Menabung Kesabaran

Shalom Bapak/Ibu dalam Komunitas Athalia. Bagaimana kabarnya selama #dirumahaja? Pandemi Covid-19 membuat banyak keluarga stay at home. Yang awalnya menyenangkan, lama-kelamaan bisa jadi membosankan dan membuat orang tua mudah emosi. Anak-anak menuntut perhatian, bertengkar karena rebutan remote TV, dan rumah berantakan. Video ini ingin mengajak para orang tua untuk merenungkan relasi orang tua-anak dan menghadapi masa-masa ini dengan bijak.

#parenting#tipsparenting#videoparenting#charlottepriatna#karaktersabar

#sekolahathalia#sekolahkarakter#rightfromthestart#covid19#dirumahaja#

sekolahdirumah#belajardirumah#physicaldistancing#psbbtangsel

Hardiknas di Tengah Pandemi

Oleh: Presno Saragih, Kepala Bidang Pendidikan Sekolah Athalia

Ketika Presiden Jokowi mengumumkan dua warga negara Indonesia terjangkit Covid-19, pada 2 Maret lalu, beberapa sekolah segera membuat kebijakan insidental berkaitan dengan Proses Belajar Mengajar (PBM). Sekolah menerapkan kebijakan home learning. Para guru tetap datang ke sekolah untuk menyiapkan materi home learning.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat kebijakan yang sinergis. Sekolah-sekolah diminta menerapkan pembelajaran jarak jauh. Para siswa belajar di rumah (home learning) dan guru-guru bekerja dari rumah (work from home). Sekolah Athalia menggunakan Google Classroom dan Google Form dalam PBM jarak jauh ini. Siswa SD, SMP, dan SMA dapat melakukan tanya-jawab secara langsung dan personal dengan guru-guru melalui media ini. Relasi dan komunikasi tetap dapat dibangun. Pembinaan karakter pun masih dapat dilakukan walau terbatas.

Bagaimana peran orang tua dalam PBM jarak jauh ini? Untuk siswa TK dan SD, peran orang tua sangat signifikan. Orang tua TK harus mendampingi anak-anaknya belajar, bahkan menjadi guru bagi anaknya. Orang tua SD (kelas 1 dan 2) juga harus mengajari anak-anaknya ketika mereka belum memahami materi-materi tertentu. Pendek kata, semua orang tua (SD–SMA) harus mendampingi anak-anaknya belajar. Setidaknya, mereka harus mengingatkan anak-anak untuk membuka ponsel dan komputer mereka untuk menerima pembelajaran jarak jauh yang diberikan gurunya.

Kesempatan ini sebenarnya bisa dipakai oleh orang tua untuk membangun komunikasi dan relasi dengan anak-anak. Selama ini, kesibukan orang tua dan atau kesibukan anak menjadi penghalang terciptanya efektivitas hubungan antaranggota keluarga. Momentum home learning dan work from home dapat dimanfaatkan untuk rekonsiliasi (pemulihan hubungan) jika selama ini ada friksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang belum sempat diselesaikan.

Lebih dari itu, kebersamaan di rumah juga bisa digunakan untuk membangun karakter anak. Orang tua dapat memotivasi anak untuk berusaha memahami materi yang diberikan guru dan mendorong anak untuk tidak menyerah ketika mengerjakan soal-soal yang sulit. Pada saat yang bersamaan, orang tua juga harus belajar bersabar dalam mengajari anak memahami materi tertentu. Tak hanya anak yang terbentuk karakternya, tetapi juga orang tua.

Tentu saja proses ini dapat berdampak buruk bagi hubungan orang tua dan anak. Orang tua dapat mengalami stres dan mudah marah karena tidak sabar mendampingi anak belajar. Anak juga menjadi patah semangat dan marah menghadapi orang tuanya yang tidak sabaran. Semuanya berpulang kepada kita. Apakah kita mau memanfaatkan situasi dan kondisi ini untuk kebaikan kita? Jawabannya ada pada kita masing-masing.

Apakah guru diuntungkan oleh situasi tidak ideal ini? PBM dilakukan tanpa tatap muka seperti biasanya. Beberapa guru memang melakukan perekaman video untuk menyampaikan materi. Namun, tidak ada proses umpan balik dari siswa. Guru-guru merindukan kesempatan untuk bertatap muka dengan “anak-anaknya”. Mereka ingin berinteraksi aktif dengan siswa, menyampaikan materi lalu melihat para siswa memberikan respons. Mereka ingin menegur siswa tertentu yang tidak memperhatikan penjelasan mereka. Mereka ingin menyapa para siswa dengan senyuman hangat. Mereka ingin mendengarkan celotehan anak-anak yang biasanya menghiasi ruang kelas. Mereka merindukan suasana belajar yang hidup!

Bagaimana dengan para siswa? Apakah mereka menikmati suasana belajar home learning? Apakah mereka menyukai cara belajar tanpa tatap muka seperti ini? Memang, tidak ada omelan, hukuman berdiri di belakang kelas, dan lain sebagainya. Namun, ternyata oh ternyata, mereka lebih menyukai PBM dengan bertatap muka langsung dengan guru dan teman mereka di kelas!

