Oleh: Marlene Shinta – Research & Development TK Athalia
“Lihat, fish-nya lagi bobo.”
“Mama tunggu di door depan.”
“Makan banana yang sudah mama cut, ya.”
Pernahkah Anda mendengar kalimat seperti itu? Mungkin maksudnya adalah memperkenalkan anak dengan bahasa Inggris, namun penggunaannya jadi kurang tepat.
Saat pandemi Covid-19 melanda, mobilitas fisik menjadi sangat terbatas. Banyak anak kehilangan kesempatan untuk belajar di sekolah, berinteraksi dengan orang lain, bermain di taman, dan bertemu dengan anak seusianya. Bagi orang tua yang sibuk, kadangkala anak lebih sering difasilitasi dengan gawai agar tidak mengganggu kesibukan mereka, sehingga anak dapat tetap diam dan tidak berlarian atau membuat keributan. Saat ini banyak sekali video menarik untuk anak-anak dengan menggunakan bahasa asing. Hal ini dapat mengakibatkan kebingungan bahasa pada anak usia dini. Menurut dr. Tri Gunadi, A.Md.OT., S.Psi. ternyata anak yang baru belajar bicara tapi sudah diajari dua bahasa akan membuat anak kesulitan bicara *). Termasuk jika balita yang sedang belajar bicara malah dipapar tayangan televisi, meskipun tontonan tersebut dikhususkan untuk anak tapi akan menimbulkan kesulitan belajar bicara. Apalagi tayangan televisi dan internet misalnya, sifatnya satu arah. Tanpa arahan dan pendampingan dari orang tua tentu anak terbiasa melihat tanpa berupaya untuk berkata-kata atau berkomunikasi.
Mengapa bahasa sangat penting pada anak usia dini? Bahasa merupakan salah satu faktor utama dalam perkembangan anak. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi seperti mengungkapkan pikiran dan perasaan, bersosialisasi, berinteraksi dengan teman seusianya ataupun dengan orang lain. Dalam proses pembelajaran, bahasa juga merupakan aspek yang harus dikuasai oleh seorang anak untuk memahami bacaan, mengikuti perintah, dan juga dalam mengerjakan tugas.
Adapun dua aspek utama dalam bahasa adalah bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. Dua kemampuan ini dibutuhkan anak dalam berkomunikasi sehingga ketika ada masalah dengan salah satu atau bahkan keduanya anak akan terkendala dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk memahami, mendengar, serta menyimak sebuah informasi atau memahami makna. Kemampuan ini bersifat sebagai input atau masukan yang pastinya mendukung kegiatan menyimak maupun membaca. Menyimak adalah suatu proses mendengarkan dengan penuh perhatian, menangkap dan memahami makna komunikasi yang disampaikan seseorang. Sementara membaca merupakan kegiatan melihat tulisan dan memahami gambar atau kata yang dibaca. Bahasa reseptif dibutuhkan ketika anak memahami bahasa lisan yang didengar atau dibaca. Misalnya saat anak mendengar sebuah instruksi, dia paham dan mampu mengikuti petunjuk tersebut dengan benar. Keterampilan bahasa reseptif anak usia dini sangat dibutuhkan untuk memahami kalimat yang didengar dan dibaca. Secara umum, kemampuan bahasa reseptif berkembang sebelum anak mampu berkomunikasi.
Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk mengekspresikan keinginan melalui komunikasi verbal atau nonverbal. Hal ini membutuhkan kemampuan merangkai pemikiran dan menyusunnya ke dalam kalimat sederhana yang masuk akal dan runut. Misalnya, ketika anak dapat memberi tahu bahwa dirinya lapar, atau ketika anak dapat memberikan jawaban yang sesuai dengan pertanyaannya.
Kedua aspek bahasa ini sangatlah penting dalam perkembangan anak usia dini. Kadang kala yang terjadi adalah hanya bahasa reseptifnya saja yang berkembang. Hal ini dapat terlihat ketika anak dapat memahami apa yang dikatakan orang lain. Namun, sulit menyusun kata-kata untuk meresponsnya ataupun sulit untuk mengatakan apa yang hendak ia katakan. Sebaliknya jika kemampuan ekspresifnya saja yang berkembang, maka anak hanya mampu bicara namun tidak sesuai dengan konteks sehingga saat diberi pertanyaan, anak tidak dapat memberikan jawaban yang sesuai.
Kondisi yang tampak saat ini adalah orang tua senang melihat anaknya mengerti bahasa asing, salah satunya bahasa Inggris. Hal ini mengakibatkan anak berbicara dengan bahasa campur-campur. Orang tua pun akhirnya mengikuti pola ini dan menjadikan kebiasaan dalam percakapan sehari-hari. Anak banyak mengenal kosakata dalam bahasa Inggris. Namun bisa jadi tidak mengerti artinya mengakibatkan kesulitan merangkai ke dalam kalimat khususnya ketika ingin berbicara.
Dikutip dari detikcom, dr Meta Hanindita, SpA mengatakan, ketika anak bingung dengan beberapa bahasa yang diajarkan akan membuka kemungkinan terjadinya speech delay. Anak jadi tidak mau berbicara dan memilih untuk diam karena bingung.
Menurut psikolog anak, Dr. Seto Mulyadi, anak tidak seharusnya diajarkan beberapa bahasa sekaligus*). Bahasa ibu atau bahasa Indonesia harus diajarkan secara lengkap terlebih dahulu. Bahasa ibu adalah bahasa yang pertama dipelajari anak sejak lahir; bahasa yang diperoleh dari anggota keluarga. Jika anak sudah menguasai bahasa ibu, baik secara reseptif atau ekspresif, yang artinya anak sudah mulai mampu berkomunikasi dengan baik, barulah boleh mengajarkan lebih dari dua bahasa kepada si anak.
Tentu semua orang tua berharap anak memiliki kemampuan bahasa yang berkembang sesuai dengan usianya. Oleh karena itu, marilah kita bangun pondasi bahasa yang kuat pada anak usia dini dengan mengajarkan satu bahasa terlebih dahulu sebelum mengenalkan bahasa lainnya.
*) https://health.detik.com/anak-dan-remaja/d-3101347/balita-sering-nonton-program-tv-anak-berbahasa-asing-bagus-atau-tidak-ya
*) kutipan asli
https://www.haibunda.com/parenting/20181031202514-61-28288/saran-kak-seto-jika-ajari-anak-2-bahasa-sejak-dini