Pojok Parenting: Trauma Seksual pada Anak Usia Dini

Sex education tentang cara menangani anak dengan trauma seksual menjadi sebuah kebutuhan. Namun, tak banyak yang sudah memiliki kemahiran dasar dalam menangani anak-anak dengan kasus berat ini. Dalam praktiknya, banyak yang akhirnya mengalami kebingungan ketika anak datang dengan kisah yang begitu memilukan.

Dalam seminar “Pencegahan dan Pemulihan Trauma Seksual pada Anak Usia Dini” yang diselenggarakan oleh LK3, para fasilitator menjabarkan mengenai trauma seksual yang dialami anak. Trauma seksual pada anak merupakan interaksi antara anak dan orang dewasa atau anak lainnya. Korban “digunakan” sebagai seksual stimulator dari pelaku.

Trauma seksual bisa berbentuk macam-macam, tak hanya terbatas pada rabaan, tetapi juga voyeurism (mencoba melihat tubuh telanjang anak), exhibitionism (memperlihatkan alat kelamin), sampai menyuruh anak melihat dan menonton gambar porno (pornografi).

Salah satu fasilitator, Nona Pooroe Utomo, menyatakan bahwa 1 dari 4 anak perempuan dan 1 dari 6 anak laki-laki mengalami trauma seksual sebelum usia 18 tahun. Mirisnya, kebanyakan dari kasus tersebut tidak pernah dilaporkan. Alasan kuat atas ketakutan anak untuk melapor kepada orang tuanya, yaitu ketakutannya terhadap pelaku, yang pada umumnya adalah orang yang dia kenal dan percaya. Sebanyak ¾ kasus pelecehan seksual yang terlaporkan menunjukkan bahwa pelakunya adalah orang kepercayaan keluarga atau bahkan anggota keluarga.

Berikut beberapa gejala umum yang sering ditunjukkan oleh anak yang mengalami trauma seksual.

  • Mengalami mimpi buruk/sulit tidur
  • Menarik diri
  • Mudah marah/meledak
  • Cemas
  • Depresi
  • Tidak mau ditinggal sendiri, khususnya dengan orang tertentu.
  • Pengetahuan seksual, penggunaan bahasa, dan perilaku yang tidak sesuai dengan umur anak.

Lalu, apakah anak-anak akan pulih dari trauma ini ketika mereka beranjak dewasa? Tergantung kondisi si anak. Ada anak yang tangguh, yang dengan pendekatan konseling yang efektif, serta dukungan dari keluarga, dapat pulih dari pengalaman buruknya dan menjalani hidup yang normal di kemudian hari.

Namun, bagi anak-anak yang lebih sensitif dan fragile, pengalaman trauma tersebut mungkin akan sangat menyakiti hatinya dan meninggalkan luka yang cukup dalam. Dengan konseling yang berkelanjutan, anak bisa terus mendapat pendampingan dalam menghadapi hari-harinya. Namun, ada pula anak yang tak pernah mendapatkan penanganan terhadap trauma seksual yang dialaminya dan di masa dewasanya menjadi pelaku, homoseksual, atau kecanduan pornografi.

Sekolah, sebagai institusi pendidikan dan rumah kedua anak, bisa menjadi wadah bagi anak-anak yang pernah mengalami trauma seksual. Para konselor bisa difungsikan dengan optimal untuk mendampingi anak-anak tersebut dalam proses pemulihan. Bekerja sama dengan keluarga sebagai support system, sekolah bisa mengupayakan agar anak bisa menjalani hari-harinya. Namun, untuk kasus trauma yang lebih berat, sekolah bisa merujuk anak untuk melakukan konseling berkelanjutan ke psikolog khusus atau bahkan psikiater—jika trauma sudah mengganggu aktivitas anak.

Penanganan anak dengan trauma seksual
Ketika anak datang kepada guru atau konselor dan mengaku bahwa dia telah mengalami kekerasan seksual, berarti anak sudah menunjukkan kesiapan untuk mendapatkan pendampingan. Pada seminar kali ini, Julianto Simanjuntak memaparkan beberapa langkah awal yang bisa dilakukan dalam mengonseling anak dengan kasus ini.