PBM jarak jauh dapat menjadi solusi alternatif ketika PBM tatap muka tidak dapat dilaksanakan karena adanya halangan besar yang tidak dapat ditembus. Kesimpulan lainnya, PBM yang efektif harus menghadirkan guru dan siswa yang bertatap muka langsung di kelas ataupun di luar kelas. Orang tua dan siswa membutuhkan guru dalam PBM yang efektif. Bahkan, para siswa membutuhkan kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan guru dalam menerima pengajaran. Hal yang sama juga berlaku bagi guru yang membutuhkan umpan balik dari siswanya.

Sebagai seorang pendidik yang sudah berkecimpung selama 34 tahun dalam “dunia persilatan” (baca: dunia pendidikan), naluri guru saya mengatakan bahwa Menteri Pendidikan kita, Dr. Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A., akan menerapkan pembelajaran online (jarak jauh) dan pembelajaran tatap muka langsung (jarak dekat) pada saat yang bersamaan. Bahkan, mungkin program akselerasi akan diterapkan secara nasional di semua sekolah dengan pendekatan pembelajaran online sebagai pendekatan andalannya. Namun, pembinaan karakter juga akan dikedepankan.

Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional yang ke-112, marilah kita menyatakan syukur kepada Tuhan yang sudah mendidik bangsa ini melalui para pendidik dan tenaga kependidikan selama ratusan tahun. Tuhan menggerakkan Bapak Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional) dan bapak/ibu pendidik/tenaga kependidikan lainnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tercinta, Indonesia. Pendidikan akademis dan pembinaan karakter yang selama ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah telah menghasilkan para tenaga profesional yang cinta akan negeri ini. Hal ini terlihat nyata dari sepak terjang para dokter, suster, dan paramedis yang siap mengorbankan diri dalam merawat para pasien yang terjangkit Covid-19.

Selain tenaga profesional di bidang kesehatan, kita juga memiliki para pemimpin pemerintahan yang bekerja penuh dalam menangani pandemi di negeri tercinta. Lalu, ada sejumlah orang yang memberikan donasi untuk penanganan Covid-19. Luar biasa! Mereka bahu-membahu menghadapi kondisi ini. Para pemimpin, anggota POLRI/TNI, tenaga profesional di bidang kesehatan, dan para donatur tidak dapat kita pungkiri adalah hasil dari pendidikan nasional selama ini.

Di sisi lain, pendidikan nasional kita juga melahirkan pemimpin-pemimpin yang intoleran, dokter-dokter yang berjiwa bisnis, anggota POLRI/TNI yang diskriminatif, dan lain-lain. Itu harus menjadi “pekerjaan rumah” kita bersama. Jika kita sehati, anak bangsa bersatu, masalah laten akan dapat kita atasi. Bersama Tuhan kita bisa melakukan banyak hal. Impossible is nothing for Him.

Akhirnya, Selamat Hari Pendidikan Nasional dan Selamat hidup berkemenangan di dalam Kristus. Amin.

Apa yang bisa kita lakukan untuk memerangi Covid-19?

Beberapa hal teknis dan nonteknis yang bisa kita lakukan.

A. Teknis

  • Tinggal di rumah dan menerapkan physical distancing jika beraktivitas di luar rumah.
  • Wajib memakai masker ketika beraktivitas di luar rumah dan mencuci tangan dengan sabun/memakai hand sanitizer setelah beraktivitas.
  • Wajib mengganti pakaian setibanya di rumah setelah beraktivitas di luar rumah.
  • Wajib mengonsumsi makanan bergizi, minum air mineral dalam jumlah yang cukup, sempatkan berolahraga, dan usahakan berjemur di bawah matahari pagi selama kurang lebih 15 menit.

B. Nonteknis

  • Bijaksanalah dalam menanggapi dan meneruskan berita-berita yang lalu-lalang seputar Covid-19 di grup media sosial.
  • Kurangi “mengonsumsi” berita-berita tentang Covid-19 yang dapat mengakibatkan stres.
  • Lakukan waktu teduh secara teratur dan alami perjumpaan dengan Allah yang akan memberi penghiburan dan kekuatan.
  • Mengucap syukur kepada Allah karena Dia turut bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi Dia.
  • Teruslah berdoa dan berpengharapan di dalam Kristus. Di dalam pengharapan ada sukacita yang sejati. Hati yang gembira adalah obat.
  • Imanilah bahwa Allah kita berkuasa atas alam semesta dan segala isinya, maut, dosa, dan virus Corona.

“Enggak Connect”

Beberapa orang tua mengeluhkan hubungan mereka dengan anak remajanya tak berjalan mulus. Rasanya, makin banyak perbedaan pendapat yang memicu konflik. Sebenarnya, ada apa dengan orang tua vs. remaja?

Hal inilah yang melatarbelakangi topik seminar parenting unit SMP, yaitu “Enggak Connect” yang diadakan Sekolah Athalia pada 19–21 Februari 2020. Seminar dibuka dengan review singkat mengenai seminar semester lalu dengan tema yang sama. Yang membedakan adalah seminar kali ini lebih berfokus pada diskusi dan studi kasus. Para peserta akan mendiskusikan dua pertanyaan dalam kelompok-kelompok kecil.

