bahwa value saya adalah keluarga. Buat saya, itu hal yang paling penting bagi saya saat ini. Belief yang saya yakini, keluarga adalah tempat kita pulang, tempat ternyaman, tempat di mana susah dan sedih dilalui bersama; tempat di mana saya tidak perlu memakai topeng untuk menjadi orang lain. Saya bisa menjadi diri sendiri tanpa perlu memikirkan penilaian orang. Salah satu contoh attitude yang mendukung kedua hal tersebut, yaitu saya tidak akan pernah pergi berlibur sendiri dengan teman-teman. Menurut saya, liburan adalah momen menyenangkan yang seharusnya saya habisnya bersama keluarga.

Namun, malam hari setelah pertemuan itu, pikiran saya terusik. Saya memikirkan value yang saya yakini, yang tertentu tentu saja berpengaruh terhadap belief dan attitude. Saya teringat pesan fasilitator untuk terus menggali hal ini agar semakin mengenal diri.

Saya merenungkan banyak hal, terutama dalam hal mendidik dan membesarkan anak-anak. Saya mengajarkan anak-anak untuk memiliki hati yang mau melayani orang lain. Saya juga berpesan kepada mereka untuk senantiasa menjadi berkat buat orang lain, memiliki sopan santun, dan bergaul dengan baik. Saya juga selalu menemani mereka saat belajar.

Begitu juga terhadap suami. Saya selalu menyiapkan segala keperluannya, mengantarnya sampe ke pintu pagar saat dia akan berangkat kerja, dan mengingatkannya untuk makan saat sedang di kantor.

Saya melakukan semua itu dengan pemikiran bahwa merekalah yang terpenting buat saya. Namun, malam itu saya merenung lebih dalam lagi sampai pada satu titik Tuhan menyingkapkan semuanya. Saya sadar bahwa selama ini saya melakukan semuanya bukan karena keluarga begitu penting, tetapi untuk diri sendiri.

Selama ini, saya mengajarkan anak-anak tentang cara bergaul dengan orang lain agar saya dilihat sebagai ibu yang berhasil mendidik anak dengan benar, sesuai ajaran Tuhan. Saya juga punya motif agar anak-anak tidak kepahitan kepada saya dan membenci saya di kemudian hari. Begitu juga saat memperlakukan suami. Saya ingin terlihat sebagai istri yang baik dan berbakti di mata suami dan orang lain. Ternyata, value saya adalah REPUTASI.

Ya… malam itu Tuhan menyingkapkan semuanya. Tak sadar, air mata saya menetes. Saya sadar bahwa menanggapi panggilan menjadi seorang ibu tidak mudah. Jika anak-anak bersikap tidak baik, orang akan bertanya, “Siapa ibunya?”. Jika terjadi sesuatu terhadap suami, orang akan berpendapat istrinya pasti kurang melayani suaminya dengan baik. Tidak ada penghargaan khusus atau promosi jabatan untuk seorang ibu terutama ibu rumah tangga seperti yang didapat wanita yang mendapatkan promosi jabatan di sebuah perusahaan.

Seorang ibu tidak akan pernah mendapat penghargaan sebagai ibu terbaik dari orang lain selain dari keluarganya sendiri. Setidaknya, hal-hal itulah yang saya percaya selama ini. Oleh karena itu, saya menganggap keluarga begitu penting karena dari keluargalah saya bisa mendapatkan reputasi yang baik. Hal inilah yang ingin saya capai: orang lain harus menilai saya baik.

Namun, akhirnya saya sadar bahwa semua itu pemikiran yang salah. Saya mulai belajar mengubah semua motivasi dalam menanggapi panggilan sebagai ibu rumah tangga dan istri. Saya seharusnya meresponsnya sebagai wujud syukur karena Tuhan sudah begitu besar mengasihi dan memberikan anugrah yang besar kepada saya: seorang suami yang baik dan anak-anak yang manis. Sudah sewajarnya saya melayani mereka sesuai dengan yang Tuhan mau, bukan sebagai alat agar orang melihat dan menilai saya sebagai ibu dan istri yang baik.

Saat ini, saya masih terus belajar memiliki motivasi yang benar, yaitu sebagai ucapan syukur kepada Tuhan agar hanya nama Tuhan yang dipermuliakan. Saya ingin Tuhan berkenan atas saya karena telah mendengar panggilan sebagai ibu rumah tangga sesuai dengan yang Dia kehendaki sehingga hanya nama-Nya yang dipermuliakan.

Kaulah yang Terbaik

Oleh: Tirza Naftali, orang tua siswa.

Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan (1 Tesalonika 5: 11).

“Kaulah yang terbaik.”

Ketika mendengar frasa ini, kita langsung tahu bahwa frasa ini diucapkan untuk memberikan dukungan/peneguhan. Ketika frasa ini disampaikan kepada orang lain, bisa memberikan dukungan dan bersifat membangun. Kita bisa mengucapkan frasa ini dengan tulus jika memiliki unconditional love (kasih tanpa syarat) dan penerimaan terhadap orang lain.

Bagi orang percaya, dua hal tersebut bisa kita peroleh melalui Kristus karena melalui-Nya Allah mengasihi dan menerima kita tanpa syarat: “… Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” (Roma 5: 8)

Gambar oleh Bpk. Rizal & Ibu Rina Badudu.