  1. Memvalidasi/meneguhkan. Anak mendapatkan validasi akan keberanian untuk mengungkapkan kasusnya butuh keberanian yang sangat besar bagi anak untuk akhirnya mau membagikan kisah pahitnya. Di sini, guru perlu menunjukkan peneguhannya agar anak merasa bahwa keputusannya adalah langkah yang tepat.
  2. Berempati. Baik bagi konselor/guru untuk menunjukkan empatinya terhadap hal yang dialami anak agar anak merasakan kenyamanan. Pastikan anak mengetahui bahwa guru/konselor akan terus mendampinginya selama proses pemulihan.
  3. Normalisasi. Ketika anak menceritakan pengalamannya dan menyatakan bahwa dirinya malu dan sangat terpukul, guru/konselor perlu menegaskan bahwa perasaan-perasaan tersebut sangat normal terjadi. Bantu anak untuk menerima perasaannya.
  4. Menasihati. Langkah ini bisa ditawarkan kepada anak dengan tanpa unsur paksaan. Biarkan anak memutuskan apakah dia sudah siap diberi masukan atau hanya perlu “teman bicara”. Ketika anak siap diberi masukan, ajak anak untuk mempertimbangkan apakah sudah saatnya dia untuk jujur kepada keluarga atau mengikuti konseling intensif dengan psikolog atau psikiater. (dln)

Menanamkan Karakter Kristus melalui Character Camp

Jumat, 9 Agustus 2019 menjadi hari yang mengesankan bagi para siswa kelas 3 SD Athalia karena seharian itu mereka mengikuti kegiatan Character Camp dengan tema Honesty Day. Sepanjang hari siswa-siswi belajar tentang karakter rajin yang harus mereka hidupi melalui rangkaian kegiatan seperti devosi, penyampaian materi, games, silent reading, nonton video, kuis, dan diakhiri dengan sharing bersama wali kelas.


Devosi yang dibawakan oleh Ibu Desni sangat menarik karena menuntun siswa memahami cerita soal ketidakjujuran yang dimulai saat kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa. Allah jelas tidak menyukai ketidakjujuran yang tergambar dari peristiwa Ananias dan Safira. Setelah devosi, siswa belajar soal kejujuran melalui beberapa momen yang dikondisikan seperti yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari—saat jam sarapan, disediakan jelly yang jumlahnya sesuai siswa yang hadir. Setiap siswa hanya boleh mengambil satu jelly. Ternyata, tidak ada satu pun siswa yang tidak mendapat jelly. Artinya, seluruh siswa kelas tiga SD sudah mampu mempraktikkan kejujuran walaupun tidak ada yang melihat! Good job!


Saat masuk ke sesi penyampaian materi, siswa menyaksikan drama singkat yang diangkat dari kisah nyata mengenai ketidakjujuran. Dalam sesi ini, Ibu Denise banyak menyajikan materi melalui berbagai ilustrasi pengalaman yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan meminta partisipasi siswa di dalamnya. Setelah sesi materi, siswa juga diajak mengenal karakter jujur melalui games, di mana siswa harus dealing dengan diri mereka dalam mengikuti aturan permainan yang ditetapkan. Sesi terakhir ditutup dengan sharing untuk meneguhkan siswa bahwa memiliki karakter Kristus adalah suatu proses yang berjalan seumur hidup.

Diligent Day

Satu bulan setelah Character Camp kelas tiga SD, pada Jumat, 6 September 2019, siswa kelas dua SD juga mengikuti Character Camp dengan tema Dday (Diligent day). Secara keseluruhan, kegiatan yang dilakukan hampir sama dengan Honesty Day. Yang membedakan kegiatan ini tentu saja karakter yang dikenalkan. Karakter Kristus yang ditanamkan dalam diri para siswa kelas dua adalah rajin.