Dua pertanyaan diskusi kali ini, yaitu mengapa anak tidak mau bercerita kepada orang tuanya, dan mengapa anak tidak mau mendengar orang tuanya? Diskusi berlangsung menyenangkan. Para orang tua masuk dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok terdiri atas lima sampai enam orang, kemudian mendiskusikan dua pertanyaan tersebut. Mereka beragumen, sharing pengalaman pribadi, dan saling mendengarkan pendapat satu sama lain. Setelah itu, Bu Charlotte Priatna memimpin diskusi. Ada beberapa perwakilan dari kelompok-kelompok tersebut yang membagikan hasil sharing mereka.

Setelah itu, kesimpulan dari dua pertanyaan diskusi itu dirangkum. Anak-anak tidak mau bercerita pada orang tuanya karena papa dan mama terlalu cepat menghakimi atau menyimpulkan sebelum anak menyelesaikan ceritanya. Di sisi lain, anak remaja sulit mendengar perkataan orang tuanya karena orang tua terlalu sering mengulang ucapannya, berbicara dengan nada tinggi atau bahkan mengancam.

Bu Charlotte Priatna juga memaparkan bahwa hubungan orang tua dengan anak remaja menjadi salah satu kunci penting yang perlu disorot. Hubungan yang dimaksud adalah komunikasi. Orang tua diharapkan bisa menjadi pendengar yang aktif tanpa menghakimi. Salah satu saran yang menarik adalah sesekali orang tua perlu melakukan paraphrase ketika anak bercerita.

Paraphrase (parafrase) adalah keterampilan seseorang untuk mengulang kata-kata dan pemikiran yang disampaikan oleh anak. Pengulangan ini dilakukan tanpa mengubah makna kalimat sehingga anak merasa dipahami oleh orang tua.

Anak: Pa! Aku bad mood hari ini! Tadi ulangan Bahasa Inggris dibagiin dan aku nggak tuntas lagi!
Papa: Kamu lagi sebal karena nilai ulanganmu buruk ya, Nak.

Selain paraphrase, orang tua juga bisa menjadi pendengar aktif yang menggali masalah atau perasaan anak. Pertanyaan-pertanyaan kecil seperti, “Oh, begitu. Bagaimana perasaanmu?” “Apa responsmu?” mendorong anak semakin terbuka dengan orang tuanya.

Bu Charlotte juga membagikan kisah-kisah anak remaja yang punya hubungan buruk dengan kedua orang tuanya. Komunikasi mereka bermasalah sehingga anak lebih suka mengurung diri di kamar. Akibatnya, anak tidak mau bercerita tentang kesehariannya, apalagi mendengarkan orang tua. Padahal, enam tahun sebelum anak menginjak bangku kuliah adalah masa-masa yang harus dimanfaatkan orang tua untuk memenangkan hati anak dan menjalin relasi yang dekat.

Berdinamika dengan anak remaja sering dipandang sebagai tantangan bagi para orang tua. Mereka berada di masa transisi antara fase anak menuju dewasa. Banyak perubahan signifikan yang terjadi. Semoga, para orang tua berhasil menyesuaikan diri dengan fase anak dan mengusahakan relasi dekat antara keduanya. (SO)

Lebih Dekat dengan Siswa melalui “Parent’s Teaching”

Oleh: Elisa Christanto, Orang Tua Siswa

Saya selalu tertarik untuk berkontribusi lebih dalam dunia pendidikan, khususnya mendukung proses belajar mengajar di sekolah anak saya yang bungsu. Oleh karena itu, saya tak berpikir panjang lagi saat ditawari untuk menjadi relawan dalam program Parent’s Teaching di unit TK.

Parent’s teaching kali ini mengambil konsep story telling dengan tema “Kelinci”. Saya mulai mempelajari tema dan menyusun konsep cerita. Sembari jalan, saya memutuskan untuk mengamati karakter anak-anak di jenjang Pra-TK. Selain itu, saya juga membutuhkan bantuan orang tua lainnya untuk berperan sebagai singa dan kelinci. Puji Tuhan, banyak orang tua Athalia yang ringan tangan, mau memberikan bantuan dan kontribusi demi terwujudnya acara ini.

Kami melakukan beberapa pertemuan dan latihan sampai datanglah hari yang dinanti. Pada 11 Februari 2020, kami sudah bersiap untuk tampil di depan anak-anak, dengan persiapan yang cukup mepet dan seadanya. Namun, niat membara kami penuh, mengingat bahwa momen ini akan sangat berarti bagi anak-anak.

Kami membawakan cerita tentang singa dan kelinci dalam dua sesi, pagi dan siang. Pada sesi pagi, kami terkejut melihat anak-anak yang begitu manis, duduk di tempatnya dan menyimak dengan saksama. Saya amati, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak audio visual sehingga mendengarkan kisah dengan peraga menjadi hal yang sangat menarik bagi mereka. Saat diperbolehkan untuk berpartisipasi, mereka pun dengan antusias mendekati sumur tempat singa melompat. Luar biasa!