Kasih tanpa syarat ini idealnya kita praktikkan kepada orang lain sebagai dasar dalam berelasi, terutama kepada pasangan dan anak. Ketika hal ini terus-menerus dipraktikkan, akan membentuk sebuah siklus yang dapat semakin memperkuat relasi dengan orang lain.

Gambar oleh Bpk. Rizal & Ibu Rina Badudu.

Pada kesempatan ini, saya akan membagikan penerapan kasih tanpa syarat antara saya dan suami.

Saya dan suami memiliki bahasa kasih terkuat yang sama, yaitu sentuhan fisik. Bahasa kasih terkuat kami yang kedua, yaitu kata-kata penguatan/penghargaan (saya) dan pelayanan (suami saya). Bahasa kasih kedua inilah yang justru kerap kali menjadi sumber konflik. Di keluarga asal saya, saya tidak menerima kata-kata dorongan yang cukup dari orang tua. Akhirnya, saya mengalami kekosongan dan menuntut pasangan serta anak untuk memenuhi kekosongan tersebut. Sementara itu, suami memiliki latar belakang kedua orangtua mendidik anak supaya irit dalam berkata-kata, sopan kepada semua orang, termasuk di luar keluarga, dan sebisa mungkin menghindari konflik agar suasana di rumah dapat “tenang”. Latar belakang pola asuh kami ini juga terbawa ke dalam relasi kami sebagai suami istri.

Ketika konflik muncul, suami saya cenderung untuk diam. Suami saya bahkan bisa dalam beberapa hari “membiarkan” saya yang juga sedang diam. Padahal, di dalam pikiran, saya sangat gelisah. Saya berburuk sangka, merasa tidak dikasihi, karena tidak ada penyelesaian atas masalah kami (bahkan kata “maaf).

Dalam kondisi yang berbeda, saya merasa suami kurang bisa menunjukkan penghargaan kepada saya. Kepada orang lain, dia bisa begitu sopan. Namun, kepada saya, dia bisa mengutarakan kalimat, “Eh, lempar kunci, dong!”, “Ma, piring, dong!”, dan lain sebagainya. Padahal, saya begitu “haus” dengan kata-kata “maaf”, “tolong”, “terima kasih”, dan sejenisnya.

Situasi seperti demikian membuat saya merasa tidak nyaman. Bersyukur kepada Tuhan, pada 2018 yang lalu gereja kami mengadakan retret pasutri yang dibawakan oleh GI. Julimin dan alm. GI. Wei Tjen. Di acara tersebut, kami diberi kesempatan mengobrol berdua dan di situ kami saling mengungkapkan isi hati satu sama lain.

Suami, dengan latar belakang keluarganya dan penerimaan diri yang juga tidak terlalu baik, menjadi sangat sopan kepada orang lain di luar dirinya. Setelah menikah, suami saya merasa saya sudah menjadi bagian dari dirinya sehingga dia merasa bisa menjadi apa adanya dan tidak perlu terlalu sopan.

Suami saya merasa sudah memberikan seluruh cintanya melalui tindakan pelayanan yang dia lakukan kepada saya, tetapi saya tidak bisa merasakan kasihnya karena tidak sesuai dengan bahasa kasih saya.

Bagi suami saya, mengucapkan kata “maaf”, “terima kasih”, “tolong” kepada inner circle, termasuk dirinya sendiri, bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Ketika mendiamkan saya saat konflik terjadi, suami saya pun gelisah setengah mati karena takut mengatakan hal yang salah dan nantinya makin memperbesar kekecewaan saya.

Ketika mendengarkan isi hati suami, saya merasa sedih karena selama ini saya kesulitan memahami dan menerima dia apa adanya. Padahal, dia sudah begitu berjuang menunjukkan kasihnya kepada saya. Setelah itu, kami bersama-sama mengambil langkah praktis yang terus-menerus dipraktikkan hingga sekarang dan harapannya bisa kami lakukan terus ke depannya.

Berikut beberapa hal yang kami sepakati.

  1. Berjuang bersama Roh Kudus untuk memulihkan diri dari luka masa lalu dengan cara memulihkan relasi saya dengan orangtua. Ketika saya bersedia diproses oleh Tuhan, saya semakin dipulihkan. Relasi saya dengan suami dan anak pun menjadi jauh lebih baik.
  2. Bersedia untuk terus belajar mengasihi satu sama lain dengan bahasa kasih yang sesuai dengan yang diharapkan pasangan.
  3. Berlatih untuk tidak menghakimi pasangan. Ketika sisi gelap salah satu dari kami muncul, pasangan tidak menghakimi dengan berkata, “Tuh, kan gua bilang juga apa, kebiasaan sih!”, “Kamu kok, gitu terus, sih”, dan lain-lain.
  4. Mendisiplinkan diri dengan bertanya, “Apa yang bisa saya lakukan untuk kamu/kita dalam menghadapi kelemahan/konflik ini?” Tidak ada lagi “saya vs kamu”. Yang ada adalah “kita vs masalah”.
  5. Menjadi penolong, bukan perongrong. Setiap pagi sebelum beraktivitas, kami akan bertanya, “Mau didoakan apa?” Selain itu, kami terus memegang prinsip: “Kamu memang tidak sempurna, saya pun begitu. Namun, kamu tetaplah yang terbaik yang Tuhan berikan kepada saya.”