Kegiatan dimulai dari jam tujuh pagi dengan firman pembuka dari 2 Tesalonika 3:10, kemudian dihubungkan dengan contoh nyata kerajinan melalui kisah Thomas Alva Edison. Setelah devosi, siswa diajak jalan pagi sambil memungut sampah. Kami berharap, melalui camp ini siswa mengenal karakter rajin dan memahami mengapa mereka harus menghidupinya sehingga ketika mereka melakukan suatu tugas, mereka melakukannya dengan motivasi yang benar. Siswa juga diingatkan bahwa hal kecil apa pun yang mereka lakukan, mereka sedang melakukannya untuk Tuhan seperti yang tertulis dalam Kolose 3:23.


Dengan bekal materi yang sudah disampaikan, siswa mencoba mengaplikasikan pengetahuan dalam tindakan nyata melalui berbagai permainan. Dalam sesi games ini, siswa mengerjakan berbagai tugas yang ditentukan dalam setiap permainan. Games menjadi salah satu cara memotivasi siswa untuk menikmati tugas yang diberikan. Di akhir sesi, siswa juga diteguhkan untuk melakukan tugas yang dipercayakan dengan sungguh-sungguh dan bersukacita.


Sesi selanjutnya yang menarik perhatian siswa adalah drama yang menceritakan tentang lima ekor berang-berang. Melalui cerita ini siswa mengenal karakter rajin dari hewan berang-berang. Dengan bantuan beberapa guru dan konselor serta peran Bu Elita sebagai narator, para siswa kelihatan sangat menikmati sesi ini. Di akhir camp, setiap wali kelas membimbing siswa untuk dapat menceritakan perasaan dan pengalaman mereka sepanjang hari. Kami berharap camp ini sungguh membentuk para siswa untuk memiliki karakter terbaik! (mrt)

Seminar Parenting SMA: Generasi Zaman Now vs Ortu Zaman Old

Children are our second chance to have a great parent-child relationship. –Laura Schlessinger

Ketika kita menjadi anak, kita mendapatkan didikan dari orang tua kita yang berbeda generasi dengan kita. Gaya parenting orang tua kita mungkin tak sempurna. Ada beberapa hal yang membuat kita tak mendapatkan kebutuhan kita, khususnya relasi dan bonding dengan orang tua.

Gaya parenting zadul (zaman dulu) yang cenderung kaku dan memunculkan jarak antara anak-orang tua membuat anak kesulitan “mengakses” orang tua mereka. Orang tua merasa perannya sebatas pemenuh kebutuhan fisik anak tanpa mengetahui bahwa anak pun membutuhkan relasi yang lebih dalam.

Ketika kita sekarang menjadi orang tua, kita belajar dari pengalaman masa lalu saat menjadi anak. kekecewaan dan kepahitan yang kita rasakan pada orang tua kita sebaiknya tak terulang kepada anak kita. Seperti kutipan Laura Schlessinger di atas, kehadiran seorang anak dalam hidup kita memberikan kita kesempatan kedua untuk memiliki relasi orang tua-anak yang lebih baik dari yang kita miliki dulu.

Menjalin relasi yang sehat dengan anak, khususnya yang berusia remaja, bisa menjadi salah satu cara kita, sebagai orang tua, untuk mendampingi anak menghadapi dunia yang besar ini. Relasi yang sehat akan membuat anak merasa nyaman dan memberikan kepercayaan penuh kepada orang tuanya dan menjadikan orang tua sebagai tempat berbagi.

Dalam seminar parenting bertema “Generasi Zaman Now vs Ortu Zaman Old” yang dipimpin oleh Ibu Charlotte, orang tua siswa SMA kelas 10, 11, 12 kembali diajak untuk semakin mengenal anak-anak mereka. Dalam salah satu sesi yang dibawakan oleh guru agama dan konselor, orang tua mendapatkan wawasan baru mengenai karakteristik umum generasi Z, yang merupakan generasi anak-anak mereka. Kemudian, Ibu Charlotte melengkapi data tersebut dengan memaparkan kondisi-kondisi yang terjadi berkaitan dengan relasi orang tua-anak.

Ibu Charlotte menekankan bahwa ada perbedaan karakteristik antara generasi X (para orang tua) dengan generasi Z yang cukup signifikan. Oleh karena itu, sering terjadi friksi di antara kedua generasi tersebut. Sebagai orang tua, kita diharapkan lebih memahami karakteristik anak zaman now dan menghadapi mereka dengan cara yang lebih persuasif, ketimbang cara otoriter.