Sesi kedua, yaitu kelas siang, yang terdiri atas kelas Apple 1 dan Grape 1. Anak-anak di kelas siang sangat manis, cenderung kinestetik dan penuh antusiasme! Saat diminta untuk memanggil kelinci dan singa, mereka kompak berteriak memanggil “Kelinci…!” dan “Singa….!”

Peran singa yang dihayati dengan baik oleh salah satu orang tua siswa membuat para anak terbawa suasana. Mereka refleks memundurkan badan ketika singa mendekat. Begitu pula dengan kelinci, yang tingkah polahnya lucu, membuat anak-anak ingin menyapa kelinci.

Secara keseluruhan, acara ini sangat menyenangkan dan patut untuk dipertahankan. Tentu saja ada banyak manfaat yang bisa dipetik.

  • Melibatkan orang tua dalam proses belajar dan mengajar di sekolah dalam satu kesempatan, dapat menciptakan hubungan yang luwes dan hangat antara sekolah dan orang tua.
  • Orang tua dapat mendukung proses belajar dan mengajar di sekolah sesuai dengan talenta masing-masing.
  • Nyaman dan percaya. Ketika orang tua mengetahui bahwa proses belajar mengajar di sekolah anaknya baik sehingga orang tua pun merasa nyaman dan percaya kepada sekolah tersebut.
  • Sekolah juga akan senang jika ada orang tua yang peduli dengan proses belajar anaknya dan peduli dengan sekolah.

Manfaat lain yang tidak bisa diungkapkan adalah betapa bersyukurnya saya bisa menjadi pencerita dalam program Parent’s Teaching kali ini. Tak pernah membayangkan bisa sejenak menjadi seorang guru di sekolah formal.

Saya berharap akan ada banyak orang tua yang peduli dan rela hati saat diminta untuk terlibat dalam kegiatan sekolah. Karena itu semua bukan untuk kita, bukan untuk orang tua, tetapi untuk sekolah dan anak-anak.

Yuk… kita pakai talenta untuk menyenangkan hati Tuhan dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan orang lain.

Kehangatan yang Terjalin di Pra-event Temu Alumni

Oleh: Martin Manurung, konselor SMA.

Acara Pra-Event Temu Alumni merupakan kegiatan yang diadakan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan HUT 25 tahun Sekolah Athalia dengan tema “We Are One”. Acara Temu Raya Alumni sendiri akan diadakan pada 8 Agustus 2020. Panitia menargetkan 350 alumnus dari delapan angkatan untuk hadir pada Acara Temu Raya Alumni. Mereka akan berkumpul, sharing, berdiskusi, dan dibina demi menyatukan gerak langkah alumni Sekolah Athalia.

Adalah hal yang luar biasa untuk bisa mengumpulkan delapan angkatan alumnus Athalia yang saat ini tersebar di berbagai kota, baik di dalam maupun luar negeri. Untuk itulah acara Pre-Event Temu Alumni diadakan dengan tujuan membangun gairah dan menggerakkan alumni melihat pentingnya acara Temu Raya Alumni dan mengusahakan berbagai cara untuk hadir dan terlibat di dalamnya.

Acara pra-event ini juga diadakan untuk mengumpulkan kembali semangat kebersamaan dan kekeluargaan para alumnus setelah beberapa tahun tidak bertemu satu sama lain, termasuk dengan para bapak/ibu guru. Adapun persiapan kegiatan pra-event ini dilakukan kurang lebih selama dua bulan dengan campur tangan langsung dari para alumni—Keia, Disa, Moses, Adit, Andy, Krishna, Andrew, Kenisha, Kezia Adelia, Fily, dan Marcella—serta beberapa siswa yang masih sekolah di SMA Athalia—Kelvin, Jordan, Victor. Acara pra-event ini dilaksanakan pada Sabtu, 29 Februari 2020 pukul 18.00–22.00.

Acara pra-event ini dipandu oleh Bapak Martin Manurung dan Ester Kumala Tantri (Angkatan 3) sebagai MC. Acara dimulai dengan kata sambutan dari Pak Presno dan dilanjutkan dengan permainan tebak lagu. Momen ini dipakai untuk sekaligus menanyakan kabar para alumnus, termasuk “status relasi”-nya. Acara diisi dengan kuis yang mengingatkan mereka akan masa SMA bahkan cerita pengalaman dari beberapa alumnus tentang “kenakalan” yang mereka lakukan saat SMA dahulu.

Sukacita malam itu dilanjutkan dengan pertunjukan musik dari alumni dan guru, yang semakin menambah kehangatan acara ini. Keseruan semakin terasa ketika para alumnus dibagi ke dalam kelompok angkatan untuk barbeque (BBQ) bersama sehingga komunikasi, canda, dan tawa terasa lepas malam itu. Di tengah keramaian, para alumnus terlihat mengobrol santai dengan bapak/ibu guru yang hadir.

Acara pra-event ini dibantu oleh perwakilan OSIS SMA Athalia dan Bapak/Ibu orang tua alumnus yang berkontribusi memberikan donasi dan konsumsi. Selain itu, tampak hadir pula beberapa guru SD dan SMP yang pernah mengajar para alumnus semasa SD dan SMP di Athalia. Adapun jumlah alumni yang hadir pada acara ini berjumlah 115 orang yang terdiri atas angkatan pertama sampai dengan angkatan ketujuh.

