Mendampingi Remaja Saat Menghadapi Masalah

Oleh: Mattias Malanthon-Kepala PKBM Pinus

Sejumlah kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh anak-anak usia remaja. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan yang membuat mereka merasa terpojok, kesepian, tertekan, bahkan sampai kehilangan identitas. Di sinilah peran orang tua sebagai orang yang terdekat dibutuhkan untuk menghadapi fenomena ini.


Menurut pendapat penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam menghadapi permasalahan anaknya, di antaranya adalah:

  1. Mendengarkan versus mendengar
    Mendengarkan tidaklah sama artinya dengan mendengar. Menurut KBBI, mendengar artinya adalah menangkap suara (bunyi) dengan telinga, sedangkan mendengarkan memiliki arti mendengar akan sesuatu dengan sungguh-sungguh, memperhatikan. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara mendengar dengan mendengarkan. Sebagai orang tua, seringkali seorang ayah atau ibu “terpaksa” mendengar anaknya bercerita. Kondisi ini biasa terjadi saat orang tua membutuhkan waktu untuk beristirahat, sang anak justru meminta waktu untuk didengarkan masalahnya.
    Contohnya, anak mengalami perundungan dari teman-temannya karena menolak menyontek. Dari sudut pandang orang tua, akar permasalahannya sepele yaitu “masalah menyontek” sehingga orang tua “hanya” menasehati dengan berkata bahwa tindakan yang dilakukan anak sudah benar. Padahal kuncinya ada pada perundungan yang membuat anak merasa tidak nyaman. Sikap orang tua yang cenderung menyepelekan cerita anak membuat mereka merasa terpojok, kesepian, dan tidak dimengerti.
  2. Memberi penguatan versus melakukan penghakiman
    Selain mendengarkan, orang tua juga perlu memberikan respons yang tepat. Memberi penguatan berarti memberi respons positif yang dapat mendorong munculnya rasa percaya diri dan penerimaan diri anak sehingga dapat keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Akan tetapi, penghakiman dapat diartikan sebagai respons berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman masa kecil, ajaran agama, etika, norma sosial, dan sebagainya.
    Sebagai contoh, seorang anak merasa kesal karena hasil ujian yang dia dapatkan tidak sesuai harapan, padahal dia merasa sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Orang tua bisa memberi penguatan, berusaha berempati dengan memosisikan diri di “sepatu” anak dan lebih fokus mencari tahu perasaan anak serta memberikan dukungan positif.
  3. Mengurangi tekanan versus menambah tekanan
    Anak membutuhkan pendampingan dari orang tuanya saat menghadapi permasalahan yang kompleks. Seseorang yang dapat diajak bicara untuk mengurangi tekanan yang sangat menguras energi dan emosinya.
    Sebagai contoh, seorang anak perempuan diajak teman-teman gank-nya untuk mem-bully seorang teman, dengan ancaman jika tidak mau melakukan maka aibnya akan disebarkan ke media sosial. Tentunya anak ini akan mengalami konflik batin dan butuh seseorang yang bisa dipercaya untuk bercerita, juga membantunya keluar dari masalah itu. Orang tua bisa memulai dengan mengajak anak untuk menceritakan “aib” yang dimaksud oleh teman-temannya. Saat anak sudah mau bercerita, ajak dia agar bisa berdamai dengan hal tersebut. Dengan demikian anak dapat merasakan tekanan akibat masalah yang dihadapinya berkurang.
  4. Optimis versus pesimis
    Ketika anak dapat melihat bahwa masalahnya sudah mulai terurai satu persatu, ada satu hal lagi yang harus dilakukan oleh orang tua, yaitu membangkitkan optimisme pada anak bahwa masalahnya akan dapat terselesaikan.
    Sebagai contoh, seorang anak mengalami perundungan karena tubuhnya yang pendek. Orang tua perlu menghadirkan energi positif agar anak dapat melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda, yaitu mengajarkan tentang gambar diri yang baik, bagaimana dia harusnya menyikapi ejekan “pendek” itu sehingga dia percaya dengan penampilan fisiknya. Kata-kata penyemangat, keseriusan dalam mendengarkan cerita anak, dan mau menerima kekurangan anak akan sangat membantunya untuk optimis.

Pendampingan orang tua bagi anak usia remaja sangat dibutuhkan. Mari menjadi orang tua yang siap mendampingi anak, agar pada saat anak menghadapi permasalahan dia tahu harus bercerita kepada siapa untuk bisa keluar dari permasalahannya sebagai pemenang.