Seminar ini diadakan dengan maksud membukakan wawasan para orang tua mengenai perilaku anak-anak mereka, serta langkah-langkah sederhana untuk bisa “berdamai” dengan perbedaan pandangan di antara orang tua dan anak. Walau tak semua kasus tentang relasi terungkap pada seminar ini, setidaknya para orang tua lebih memahami karakteristik umum anak-anak mereka dan diharapkan mau mengubah gaya parenting mereka untuk memiliki relasi yang lebih sehat dengan anak-anak mereka. (dln)

Memilih Perguruan Tinggi di Edufair SMA Athalia 2019

Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. -Nelson Mandela

Selama hidupnya, Nelson Mandela selalu menggaungkan mengenai pentingnya pendidikan, untuk membentuk para generasi muda dan mempersiapkan mereka untuk menjadi penggerak ekonomi dunia. Oleh karena itu, sebagai institusi pendidikan, Sekolah Athalia terus melakukan berbagai pendekatan kepada para siswa untuk bisa menentukan sendiri pendidikan tinggi yang akan mereka ambil.


Selain rutin mengadakan konseling individu kepada tiap siswa dan menghadirkan pembicara-pembicara inspiratif, Sekolah Athalia juga mengadakan Edufair. Tahun ini, acara ini diadakan pada 6 September 2019. Kegiatan ini diadakan pada hari sekolah sehingga seluruh siswa, mulai dari kelas 10 hingga kelas 12 diwajibkan untuk ikut serta. Selain itu, para orang tua siswa diundang untuk berpartisipasi dalam acara ini.


Tujuan diadakannya edufair ini, antara lain agar para siswa dan orang tua lebih mengenal universitas beserta program studi yang mereka miliki. Perwakilan dari perguruan tinggi diberikan kesempatan untuk menyampaikan presentasi kepada para siswa di dalam ruang kelas. Menariknya, Edufair ini tidak dibatasi hanya untuk siswa kelas 12. Siswa kelas 10 dan 11 juga diberikan kesempatan untuk mendengarkan presentasi dari beberapa universitas agar mereka bisa mulai memetakan minat mereka dan mempersiapkan diri semaksimal mungkin.


Selain presentasi, para siswa dan orang tua bisa melakukan “window shopping” universitas di Aula F. Bahkan, mereka bisa melakukan pendaftaran langsung untuk tahun pelajaran 2020/2021.


Beberapa perguruan tinggi menawarkan program beasiswa bagi siswa Athalia yang aktif dalam organisasi sekolah dan berprestasi di bidang akademik, olahraga, serta seni budaya.


Respons dari orang tua dan siswa untuk acara ini sungguh di luar ekspektasi. Ini menunjukkan bahwa orang tua cukup peduli dan mau meluangkan waktu untuk datang dan mendampingi anaknya berkonsultasi langsung dengan perwakilan perguruan tinggi.


Kiranya event Edufair yang telah berjalan lancar membukakan pikiran para siswa, khususnya kelas 10 dan 11 untuk terus menggumuli minat dan bakat mereka untuk mereka dalami di tingkat universitas. Biarlah mereka bertumbuh dan berdampak bagi lingkungan sekitar dan dunia, seturut rancangan indah Tuhan. Amin. (cwk)

Kamp Karakter “Tepat Waktu” Kelas 1

Jumat, 20 September 2019 siswa-siswi kelas I SD Athalia mengikuti kegiatan kamp karakter dengan tema “Tepat Waktu”. Dalam kegiatan ini, para siswa diperkenalkan dengan karakter tepat waktu. Mereka belajar mengenai karakter ini melalui berbagai aktivitas, mulai dari ibadah dengan tema “Allah yang Menciptakan Waktu”; materi dalam bentuk drama mengenai perilaku tidak tepat waktu dalam kehidupan sehari-hari; dan berbagai games yang mendorong anak untuk bisa menyelesaikannya tepat waktu.