Secara keseluruhan, para alumnus dan bapak/ibu guru terlihat antusias dan menikmati acara ini. Semoga acara Temu Raya Alumni nanti bisa berjalan lancar dan lebih banyak alumnus yang hadir dan ikut berpartisipasi.

Marriage Oneness

Oleh: Jessica Jeanne P. Rossall

Salah satu seminar yang dikhususkan bagi pasangan suami istri dalam rangka kegiatan HUT 25 Sekolah Athalia mengambil tema Marriage Oneness dibawakan secara apik oleh Bapak Rizal dan Ibu Rina Badudu pada Sabtu, 22 Februari 2020. Seminar ini dihadiri oleh 51 pasangan yang terdiri atas orang tua Athalia dan Pinus, guru, staf, juga beberapa peserta dari luar komunitas Athalia.

Sejak awal, seminar ini dirancang berbeda dari seminar lain yang umumnya diadakan oleh APC maupun sekolah. Berbagai ide dicetuskan demi memberikan peserta pengalaman yang unik dan istimewa. Kreativitas pun digali untuk menyempurnakan acara ini.

Pada hari pelaksanaan, peserta disambut dengan tatanan meja dan kursi yang tidak biasa. Setiap pasangan akan menemukan nama mereka di meja yang telah ditentukan. Namun, sebelum mereka duduk manis, mereka akan diminta untuk berfoto terlebih dulu. Tim dokumentasi—yang adalah beberapa siswa yang bersedia membantu panitia—membantu mengarahkan gaya agar setiap pasangan dapat difoto dengan pose terbaiknya.

Acara hari itu dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu sesi seminar dan sesi intimate moment.

Sesi seminar dibawakan secara bergantian oleh Bapak Rizal dan Ibu Rina. Penjelasan dasar firman Tuhan tentang pernikahan mengingatkan sekaligus membawa setiap pasangan masuk dalam pemahaman yang lebih dalam. Peserta juga diajak melihat tantangan nyata dalam pernikahan yang sering kali disebabkan kurangnya skill problem solving sehingga membuat pola konflik yang sama terjadi berulang kali. Tidak sampai di situ, peserta juga diajak untuk mempelajari teknik mencari solusi bersama atas permasalahan yang sering mereka hadapi.

Analogi Ballroom Dancing menutup sesi seminar diiringi sedikit praktek yang dipimpin langsung oleh kedua pembicara. Bagi banyak pasangan yang hadir saat itu, bisa jadi ini pertama kalinya mereka belajar ballroom dancing.

Tidak ingin para peserta hanya duduk diam mendengarkan, panitia merangkai beberapa kegiatan yang membuat para peserta ikut berperan aktif. Dimulai dengan kegiatan makan di mana para istri ditutup matanya dan belajar percaya penuh kepada suaminya, mulai dari mengambil makanan hingga dituntun kembali ke tempat duduk. Para suami diberi kesempatan untuk melayani istrinya dengan mengambilkan makanan yang disukai istrinya, serta menyuapi.

Selesai mengisi perut, sie acara mengajak peserta untuk bermain games yang bertema “I Know You”. Setiap pasangan duduk saling membelakangi dan menuliskan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Setelah itu, mereka diminta untuk mencocokkan jawaban yang ditulis. Kegiatan ini menjadi momen grrrrr… bagi para peserta.

Namun, masih ada satu momen yang dipersiapkan bagi para pasangan suami istri untuk betul-betul mengalami hal istimewa lewat acara ini. Satu hal yang bahkan mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya. Setiap pasangan diberi waktu untuk berdansa diiringi lagu yang lembut. Pastinya, ini menjadi salah satu momen yang berarti bagi setiap pasangan.

Bu Charlotte menutup seluruh rangkaian acara hari itu dengan doa. Harapannya, setiap pasangan diberkati dan semakin dimampukan untuk menjaga kesatuan dalam pernikahannya.

Mengasihi Walau Terluka

Oleh: Nostagia Pax Nikijuluw, M.Div.

Mungkinkah seseorang mengasihi walau terluka? Jika mengasihi walau terluka adalah pilihan, rasanya tidak banyak orang yang memilihnya. Kasih biasanya dinyatakan melalui sesuatu yang indah, menghibur, menyenangkan bahkan membahagiakan. Sangat jarang kasih diekspresikan melalui bentuk yang menyakitkan atau menyedihkan. Sebuah fenomena yang paradoks, mengasihi sekaligus terluka.


Kisah paradoks ini, menjadi kisah yang spektakuler, kisah kasih yang berkorban dan menyelamatkan dunia. Kisah hidup Kristus Sang Guru Agung.

1 Yohanes 3:16: demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.

Melalui kematian-Nya, manusia dapat mengetahui kualitas kasih-Nya. Rasul Yohanes mengingatkan para pengikut Kristus untuk hidup meneladani Sang Guru. Menyatakan kasih kepada sesama sampai menyerahkan nyawanya. Apa artinya hal ini bagi kita? Artinya, jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi, akan ada pembuktian atas perasaan kasih tersebut. Karena kasih tidak berhenti pada perasaan, tetapi kasih dibuktikan melalui tindakan nyata dan pengorbanan diri.