Ketika kita sedang berada di titik rapuh, kita pasti rindu untuk direngkuh. Oleh karena itu, dari pada memberikan respons berupa penolakan, penghakiman, atau ketidakmengertian, sudahkah kita merangkul sesama, memberinya ketenangan, hiburan, dan penguatan?

Hati yang Sejuk Bagi Zaman: Sebuah “Self-Talk” tentang Amsal 24:10–12

Oleh: Benny Dewanto, Kabag PK3.

Dalam pelayanan kaum muda, dijajaki sebuah metode untuk menangkap kejujuran mereka saat berbicara tentang diri dan masa depannya melalui rekaman video pribadi (self-talk). Dalam durasi singkat, kurang lebih lima menit, self-talk tersebut ternyata dapat menggambarkan kejujuran kaum muda tentang jati diri, kesulitan hidup, dan harapan mereka ke depannya. Tidak disangka, dengan batasan durasi lima menit, kaum muda dapat memberikan gambaran nyata tentang realitas yang mereka gumuli.

Padahal, banyak pihak mengatakan bahwa kaum muda merupakan golongan yang cukup sulit untuk dipahami. Dampaknya, kaum muda diperlakukan sebagai segmen yang khusus. Tidak jarang, karena cara pandang tersebut, terbangun gap antara kaum muda dengan generasi di atasnya.

Dari self-talk di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kaum muda merupakan pribadi yang rentan menderita karena perubahan zaman. Self-talk itu juga memperlihatkan bahwa kaum muda juga “menggeliat” dan membuat banyak perubahan zaman sebagai reaksi protes terhadap tekanan yang mereka tanggung. Ketika kaum muda gelisah karena “beban” tersebut, mereka mengambil aksi dengan melakukan perubahan zaman. Semakin besar tekanan tersebut, semakin cepat pula mereka melakukan perubahan. Alhasil, semakin lebar pula gap yang terjadi karena banyak pihak yang sulit mengerti atau memahami perubahan-perubahan tersebut. Jadi, ini seperti sebuah putaran yang tak berujung, yang menjadi lingkaran hidup kaum muda, yaitu tekanan (penderitaan) – ekspresi perubahan – gap ketidakmengertian.

Amsal 24:10–12 berkata: “10Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu. 11Bebaskan mereka yang diangkut untuk dibunuh, selamatkan orang yang terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. 12Kalau engkau berkata: “Sungguh, kami tidak tahu hal itu!” Apakah Dia yang menguji hati tidak tahu yang sebenarnya? Apakah Dia yang menjaga jiwamu tidak mengetahuinya, dan membalas manusia menurut perbuatannya?” Perenung Amsal mengatakan bahwa Amsal 24:10–12 berbicara tentang perintah terhadap orang yang paham untuk menolong mereka yang rentan menyerah (the quitter). Bila renungan ini direfleksikan ke dalam fenomena kaum muda, ada sebuah pertemuan antara pihak yang tawar hati/sesak, yaitu kaum muda, dengan pihak yang— di mata Tuhan—sesungguhnya mengerti tentang persoalan yang menyebabkan tawar hati/sesak tersebut. Perenungan ini mengajak kita untuk berdiri sebagai pihak yang kedua.

Dalam perenungan tentang kaum muda yang dikaitkan dengan ayat di atas, sekalipun mereka melejit mengemukakan dunia, dalam kesesakan, mereka seperti pribadi yang tidak punya kekuatan karena tawar hati (ayat 10). Banyak penelitian yang menyatakan bahwa kekecewaan kaum muda berasal dari orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi panutan hidup. Kata “tawar hati” di dalam Amsal menjelaskan makna lemas (hang limp), sebuah gambaran kekecewaan yang begitu mendalam hingga membuat dirinya enggan lagi berharap (grow slack).  Kondisi lesu, kecewa, dan tawar hati membuat mereka seperti korban empuk yang diintai untuk “dibunuh oleh dunia”.

Amsal 24: 10–12 dapat dijadikan topik self-talk baik bagi kaum muda maupun kita, kaum dewasa. Ini dapat menjadi dialog pribadi, menelusuri kejujuran hati tentang yang dirasa dan yang diketahui. Ayat ini dapat direnungi oleh seluruh anggota komunitas Athalia, untuk menyejukkan hati agar komunitas ini siap menyejukkan hati generasi muda dalam menghadapi zaman-zaman selanjutnya: zaman yang bergerak cepat yang memunculkan kekhawatiran dan kecemasan; zaman alternatif yang akan semakin masif.

Perjalanan iman anak-anak kita akan semakin ditantang oleh dunia yang akan menawarkan lebih banyak pilihan. Jurang jarak antara kebenaran dan kepalsuan menjadi semakin besar, membuat “mata menjadi rabun” dalam membedakannya. Dalam kondisi ini, semakin banyak kaum muda yang berpotensi berjalan terhuyung-huyung. Akankah kita abai dan tetap berada di dalam gap ini? Apakah kita akan membiarkan mereka terhuyung-huyung menuju kebinasaan seperti orang yang akan dipancung?

