Oleh: Eliada Christara – Alumni SMA Athalia Angkatan IV
Hai semua pembaca setia ALC News Sekolah Athalia! Perkenalkan saya Eliada Christara, alumni SMA Athalia angkatan IV. Sebuah kesempatan yang baik untuk berbagi secuplik kisah tentang perjuangan mengatur waktu.
Belakangan kaum “Gen Z” memberi sebuah istilah yang berkaitan dengan pemalas dengan frasa kaum rebahan, yaitu mereka yang memilih untuk memakai semaksimal mungkin waktu untuk bermalas-malasan bahkan mungkin menambah waktu bermalas-malasan karena menganggap “ah masih ada besok” atau “ah masih pagi, nanti siang aja”. Di dunia anak-anak pun terasa familier dengan inkonsistensi waktu bermain – dari 10 menit karena masih kalah, akhirnya extend menjadi 20 menit, 30 menit, 40 menit, dan seterusnya sampai menang. Di sisi ekstrem yang lain, ada yang terlalu strict dengan jadwalnya sampai tidak ada sebuah kelonggaran bagi hal-hal di luar kontrol yang mungkin tanpa disadari sama pentingnya. Namun, ada juga yang berprinsip, “pokoknya kalah menang, jam sekian aku sudah harus mengerjakan yang harus saya kerjakan”. Ada di antara kita yang menyusun jadwalnya sedemikian rupa agar kegiatannya hari itu terarah dan ada sebuah target pencapaian. Ia tidak akan menolak atau langsung menerima tawaran di luar jadwalnya tetapi akan mempertimbangkan dengan seksama. Pertanyaannya, kita termasuk yang mana? Yang diatur waktu atau mengatur waktu?
Saya rasa masalah mengatur waktu adalah pergumulan yang terjadi di setiap kalangan, baik yang masih bersekolah, kuliah, kerja, bahkan yang berumah tangga. Semakin besar tanggung jawab dan variabel kehidupan maka semakin butuh tenaga ekstra untuk bisa membagi waktu baik untuk diri sendiri, tanggung jawab tugas ataupun pekerjaan, pasangan, keluarga dan hal-hal lain. Banyak orang merasa bisa mengatur waktunya dengan baik, namun kenyataannya tidak sedikit dari kita pada akhirnya diatur oleh waktu. Kesulitan yang sama yang saya jumpai pada masa perkuliahan di STT SAAT sekaligus merupakan anugerah luar biasa dari Tuhan untuk banyak belajar, salah satunya mengenai waktu.
Seperti anak kuliah pada umumnya, saya juga mengalami culture shock dalam membagi waktu. Meskipun berada di lingkup asrama yang mostly keseluruhan hidupnya diatur dan terjadwal, nyatanya saya pun cukup struggle. Hal umum ketika dalam perkuliahan kita berhadapan dengan waktu pengumpulan tugas yang beruntun, jadwal kuliah yang padat, kegiatan lain di luar kuliah yang juga menyita waktu, tugas kelompok, bahkan kebutuhan pribadi untuk menikmati waktu bersama dengan Tuhan. Belum lagi jika berhadapan dengan kondisi tiba-tiba yang harus berjalan di luar jadwal. Sungguh rasanya berbeda dengan masa sekolah yang masih bisa longgar dan menunda-nunda. Saya cukup kelimpungan sehingga membuat saya terkena thypuss untuk pertama kalinya (penyakit anak kuliah pada umumnya selain penyakit lambung). Selanjutnya pengalaman saya semasa kuliah mulai dari tingkat 1-4, saya pernah merasakan 2 hal ekstrem – tidak mengatur waktu sama sekali (go with the flow) atau betul-betul mengatur hingga tidak mengizinkan hal lain mengintervensi waktu saya sepenting apapun itu. Namun, nampaknya keduanya kurang tepat.
Berbekal pendidikan karakter yang diberikan semasa sekolah, menolong saya untuk dimampukan mengatur waktu meskipun masih ‘jungkir-balik’. Saya baru mengerti tentang tanggung jawab dan pengendalian diri adalah satu kesatuan yang saling bergantung. Di dalamnya diajarkan memisahkan mana yang penting dan tidak terlalu penting, mana yang prioritas dan mana yang bisa dikerjakan setelahnya, mana yang menjadi tanggung jawab utama dan mana yang masih bisa ditoleransi. Jelas, bermain dan belajar untuk ujian harus lebih memprioritaskan belajar. Kegiatan kampus yang masih bisa kita kurangi mungkin akan jauh lebih baik daripada memaksa aktif, tetapi tanggung jawab utama kita untuk belajar akhirnya terbengkalai. Ketika ada teman yang mengajak keluar sejenak, mungkin kita bisa melihat seberapa jauh urgensinya dibandingkan dengan kebutuhan dan tanggung jawab kita yang lain.
Jika tidak pandai mengatur waktu, maka kita sedang membiarkan waktu yang mengatur kita dan akan menyulitkan kita dalam berbagai hal sehingga butuh perjuangan lebih, dalam mengaturnya. Namun, semua akan tampak sia-sia tanpa meminta pertolongan Tuhan. Kita lemah, mudah tergoda untuk malas dan menunda, mudah terlena untuk mengerjakan yang bukan prioritas, bahkan kita lupa meluangkan waktu untuk Tuhan dalam mendengarkan firman-Nya setiap hari. Memohon pertolongan Tuhan untuk dimampukan konsisten dan mengalahkan kemalasan adalah hal yang penting. Meminta pertolongan-Nya membuat kita terus tersadar bahwa kita dapat melakukan hal sederhana pun adalah pertolongan Tuhan.