Mengikuti teladan Kristus yang menyerahkan nyawanya bagi orang lain adalah tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri, tindakan rela berkorban bagi orang lain. Untuk hal inilah kita, para pengikut-Nya, dipanggil. Adakah kerelaan untuk tidak selalu mengutamakan diri sendiri? Jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi sesama kita, mengasihi orang-orang di sekitar kita, adakah kepedulian terhadap orang lain tampak dalam tindakan? Jika kita katakan bahwa kita mengasihi orang lain, adakah kita memiliki kerelaan untuk membantu, mendampingi, bahkan ikut menanggung kesulitan yang sedang dihadapi orang lain? Jika kita berjuang untuk menghidupi kebenaran ini dalam diri, demikian kita dapat mengatakan bahwa kasih bukanlah sekadar perasaan, mengasihi adalah tindakan.

Namun demikian, tidak semua tindakan baik kepada orang lain didasari oleh kasih. Untuk dapat mengetahuinya kita perlu merenungkan motivasi kita dalam bertindak. Apakah sesuatu yang kita perbuat adalah tindakan yang disertai kasih, ataukah tindakan karena mementingkan kepentingan diri?

1 Korintus 13:3: “Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.”

Rasul Paulus mengingatkan untuk memperhatikan dasar dari tindakan kita. Manusia memiliki potensi untuk bisa melakukan sesuatu yang terlihat baik, tetapi tidak didasari oleh kasih. Manusia mudah melihat rupa. Ada orang yang sepertinya mengasihi, memberi dirinya untuk orang lain, tetapi dasar tindakan itu belum tentu berasal dari kasih. Kasih yang sejati tidak berpusat pada cinta akan diri sendiri. Kasih yang sejati adalah tindakan yang rela mengorbankan diri dan tidak mengambil keuntungan dari orang lain.

Seorang ayah yang mengasihi anggota keluarganya akan membuktikan kasihnya melalui tindakan merawat dan melindungi seluruh anggota keluarganya dan bukan sebaliknya. Para orang tua akan bekerja keras demi keluarganya, melakukan tanggung jawabnya demi kesejahteraan anggota keluarganya. Namun, jika tidak disertai kasih kepada seluruh anggota keluarganya, misalnya tidak memberikan diri untuk relasi yang yang intim dengan keluarganya, dan hadir dalam kehidupan mereka, apakah mereka melakukan seluruh tanggung jawab tersebut karena kasih? Marilah kita merenungi adakah kasih itu hidup dalam diri dan apakah kehidupan kita meneladani kasih Kristus yang rela menyerahkan nyawa bagi orang lain?

Bagi tenaga kependidikan, yang telah bekerja keras dan rela berkorban demi pendidikan para murid, adakah kasih dalam diri, memiliki kerinduan untuk membangun relasi dengan para murid, dan mendasari seluruh tindakannya atas dasar kasih?

Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mengasihi Tuhan, jika kita tidak berupaya keras mewujudkan kasih kepada Tuhan melalui seluruh aspek dalam hidup kita. Kasih sejati akan mengampuni walau dilukai, kasih sejati akan dengan sabar memberi kesempatan, kasih sejati akan bertahan dalam kesulitan, kasih sejati akan memampukan seseorang tetap mengasihi orang yang melukainya. Kasih sejati tampak dalam perkataan, tindakan, bahkan setiap motif dalam diri yang mendasari setiap perilaku. Kasih sejati hanya bersumber pada Dia yang telah menjalaninya terlebih dahulu. Kasih sejati akan memberikan fondasi yang kuat dan tahan uji untuk dapat mengasihi walau terluka.

Pacaran (?)

Manusia punya lubang-lubang dalam dirinya, yang tidak mungkin diisi oleh benda/orang terdekat sekalipun. Hanya satu yang bisa memenuhi lubang itu—Tuhan Yesus Kristus.

Secara alamiah, manusia punya lubang dalam hidupnya yang sulit diisi oleh sesuatu atau seseorang. Sudah begitu, orang tua di rumah bertengkar tiada henti, mengancam ingin pisah setiap saat, dan saling memaki terus. Anak-anak makin merasa hampa. Lubang yang sudah menganga lebar tambah dipenuhi luka. Sekarang, fenomena baru merebak—remaja lebih mudah jatuh cinta di usia muda demi menutup kekosongan itu. Demi mendapatkan figur lelaki karena ayah mereka tidak sungguhan “hadir”.

Para ayah memang sangat diharapkan punya waktu berkualitas dengan anak-anak. Seminggu sekali, setiap anak harusnya punya jatah keluar berdua dengan ayahnya. Hanya berdua, bukan sekeluarga. Hal ini adalah upaya para ayah untuk memenangi kembali hati setiap anak. Karena hubungan yang buruk dengan sosok ayah dikaitkan dengan fenomena anak-anak zaman now yang lebih mudah jatuh cinta. Mereka bilang, sudah “pacaran” di usia lima belas tahun. Pacaran?

Ibu Charlotte Priatna, dalam seminar parenting SMA pada 22–24 Januari 2020, memaparkan soal hal ini. Beliau beragumen bahwa pacaran adalah langkah menuju pernikahan. Kalau begitu, mengapa harus berpacaran di usia 15 tahun kalau baru akan menikah umur 30 tahunan?