Kiranya kegiatan ini membuat siswa mengenal karakter tepat waktu dan sebagai gerbang awal agar mereka mau mengaplikasikan karakter ini dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Retret Kelas 7: “He Changes Me”

Oleh: Yusak A. Chandra (Guru SMP)

Pengamatan atas perubahan dinamika zaman saat ini, memperlihatkan banyaknya pengajaran yang sangat jauh dari pengajaran Alkitab. Banyak orang, remaja pada khususnya, mengabaikan karakter Kristus yang seharusnya mereka hidupi. Karakter sulit terbentuk apabila remaja kurang mengenali pribadi diri sendiri. Mengenal diri tidak mungkin tanpa mengenal pribadi Allah terlebih dahulu.

Di sinilah sekolah bergerak berdasarkan Firman Tuhan, memberikan kesempatan untuk mengajarkan dan menarik kembali kehidupan remaja kepada pengenalan kepada Sang Pencipta mereka. Sekolah Athalia mengambil bagian dalam misi ini dengan mengadakan retret yang dilaksanakan selama tiga hari di Wisma Kinasih.

Retret SMP Athalia kali ini mengambil tema “He Changes Me”. Dengan tema ini, diharapkan peserta yang ikut, baik murid bahkan guru, dapat semakin bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dan dapat berubah semakin baik, dengan kesadaran dan keyakinan bahwa perubahan itu dimulai karena Kristus yang telah mengubahkan kita. Semua yang kita miliki di dunia ini, bahkan keselamatan yang kita miliki, berasal dari Kristus.

Kegiatan ini berusaha untuk membawa anak-anak mengenal pribadi Allah yang menciptakan setiap pribadi manusia yang memiliki rupa dan gambar Allah. Pengenalan akan Allah yang sejati akan membawa kepada pengenalan diri sendiri yang akan membawa kepada perubahan kepada pribadi yang telah ditebus dan dikuduskan di dalam Kristus sehingga setiap anak menerima diri dan menghidupi kehidupan barunya sebagai bagian dari proses pembentukan karakter Kristus.

Kegiatan retret yang diikuti oleh murid-murid menekankan pada pentingnya jati diri mereka yang berharga di hadapan Allah meskipun mereka berada di antara keluarga yang tidak sempurna bahkan di antara dunia yang jahat sekalipun. Kegiatan ini mampu membangun kembali dan memperkuat relasi antar teman dan keluarga dengan cara memahami berharganya diri mereka di hadapan Tuhan dan memahami rencana dan panggilan Tuhan di tengah-tengah komunitas keluarga dan sekolah. Dalam retret ini juga diadakan outdoor activity berupa games yang bertujuan menumbuhkan karakter peduli dan berbagi. Dalam setiap games yang diikuti anak-anak, ada makna yang harus ditangkap dan dipelajari anak sehingga setiap pengetahuan yang disampaikan dalam tiap sesi dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan ini diharapkan membawa anak-anak semakin pada pertumbuhan di dalam Tuhan dalam tiap aspek kehidupan mereka. Perubahan bukanlah hal yang mudah, tetapi di dalam prosesnya, Tuhan akan memberikan kekuatan dan mengingatkan kita untuk memuliakan-Nya, mengasihi-Nya dan sesama. Soli Deo Gloria.

FREADOM: Merdeka Membaca

Oleh: Sylvia Radjawane (ABC)

Pertemuan Athalia Book Club (ABC) di Agustus lalu sengaja mengusung tema yang bernuansa ulang tahun kemerdekaan negeri tercinta: MERDEKA MEMBACA.

Indonesia, dalam konteks penulis orang Indonesia atau buku bacaan Bahasa Indonesia, menjadi bahan perbincangan santai di antara kami, para orang tua yang menyempatkan diri untuk hadir. Jika dikaitkan dengan buku dan kenangan saat membacanya, kami ternyata menjalani masa kecil dan remaja yang hampir serupa: “pemuja” majalah Bobo “garis keras”, pelahap buku-buku pinjaman di perpustakaan, punya deretan teman yang bisa dipinjam koleksi bukunya, sampai ikut “berdarah-darah” membaca buku sastra Indonesia atas nama “tugas” di sekolah.

