Every Life has a Story

“Every life has a story.. setiap orang memiliki cerita kehidupannya masing-masing jika kita mau menyediakan waktu untuk mencari tahu..” Rasa empati dibutuhkan untuk kita mau lebih peduli pada cerita dan perasaan orang lain. Empati inilah yang sebenarnya ingin dibangun dalam Caring and Sharing Camp kelas VII tahun ini. Selama dua hari satu malam, para siswa terus-menerus didorong untuk mau lebih care atau peduli pada orang lain, secara khusus pada teman-teman sekelas.

Kegiatan diawali dengan pemaparan fenomena-fenomena yang banyak terjadi di sekitar siswa. Fenomena seperti kekerasan secara verbal atau fisik yang biasa disebut bullying, ketidakpedulian siswa pada pergumulan yang dialami teman-temannya ataupun tidak adanya keinginan untuk menerima teman mereka apa adanya. Karakter caring dan sharing, itulah dua hal yang dibutuhkan para siswa.

Karakter caring dan sharing memang merupakan karakter yang menjadi profil dari para siswa SMP. Diharapkan ketika mereka lulus dari SMP Athalia, mereka sudah menjadi pribadi yang memiliki keinginan dan keterbebanan untuk lebih peduli dan mau berbagi pada orang lain.

Pada hari pertama, siswa diberikan penjelasan mengenai perlunya menjadi pribadi yang peduli dan langkah-langkah untuk menjadi pribadi yang peduli dan mau berbagi. Mulai dari hal-hal kecil, seperti tersenyum dan mau mendengarkan atau memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan hingga menjadi sukarelawan dalam kegiatan-kegiatan sosial.

Para siswa juga diajak untuk mau memberi penguatan dalam bentuk pujian, semangat atau motivasi pada teman-teman mereka. Salah satunya adalah melalui permainan Human and Angel dimana masing-masing siswa menjadi angel atau malaikat sekaligus menjadi human. Setiap angel mendapat tugas untuk memberikan tulisan-tulisan penyemangat/ motivasi/ pujian pada satu human yaitu teman sekelas mereka sendiri. Tulisan dalam bentuk surat diberikan secara anonim sehingga para human tidak akan mengetahui identitas angel mereka. Selain melalui Human and Angel setiap kelas juga secara bergantian melayani kelas lain saat jam makan dengan membantu mengambilkan atau membagikan makanan.

Melalui beberapa tugas ini, diharapkan setiap siswa yang tadinya sama sekali tidak peduli pada temannya mau mulai memperhatikan teman-teman di sekitar mereka. Mengetahui apa yang teman-temannya butuhkan dan inginkan serta mau merendahkan hati untuk melayani mereka. Begitu pula halnya yang diajarkan melalui games atau permainan yang dilakukan pada hari kedua.

salah satu kelompok pemenang poster
Bersama teman kelompok mereka harus bisa melalui beberapa tantangan yang membutuhkan kerjasama dan pengertian akan masing-masing anggota kelompok. Bila masing-masing siswa hanya mau menang sendiri maka mereka tidak akan bisa berhasil memenangkan permainan tersebut. Mereka juga diajarkan untuk mau berkorban bagi kelompok mereka dan bahwa tidak ada satu pun siswa yang tidak berguna dalam kelompok. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.

Kelompok yang memenangkan permainan juga diberikan apresiasi atas kerja keras mereka dengan pemberian hadiah. Memang diharapkan para siswa tidak hanya melihat hadiah yang diberikan. Hadiah hanyalah bonus dari kerja keras mereka dan bahwa yang terpenting adalah berbuat sebaik mungkin untuk menjadi pribadi yang lebih peduli. Selain itu, para siswa juga diberi waktu untuk membuat poster untuk mengkampanyekan karakter caring dan sharing. Poster-poster tersebut akan ditempel di kelas mereka masing-masing untuk menjadi pengingat bagi mereka agar tetap terus menjalankan karakter tersebut dalam kehidupan mereka.

salah satu kelompok pemenang poster
Menjadi pribadi yang empati adalah modal untuk membawa kedamaian di dunia. Khususnya di jaman sekarang ini dimana setiap orang seakan hidup dalam dunianya sendiri dengan segala fasilitas yang mereka miliki. Seharusnya justru dengan kemudahan dalam berinteraksi dan bersosialisasi kebaikan itu dapat dengan lebih cepat dan luas disebarkan. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kita terjebak untuk selalu memikirkan hal-hal yang jauh dari kita dan melupakan orang-orang di dekat kita yang membutuhkan perhatian ataupun pertolongan.