Kan, mau kenal lebih dekat.

Fase saling mengenal satu sama lain ada di lingkaran pertemanan, bukan pacaran. Inilah tugas orang tua untuk memberikan pengertian kepada anak mereka perihal definisi pacaran yang sebenarnya. Orang tua harus bisa memosisikan diri sebagai sahabat bagi anak sehingga mereka mau cerita kepada papa dan mama. Kalau tidak, mereka bisa jadi lebih nyaman bercerita dengan temannya. Jika bukan pada teman yang tepat, pandangan yang diajukan anak remaja seusianya bisa jadi keliru. Dalam hal ini, orang tua diharapkan bisa sungguhan hadir dan menjadi “sahabat” bagi anak. Ketika anak mulai buka suara bahwa mereka “naksir” si A, orang tua bisa masuk dengan menanamkan batasan-batasan. Ingatkan kepada anak, di usia remaja, mereka boleh menaksir seseorang, tetapi minta mereka juga membuka hati dan pergaulan selebar-lebarnya.

Berpacaran layaknya dimulai saat anak sudah bisa menentukan hidupnya sendiri. Dalam berpacaran, ada beberapa fase yang akan dilewati. Pertama, cinta harus diuji dan itu perlu waktu. Tanamkan pada anak bahwa naksir dengan lawan jenis harus melalui proses pengujian. Setelah yakin, kedua belah pihak harus mendoakannya sungguh-sungguh untuk mendapat peneguhan bahwa memang si dia adalah jodoh dari Tuhan. Pacaran adalah proses melihat karakter-karakter baik maupun jelek dalam diri pasangannya. Untuk kelebihan-kelebihannya, kita bisa terima. Lalu, bagaimana dengan kekurangannya? Orang tua perlu menempatkan diri sebagai outsider. Saat anak mengenalkan si dia kepada orang tuanya, kita berperan sebagai outsider yang objektif karena seseorang yang sedang jatuh cinta bisa melihat apa pun yang buruk sebagai hal mengesankan! (SO)

*Tulisan ini disarikan dari materi Seminar Parenting SMA 22–24 Januari 2020.

Mengajarkan Anak Mengucapkan Kalimat Bijak

Oleh: Florensia Nasution, Orang tua siswa

Salah satu lagu anak TK A tentang ketaatan terus terngiang di telinga saya. Bahkan, saya sering menyanyikannya jika sedang berusaha membujuk anak saya melakukan sesuatu yang dia tidak suka.

Ketika sedang mendidik anak untuk taat, saya membaca buku Say Goodbye to Whining, Complaining, Bad Attitudes in You and Your Kids versi bahasa Inggris. Wah, ternyata, sebagai orang tua, saya harus terlebih dahulu mengubah diri sebelum menuntut anak. Memang benar yang dikatakan Bu Charlotte saat seminar parenting SD semester lalu, “Menghargai anak bukan dari apa yang dia capai, tapi dari karakter, value, dan sikap anak sehari-hari.” Mari kita kupas buku ini bersama-sama.

Ketaatan adalah melakukan langsung apa yang diminta seseorang, tanpa harus diingatkan.” Tuhan tahu jelas apa yang Dia kehendaki dalam memberikan dua perintah dalam Efesus 6:1-4: “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu — ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. Ketika anak membangun ketaatan, mereka berusaha melakukan sesuatu tanpa diingatkan. Mereka belajar untuk memilih apa saja yang mereka perlu kerjakan, mengikuti aturan, dan menyelesaikan pekerjaan tanpa diawasi. Mereka akan belajar bertanggung jawab, kerelaan untuk melayani, dan setia dalam melakukan hal baik.

Menghormati ternyata termasuk keterampilan tersembunyi dalam ketaatan. Ternyata, ketika anak bisa mempunyai perilaku baik, melakukan sesuatu lebih dari yang diharapkan, kepekaan melihat apa saja yang dibutuhkan, melakukan sesuatu tanpa instruksi, mendukung seseorang dan memberikan kontribusi, mereka telah berhasil menumbuhkan rasa hormat kepada orang lain. Alangkah bangga bisa mempunyai anak yang mempunyai sifat-sifat tersebut.

Jika anak-anakmu hendak terbang lurus, ajar mereka tentang ketaatan. Jika anak-anakmu hendak terbang tinggi, ajar mereka untuk menghormati. Ketaatan dan rasa hormat memegang peranan penting. Tantangan biasanya terjadi ketika anak tidak mau taat dalam melakukan rutinitas sehari-hari. Biasanya, mereka akan merengek dan mengeluh. Buku ini mengajarkan cara komunikasi untuk meminta izin, membuat permintaan, dan mendapatkan izin dengan terhormat. Orang tua bisa melatih anak berkomunikasi sejak usia batita untuk menggunakan kalimat bijak berikut untuk bernegosiasi.

Saya mengerti papa/mama mau saya melakukan ini … untuk …

Saya punya masalah dengan perintah ini karena …

Bisakah saya … ?

