Sex education tentang cara menangani anak dengan trauma seksual menjadi sebuah kebutuhan. Namun, tak banyak yang sudah memiliki kemahiran dasar dalam menangani anak-anak dengan kasus berat ini. Dalam praktiknya, banyak yang akhirnya mengalami kebingungan ketika anak datang dengan kisah yang begitu memilukan.
Dalam seminar “Pencegahan dan Pemulihan Trauma Seksual pada Anak Usia Dini” yang diselenggarakan oleh LK3, para fasilitator menjabarkan mengenai trauma seksual yang dialami anak. Trauma seksual pada anak merupakan interaksi antara anak dan orang dewasa atau anak lainnya. Korban “digunakan” sebagai seksual stimulator dari pelaku.
Trauma seksual bisa berbentuk macam-macam, tak hanya terbatas pada rabaan, tetapi juga voyeurism (mencoba melihat tubuh telanjang anak), exhibitionism (memperlihatkan alat kelamin), sampai menyuruh anak melihat dan menonton gambar porno (pornografi).
Salah satu fasilitator, Nona Pooroe Utomo, menyatakan bahwa 1 dari 4 anak perempuan dan 1 dari 6 anak laki-laki mengalami trauma seksual sebelum usia 18 tahun. Mirisnya, kebanyakan dari kasus tersebut tidak pernah dilaporkan. Alasan kuat atas ketakutan anak untuk melapor kepada orang tuanya, yaitu ketakutannya terhadap pelaku, yang pada umumnya adalah orang yang dia kenal dan percaya. Sebanyak ¾ kasus pelecehan seksual yang terlaporkan menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang kepercayaan keluarga atau bahkan anggota keluarga.
Berikut beberapa gejala umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang mengalami trauma seksual.
- Mengalami mimpi buruk/sulit tidur
- Menarik diri
- Mudah marah/meledak
- Cemas
- Depresi
- Tidak mau ditinggal sendiri, khususnya dengan orang tertentu.
- Pengetahuan seksual, penggunaan bahasa, dan perilaku yang tidak sesuai dengan umur anak.
Lalu, apakah anak-anak akan pulih dari trauma ini ketika mereka beranjak dewasa? Tergantung kondisi si anak. Ada anak yang tangguh, yang dengan pendekatan konseling yang efektif, serta dukungan dari keluarga, dapat pulih dari pengalaman buruknya dan menjalani hidup yang normal di kemudian hari.
Namun, bagi anak-anak yang lebih sensitif dan fragile, pengalaman trauma tersebut mungkin akan sangat menyakiti hatinya dan meninggalkan luka yang cukup dalam. Dengan konseling yang berkelanjutan, anak bisa terus mendapat pendampingan dalam menghadapi hari-harinya. Namun, ada pula anak yang tak pernah mendapatkan penanganan terhadap trauma seksual yang dialaminya dan di masa dewasanya menjadi pelaku, homoseksual, atau kecanduan pornografi.
Sekolah, sebagai institusi pendidikan dan rumah kedua anak, bisa menjadi wadah bagi anak-anak yang pernah mengalami trauma seksual. Para konselor bisa difungsikan dengan optimal untuk mendampingi anak-anak tersebut dalam proses pemulihan. Bekerja sama dengan keluarga sebagai support system, sekolah bisa mengupayakan agar anak bisa menjalani hari-harinya. Namun, untuk kasus trauma yang lebih berat, sekolah bisa merujuk anak untuk melakukan konseling berkelanjutan ke psikolog khusus atau bahkan psikiater—jika trauma sudah mengganggu aktivitas anak.
Penanganan anak dengan trauma seksual
Ketika anak datang kepada guru atau konselor dan mengaku bahwa dia telah mengalami kekerasan seksual, berarti anak sudah menunjukkan kesiapan untuk mendapatkan pendampingan. Pada seminar kali ini, Julianto Simanjuntak memaparkan beberapa langkah awal yang bisa dilakukan dalam mengonseling anak dengan kasus ini.
- Memvalidasi/meneguhkan. Anak mendapatkan validasi akan keberanian untuk mengungkapkan kasusnya butuh keberanian yang sangat besar bagi anak untuk akhirnya mau membagikan kisah pahitnya. Di sini, guru perlu menunjukkan peneguhannya agar anak merasa bahwa keputusannya adalah langkah yang tepat.
- Berempati. Baik bagi konselor/guru untuk menunjukkan empatinya terhadap hal yang dialami anak agar anak merasakan kenyamanan. Pastikan anak mengetahui bahwa guru/konselor akan terus mendampinginya selama proses pemulihan.
- Normalisasi. Ketika anak menceritakan pengalamannya dan menyatakan bahwa dirinya malu dan sangat terpukul, guru/konselor perlu menegaskan bahwa perasaan-perasaan tersebut sangat normal terjadi. Bantu anak untuk menerima perasaannya.
- Menasihati. Langkah ini bisa ditawarkan kepada anak dengan tanpa unsur paksaan. Biarkan anak memutuskan apakah dia sudah siap diberi masukan atau hanya perlu “teman bicara”. Ketika anak siap diberi masukan, ajak anak untuk mempertimbangkan apakah sudah saatnya dia untuk jujur kepada keluarga atau mengikuti konseling intensif dengan psikolog atau psikiater. (dln)