Untuk menolong yang terhuyung-huyung tentu janganlah kita menjadi linglung dan limbung.  Membangun konsep pertolongan kehidupan yang terbaik adalah melalui pertemuan berbagi hidup, yaitu saling menggenggam dalam meniti jalan lurus dengan hati yang tulus. Amsal 24: 12 menuntut kita untuk memahami bahwa jiwa kita boleh terus bertumbuh oleh karena pertolongan-Nya. Karena itulah Dia menjaga dan meminta kita menjaga anak-anak ini. Amsal 24: 12 nyata berkata bahwa kita seharusnya menjadi pribadi yang matang, pemerhati kebenaran dan pelaku pemberi pertolongan. Janganlah cepat berkata, “Kami tidak tahu tentang hal itu!” Janganlah menjadi bagian yang membuat kaum muda seperti terhuyung-huyung menuju tempat pemancungan. Mata-Nya yang tajam akan senantiasa menatap isi hati dan pikiran kita. Berdirilah tegak dalam kebenaran, tidak terseok-seok. Genggamlah kaum muda mendekat agar turut pula berdiri tegak dalam kebenaran. Hati-Nya yang sejuk pun akan menjadikan kaum muda Athalia menjadi penyejuk zaman.

Tips agar Vaksinasi Anak Berjalan Lancar

Sebentar lagi, para siswa SD Athalia akan mengikuti vaksinasi COVID-19 (dosis kedua). Bagaimana cara agar proses ini minim drama? Persiapan apa saja yang perlu dilakukan oleh orang tua siswa supaya anak tetap merasa nyaman?

Mari baca ulasan berikut!

Dibentuk dengan Berbagi Hidup

Dibentuk dengan Berbagi Hidup

oleh: Merry David

Dari buku Sacred Marriage karya Gary Thomas.

Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu (Matius 7: 1–2).

Gary Thomas di bagian ini mengatakan bahwa pernikahan bisa menjadi sarana perubahan diri. Berbagi hidup dengan pasangan di dalam pernikahan dapat membuat tiap individu saling mempertajam dan mengasah satu sama lain. Namun, ada hal yang bisa membunuh proses pembelajaran ini, yaitu kecenderungan menghakimi pasangan dan menolak untuk mendengarkan pasangan. Tidak ada satu orang pun yang sempurna di dunia ini, begitu juga pasangan kita. Oleh karena itu, ada baiknya kita berfokus pada kekuatan dan kelebihan pasangan yang bisa memberikan kita inspirasi.

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya menyadari bahwa dunia pernikahan tidak seindah seperti yang saya bayangkan. Tidak seperti kehidupan yang digambarkan di drama Korea yang menampilkan hal yang indah-indah. Ketika merenungi tema PIT dengan judul “Dibentuk dengan Berbagi Hidup”, saya mulai berpikir, apa saja yang sudah saya dan suami lalui sebagai pasangan? Di usia pernikahan kami yang baru 13 tahun, kami tidak hanya memiliki banyak persamaan, melainkan juga perbedaan.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Gary Thomas, kita bisa belajar dan dibentuk oleh pasangan, saya pun mengalaminya. Contoh beberapa hal yang saya pelajari dari suami saya, yaitu dalam hal percaya kepada orang lain, berani berpendapat, humble, dan lain sebagainya.

Dulunya saya tidak mudah percaya dengan orang lain sehingga saya selektif dalam memilih teman. Hal ini karena saya pernah dikecewakan oleh orang yang saya percayai sehingga tidak mudah bagi saya untuk percaya kepada orang lain lagi. Namun, suami saya mengajarkan saya untuk mau belajar memercayai orang. Misalnya di dalam pekerjaan, saya mulai bisa berbagi tugas dengan rekan kerja ketika saya bekerja sebagai sekretaris. Sebelumnya, semua pekerjaan saya tangani sendiri dan rekan saya hanya melakukan pekerjaan yang ringan-ringan saja. Dampaknya, saya sering kali kerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Ketika saya mulai belajar untuk memercayai orang lain, hidup saya tentunya menjadi lebih ringan. Dengan demikian, saya juga belajar untuk lebih rendah hati.

Dahulu, saya adalah orang yang tertutup atau antisosial. Namun, kemudian saya belajar bersedia membuka diri. Perubahan ini memungkinkan saya untuk melayani Tuhan bersama banyak orang. Apalagi ketika saya sudah menjadi orang tua dan anak saya bersekolah di Athalia. Mau tidak mau saya harus bersosialisasi dengan banyak orang tua lainnya karena di Athalia ada komunitas orang tua. Ketika saya bersedia diubah, saya merasa sangat terbantu dalam bersosialisasi dan berani ketika diminta melayani menjadi CPR lalu sekarang di BPH APC, serta berani melayani di gereja lokal kami.

Saya bersyukur suami tidak pernah menghakimi kekurangan saya ini. Dia membantu saya untuk terus memperbaiki diri. Begitu juga sebaliknya, saya juga belajar untuk tidak menghakimi kekurangan suami. Saya sadar, ketika saya menunjukkan jari telunjuk ke orang lain, sesungguhnya ada empat jari lainnya yang menunjuk ke diri saya.

Demikian sharing dari saya, kiranya Tuhan Yesus memberkati. Terima kasih.

Mempunyai Hati untuk Melakukan Hal Baik

Oleh: Elisa Christantio, Orang tua siswa.