Biarkan anak mengisi titik-titik tersebut. Anak berusia muda biasanya tidak tahu alasan di balik instruksi dari orang tuanya. Mereka pun tak punya pilihan selain tunduk dan mengikutinya. Nah, cara di atas merupakan bagian dari kunci bijak untuk mendorong anak bertanya jika mereka tidak mengerti tentang hal yang harus mereka lakukan.

Buku ini memberikan banyak contoh kasus nyata. Misalnya, ketika Ibu Joanne mengajari anaknya, Timothy, usia 4 tahun, tentang kalimat bijak ini. Timothy sedang bermain di halaman belakang rumah dan Ibu Joanne memanggilnya masuk ke rumah. Timothy menghampiri ibunya dan berkata, “Aku mengerti Ibu memintaku masuk ke dalam rumah, tapi aku masih mau bermain di luar. Bisakah aku bermain sebentar lagi?” Timothy mengerti ide dari kalimat bijak ini. Dia menyampaikan masalahnya daripada mengeluh atau berteriak.

Kalimat bijak ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi bisa menjadi cara berkomunikasi yang efektif untuk mereka di masa depan. Anak jadi tidak merasa komunikasi dengan orang tua merupakan sebuah tantangan. Cara ini juga membantu mereka untuk lebih menghormati orang tua. Ada kalanya anak bertanya sebelum mereka menaati sesuatu, saatnya orang tua memberi batasan, “Taat terlebih dahulu, nanti kita bicarakan mengapa harus melakukan ini semua.”

Hal menarik dari kehidupan keluarga adalah orang tua harus berubah dahulu sebelum membantu anak untuk berubah. Jika kita sebagai orang tua ingin membantu anak berhenti merengek/mengeluh, sebagai orang tua juga kita perlu menyesuaikan diri dan merespons dengan tepat ketika anak merengek/mengeluh.

Investasi terbesar yang bisa disiapkan orang tua bukan hanya melalui uang, tetapi rasa hormat. Pastinya dibutuhkan ketekunan, kegigihan, dan kreativitas agar anak bisa belajar tentang hal ini.

Pengalaman Berkesan selama Live In

Oleh: Adelyn Alvincia, XII MIPA 3

Live in kelas 12 SMA tahun ini kembali dilaksanakan di Kopeng, Jawa Tengah, selama enam hari. Kami berangkat pada Minggu malam menggunakan kereta api dan baru sampai di Kopeng pagi keesokan harinya.

Kedatangan kami disambut dengan sangat hangat oleh warga setempat. Kami langsung dibagi ke dalam rumah-rumah penduduk dengan orang tua asuh masing-masing. Ada pekerjaannya sebagai petani, peternak sapi, usaha warung, dan lain sebagainya. Saya sendiri mendapat orang tua asuh yang bekerja sebagai petani. Mereka menanam jipang (labu). Mereka juga beternak sapi, ada tiga ekor sapi. Di Kopeng, sudah menjadi hal yang biasa tinggal bersama hewan peliharaan di dalam rumah. Di tempat tinggal saya, kandang sapi bahkan terhubung dengan dapur. Setiap hari, kami pergi beraktivitas sesuai pekerjaan orang tua asuh kami, membantu di ladang, menjaga warung, dan berjualan susu.

Selain mengikuti aktivitas penduduk setempat, kami juga membawa tugas community service. Sejak awal semester 1, kami sudah dibagi ke dalam kelompok-kelompok untuk melakukan kegiatan sosial di Kopeng. Ada kelompok karang taruna, perpustakaan, memasak, bimbel pelajaran dan seni, PAUD, panti asuhan dan jompo, serta parenting. Saya masuk ke dalam kelompok parenting yang bertugas untuk membuat acara seminar keluarga bagi pasangan suami-istri. Dalam setiap acara yang kami adakan, partisipan dari penduduk setempat berjumlah cukup banyak. Mereka juga memberi respons yang sangat positif. Pada malam terakhir kami di Kopeng, ada acara malam perpisahan yang diisi oleh berbagai penampilan dari anak-anak di Kopeng, persembahan tarian dari murid Athalia, kuis, dan pembagian doorprize.

Kopeng merupakan tempat yang menjunjung tinggi toleransi. Mereka terbiasa hidup berdampingan antaragama. Letak gereja dan masjid pun sangat dekat, saling berpunggungan. Para warga Muslim tidak sungkan jika perlu masuk ke gedung gereja. Tidak pernah ada bentrok antara pemeluk agama.

Di hari terakhir kami sebelum kembali ke Tangerang, beberapa dari kami dan orang tua asuh menangis karena akan berpisah. Kami dibawakan begitu banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang sehingga kami harus menenteng banyak dus berisi sayuran. Sebelumnya, kami juga sempat mampir membeli oleh-oleh di Semarang dan singgah ke Lawang Sewu. Kami baru sampai kembali di sekolah sekitar pukul 11 malam.

Pengalaman live in di Kopeng menjadi pengalaman yang menyenangkan dan berkesan untuk kami. Hingga setelah live in pun, beberapa dari kami masih membangun komunikasi dengan orang tua asuh di Kopeng. Kegiatan ini membuat kami bisa keluar dari zona nyaman dan mengenal cara hidup di tempat yang baru, serta belajar dari nilai-nilai baik yang dimiliki penduduk setempat.