Menjadi Pribadi yang Otentik

Oleh: Betsy K. Witarsa – Konselor SMA

Sebagai manusia, kita adalah ciptaan Allah yang paling mulia karena diciptakan segambar dan serupa dengan diri-Nya sendiri. Kita diberi kemampuan untuk berpikir, berencana, merasakan emosi, berekspresi, dan mengambil tindakan. Setiap kita juga memiliki karakteristik, kepribadian, bakat, dan kelebihan masing-masing yang membuat diri kita unik dan berbeda satu dengan yang lain. Allah ingin agar kita mengenal dan menghargai keunikan yang telah ditentukan Allah bagi kita serta memaksimalkan hal tersebut di dalam kehidupan kita. Lebih dari itu, kita akan dapat merasakan kepuasan dan kebermaknaan hidup jika sungguh-sungguh melihat diri dari sudut pandang Allah dan hidup secara otentik.


Sayangnya, ada berbagai hal yang seringkali menghambat kita untuk bisa menjadi pribadi yang otentik. Beberapa orang tumbuh dalam lingkungan yang sangat kurang memberi teladan dan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara sehat, sehingga terbiasa untuk memendam atau bahkan menyangkal pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri. Ada pula orang-orang yang diberi tuntutan untuk mencapai atau menjadi sesuatu yang sebenarnya tidak selaras dengan bakat utamanya, lalu dikritik dan dipandang sebelah mata ketika hasilnya kurang maksimal. Banyak manusia terbiasa memakai topeng demi mendapat penerimaan dan pengakuan, sehingga semakin lama semakin tidak peka dengan pikiran, emosi, dan kebutuhannya sendiri, serta kurang mengembangkan potensi yang dimiliki. Kehidupan tidak lagi dilandasi oleh pengenalan yang benar akan diri dan Allah serta kurang dipandu oleh nilai-nilai yang seharusnya membuat hidup tidak terombang-ambing.


Tidak ada kata terlambat untuk mulai menjalani hidup dengan lebih otentik, sembari tetap menjaga keharmonisan relasi dengan orang-orang di sekitar. Kata kuncinya adalah membangun relasi yang baik dan dekat dengan diri sendiri. Kita dapat melatih diri untuk melakukan beberapa hal berikut ini:

  1. Perhatikan dan sadari apa yang terjadi di tubuh kita. Leher atau bahu yang tegang mungkin terkait dengan apa yang ada dalam pikiran, perasaan, pemikiran, dan memori kita. Kondisi fisik dan psikologis kita saling mempengaruhi.
  2. Biasakan memvalidasi pikiran dan perasaan kita, bukan menyangkalnya. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh mengevaluasi apa yang kita pikirkan dan rasakan, tetapi langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengakui dan memberi ruang terlebih dahulu. Contoh kalimat validasi yang bisa kita katakan pada diri sendiri yaitu: “Aku menyadari bahwa aku berpikir kalau orang lain lebih beruntung dari diriku dan aku jadi mengasihani diri sendiri”, “Saat ini sedang ada kesedihan yang begitu besar dalam diriku dan aku mengizinkan diriku untuk merasakannya”, dan “Aku sebenarnya tidak suka dengan kecemasan yang sering muncul ini, tetapi aku belajar mengakui bahwa saat ini memang seperti itu kondisinya”.
  3. Kenalilah diri kita sendiri. Apa yang kita kuasai, apa yang kita suka lakukan, apa yang membuat hati kita tergerak, apa yang penting dan bernilai bagi kita, dan semacamnya. Hadapi kebenaran tentang siapa kita dan akuilah jika memang ada aspek-aspek dari diri sendiri yang masih sulit untuk diterima. Kebenaran tidak selalu menyenangkan, tetapi dapat berpotensi membebaskan kita.