Catatan menarik pertama, tidak sedikit di antara kami terpesona dan tanpa sadar terlatih untuk mencintai bahasa Indonesia. Alasannya, hanya karena kami memiliki guru Bahasa Indonesia yang ciamik. Cerita dan dongeng yang dibawakan di dalam kelas secara tidak langsung membuat kami terbiasa dengan rangkaian kosa kata dan imajinasi yang berkembang. Pada akhirnya, timbul kesenangan untuk mampu menyusun kalimat dan menulis cerita sendiri. Hal ini mungkin bisa jadi penyemangat untuk para guru bahasa, khususnya guru Bahasa Indonesia di komunitas Athalia: selingan materi pelajaran berupa cerita dan dongeng yang dibawakan dengan baik dan kreatif di dalam kelas bisa terpatri dalam ingatan para murid yang mendengarnya dan punya dampak yang berarti hingga mereka dewasa. Kami adalah salah satu buktinya.

Berbincang-bincang tentang penulis buku bahasa Indonesia, muncul deretan nama pujangga Indonesia hingga novelis Indonesia yang berkelebat dalam ingatan kami. Marah Roesli sang pencipta Siti Nurbaya, tetapi aslinya punya kehidupan pernikahan beda suku yang berjalan baik dan langgeng (tertuang dalam bukunya Memang Jodoh); legenda sastra wanita, NH Dini; hingga Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru-nya.

Ada nama-nama penulis novel terkenal pada zamannya, seperti S. Mara GD, Mira W, dan V. Lestari. Untuk penulis populer masa kini, sebut saja Dewi ‘Dee’ Lestari, Andrea Hirata, Ika Natassa, yang selalu ditunggu tulisan terbarunya. Di antara kami ada yang membaca buku “berat” dan serius, seperti Yudi Latif (Negara Paripurna) dan Rhenald Kasali (dengan serial buku Disruption, jenis bacaan serius yang penyajiannya bisa dipahami orang awam). Dari nama para penulis Indonesia segala zaman ini, beberapa di antaranya menulis tetralogi dan serial buku yang layak dicari dan dibaca hingga tuntas. Buku karya penulis muda genre metropop ringan dibaca sebagai opsi pelepas penat setelah seharian beraktivitas. Buku Keluarga Super Irit yang populer di kalangan anak-anak juga turut berada dalam daftar perbincangan.

Dari ragam pilihan buku bacaan yang dibahas, ternyata kami memang menikmati kemerdekaan memilih genre buku yang kami sukai. Mulai dari buku yang tebalnya melebihi bantal sampai buku yang dahulu pernah dilarang beredar. Mulai dari buku favorit anak-anak karena penasaran tentang kualitas isinya, sampai buku yang memang “ditemukan” karena berkaitan dengan pekerjaan. Mulai dari buku tebal yang dilahap dalam hitungan hari, sampai buku yang tidak kunjung selesai juga dibaca. Benar-benar membaca dengan cara bebas merdeka.

Catatan menarik kedua, tidak semua di antara kami adalah pembaca buku yang aktif. Untuk itu, wadah ABC diharapkan bisa menjadi support system dalam komunitas Athalia. Orangtua yang dahulu pernah bergelar “pencinta buku”, tetapi karena kesibukan pekerjaan, keluarga dan parenting, tidak lagi punya waktu dan kesempatan untuk membaca. Mereka bisa menggunakan wadah ini untuk kembali menumbuhkan kebiasaan membaca. Orangtua yang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan “bukan pencinta buku”, pertemuan bulanan rutin ABC ini adalah komunitas yang bisa menularkan kebiasaan membaca, sekaligus ajang melatih diri berbicara di hadapan banyak orang, belajar memberi opini, mampu memberi penjelasan dengan baik, belajar menyusun tulisan, juga belajar menjadi good role model bagi anak-anaknya dalam hal membaca.

Lewat pertemuan yang dikemas sederhana dan perbincangan ringan dan santai, kami punya wadah untuk saling bercerita dan berbagi ragam informasi—kekayaan bahasa, imajinasi, wisdom yang menginspirasi—dari yang kami lihat lewat “jendela dunia” yang bebas kami pilih sendiri.