Mengatasi hal tersebut maka anak-anak sejak kecil harus dibiasakan untuk mau memperhatikan orang di sekitar mereka. Biarkan anak-anak kita bermain dengan teman-teman mereka dan tidak hanya bermain di dunia maya. Biarkan mereka merasakan dinamisnya pergolakan emosi yang dimiliki setiap orang dan mau mengambil waktu untuk memikirkan apa yang dirasakan orang lain. Tuhan ingin agar kita dapat menjadi berkat bagi sesama dan bukan hanya mementingkan kesejahteraan diri sendiri. Mau peduli dan berbagi dengan penuh belas kasih, kerendahan hati, dan murah hati, sehingga melalui kita pun berkat Tuhan dapat terus tercurah. Mari peduli, mari berbagi. (LDS)

“Too often we underestimate the power of a touch, a smile, a kind word, a listening ear, an honest compliment, or the smallest act of caring, all of which have the potential to turn a life around.”

– Leo Buscaglia –

Lalu keren yang bagaimana?

“Siapa di sini yang ingin menjadi anak yang keren?”
“Siapa di sini yang merasa keren?”

Dua pertanyaan ini menjadi pembuka dalam rangkaian acara pembinaan yang dilakukan oleh tim kerohanian dan karakter di kelas VIII dan IX awal Desember lalu.

Selama dua hari di kelas VIII dan satu hari di kelas IX, para siswa diajarkan mengenai konsep keren atau cool. Konsep keren dibahas setelah melihat begitu banyak remaja yang melihat konsep keren hanya sebatas penampilan luar dan melupakan karakter yang juga harus dimiliki seorang pribadi yang keren.

Perubahan jaman dan era globalisasi tanpa disadari telah mengubah begitu banyak budaya di negara kita. Pengaruh budaya luar seperti budaya Barat maupun Korea yang masuk melalui media telah membuat serangan bertubi-tubi pada generasi muda sekarang ini. Berbondong-bondong anak-anak remaja mulai fokus hanya pada memperhatikan penampilan dan pergaulan mereka. Konsep mengenai profil pribadi yang popular dan disukai oleh masyarakat pun mulai bergeser sedikit demi sedikit.

Para pria mulai membentuk tubuh dengan pergi ke gym dan juga anak-anak perempuan mulai mencoba bereksperimen dengan baju-baju yang sedang tren di pasaran. Sebelumnya orang tua hanya perlu mengkhawatirkan dan memerhatikan pergaulan anak-anak mereka, tetapi sekarang mereka juga harus memperhatikan dan mengurus penampilan anak-anak mereka. Namun tak hanya dari segi penampilan, konsep keren yang salah seperti merokok ataupun mem-bully orang lain agar dianggap keren atau dihargai orang juga harus diperbaiki.

Anak remaja saat ini perlu memahami bahwa keren itu seharusnya tidak hanya sebatas mengikuti tren yang ada di masyarakat, tetapi lebih kepada bagaimana kita bisa menjadi pribadi yang memberkati orang lain dengan talenta yang kita miliki. Bagaimana kita bisa menjadi contoh dan teladan tidak hanya dari penampilan, tetapi juga dari sikap, perkataan, serta perbuatan kita.

Pak Benny sebagai pembawa renungan meminta para siswa merenungkan sebuah ayat dari Pengkhotbah 11:9 yang berbunyi demikian,
“Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!”

Para siswa tidak dilarang untuk menikmati masa muda mereka, tetapi mereka juga harus memahami bahwa hidup mereka bukanlah milik mereka sendiri melainkan milik Tuhan. Maka dari itu segala apa yang mereka lakukan harusnya sesuai dengan kehendak dan ketetapan yang telah Tuhan berikan. Kita juga harus menjaga dan merawat diri kita sebagai bentuk rasa syukur dan menggunakannya hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Para siswa kemudian diminta untuk menuangkan kembali pemahaman yang telah mereka terima dalam bentuk pembatas buku, poster, maupun drama. Melalui proyek ini siswa juga diminta untuk mengkampanyekan konsep keren yang benar sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari. Melalui kegiatan ini dapat terlihat bagaimana para siswa sebenarnya sudah menyadari apa yang seharusnya dilakukan. Namun meski begitu mereka tetap memerlukan arahan dan bimbingan dari para guru serta orang tua dalam menghadapi setiap pergumulan mereka sehari-hari.

mengerjakan pembatas buku
pembatas buku

mengerjakan poster

hasil poster
Orang tua maupun para guru tetap harus waspada dalam mengarahkan anak remaja. Kita harus menyadari bahwa mereka sedang berada dalam masa pembentukan identitas diri. Remaja dari usia 12 hingga 22 tahun berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mulai bermunculan dalam diri mereka, contohnya seperti siapakah aku? Apakah aku? Aku ingin menjadi pribadi yang bagaimana nantinya?