Ciremai, Terima Kasih

Oleh: Galvin F. Nathanael Ulag-Siswa Kelas XII MIPA 2

“Expedition Camp 2024 Ciremai, camp paling seru, melelahkan, banyak pelajaran didapatkan, tetapi menjadi yang paling menyedihkan”

Halo, nama saya S. Sgt. Galvin Farrel Nathanael Ulag, peserta Expedition Camp 2024 Ciremai. Expedition Camp adalah salah satu kegiatan mendaki gunung dari Boys’ Brigade cabang 4 Athalia dengan tujuan memperkenalkan dan mendalami teknik-teknik mendaki gunung. Peserta camp melewati seleksi ketahanan fisik yang cukup ketat, yaitu push up, sit up, dan plank selama satu menit, serta lari selama lima menit. Seleksi ini perlu diadakan karena untuk mendaki gunung dengan ketinggian di atas 3000 mdpl, membutuhkan ketahanan fisik yang kuat. Puji Tuhan, saya lolos seleksi dan menjadi salah satu dari 24 peserta. Tidak hanya sampai di situ, setelah lolos seleksi, seluruh peserta diharuskan setiap harinya untuk latihan fisik yang diberikan oleh guru pendamping serta melaporkan hasilnya pada grup WhatsApp. Menu latihan yang biasa diberikan adalah 3 km lari/6 km jalan, 40 push up, 40 sit up, dan 4 menit/set plank, tetapi dapat juga ditambah atau dikurangi sesuai dengan kondisi. Apabila pada hari tertentu terdapat peserta yang tidak dapat melaksanakan latihan fisik, akan dianggap “hutang set” yang harus “dibayarkan” keesokan harinya. Hal tersebut bersifat wajib, karena kondisi badan dari masing-masing peserta hanya diketahui oleh dirinya sendiri.


Tibalah pada hari-H pendakian. Banyak sekali pengalaman yang menarik bagi saya, salah satunya adalah mendaki saat cuaca sedang tidak bersahabat. Medan perjalanan yang berat ditambah hujan deras membuat kondisi fisik kami semakin terkuras. Namun, semua peserta masih memiliki semangat juang yang tinggi untuk bisa sampai di pos lima, tempat kami berkemah. Kondisi fisik yang lelah tidak menghalangi kami untuk saling menyemangati. Perjalanan ini mengajarkan kami bahwa hal yang paling dibutuhkan selama proses pendakian adalah inisiatif untuk saling memberikan semangat melalui kata-kata, sikap, dan tindakan.

Sedih bercampur bahagia saya rasakan karena Expedition Camp Ciremai merupakan camp terakhir saya. Setelah kurang lebih lima tahun mengabdi di Boys’ Brigade cabang 4 Athalia, saya akan lulus dan melanjutkan pendidikan di luar Athalia. Saya bersyukur, bisa menutup pengabdian ini dengan memuaskan. Terakhir, pesan dari saya, puncak bukanlah tujuan pendakian, pulang dengan selamat adalah tujuan yang utama.

Pengharapan Bersama Tuhan

Oleh: Melody Pantja-Orang tua Siswa Kelas VIIID

Menjadi orang tua merupakan sebuah anugerah. Kami bersyukur dikaruniakan dua orang anak yaitu Jose (kelas VIII) dan Phoebe (kelas VI). Mengingat masa kecil saya yang berawal dari almarhum papa yang selalu mendukung saya untuk belajar musik, saya bersyukur dikaruniai talenta bermusik dan dapat melayani Tuhan dengan talenta tersebut.


Menjadi orang tua yang bisa bermain musik membuat saya dan suami ingin agar Jose dan Phoebe juga dapat mengikuti jejak kami. Sejak dalam kandungan, mereka sudah mendengarkan lagu klasik. Setiap malam, saat mereka masih balita, kami menyanyikan lagu untuk menemani tidur sambil mendoakan mereka.


Namun, seiring perjalanan waktu sering kali harapan kami ini nampak mustahil karena melihat anak-anak lebih suka untuk explore gadget dan games daripada bermain musik. Les piano hanya bertahan satu tahun saja dan seringnya menjadi pertengkaran karena Jose tidak mau latihan. Relasi pun menjadi tidak baik. Saat itu, tanpa disadari yang kami lakukan adalah terus memaksakan apa yang menjadi keinginan dan motivasi kami pribadi.


Sampai suatu saat ketika kami mengikuti seminar parenting, kami tersadarkan bahwa anak adalah titipan Tuhan dengan talenta yang mungkin berbeda dengan talenta yang kami harapkan. Akhirnya, kami tidak memaksakan les musik lagi. Kami belajar mendukung hobi mereka masing-masing. Pada setiap kesempatan ketika diberikan kepercayaan untuk melayani Tuhan di kebaktian, kami jadikan momen ini sebagai motivasi kepada anak-anak kami.