Merdeka!
Mari merdeka membaca.

Ubah Hatiku, Tuhan

Oleh: Tjio Ayuthia, S.Psi

Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna
(Roma 12:2).

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal (Mazmur 139:23-24).

Perubahan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan di dalam kehidupan ini. Berbicara tentang perubahan tentunya terkait dengan stres yang menyertai perubahan. Sekecil dan sepositif apa pun perubahan tersebut, tentunya ada krisis dan penyesuaian diri yang perlu mengikutinya. Perubahan dari anak menjadi remaja, perubahan dari remaja menjadi dewasa, menjadi tua, perubahan dari seorang diri menjadi memiliki pasangan, memiliki anak, perpindahan tempat kerja, perpindahan sekolah, perpindahan tempat tinggal, kondisi tubuh dari sehat menjadi tidak sehat, bahkan perubahan-perubahan kecil di dalam hidup sehari-hari (mobil yang rusak sehingga perlu direparasi, pergantian asisten rumah tangga, dan lain sebagainya).

Alkitab juga berbicara tentang perubahan. Namun, perubahan yang dimaksud bukanlah sekadar perubahan yang terjadi dan dapat dilihat dari luar, melainkan perubahan mendasar yang terjadi di dalam pusat hidup kita. Sebuah transformasi, perubahan total hati yang merupakan sumber kehendak, pemikiran, keinginan, pertimbangan, penilaian, cara pandang, dan cara kita menyikapi segala hal. Sebuah perubahan radikal yang menggoncangkan, meruntuhkan tiang-tiang dan fondasi kenyamanan kita. Sebuah perubahan di luar kuasa manusia. Sering kali kita menilai sebuah perubahan dari luarnya saja, sebab memang kita terbatas dan tidak dapat menguji hati manusia, tetapi Tuhan menilai kedalaman hati kita.

Thomas Keating dalam Invitation to love (2011) menceritakan tentang seseorang yang sebelum pertobatannya sering kali minum-minum di bar dan bangga sekali ketika semua teman lain sudah mulai mabuk, dirinya masih tidak mabuk karena memiliki daya tahan yang tinggi terhadap alkohol. Bagi orang ini, daya tahan tersebut merupakan simbol dominasi dan sukses. Suatu hari, individu ini mengalami pertobatan dan menyerahkan diri masuk ke dalam sebuah ordo religius yang ketat di dalam menjalankan ibadahnya. Setelah beberapa minggu lamanya berpuasa menjelang Jumat Agung dan Paskah, ia mendapati dirinya sebagai satu-satunya orang yang bertahan sampai akhir berpuasa penuh, sedangkan rekan-rekan lain mulai berguguran karena sakit. Tiba-tiba ia merasakan di dalam hatinya sebuah luapan kebanggaan yang sama seperti dulu ia rasakan ketika teman-temannya mulai mabuk karena minuman beralkohol. Bedanya rasa bangga yang ada sekarang adalah karena berhasil mengalahkan semua rekan yang lain di dalam hal berpuasa. Di sini kita dapat melihat bahwa secara lahiriah individu tersebut tampak berubah, yang tadinya seorang peminum menjadi seorang yang religius, tetapi ternyata jauh di lubuk hatinya masih bertakhta sebuah keinginan yang sama untuk menjadi yang paling hebat, paling utama, mengalahkan semua orang yang lain.

Kisah di atas mengingatkan kita kepada para murid Yesus yang sering kali bertengkar tentang siapakah yang terbesar di antara mereka (Matius 18:1–5; Matius 20:21–24; Lukas 9:46–48; Lukas 22:24–30) sampai-sampai Tuhan Yesus pada malam terakhir sebelum Ia ditangkap dan disalibkan, memberikan contoh konkret kepada para murid untuk saling merendahkan diri dan melayani. Tuhan Yesus, Sang Raja dan Tuhan mengosongkan diri-Nya, mengambil posisi seorang budak, mencuci kaki para murid dan berkata, “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan. Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.” (Lukas 22:24–27)