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu baik-baik, sebab hatimu menentukan jalan hidupmu.” (BIS)

Amsal 4: 23 “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (TB)

Firman Tuhan yang direnungkan pada Rabu, 6 Oktober 2021 diambil dari Amsal 4: 23. Ketika menyebut kata “menjaga” umumnya kita akan berpikir tentang hal-hal yang tampak, tetapi jarang terpikir akan hal yang tak kasatmata.

Jadi, ketika Alkitab berbicara tentang hati, tentu tidak berbicara tentang fisik. Hal ini lebih mengacu kepada pikiran, kehendak atau bahkan batiniah. Pikiran dan kemauan adalah tempat di mana kita membuat keputusan, setiap pilihan yang kita buat. Segala sesuatu yang kita putuskan untuk dilakukan berasal dari sana.

Mengapa penting untuk menjaga hati kita?

  • Karena kita mencintai Tuhan yang sudah lebih dulu mencintai kita.

Salah satu motivasi terbesar untuk menjaga hati karena kita mencintai Tuhan. Mengasihi Tuhan dan memelihara persekutuan yang erat dengan-Nya harus menjadi landasan utama dalam menjaga hati.

Sebelum pandemi, tugas dan pelayanan mengharuskan saya dan suami bepergian ke luar kota. Kami sudah sepakat walau melayani Tuhan, kami ingin selalu bersama dengan anak-anak. Akhirnya, kami memilih jadwal saat anak-anak libur sekolah agar mereka bisa ikut. Ini bukan keterpaksaan, tetapi hal yang dilakukan dengan sukacita. Kami memilih untuk melakukannya karena rasa sayang. Kami saling mengasihi sehingga kami menempatkan perlindungan untuk hati kami dengan cara seperti ini.

  • Rencana Tuhan

Ketika semua yang kita lakukan mengalir dari hati, mungkin saja rencana Tuhan sedang terjadi dalam hidup kita.

Tidak ada yang lebih memuaskan di bumi ini selain melakukan kehendak Tuhan.

  • Menyelesaikannya dengan baik

Banyak di antara kita yang memulai dengan baik, tetapi mengakhiri dengan buruk. Amsal mengingatkan agar kita memulai dan mengakhiri dengan baik pula.

Menjalani pekerjaan yang harus sering keluar kota, mewartakan kabar baik, dan melayani bersama-sama keluarga tentu tidak mudah. Namun, kami ingin menyelesaikannya dengan baik. Suatu kali, kami melayani di Desa Pulutan, Wonosari, Gunungkidul. Kami tidak memberi tahu anak-anak tentang kegiatan hari itu. Sesampainya di lokasi, anak kami yang besar bertanya, “Kenapa kita disambut seperti presiden?” Dia bingung karena kehadiran kami disambut meriah. Singkat cerita, kami beramah tamah. Anak kami yang besar waktu itu masih kelas 4 SD, ditanya oleh salah seorang murid lokal tentang bahasa yang dikuasai. Lalu anak kami berkata, “Aku bisa bahasa Mandarin. Wo jiào Nathanael. Nǐ jiào shénme míngzì?” Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa. Kemudian, anak kami berkata, “Kamu juga bisa, makanya kamu harus rajin belajar.” Lalu, semua orang di sana bertepuk tangan.

Hari itu, kami pulang dengan hati bersyukur karena yang kami mengalami liburan yang luar biasa. Anak-anak mengerti tentang menjaga sekaligus memberi hati untuk orang lain. Kami sekeluarga pun menyelesaikan misi/tujuan Tuhan dalam hidup kami, walau dengan cara yang sederhana.

Menjaga hati bahkan juga dialami tokoh misionaris terhebat sepanjang masa dalam Filipi 3: 12–14. Paulus menyadari bahwa pekerjaannya belum selesai dan dia ingin memastikan bisa menyelesaikannya dengan kuat.

Saya yakin Paulus pun menjaga hatinya. Saya dan kita semua harus melakukan hal yang sama.

Sebagai penutup, saya bagikan satu ayat yang merangkum cara menjaga hati: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”– Filipi 4: 8

Selamat merenung. Tuhan Yesus memberkati.

Pantang Menyerah

Oleh: Dwi Handayani, Orang Tua Siswa.

Anak adalah titipan Tuhan yang sangat berharga. Sebagai orang tua, kita pasti ingin menanamkan nilai-nilai kebaikan di hidupnya agar menjadi generasi yang tangguh dan mandiri di masa depannya.

Saya ingin berbagi cerita tentang putri pertama kami. Dia termasuk anak yang patuh, penyayang, tetapi dia anak yang pemalu dan manja. Ketika ada anak sebaya yang mengajaknya bermain, dia malah lari pulang ke rumah dan mau main jika saya temani. Daya juangnya juga masih kurang ketika ingin sesuatu, misalnya membuat benda dari origami. Saat hasilnya tidak bagus atau gagal, dia langsung menyerah dan tidak mau mencoba lagi.

Kami selalu membimbing dan menyemangati dia agar lebih percaya diri serta mau berusaha. Kami selalu mengingatkan dia bahwa tidak semua yang dia inginkan dapat terwujud. Ada saatnya dia harus berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Kami juga mengingatkan pentingnya rasa syukur atas nikmat yang sudah Tuhan berikan. Apa yang sudah tersedia dan sudah dia miliki harus disyukuri dan tidak meminta lebih karena masih banyak orang lain di luar sana yang kekurangan.