Kami percaya setiap ucapan doa yang kami naikkan, pasti akan Tuhan jawab pada waktu yang terbaik. Salah satu bukti nyata penyertaan Tuhan ketika Jose dan Phoebe akhirnya bergabung dalam group ensemble gereja. Sejak Jose bersekolah di Athalia, dia pun mulai tertarik bermain bass bahkan ini menjadi quality time Jose berdua dengan papanya. Kami juga beberapa kali membuat video bernyanyi bersama.


Melalui pengalaman ini, kami diingatkan bahwa iman dan tindakan adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan karena selalu akan ada porsi manusia dan porsi Tuhan. Iman pasti harus diikuti dengan tindakan. Ya, kami diingatkan untuk berusaha dengan segala kemungkinan yang dapat kami lakukan tetapi tidak lupa untuk tetap menaikan segala doa dan harapan kami kepada Tuhan.

Iman dan Tindakan

Oleh : Lili Irene-Plt. Kabag PK3

Fakta bahwa Yesus sudah mati dan bangkit bukanlah isapan jempol belaka. Kabar ini diberitakan sendiri oleh malaikat Tuhan. Matius 28:5-6 mengatakan, “Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuan-perempuan itu: “Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya.”

Lee Patrick Strobel yang lahir pada tahun 1952 adalah seorang ateis. Ia menyelidiki tentang Yesus dan tidak mempercayai kematian dan kebangkitan-Nya. Setelah melakukan penelitian dan menyelidiki tentang hal tersebut, justru membawa ia menjadi orang Kristen dan mengimani kebenaran tentang Yesus. Ia membuktikan imannya dengan menjadi penulis buku apologetik. Melalui buku-bukunya, ia dapat membawa orang-orang yang meragukan iman kepada Yesus dan membuktikan bahwa apa yang dikatakan dalam Alkitab adalah benar serta memiliki bukti yang akurat. Selain itu, ia juga hidup melayani sebagai seorang hamba Tuhan dengan menggembalakan orang-orang yang sedang mencari Tuhan.

Setelah Yesus bangkit, Ia menampakkan diri-Nya kepada Simon Petrus. Perintah Yesus kepada Simon Petrus yang sudah menyaksikan kebangkitan-Nya adalah pergi untuk menggembalakan domba-domba-Nya.

Iman harus diiringi dengan tindakan nyata. Strobel membuktikan bahwa apa yang ia imani perlu dibagikan kepada orang yang memiliki keraguan yang sama dengannya tentang Yesus. Ia juga melakukan tindakan nyata dengan melayani orang-orang yang membutuhkan, baik dalam pengajaran maupun pelayanan. Simon Petrus bangkit dari kesedihannya setelah melihat dan menyaksikan Yesus sudah bangkit dengan membuktikan imannya melalui tindakan melayani Dia sampai mati.

Berikut ada beberapa hal yang perlu kita renungkan sebagai bukti bahwa kita hidup beriman dan memiliki tindak nyata:

  1. Menjawab dan membuktikan iman yang kita percayai. Setiap orang yang mengaku percaya kepada Yesus harusnya bisa menjawab ketika ada yang bertanya, “Mengapa kita percaya Yesus mati dan bangkit?” Oleh karena itu, kita harus terus belajar apologetika (ilmu mengenai pembelaan iman kristen). Bukan berarti kita harus belajar ke sekolah teologi, tapi kita semua termasuk anak-anak bisa belajar di sekolah minggu, ibadah di gereja, Pemahaman Alkitab (PA), dan seminar/pembinaan iman. Jadi, kita beriman bukan sekadar ikut-ikutan, tapi karena sungguh-sungguh memahami apa yang kita percayai.
  2. Membuktikan iman kita dengan tindakan nyata. Yakobus 2:14-17 mengatakan bahwa iman dan perbuatan (tindakan nyata) harus berjalan bersama. Bukan perbuatan tanpa iman, sebaliknya yang benar adalah iman yang disertai perbuatan. Orang yang beriman kepada Yesus akan membuahkan perbuatan atau tindakan nyata yang lahir dari kasih akan Allah kepada orang-orang di sekitarnya. Yakobus 2:15-17, “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati.”
  3. Melayani serta memberitakan kasih Tuhan melalui perkataan dan perbuatan dalam keseharian hidup kita, sehingga orang lain bisa melihat karakter Kristus yang terus bertumbuh dalam hidup kita.

Mari merayakan kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus dengan terus berpegang teguh pada iman dan terus melakukan tindakan nyata yang lahir dari kasih kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Selamat Paskah. Tuhan beserta kita.