Alkitab berbicara tentang perubahan sebagai perombakan total dan mendasar di dalam diri kita. Perubahan seperti ini tidak dapat kita usahakan dengan kekuatan kemauan diri, yang biasanya didorong oleh motivasi untuk menjadi lebih baik daripada orang lain, bukan supaya Kristus yang lemah lembut dan rendah hati benar-benar bekerja melalui hidup kita. Motivasi yang pertama terkait prestasi pribadi, yang jika tampak berhasil, membuat kita berbesar hati dan menyombongkan diri, “Saya lebih mencintai Tuhan dibanding kamu, saya lebih taat dibanding kamu, saya orang yang lebih baik daripada kamu.” Sementara itu, motivasi kedua tidak lain dan tidak bukan adalah kerinduan yang Tuhan beri untuk kenosis, mengosongkan diri, seperti Kristus mengambil rupa seorang hamba, yang tidak rupawan sehingga kita memandang ataupun menginginkan-Nya (Yesaya 53:2). Perubahan di dalam hati ini tidak dapat kita buat-buat agar tampak baik dari luar. Kita tidak dapat memalsukannya sebab manusia melihat muka, tetapi Tuhan melihat hati (1 Samuel 16:7).

Jika demikian, apa yang dapat kita lakukan? Apakah kita rindu untuk diubahkan menjadi semakin seperti Kristus? Tuhan Yesus mengundang kita, kata-Nya, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” (Matius 11.28). “Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 15:4-5). Datang dan melekat kepada Tuhan adalah bagian yang dapat kita lakukan, sedangkan transformasi hidup adalah karya-Nya di dalam kita ketika kita memberikan ruang lebih banyak bagi Dia untuk berkarya di dalam dan melalui kita.

Perubahan adalah buah dari persekutuan kita dengan Tuhan. Itu adalah buah Roh dan bukan buah yang kita hasilkan dari diri kita sendiri, sebagai hasil kerja kita sendiri. Tugas kita sebagai ranting-ranting Kristus adalah menempel kepada-Nya sebagai Pokok Anggur, bukan berupaya untuk mendekorasi diri dengan berbagai buah tempelan yang kita pinjam dari berbagai tempat lain. Jadi, dalam kehidupan Bapak/Ibu, apakah yang dapat bapak/ibu lakukan untuk menempel pada Kristus dan memberikan ruang lebih banyak bagi Tuhan untuk bekerja, berbicara dan berkarya melalui diri bapak/ibu? Apakah bentuk nyata “melekat kepada Tuhan” di dalam hidup Anda? Selamat memperluas ruang hati bagi Kristus yang lemah lembut dan rendah hati!

Field Trip

Selama kegiatan, mereka terlihat antusias. Dengan tekun, mereka membuat prakarya dari kerang dan clay. Mereka juga berani berinteraksi dengan hewan-hewan, serta mengenal banyak jenis tanaman. Mereka diberi kesempatan untuk mengalami proses penanaman jagung.

Selain itu, siswa juga diajak untuk belajar mengenal konsep energi. Kali ini, mereka dikenalkan dengan energi yang terbentuk dari air seni kambing.

Banyak hal yang mereka dapatkan dari field trip kali ini. Kiranya kegiatan ini membuka wawasan mereka lebih luas dan memancing mereka untuk lebih eksploratif dan kreatif.

Retret Kelas V

Kelas V SD Athalia mengadakan retreat pada hari Rabu, 25–27 September 2019. Kegiatan ini bertempat di Wisma Agape, Bogor. Retreat yang bertema “Jesus is the Only One” inibertujuan untuk membimbing siswa mengerti dan menyadari bahwa Yesus adalah satu-satunya juru selamat.

Siswa juga berlatih jujur terhadap suatu hal, melatih kemandirian saat melakukan berbagai hal tanpa orang tua, bertanggung jawab dalam merapikan barang milik pribadi, mengatur waktu agar bisa mengikuti kegiatan yang sudah dijadwalkan, dan menghabiskan makanan. Retreat ini juga melatih siswa berinisiatif untuk mengingatkan teman-temannya untuk mengikuti kegiatan yang sudah dirancang, serta menolong teman yang membutuhkan bantuan.