Oleh karena itu bimbingan dan arahan orangtua maupun guru adalah hal yang krusial bagi para remaja dalam menghadapi perkembangan pesat yang terjadi dalam diri mereka. Masa-masa ini akan menentukan masa depan mereka dan yang berarti juga menentukan masa depan bangsa kita.

Maka dari itu marilah kita bersama-sama berusaha merangkul pribadi setiap anak untuk membangun generasi yang lebih berkarakter dan mau hidup seturut pimpinan Tuhan. (LDS)

The unfailing goodness of God

“TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku,

oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.”

(Ratapan 3:24)

Pada suatu pameran gadget skala nasional, yang baru-baru ini diselenggarakan di Jakarta Convention Centre, diberitakan bahwa ada sebuah provider laptop ternama yang memamerkan produk terkininya. Dikatakan bahwa laptop yang baru dirilisnya adalah laptop terkuat saat ini.

“Brakk!” demikian bunyi laptop ketika mencium lantai panggung. Sejumlah pengunjung kaget, tetapi YC Tsai, Direktur Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei, yang mengajak penonton membanting laptop sepertinya belum selesai menantang penonton.. “Sekarang, ayo injak laptop itu!” seru dia kepada orang yang diajaknya ke dalam ajang “penyiksaan” ini. Sepatu mendarat dua kali di bagian punggung layar laptop. Perangkat “malang” itu kemudian diambil kembali oleh Tsai, lalu dinyalakan di depan hadirin. “Nah, masih baik-baik saja kan?” ujarnya riang. Laptop seri terbaru di tangan Tsai memang terlihat masih menampilkan antarmuka Windows 8 di layar.

Sumber: techno.kompas.com, Jumat 31 Oktober 2014

Kekuatan laptop yang diperlihatkan melalui peragaan banting dan injak itu pasti melahirkan decak kagum orang-orang yang melihatnya. Hampir bisa dipastikan bahwa pengunjung akan berpikir: inilah laptop yang layak dipilih! Atau, inilah laptop yang kubutuhkan!  Inilah laptop yang menguntungkanku!

Dari berita tentang peragaan kekuatan laptop, mari kita kaitkan dengan bacaan Alkitab yang terambil dari Ratapan 3:24. Yeremia (penulis kitab Ratapan) dengan jelas telah memutuskan bahwa yang dipilihnya dalam hidupnya adalah TUHAN.  Sementara, bila kita membaca Ratapan 1:14 Yeremia mengatakan,  “Segala pelanggaranku adalah kuk yang berat, suatu jalinan yang dibuat tangan Tuhan, yang ditaruh di atas tengkukku, sehingga melumpuhkan kekuatanku; Tuhan telah menyerahkan aku ke tangan orang-orang yang tidak dapat kutentangi.”  Selanjutnya Yeremia juga mengatakan bahwa Tuhan telah membuang semua orang-orang pilihannya dan Yeremia beranggapan bahwa Tuhan telah berpesta pora untuk menjatuhkan dirinya (Rat.1:15).

Bagaimana bisa seseorang yang awalnya mengatakan bahwa Tuhan telah menaruh kuk yang melumpuhkan kekuatan, pada akhirnya berkata bahwa Tuhan adalah bagianku? Bagaimana bisa seseorang bisa menentukan bahwa Tuhan adalah yang kubutuhkan, bila sebelumnya dia berkata bahwa Tuhan merugikan dirinya?

Kita sebagai manusia pada umumnya secara otomatis akan memilih sesuatu yang menguntungkan diri kita. Seperti berita laptop yang dibanting. Seandainya saja tatkala usai dibanting laptop tersebut ternyata tidak bisa lagi mengoperasikan Windows 8, maka kita pasti langsung meninggalkan area peragaan laptop dibanting tersebut., dan hilanglah minat untuk membeli laptop tersebut. Lalu, dengan konteks bacaan kita kali ini, mengapa Yeremia masih bisa mengatakan bahwa pilihannya adalah Tuhan? Sekalipun Tuhan telah “memberikan kerugian” kepadanya?

Tuhan adalah sumber sukacita. Dalam suka dan duka, ketangguhan Dia sebagai Tuhan tidak pernah berubah. Zaman boleh berubah, cuaca bisa silih berganti panas dan hujan, segala materi bisa hancur oleh karena kekuatan yang terbatas. Besi dapat berkarat dan patah hancur berkeping. Sekokoh apapun laptop yang diperagakan itu, bila dibanting berkali-kali pasti akan bertemu dengan titik lemahnya.