Suatu hari, saat usia anak kami lima tahun, dia minta dibelikan mainan yang cukup mahal bagi kami, yaitu satu set mainan Plants vs Zombies. Kami pun tidak membelikannya karena mainannya sudah cukup banyak di rumah. 

Beberapa hari kemudian, saat sedang sekolah daring, dia memanggil saya dan menunjuk ke arah layar laptop. Ternyata ada teman laki-lakinya yang sedang memegang salah satu mainan yang dia suka. Saat itu dia mengeluh lagi dan berkata ingin dibelikan mainan tersebut. Namun, tetap saya katakan tidak dengan memberi penjelasan yang sama.

Beberapa minggu setelahnya, terjadi peristiwa yang cukup membekas di hati saya. Di suatu siang yang panas, anak saya bilang bahwa dia mau jualan. Saya mengiyakan saja karena dia suka mainan jual-jualan dan mama papanya disuruh menjadi pembeli. Namun, ternyata kali ini berbeda. Dia meminta tolong kepada saya agar membawakan meja belajar kecilnya ke teras depan rumah. Lalu, saya lihat dia juga membawa kertas HVS yang bertuliskan “Mainan ini dijual, ya!” dengan disertai hiasan spidol warna-warni. Saya bertanya, “Memang kamu mau ngapain?” Dia menjawab sembari menempelkan kertas HVS di pinggir meja bagian depan, “Aku mau jualan karena aku mau dapet duit biar bisa beli mainan Zombie.”

Dia masuk ke dalam rumah sebentar kemudian kembali keluar sambil membawa sekantong mainan dan segenggam cemilan yang diambil dari rak makanan. Dia letakkan berbagai cemilan tersebut, kemudian dia mengambil kertas, gunting, dan selotip. Dia menuliskan harga dan menempelkannya ke bungkus cemilan. Saat dia meletakkan cemilan ke meja, saya lihat harga satu Beng-Beng Rp1.000.000 dan Nyam-Nyam Rp1.000.000.000. Hampir semua cemilan dia kasih harga fantastis. Saya hanya tertawa dalam hati. Ya… tentunya dia belum paham arti nol sebanyak itu. Walau geli melihat hal itu, saya terharu sekali. Saya tidak menyangka dia akan seniat itu untuk berjualan demi mendapatkan mainan yang dia mau. Entah dari mana asal ide itu, yang pasti saya dan suami cukup kaget melihatnya.

Saat itu, saya mengelus rambutnya sambil berkata, “Jadi kamu mau jualan beneran, ya??”

Dia pun menjawab dengan semangat, “Iyaa… nih aku udah tulis harga makanannya, terus aku juga mau jualin mainan yang di kantong yang udah nggak aku suka.”

“Ya sudah. Mama bantuin yah, tapi ini kan masih siang dan panas. Mana ada yang mau beli mainan. Nanti sore aja. Sekarang masuk dulu, istirahat.”

Dia pun bersikeras tetap tidak mau masuk ke dalam rumah. Dia membuka pagar rumah selebar-lebarnya dan meja pun digeser ke depan. Alhasil sebagian makanan terkena sinar matahari panas. Dia pun sudah beratribut lengkap dengan memakai topi sambil membawa waist bag dikalungkan ke leher dan satu pundaknya. Dia duduk menunggu pembeli datang. Beberapa kali saya bujuk agar masuk ke dalam rumah sambil menunggu pembeli datang, tetapi dia tetap tidak mau. Saya hanya mengawasi dari dalam rumah dan tidak mau mengganggunya walau sebenarnya kasihan melihatnya kepanasan.

Setelah 15 menit berlalu, belum juga ada yang beli. Dia tetap duduk diam. Entah apa yang dipikirkannya: sedih karena tidak ada yang beli atau semangat menunggu pembeli. Setelah 20 menit lebih, akhirnya saya bujuk baik-baik dan dia mau masuk ke dalam dan kembali berjualan sore nanti.

Sore hari pun tiba. Sekitar pukul 4 sore dia semangat untuk kembali berjualan. Sebelumnya, kami sudah berdiskusi tentang harga makanan yang dijual dan memilih mainan apa saja yang layak dijual. Mainan ada yang dijual dengan harga seribu dan dua ribu karena ukurannya yang imut dan sengaja diberi harga murah agar ada yang mau beli. Kebetulan dekat rumah ada musala dan sore hari biasanya ramai anak-anak yang mengaji. Jadi, kami berharap ada 1–2 anak yang mampir ke “lapak” kami saat perjalanan pulang.

Setelah mencoba berjualan selama tiga hari, uang yang terkumpul sebanyak 22 ribu rupiah. Dia senang bukan main. Kami berniat mau menambahkan uang untuk membelikan mainan yang dia mau.

Saya pun bertanya, “Kamu jadi mau beli mainan Plants vs Zombies?”

Secara mengejutkan, dia menjawab, “Enggak jadi. Aku mau beli mainan makeup-makeupan aja!” sambil menunjukkan gambarnya di Tokopedia.