Tidaklah demikian Tuhan yang kita sembah. KasihNya tak pernah berubah. Genggaman-Nya kepada orang-orang yang dikasihiNya tidak akan pernah dilepaskan. Sekalipun Yeremia harus meratap dalam penderitaan, yang dikatakannya dalam Ratapan 3:3 “Sesungguhnya, aku dipukul-Nya berulang-ulang dengan tangan-Nya sepanjang hari,” tetap saja Yeremia melihat bahwa di dalam penderitaannya dinyatakan pula kasih TUHAN!  Ratapan 3:32 mengatakan: “Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setia-Nya.”

Pilihan kita dalam kehidupan ini memperlihatkan apa yang kita percaya tentang kekuatan. Apakah Anda percaya pada kekuatan kasih Tuhan? Apakah Anda berpikir Dia akan mengasihi hanya ketika Anda khusyuk berdoa? Apakah Dia tidak mengasihi Anda ketika Anda sedang meradang oleh karena sakit yang tak terkirakan? Apakah Dia tidak mengasihi saat Anda sedang terpuruk dalam pelbagai kesulitan?

Konsep percaya sangat dipengaruhi oleh keintiman kita dengan Tuhan. Sekalipun Anda gentar, mari satukan hati, dan dengan iman kita sepakat bersama Yeremia, berkata : “TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.” AMIN. (BD/Kerohanian Karakter)

“Keluarga” Kami

Putriku, Gina, berada di kelas empatnya Bu Melton. Baru satu bulan sekolah, dia mulai secara teratur pulang ke rumah dengan meminta pensil, krayon, kertas, dan sebagainya. Pada mulanya dengan semangat aku menyediakan apa pun yang dia perlukan, tidak pernah menanyakannya.

Setelah permintaan yang terus-menerus akan benda-benda yang seharusnya bisa bertahan sedikitnya enam minggu di kelas empat, aku mulai heran dan bertanya, “Gina, apa yang kaulakukan dengan peralatan sekolahmu?” Dia selalu memberi jawaban yang bisa memuaskanku. Suatu hari, setelah memberikan benda yang sama seminggu sebelumnya, aku mulai kesal dengan permintaannya dan dengan tegas bertanya sekali lagi, “Gina! Apa yang terjadi dengan peralatan sekolahmu?” Mengetahui bahwa alasannya tidak akan mempan lagi, dia menundukkan kepala dan mulai menangis. Aku mengangkat dagu kecilnya dan memandang mata cokelatnya yang besar, yang sekarang digenangi air mata. “Apa?! Apa yang tidak beres?” Pikiranku dipenuhi segala macam pikiran. Apakah dia dinakali anak lain? Apakah dia memberikan peralatan sekolahnya agar dia tidak dilukai atau agar dia diterima oleh mereka?

Aku tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi, tetapi aku tahu ada sesuatu yang serius sehingga dia menangis. Aku menunggu lama sekali sebelum dia menjawab. “Mom,” dia memulai, “ada seorang anak lelaki di kelasku; dia tidak punya semua peralatan yang dia perlukan untuk melakukan pekerjaannya. Anak-anak lain mengejeknya karena kertasnya kusut dan dia hanya punya dua krayon untuk mewarnai. Aku telah meletakkan semua peralatan yang Mom belikan untukku sebelum anak-anak lain masuk, jadi dia tidak tahu bahwa aku yang meletakkannya. Tolong jangan marah, Mom. Aku tidak bermaksud berbohong, tetapi aku tidak ingin siapa pun tahu bahwa aku yang melakukannya.”

Hatiku luruh saat aku berdiri di sana tak percaya. Dia telah mengambil peran seorang dewasa dan berusaha menyembunyikannya seperti seorang anak. Aku berlutut dan memeluknya, tidak ingin dia melihat air mataku sendiri. Ketika sudah tenang, aku berdiri dan berkata, “Gina, Mom tidak akan pernah marah padamu karena ingin menolong seseorang, tetapi mengapa kau tidak datang saja dan mengatakannya pada Mom?” Aku tidak harus menunggu dia untuk menjawab. Hari berikutnya, aku mengunjungi Bu Melton. Aku memberitahu apa yang telah dikatakan Gina. Dia juga mengetahui situasi John. Anak tertua dari empat anak lelaki, orangtuanya baru saja pindah ke sini dan ketika sekolah menunjukkan daftar peralatan sekolah untuk semua murid kelas empat, mereka merasa sangat terbebani.