Apa pun akhirnya, kami salut atas usahanya, kami pun bersyukur karena anak kami akhirnya dapat memahami jika ingin mendapatkan sesuatu harus berusaha dan tidak mudah menyerah. Oiya ternyata dari hasil usaha berjualannya itu pula dia akhirnya belajar bersosialisasi dan lebih percaya diri, bahkan akhirnya mendapatkan teman baru untuk bermain setiap sore hari. Terima kasih.

Renungan PIT: HADIAH RASA TAKUT (ULANGAN 9: 19)

Oleh: Sylvia Radjawane

Setiap mendengar kata “takut”, apa yang kita pikirkan?

Kata ini sering mengingatkan saya tentang sesuatu yang sifatnya negatif. Namun, ada satu rasa takut “paling positif” di dunia ini, yaitu takut akan Tuhan. Rasa takut jenis ini yang membuat saya dapat mengalami hubungan yang semakin akrab dan indah dengan Tuhan di dalam hidup saya. Mengapa demikian? Karena dalam hubungan yang terjalin itu, saya kenal Dia bukanlah sebagai pribadi yang “menakutkan”, sebaliknya saya belajar memiliki rasa hormat yang mendalam, rasa kagum terhadap Dia, pribadi yang sangat berkuasa sekaligus memiliki kasih karunia yang sangat besar, yang selalu setia menemani perjalanan hidup saya.

Saya belajar dari kehidupan Nabi Musa yang ucapannya tercantum dalam Ulangan 9: 19. Musa adalah tokoh Alkitab yang memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Perjalanan hidupnya yang fenomenal tidak serta-merta terjadi dalam sekejab mata. Dia semula adalah orang yang menolak tanggung jawab yang Tuhan berikan dengan alasan, “Aku tidak pandai berkata-kata”, yaitu ketika Tuhan mengutusnya ke Mesir dengan misi mulia memimpin bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Ketika akhirnya Musa berkeputusan untuk menjalani panggilan Tuhan dan seiring perjalanan hidupnya bersama Tuhan, hal itu membuat hubungannya dengan Tuhan semakin karib. Dia juga yang berani berucap, “Walau aku tahu Tuhan murka dengan apa yang sudah dilakukan bangsa Israel, tapi aku kenal Tuhanku dan Ia akan mendengarkan juga permohonanku.” Kalimat ini menunjukkan adanya hubungan yang istimewa antara Musa dengan Tuhan dan hubungan seperti ini hanya bisa dialami oleh seseorang yang takut akan Tuhan.

Dalam pengalaman pribadi saya, takut akan Tuhan bukan berarti saya harus melakukan segala sesuatu yang baik karena saya patuh kepada Tuhan dan “takut” akan hukuman Tuhan yang akan menimpa jika saya tidak melakukan perintah-Nya. Saya juga bisa saja patuh kepada Tuhan, tapi saya tidak punya hubungan baik dengan Dia. Namun, Tuhan adalah pribadi yang sangat memprioritaskan kualitas hubungan-Nya dengan saya. Oleh karen itu, saya mau hidup dalam “takut akan Tuhan”.

Saat saya hidup dalam “takut akan Tuhan”, hubungan karib dan istimewa yang terbangun dengan Dia akan membuat saya memiliki kesadaran penuh untuk tetap dekat dengan Tuhan dan justru menjadi “takut” untuk menjauh dari Dia. Perspektif hidup yang saya miliki mengenai “takut akan Tuhan” ini pada akhirnya akan bermuara dalam tindakan seperti ini:

“Saya memutuskan dengan sadar untuk memilih cara hidup yang berkenan dan menyenangkan hati Tuhan, karena hubungan kami sangat istimewa, dan saya ingin tetap mempertahankannya untuk kebaikan saya semata-mata, yaitu pertumbuhan iman saya.”

Mudahkah melakukan komitmen di atas? Mungkin tidak. Hanya Tuhan yang sangat mampu memperbesar kapasitas hati saya untuk memiliki dan melakukan komitmen seperti ini.

Tuhan berkenan kepada orang yang hidupnya “takut akan Dia”. Selalu ada hadiah yang menanti untuk rasa “takut” yang seperti ini.

Fear ensures compliance; Fear of God inspires commitment

Mendampingi Anak Berproses dalam Karakter

Oleh: Sinsi dan Aegis, Orang Tua Siswa

Kami mengingat kembali saat anak kami duduk di bangku TKB dan harus mengikuti tes kematangan sebagai salah satu syarat masuk SD Athalia. Masa itu merupakan pengalaman iman luar biasa buat kami dalam hal tumbuh kembang anak…

Aegis dan Sinsi memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Aegis bertumbuh dalam keluarga yang seperti broken home, tetapi orang tuanya tidak bercerai. Sementara itu, Sinsi tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih, harmonis, dan sangat kekeluargaan. Orang tua Sinsi biasa menunjukkan kasih dengan cara memanjakan anak-anaknya. Bisa dibilang level memanjakan kebanyakan orang kepada cucunya sudah diterapkan kepada anak-anaknya.

Begitu Sinsi hamil hingga melahirkan, keluarganya sangat bersukacita. Kami diminta tinggal di rumah Sinsi. Anak kami mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang dari kakek dan neneknya. Apa pun yang diminta selalu dituruti bahkan ditawari segala hal karena itulah bahasa kasih mereka dan mereka ingin cucunya senang. Ada beberapa kebiasaan yang tumbuh dalam diri anak kami, yang kalau menurut pandangan orang mungkin terlalu berlebihan. Begitulah cara orang tua Sinsi menunjukkan kasih sayang mereka terhadap cucunya.

Sayangnya, pola asuh orang tua Sinsi ini membuat kami sebagai suami istri sering bertengkar. Aegis tidak setuju dengan perlakuan yang diterima anak kami. Sinsi, sebagai anak, merasa tidak berdaya melawan orang tuanya yang sangat mengasihi cucu mereka. Sinsi sempat bertanya-tanya, apakah benar memanjakan cucu akan sampai “merusak” anak itu? Bukankah anak itu akan berubah dengan sendirinya kalau sudah beranjak besar (bisa mandiri dan lain sebagainya)?

Pertengkaran kami semakin intens dan kami jarang merasakan damai dan sukacita. Akhirnya, kami memutuskan untuk pindah rumah, memisahkan diri dari keluarga Sinsi. Dalam proses ini, terjadi perdebatan yang cukup intens dengan orang tua Sinsi. Namun, kami sudah sepakat untuk menyelamatkan rumah tangga kami.

Ternyata, pindah rumah tidak menyelesaikan masalah. Orang tua Sinsi tetap ingin dekat dengan cucunya dan datang ke rumah hampir tiap hari. Puncak dari isu di keluarga kami muncul ketika kami dipanggil Kepala TK Athalia. Pada pertemuan tersebut, Bu Risna dan Bu Elita menyampaikan bahwa anak kami tidak lulus tes kematangan. Mereka juga menceritakan, ketika menjalani tes tersebut, anak kami berperilaku sangat buruk. Dia tidak mau mengikuti instruksi yang diberikan, bahkan sampai memarahi guru yang sedang mengobservasinya.

Mendengar informasi tersebut, kami kaget sekali. Di rumah, anak ini tidak pernah berkata kasar. Namun, ternyata dia bisa sampai marah-marah dan berucap kasar kepada guru di sekolah. Hati kami hancur. Namun, di titik ini, Sinsi menyadari bahwa efek pola asuh yang salah sangat memengaruhi perkembangan seorang anak. Sejak saat itu, kami kembali bersatu, bertekad mengubah pola asuh selama ini dan memperbaiki perilaku dan karakternya.

Kami bersyukur Athalia masih memberikan kesempatan kepada anak kami untuk mengikuti tes kematangan kedua. Tak mau buang waktu, kami melakukan langkah nyata. Kami berbicara kepada orang tua Sinsi mengenai kondisi anak kami dan meminta pengertian mereka tentang beberapa hal yang sudah kami sepakati. Memang tidak mudah menyampaikan ini kepada orang tua, tetapi kami harus melakukannya demi kebaikan anak kami.

Kami membuat aturan yang jelas dan memberlakukan rutinitas harian yang harus diikuti. Kami juga memberikan konsekuensi jika anak kami menunjukkan ketidaktaatan. Kami juga mengajak anak untuk berbicara dari hati ke hati. Kami sampaikan bahwa selama ini kami melakukan cara yang salah dalam mendidiknya. Kami memberikan pengertian kepadanya: sesuai firman Tuhan, kita tidak bisa hidup semaunya. Kita harus berusaha menjadi berkat untuk orang lain, dimulai dengan belajar taat dan bersikap baik.

Proses itu kami jalani, tetapi harus diakui sangat tidak mudah. Sekalipun sekolah dan kami sudah berusaha keras untuk memperbaiki karakter anak kami, kemajuannya sangat lambat karena sisa-sisa pola asuh terdahulu.

Kemudian, Tuhan menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar kepada keluarga kami dengan membukakan jalan lain yang tidak pernah kami duga. Waktu itu, pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia. Kami pun bisa fokus mendidik anak berdua saja. Anak kami dapat menghabiskan waktu lebih banyak bersama orang tuanya dan jarang berinteraksi dengan kakek-neneknya. Kesempatan ini kami pakai semaksimal mungkin untuk menanamkan nilai-nilai baru kepadanya. Pada saat itu, kami merasakan belas kasihan Tuhan karena anak kami mampu mengerti dan memahami didikan dan teguran yang kami berikan kepadanya.

Proses yang kami alami masih berlangsung hingga saat ini. Ada kalanya kami masih menghadapi riak-riak kecil dalam perjalanan ini. Namun, kami bersyukur karena Tuhan tidak pernah meninggalkan kami sendirian menjalani ini semua.

Tuhan memperkenalkan kami kepada Sekolah Athalia. Kami merasakan perhatian yang begitu besar dari pihak sekolah melalui diskusi dan percakapan dengan kami. Juga, dengan perhatian yang mereka berikan kepada anak kami.

Saat ini, anak kami sudah duduk di kelas 2 SD dan mulai memahami tugas dan tanggung jawabnya. Perilakunya sudah jauh lebih baik dibandingkan dua tahun lalu. Kami sekeluarga masih terus berproses bersama Tuhan dan Sekolah Athalia. Kiranya kisah kami dapat menjadi berkat bagi kemuliaan Tuhan. Amin.