Ketika tiba di sekolah minggu berikutnya, anak-anak itu nyaris tidak membawa apa pun- masing-masing hanya membawa beberapa lembar kertas dan satu pensil. Aku meminta daftar keperluan keempat kelas anak-anak itu dan memberitahu Bu melton bahwa aku akan menyiapkannya di hari berikutnya. Dia tersenyum dan memberikan daftar itu. Hari berikutnya, kami membawa perlengkapan itu dan memberikannya ke kantor sekolah dengan catatan untuk diberikan kepada keempat anak lelaki itu.

Ketika Natal mendekat, pikiran tentang John, saudara-saudara, dan keluarganya memenuhi pikiranku. Apa yang akan mereka lakukan? Pasti mereka tidak punya uang untuk membeli hadiah. Aku bertanya kepada Bu Melton apakah dia bisa memberi alamat keluarga mereka. Pada mulanya dia menolak, mengingatkanku bahwa ada kebijakan yang melindungi privasi murid. Tetapi karena dia mengenalku dari pekerjaanku di sekolah dan keterlibatanku dalam dewan Persatuan Orangtua Murid dan Guru, dia menyelipkan secarik kertas ke tanganku dan berbisik, “Jangan bilang siapa-siapa kalau aku memberikannya kepadamu.”

Ketika keluargaku mulai bersiap untuk tradisi Malam Natal, yang biasanya diselenggarakan di rumahku, aku hanya memberitahu mereka bahwa aku, suamiku, dan anak-anak tidak menginginkan kado, tetapi lebih ingin menerima perbekalan makanan dan hadiah-hadiah untuk “keluarga” kami. Saat aku dan anak-anak belanja untuk Natal, dengan gembira mereka memilihkan hadiah yang dibungkus untuk anak-anak lelaki itu. Ruang keluargaku penuh sesak dan kegembiraan menular.

Akhirnya, pada pukul 21.00, kami memutuskan bahwa tiba waktunya untuk membawa barang-barang kami kepada mereka. Saudara-saudara lelakiku, ayahku, paman, dan keponakan lelaki mengisi truk-truk mereka dan berangkat ke alamat kompleks apartemen yang telah diberikan oleh Bu Melton. Mereka mengetuk pintu dan muncul seorang anak lelaki kecil. Mereka menanyakan ayah atau ibunya, dan dia lari ke dalam.

Mereka menunggu sampai seorang pria muda, yang nyaris masih kanak-kanak juga, muncul di pintu. Dia memandang para pria yang berdiri di sana, masing-masing menggenggam kantong makanan dan hadiah, dan tidak bisa berkata-kata. Para pria menerobos masuk melewatinya dan langsung menuju meja dapur untuk meletakkan barang-barang.

Tidak ada perabotan. Hanya apartemen satu kamar tidur yang kosong dengan beberapa selimut di lantai dan satu televisi kecil, tempat mereka menghabiskan waktu mereka. Pohon Natalnya berupa pohon semak yang ditemukan anak-anak di ladang di belakang kompleks. Beberapa hiasan kertas yang dibuat di kelas membuatnya tampak seperti pohon Natal sungguhan. Tidak ada apa pun di bawah pohon itu. Keempat anak lelaki itu dan orangtuanya berdiri tanpa berkata-kata saat para pria meletakkan kantong demi kantong. Pada akhirnya mereka menanyakan siapa yang mengirimnya, bagaimana mereka bisa tahu alamat mereka, dan sebagainya. Tetapi para pria itu hanya pergi dengan teriakan “Selamat Natal!” Ketika para pria tiba kembali di rumahku, mereka terdiam, tidak bisa berkata-kata. Untuk memecah keheningan, bibiku berdiri dan mulai menyanyikan “Malam Kudus” dan kami semua ikut menyanyi.

Ketika sekolah dimulai kembali, setiap hari Gina pulang ke rumah menceritakan pakaian baru John dan bagaimana sekarang anak-anak lain bermain dengannya dan memperlakukannya sama seperti anak-anak lain. Gina tidak pernah memberitahu siapa pun tentang apa yang telah kami lakukan, tetapi setiap Natal sejak Natal yang satu itu, dia akan berkata kepadaku, “Mom, apa yang terjadi pada John dan keluarganya?” Meski tidak tahu jawabannya, aku ingin berpikir bahwa John dan keluarganya telah tertolong oleh hadiah dari putriku.

-Linda Snelson

Chicken Soup for the Soul Christmas Treasury